Anda di halaman 1dari 31

Drh Jafrizal, MM

Rabu, 23 September 2015

ANALISIS KONSENTRASI, PERILAKU KOLUSI, EFISIENSI,


PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN DAN
PENGAWETAN DAGING DI INDONESIA

ANALISIS KONSENTRASI, PERILAKU KOLUSI, EFISIENSI,


PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN DAGING DI
INDONESIA
Oleh: Jafrizal *

4.1.1 Sejarah Singkat Perkembangan Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging


di Indonesia

Industri pengolahan daging Indonesia telah berdiri sejak jaman duhulu. Di

Bandung, misalnya PT. Badranaya, produsen sosis ini telah beroperasi sejak jaman

Belanda dan baru didirikan secara legal pada tahun 1975, sementara PT. Canning

Indonesia Product (CIP) di Bali, produsen kornet sapi dalam keleng merk Pronas telah

berdiri sejak tahun 1942. Selain itu, di Bali juga telah lama berdiri pabrik sosis seperti

PT. Titeles pada tahun 1955 dan PT. Aroma Duta Rasaprima telah berdiri tahun 1978,

yang utamanya memproduksi produk olahan dari babi. Tapi awal era perkembangan

yang lebih cepat dimulai dengan berdirinya PT Kemang Food Industries di Jakarta

pada tahun 1978, kemudian diikuti oleh perusahaan besar lain seperti PT. Madusari

Nusa Perdana, PT. San Miguel, PT. Purefoods, PT. Eloda Mitra, kemudian PT. JAPFA, PT.

Prima Food, PT. Belfoods, PT. Kibeef, dan PT. Dagsap. Total yang kini terdaftar di

Badan Pusat Statistik sampai tahun 2014 berjumlah 49 perusahaan, sedangkan yang

bergabung sebagai anggota Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (National

Meat Processor Association, NAMPA) berjumlah 32 perusahaan pada tahun 2014.

Menurut Syarif (2011), industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia

didominasi oleh dua industri pengolahan yakni industri pengolahan daging sapi dan

pengawetan daging ayam. Industri pengolahan dan pengawetan daging sapi dimulai
sejak tahun 1942 sedangkan industri pengolahan ayam mulai berkembang sejak tahun

1976. Sebelum tahun 1976, industri pengolahan lebih didominasi industri pengolahan

dengan bahan baku daging sapi dan babi. Namun, belakangan ini, 65 persen

didominasi oleh industri pengolahan daging ayam. Industri pengolahan daging sapi

dengan produk utamanya adalah bakso dan sosis., sedangkan untuk industri

pengolahan daging ayam, produk utamanya adalah sosis dan nugget

(http://www.agrina-online.com).

4.1.2 Pertumbuhan Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia

Pertumbuhan industri pengolahan dan pengawetan daging skala besar dan

sedang di Indonesia rata-rata sekitar 3.8 persen pertahun, dari 26 unit usaha pada

tahun 1990 menjadi 49 unit pada tahun 2013. Data perkembangan industri tersebut

pertahun disajikan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Perkembangan Unit Usaha Industri Pengolahan dan Pengawetan daging
di Indonesia
TAHUN KBLI UNIT TAHUN KBLI UNIT
1990 15112 26 2002 15112 25
1991 15112 24 2003 15112 25
1992 15112 23 2004 15112 26
1993 15112 25 2005 15112 26
1994 15112 28 2006 15112 36
1995 15112 26 2007 15112 39
1996 15112 29 2008 15112 40
1997 15112 27 2009 15112 42
1998 15112 28 2010 15112 47
1999 15112 28 2011 15112 45
2000 15112 25 2012 15112 49
2001 15112 28 2013 15112 49
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Besar dan sedang Indonesia

Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa pertumbuhan industri pengolahan dan

pengawetan daging pada tahun 2008-2012 meningkat sebesar 11.36 persen yakni

sebanyak 44 unit tahun 2008 menjadi 49 unit tahun 2012. Pertumbuhan tersebut

merupakan kontribusi dari industri pengolahan berbasis daging ayam dan lainnya

sebesar 17 persen sedangkan perusahaan yang berbasis daging sapi tidak mengalami

pertumbuhan.
Tabel 4.2. Lokasi, Jumlah Perusahaan Pengolahan dan Pengawetan Daging di
Indonesia
Tahun 2008 Tahun 2013
Daging Daging
Daging Daging
Provinsi Ayam & Total Ayam & Total
Sapi Sapi
Lainya (Unit) Lainya (Unit)
(unit) (Unit)
(Unit) (Unit)
Jawa Barat 8 1 9 7 3 10
Jawa Tengah 5 2 7 5 3 8
Jawa Timur 5 3 8 5 4 9
Banten 5 3 8 7 4 11
DKI Jakarta 2 0 2 2 0 2
Bali 4 3 7 3 2 5
Kalimantan Timur 1 1 2 1 1 2
Lampung 0 0 0 1 1
NTT 1 0 1 1 0 1

Jumlah 31 13 44 31 18 49
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Besar dan sedang Indonesia

Berdasarkan Tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa terjadi fenomena bertambah

berkurangnya jumlah perusahaan di setiap provinsi. dari lokasi industri pengolahan

dan pengawetan daging di Indonesia, industri ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Pada tahun 2008 sebanyak 34 unit dari 44 unit usaha atau sebesar 77,2 persen berada

di pulau Jawa dan pada tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 40 unit dari 49

unit usaha atau sebesar 81.6 persen. Peningkatan investasi di pulau Jawa pada tahun

2008-2012 meningkat sebesar 39 persen, sedangkan di luar pulau Jawa mengalami


pertumbuhan minus 10 persen. Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari kondisi

perekonomian di Indonesia karena pengaruh krisis keuangan global tahun 2008.


Berdasarkan Tabel 4.3, pada saat krisis keuangan global tahun 2008, industri

pengolahan dan pengawetan daging sempat mengalami peningkatan nilai produksi


yang tinggi sebesar Rp. 2.3 triliun kemudian terus mengalami penurunan pada tahun

2009 sebesar Rp. 1.9 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp. 1.3 triliun. Penurunan nilai
produksi tersebut diikuti dengan turunnya jumlah tenaga kerja. Kondisi berbeda pada

saat krisis ekonomi tahun 1997/1988 yang memberikan dampak bagi sebagian besar
kinerja industri di Indonesia, namun dampak tersebut tidak terlihat mempengaruhi
kinerja industri pengolahan dan pengawetan daging. Pada periode tahun 1996-1999
justru nilai produksi industri pengolahan terus mengalami pertumbuhan dari Rp.

100.7 milyar menjadi Rp. 199.7 milyar. (Lihat Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Pertumbuhan Produksi, Nilai Tambah dan Tenaga Kerja Industri
Pengolahan Daging Periode Tahun 1995-2012.
Tahun Produksi (M Rp) Growth ( %) Tenaga Kerja Growth (%)
(Orang)
1996 100.7 46,9 2273 12,2
1997 117.0 16,2 2532 11,4
1998 156.1 33,4 2634 4
1999 199.7 27.9 2776 5.4
2000 206.6 3.5 2565 -7,6
2007 858 -4,5 6299 27,6
2008 2.302 159,4 5990 -7,8
2009 1.830 -18,3 5686 -2,1
2010 1.309 -31.2 6090 -21.8
2011 1.312 0,23 6477 6,4
2012 1.985 51,3 6523 0,7
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia

Tingkat pertumbuhan industri pengolahan tidak dapat dipisahkan dengan


regulasi pemerintah (Setiawan, 2013). Regulasi tentang bahan baku industri

pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia sangat berkaitan dengan regulasi


tentang impor dan ekspor daging. Ada tiga regulasi pemerintah berhubungan dengan

kuota importasi daging dan sapi yakni: Pertama; Peraturan Menteri Pertanian Nomor
59/Permentan/HK.060/8/2007 yang diperbaharui dengan Peraturan Kementerian

Pertanian No 19/OT 410/ 2010 tentang Progam Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang
salah satu sasarannya adalah tercapainya penurunan impor sapi dan daging sehingga

hanya mencapai 10 persen dari kebutuhan konsumsi masyarakat. Kedua; Peraturan


Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER9/2011 dan Peraturan Menteri Pertanian

Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011. Peraturan ini berisi tentang ketentuan impor dan


ekspor hewan dan produk hewan serta rekomendasi persetujuan pemasukan karkas,

daging, jeroan dan olahan ternak ke dalam negeri yang menyimpulkan bahwa kegiatan
impor akan dibatasi untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan yang berasal dari

hewan lokal serta perwujudan progam swasembada pangan nasional. Ketiga;


Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699/ M-DAG/ KEP/ 7/ 2013 Keputusan menteri

ini berisi tentang stabilitas harga daging sapi. Harga daging sapi yang terus melonjak
sepanjang tahun 2012 hingga 2013 membuat Menteri Perdagangan memutuskan untuk
menghapus peraturan pembatasan kuota impor sapi. Hal ini dikarenkan tidak

mampunya sumber daya ternak lokal untuk memenuhi kebutuhan nasional yang
semakin besar yang akhirnya menimbulkan inflasi pada harga daging sapi.

Pada tahun 2013 juga dikelurkan Peraturan Menteri Pertanian No. 84 Tahun
2013 Pasal 9, yang menyebutkan bahwa produk olahan yang menggunakan bahan baku

berasal dari negara belum bebas Penyakit Mulu Kuku (PMK), Vescular Stomatis (VS),
Swine Vesicular Desease (SVD), dapat dipertimbangkan diimpor jika telah dipanaskan

lebih dari 80°C selama 2-3 menit dan berasal dari daging ruminansia yang telah
dilayukan, sehingga pH daging di bawah 5,9 dan dipisahkan linfoglandula (deglanded)

dan tulangnya (deboned).


Regulasi impor sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi domestik dan

meningkatkan produktivitas industri peternakan dalam negeri. Importasi perlu


disegmentasi sesuai dengan sasaran pasar yang menjadi tujuan. Segmentasi pemasaran

daging di Indonesia berdasarkan kualitas pada umumnya dapat dikelompokkan


sebagai berikut : (i) Prime cut meat untuk hotel berbintang, cafe, catering dan

supermarket; (ii) Secondary cut meat untuk meatshop, pasar tradisional, rumah tangga;
(iii) Variation meat khususnya jenis trimming meat dominan digunakan untuk bahan

baku industri pengolahan daging seperti kornet, sosis, bakso; (iv) Offal digunakan pada
industri pengolahan dan industri kuliner tradisional seperti konro, coto, rujak cingur,

sop buntut, dan bakso (Kementerian Pertanian RI, 2013)


Menurut laporan FAO (2014), konsumsi daging masyarakat Indonesia sampai

tahun 2013 masih rendah yakni sebesar 12.9 kg/kapita/tahun bila dibandingkan
beberapa negara seperti Malaysia sebesar 53.3 kg/kapita/tahun, Jepang sebesar 48.8

kg/kapita/tahun, Argentina 101,1 kg/kapita/tahun dan lain-lainya. Konsumsi masyarakat


Indonesia tersebut terdiri dari konsumsi daging sapi sebesar 2,22 kg/kapita/ tahun,

daging ayam sebesar 7.6 kg/kapita/tahun dan dari ternak lainnya sebesar 3.08
kg/kapita/tahun, angka ini jauh dibawah standar konsumsi daging yang dicanangkan
FAO yakni sebesar 33 kg/kapita/tahun (Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Konsumsi Daging Kilogram/Kapita/Tahun Berbagai Negara Tahun 2013

No Negara Kg/Kapita/Tahun No Negara Kg/Kapita/Tahun


1 Indonesia 12,9 6 Viet Nam 7
2 Argentina 101,7 7 Meksiko 61
3 Australia 121,2 8 Mesir 8
4 Malaysia 53,3 9 Philipina 4
5 Brasil 93 10 Jepang 48,8
Sumber: FAO (2014)
Menurut Data Kementerian Pertanian (2013) masih rendahnya konsumsi daging

tersebut berhubungan dengan penyediaan daging di Indonesia. Produksi daging sapi di


Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan untuk konsumsi dalam negeri,
sehingga masih mengimpor daging dan sapi dari negara lain berkisar rata-rata

sebanyak 60 ribuan Ton pertahunnya. Sedangkan produksi daging ayam sudah mampu
memproduksi sesuai dengan kebutuhan konsumsi dalam negeri (Tabel 4.5).
Tingkat konsumsi yang dikeluarkan Kementerian Pertanian tahun 2013 tersebut
berbeda dengan laporan National Meat Processor Association Indonesia (NAMPA) (2014),

Konsumsi daging unggas terus mengalami peningkatan dari 4,99 kg/kapita/tahun pada
tahun 2010, berturut-turut meningkat menjadi 6,28 kg (2011), 6,97 kg (2012), 8,08 kg
(2013), dan diprediksi menjadi 9,15 kg/kapita/tahun pada 2014. Sedangkan konsumsi
daging sapi meningkat dari 2,1 kg/kapita/tahun (2012) menjadi 2.22 kg/kapita/tahun

(2013) (http://www.agrina-online.com).

Tabel 4.5. Penyediaan, Konsumsi Daging Ayam Ras dan Sapi Tahun 2009-2012 serta
Prediksi Tahun 2013 (dalam ribu
ton).
No. Uraian Tahun
2009 2010 2011*) 2012*) 2013**)
Ayam Sapi Ayam Sapi Ayam Sapi Ayam Sapi Ayam Sapi
A. Penyediaan (000 613 313 671 352 776 356 812 344 858 359
Ton)
1 Produksi Dalam 610 245 671 262 776 291 812 283 858 294
Negeri (000 ton)
2 Impor (000 ton) 3 68 0 91 0 65 0 61 0 65
3 Ekspor (000 ton) 0 0 0 0 0 0 0 0
B. Konsumsi (000 582 313 637 352 737 356 772 344 815 359
ton)
C. Konsumsi 2,52 1,29 2,64 1,39 3,06 1,38 3,15 1,41 3,28 1,45
(Kg/kapita/tahun)
Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
Peningkatan konsumsi daging sapi tersebut disebabkan konsumsi daging

awetan dan makanan jadi pada tahun 2012 sebesar 0,53 kg dan 1,4 kg. Bila dicermati
pada tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada konsumsi daging sapi

awetan hingga mencapai 537,5 persen, namun tahun-tahun sebelumnya konsumsi


daging sapi awetan hanya pada kisaran 0,02 kg – 0,08 kg. pada tahun 2013 konsumsi
daging sapi 0,55 kg daging sapi awetan dan 1,46 kg makanan jadi. Tren peningkatan
konsumsi daging tersebut turut mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan

pengawetannya (Kementerian Pertanian, 2013).


Dari hasil konversi dan penghitungan total konsumsi daging sapi
(segar+olahan+awetan) pada tahun 2010 tercatat sebesar 2,30 kg/kapita/tahun,
sementara diwaktu yang sama ketersediaan daging sapi menurut hanya 1,39

kg/kapita/tahun. Selama periode tahun 2010-2013 konsumsi daging sapi rumah tangga
terlihat mengalami kecendrungan menurun, walaupun ketersediaan Neraca Bahan
Makanan (NBM) mengalami peningkatan, namun tetap saja mengalami defisit yang
signifikan bila dibandingkan dengan total konsumsi rumah tangga. Hal ini sangat

dimungkinkan pada perhitungan NBM belum di pertimbangkan konsumsi daging sapi


olahan dan awetan sehingga angka ketersediaan (NBM) menjadi relatif kecil.
Kekurangan ketersediaan pada periode tersebut yang paling tinggi terjadi pada tahun
2012, dimana konsumsi riil rumah tangga/kapita mencapai 2,63 kg/kapita/tahun,

sementara ketersediaan hanya 1,55 kg/kapita/tahun, dengan demikian terjadi defisit


sekitar 1,08 kg/kapita/tahun.

Tabel 4.6. Perbandingan konsumsi daging sapi total per kapita rumah tangga
(SUSENAS) dengan ketersediaan daging sapi (NBM), 2010 – 2016
(Kg/Kapita/Tahun).
No Uraian 2010 2011 2013 2014*) 2015*) 2016*)
1 Ketersediaan Daging Sapi 1,39 1,4 1,55 1,69 1,69 1,77
Konsumsi Total Daging Sapi
2 **) 2,3 2,43 2,63 2,34 2,31 2,27
3 Selisih -0,91 -1,03 -1,08 -0,65 -0,62 -0,5
Sumber : Susenas, BPS dan NBM, BKP Kementan (2013)
Keterangan : *) Angka Prediksi **) Total konsumsi : akumulasi konsumsi daging sapi
segar, awetan dan olahan nasional

4.2 Analisis Struktur Perilaku dan Kinerja Industri Pengolahan dan Pengawetan
Daging
Terdapat tiga pemikiran dalam menganalisis hubungan antara struktur pasar
dan kinerja dengan menggunakan paradigma Structure Conduct Performance (SCP).
Pertama, hipotesis tradisional yang mendasarkan pada perilaku kolusi, kedua, hipotesis
diferensiasi yang mendasarkan pada perilaku diferensiasi produk dan yang ketiga,
hipotesis efisiensi yang mendasarkan pada perilaku efisiensi pasar (Carlon and Perlof,

2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis seberapa kuat pengaruh dari
konsentrasi, kolusi, efisiensi dan produktivitas industri pengolahan dan pengawetan
daging di Indonesia.

4.2.1. Rasio Konsentrasi

Tiga elemen dalam menganalisis struktur industri, yaitu pangsa pasar,


konsentrasi dan hambatan masuk ke dalam pasar. Salah satu ukuran yang digunakan
untuk mengetahui struktur pasar atau intensitas kompetisi yang terjadi diantara

perusahaan dalam industri ialah nilai rasio konsentrasi (Kuncoro, 2007). Struktur
industri tidak hanya dilihat dari berapa jumlah perusahaan yang bersaing di dalamnya,
namun juga dilihat dari seberapa besar penguasaan perusahaan tertentu terhadap total
pasar di industri tersebut atau yang dikenal dengan pangsa pasar. Pangsa pasar

industri pengolahan dan pengawetan daging terdiri dari pangsa pasar output,
turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset yang diukur dengan Rasio
Konsentrasi empat (Concentration Ratio/ CR). Dari data hasil penelitian diketahui Rasio
Konsentrasi empat perusahanaan terbesar (CR4) dan Rasio Konsentrasi dua

perusahaan terbesar (CR2) industri.


Tabel 4.7. Rasio Konsentrasi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging
Indonesia
Periode Nasional (%) Sapi (%) Ayam Dll (%)
CR2 CR4 CR2 CR4 CR2 CR4
1990-1995 53 63 68 81 62 86
1995-2000 35 57 52 71 62 83
2000-2005 53 70 47 81 85 94
2005-2010 58 79 50 81 94 99
2010-2013 50 79 64 85 94 98
Rata-Rata 51 69 56 79 79 92
Sumber: Diolah dari Data Penelitian
Dari Tabel 5.1 terlihat bahwa rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2)
dan empat perusahaan terbesar (CR4) industri pengolahan dan pengawetan daging di
Indonesia periode tahun 1990-2013 rata-rata 51 persen dan 69 persen. Rasio
konsentrasi tersebut disumbangkan dari rasio konsentrasi industri pengolahan dan
pengawetan daging ayam dan lainnya sebesar 79 persen (CR2) dan sebesar 92 persen

(CR4) serta daging sapi sebesar 56 persen (CR2), 79 persen (CR4). Kurang sehatnya iklim
persaingan subsektor ini karena beroperasi dalam kondisi oligopoli yang memiliki
persaingan yang rendah. Ini terbukti dari selama periode 1990-2013 subsektor industri
ini memiliki indeks konsentrasi dua perusahaan (CR2) di atas 50 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa industri pengolahan dan pengawetan daging indonesia


berstruktur persaingan tidak sempurna karena penguasaan pasar yang tidak sama
antar perusahaan yang bersaing didalamnya, artinya industri pengolahan dan
pengawetan daging indonesia berstruktur oligopoli ketat karena rasio konsentrasi

empat perusahaan terbesar (CR4) memiliki pangsa pasar antara 60-100 persen (Jaya,
2008).

Gambar 4.1 Konsentrasi Dua Perusahaan Terbesar (CR2) Industroi Pengolahan dan
Pengawetan Daging
Sumber : Diolah
Gambar 4.2 Konsentrasi Empat Perusahaan Terbesar (CR4) Industri Pengolahan
dan Pengawetan Daging
Sumber : Diolah

4.2.1.2 Perilaku Kolusi

Kolusi dapat terjadi pada pasar berbentuk oligopoli dimana saling


ketergantungan dan pengambilan keputusan yang saling mempengaruhi
(interdependence) antar perusahaan (Jaya, 2008). Pada Industri pengolahan dan
pengawetan daging di Indonesia yang memiliki konsentrasi tinggi atau oligopoli ketat

diduga menyebabkan kolusi efektif. Kolusi dapat diketahui melalui salah satu cara
yakni mengetahui nilai konjectural variation dengan metode pengujian kolusi
didasarkan model Cowling dan Waterson (1976) dan dikembangkan oleh Clarke and
Davis (1982). Clarke et al., (1984) mengembangkan model dengan mempertimbangkan

sulitnya untuk mengetahui perbedaan antara harga dan biaya marjinal. Model yang
dikembangkan dengan asumsi bahwa sejumlah industri memproduksi barang yang
homogeneous dengan biaya marjinal yang sama untuk perusahaan yang memiliki
jumlah output yang sama. Nilai kolusi yang diestimasi dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel. 4.8 Kolusi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia
Tahun Nasional Sapi Ayam Tahun Nasional Sapi Ayam
1990 0,178 0,195 0,076 2002 0,331 0,357 0,247

1991 0,178 0,195 0,076 2003 0,286 0,279 0,037


1992 0,236 0,247 0,165 2004 0,22 0,3 0,697
1993 0,205 0,236 0,067 2005 0,361 0,38 0,064
1994 0,135 0,2 0,52 2006 0,358 0,4 0,034
1995 0,204 0,246 0,32 2007 0,39 0,41 0,267
1996 0,403 0,417 0,355 2008 0,429 0,448 0,097
1997 0,448 0,51 0,3 2009 0,46 0,427 0,243
1998 0,193 0,272 0,039 2010 0,462 0,441 0,257
1999 0,166 0,268 0,041 2011 0,381 0,376 0,026
2000 0,242 0,292 0,122 2012 0,56 0,587 0,092
2001 0,251 0,291 0,161 2013 0,629 0,614 0,111
Rata-
Rata 0,32 0,35 0,18
Sumber: Diolah dari lampiran

Dari Tabel 5.2 di atas dapat dilihat bahwa nilai kolusi (a) pada industri
pengolahan daging secara nasional pada periode 1990-2013 rata-rata 0,32 yang

disumbangkan oleh nilai kolusi pada industri pengolahan dan pengawetan daging sapi
sebesar 0,35 dan daging ayam sebesar 0,18. Pada periode tahun 1990-1995 nilai kolusi
masih berada pada nilai rata-rata sebesar 0,189, terjadi peningkatan nilainya pada
tahun 1996-1997 0,448 kembali turun pada periode 1998 dengan nilai 0,193,

peningkatan nilai kolusi disumbangkan oleh nilai kolusi pada industri pengolahan
daging sapi. Kecenderungan terbentuknya kolusi terlihat pada saat krisi ekonomi

tanun 1997 terjadi penurunan impor daging sapi yang disebabkan karena kenaikan
harga daging sapi impor. Kenaikan harga daging sebagai bahan baku ikut mendorong

perusahaan-perusahaan pengolahan daging untuk berkolusi mengatur produksi dan


harga produk daging olahan.

Gambar 4.3 Kolusi Industroi Pengolahan dan Pengawetan Daging


Sumber : Diolah
Kenaikan nilai kolusi tahun 2008 kembali mendekati 0,5 sebesar 0,429 dan terus

meningkat sampai tahun 2013 yakni sebesar 0,56. Pada periode 2008-2013 terjadi
kecenderungan terbentuknya kolusi hal ini terlihat dari nilai cojuctural variation di

atas 0.5. Menurut Bank Indonesuia (2008), kondisi ini merupakan pengaruh

pertumbuhan ekonomi dunia yang turun pada tahun 2008, selain disebabkan oleh
krissi keuangan global, juga akibat dari melambungnya harga minyak dunia yang

menyentuh level USD 145 per barel. Di samping itu, kebijakan domestik pengurangan
kuota impor sampai 10 persen yang diterapkan pemerintah yakni Peraturan Menteri

Pertanian Nomor 59/Permentan/HK.060/8/2007 juga mempengaruhi kenaikan harga

komoditas impor makanan terutama daging sapi, hal itu mendorong terbentuknya nilai
kolusi pada industri ini sampai tahun 2013. Nilai cojuctural variation industri

pengolahan dan pengawetan daging secara nasional disumbangkan oleh industri


pengolahan dan pengawetan daging berbahan baku daging sapi.

Hasil penelitian Bank Indonesia (2008) menunjukan bahwa masih tigginya

konsentrasi industri pengolahan di Indonesia, kondisi ini senantiasa menciptakan


insentif bagi para pemain besar untuk melakukan berbagai strategi dalam upaya

untuk memaksimalkan profit. Segbagai akibatnya dorongan untuk memperbesar

mark-up ratio atau price-cost margin selalu timbul. Selain itu adanya beberapa industri
yang berperilaku pro-cyclical dalam menentukan harga jual dimana kenaikan

permintaan akan segera diikuti dengan kenaikan harga jual.


Hasil tersebut diatas sesuai dengan hasil penelitian dari Nurdianto (2004) yang

menemukan bahwa secara umum industri pengolahan di Indonesia pada periode

sebelum krisis ekonomi (1993-1997) memiliki nilai cojuctural variation yang lebih
rendah dibandingkan dengan periode setelah krisis ekonomi (1998-2000). Khusus

untuk industri pengolahan dan pengawetan daging ditemukan nilai cojuctural variation

pada periode 1993-1997 sebesar 0,02 sedangkan pada periode 1998-2000 nilainya
negatif.

4.2.1.3 Efisiensi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging

Perhitungan efisiensi dalam penelitian ini menggunakan variabel input dan


output industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia. Metode yang yang
digunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang berorientasi input dengan
asumsi variable return to scale (VRS). Orientasi input menekankan pada pertanyaan

seberapa banyak jumlah input dapat dikurangi (input reducing) secara proporsional

tanpa mengubah kuantitas output yang diproduksi. Model VRS ini beranggapan bahwa
perusahaan dalam industri pengolahan dan pengawetan daging tidak atau belum

beroperasi pada skala yang optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara

penambahan input dan output tidak sama (variable return to scale), artinya
penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x

kali, bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali.


Efisiensi teknis merupakan kemampuan untuk menghindari pemborosan dengan

memproduksi output sebanyak mungkin dengan input dan teknologi yang ada atau

dengan menggunakan input seminimal mungkin untuk menghasilkan output yang


sebanyak mungkin. Perusahaan secara teknis dikatakan efisien apabila peningkatan

outputnya yang didapat melalui pengurangan setidaknya satu output lainnya atau

peningkatan setidaknya satu input, serta bila penurunan satu input didapatkan melalui
peningkatan satu input lainnya atau penurunan setidaknya satu output. Oleh karena

itu perusahaan yang secara teknis efisien akan mampu memproduksi output yang
sama setidaknya satu input yang lebih sedikit atau dengan menggunakan input yang

sama akan mampu menghasilkan setidaknya satu output yang lebih banyak.

Penghitungan efisiensi teknis dengan metode DEA ini memberikan informasi


dimana perusahaan/ industri yang inefficient dapat melakukan benchmark terhadap

perusahaan yang efisien, sehingga perusahaan/ industri yang berada dalam garis
frontier yang sama termasuk perusahaan yang inefficient setelah mengurangi

(meningkatkan) jumlah input (output) yang mereka miliki agar bisa beroperasi relatif

efisien (Coelli, 1996).


Menurut Sarkis dan Talluri (2002) menyatakan, untuk bisa efisien perusahaan

harus melakukan salah satunya adalah dengan menaikkan (menurunkan) nilai output

(input) sebesar nilai radial movement dan slack movement dari hasil perhitungan DEA.
Disamping itu bisa dilakukan perusahaan inefficient (manager) adalah harus

mempelajari dan mengimplementasikan strategi yang dimiliki oleh perusahaan efisien


(best practice).
Hasil DEA-VRS berorientasi input dalam penelitian ini pada Tabel 4.9, terlihat
bahwa nilai rata-rata estimasi efisiensi teknis (technical efficiency) industri pengolahan

dan pengawetan daging di Indonesia periode 1990-2013 dengan model CRS rata-rata
sebesar 88,7 persen dengan nilai minimum-maksimum berada antara 72 – 99 persen

dan model VRS rata-rata sebesar 95,1 persen dengan nilai minimum-maksimum

berada antara 83 – 100 persen serta efisiensi skala (Scale) rata-rata sebesar 93 persen
dengan nilai minimum-maksimum berada antara 79-100 persen. Secara keseluruhan

rata-rata tingkat efisiensi teknis masih berada dibawah nilai optimal 100 persen yaitu

sebesar 94 persen. Artinya bahwa industri pengolahan dan pengawetan daging hanya
mampu beroperasi dalam mengoptimalkan sumberdaya yang ada sebesar 94 persen.

Masih memungkinkan bagi perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi
efisiensi teknisnya dengan mengurangi tingkat inefisiensi teknis (technical inefficiency)

rata-rata sebesar 13 persen dengan nilai minimum-maksimum sebesar 1 - 28 persen

pada model constant return to scale (CRS) dan sebesar 6 persen dengan nilai
maksimum sebesar 17 persen pada model variable return to scale (VRS) dengan tanpa

menambah biaya.

Efisiensi teknis pada periode tahun 1990-1995 rata-rata sebesar 94 persen model

VRS dan 92 persen model CRS, dengan skala efisiensi tertinggi rata-rata sebesar 98

persen. Secara keseluruhan pada periode 1990-1995 memiliki rata-rata tingkat efisiensi
teknis masih berada dibawah nilai optimal 100 persen, artinya bahwa industri

pengolahan dan pengawetan daging hanya mampu beroperasi dalam mengoptimalkan


sumberdaya dengan tingkat inefisiensi teknis sebesar 6 persen pada model VRS dan 8

persen pada model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 2 persen. Masih

memungkinkan bagi perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi
teknisnya dengan mengurangi tingkat inefisiensi teknis (technical inefficiency) dalam

penggunaan input.
Tabel 4.9 Nilai Efisiensi Metode DEA-VRS berorientasi Input (Persen)

CRS- VRS- CRS- VRS-


Tahun Eff Eff Scale Tahun Eff Eff Scale
1990 95 92 104 2002 77 90 85
1991 91 95 96 2003 74 93 79
1992 72 83 88 2004 84 93 91
1993 98 99 98 2005 87 98 89
1994 98 95 104 2006 87 93 93
1995 99 100 99 2007 87 92 94
1996 93 92 101 2008 87 93 93
1997 95 98 97 2009 89 97 91
1998 94 94 100 2010 85 91 94
1999 88 99 88 2011 88 94 93
2000 83 89 94 2012 85 93 91
2001 86 93 93 2013 72 88 82

Tahun CRS-EFF VRS-EFF Scale


1990-1995 92 94 98
1995-2000 92 95 97
2000-2005 82 93 88
2005-2010 87 94 92
2010-2013 82 92 90
Rata-rata 87 94 93
Maximum 99 100 1.03
Minimum 72 83 79
Sumber: Diolah dari lampiran no. 3
Keterangan : crste = Technical Efficiency from CRS DEA
vrste = Technical Efficiency from VRS DEA
scale = Scale Efficiency = crste/vrste
crs = Constant Return to Scale
vrs = Variable Return to Scale

Secara tahunan, pada tahun 1992 merupakan periode dengan tingkat efisiensi
teknis yang terendah sebesar 83 persen model VRS dan 72 persen pada model CRS,

sedangkan yang tertinggi adalah tahun 1995 sebesar 100 persen pada model VRS dan 99

pada model CRS. Secara umum pada periode ini berada pada posisi increasing return to
scale (IRS), yang mengindikasikan bahwa dengan penambahan input tertentu pada

masih akan dapat meningkatkan efisiensi pada industri pengolahan dan pengawetan
daging pada periode 1990-1995. Pada tahun 1992 terjadi penurunan efisiensi yang

disebabkan oleh kenaikan pengeluaran biaya input bahan bakar dan biaya input

pengeluaran lainnya secara berlebihan.


Periode tahun 1995-2000 memiliki rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 95

persen model VRS, 92 persen pada model CRS dan 97 persen pada efisiensi skala. Secara

keseluruhan, periode ini belum mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100 persen.
Artinya bahwa masih dapat dioptimalkan tingkat efisiensi teknis dengan
mengoptimalkan sumberdaya sebesar 5 persen pada model VRS dan 8 persen pada

model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 3 persen. Masih memungkinkan bagi
perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan

mengurangi tingkat inefisiensi teknis (technical inefficiency) dalam penggunaan input.

Pada periode ini terjadi kondisi constant return to scale tahun 1996 dan tahun 1998
yang memiliki skala optimal 100 persen, sedangkan tahun 1997, 1999 dan tahun 2000

berada pada posisi increasing return to scale (IRS).


Periode tahun 2000-2005 memiliki rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 93

persen model VRS, 82 persen pada model CRS dan 88 persen pada efisiensi skala. Secara

keseluruhan, periode ini belum mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100 persen.
Artinya bahwa masih dapat dioptimalkan tingkat efisiensi teknis dengan

mengoptimalkan sumberdaya sebesar 7 persen pada model VRS dan 18 persen pada

model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 12 persen. Masih memungkinkan bagi
perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan

mengurangi tingkat inefisiensi teknis (technical inefficiency) dalam penggunaan input.


Pada periode ini, secara umum kondisi industri masih berada pada constant return to

scale (CRS) sebesar 28 persen, yang berada increasing return to scale (IRS) sebesar 45

persen dan yang berada pada posisi decreasing return to scale (DRS) sebesar 26 persen.
Periode tahun 2005-2010 memiliki rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 94

persen model VRS, 87 persen pada model CRS dan 92 persen pada efisiensi skala.

Secara keseluruhan, periode ini belum mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100
persen, artinya bahwa masih dapat dioptimalkan tingkat efisiensi teknis dengan

mengoptimalkan sumberdaya sebesar 6 persen pada model VRS dan 13 persen pada
model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 8 persen. Masih memungkinkan bagi

perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan

mengurangi tingkat inefisiensi teknis (technical inefficiency) dalam penggunaan input.


Pada periode ini, walaupun terjadi kondisi krisis keuangan global tahun 2008 yang ikut

berpengaruh terhdap kondisi ekonomi secara keseluruhan, akan tetapi secara umum

kondisi industri pengolahan dan pengawetan daging masih berada pada constant
return to scale (CRS) sebesar 16 persen, yang berada increasing return to scale (IRS)

sebesar 64 persen dan yang berada pada posisi decreasing return to scale (DRS) sebesar
20 persen.
Periode tahun 2010-2013 memiliki rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 92

persen model VRS, 82 persen pada model CRS dan 90 persen pada efisiensi skala.

Secara keseluruhan, periode ini merupakan periode dengan tingkat efisiensi yang
terendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara umum periode ini belum

mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100 persen, artinya bahwa masih dapat

dioptimalkan tingkat efisiensi teknis dengan mengoptimalkan sumberdaya sebesar 8


persen pada model VRS dan 18 persen pada model CRS, sedangkan skala inefisiensi

sebesar 10 persen. Masih memungkinkan bagi perusahaan atau industri ini untuk
meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan mengurangi tingkat inefisiensi teknis

(technical inefficiency) dalam penggunaan input. Pada periode ini, walaupun terjadi

kondisi krisis ekonomi akan tetapi secara umum kondisi industri masih berada pada
constant return to scale (CRS) sebesar 22 persen, yang berada increasing return to scale

(IRS) sebesar 62 persen dan yang berada pada posisi decreasing return to scale (DRS)

sebesar 16 persen.

Gambar 4.4 Efisiensi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging 1990-2013


Sumber: Diolah

Pengukuran skala efisiensi yang ditujukan untuk mengetahui kehilangan output

relatif yang disebabkan constant return to scale yang ditunjukan oleh nilai 100 persen
dan mendekati 100 persen. Rata-rata efisiensi skala (scale efficiency) selama periode

penelitian adalah 93,2 persen, dengan nilai minimum-maksimum 79 – 100 persen,


dimana mengindikasikan bahwa masih ada perusahaan yang berada pada skala
disekonomis sehingga memiliki peluang yang potensial untuk meningkatkan efisiensi
skala di industri pengolahan dan pengawetan daging sebesar 6,8 persen atau maksimal

21 persen atau dapat dikatakan bahwa scale inefficiency dapat dikurangi atau
diturunkan sebesar 6,8 persen sampai 21 persen.

Jika skala efisiensinya = 1 (100 persen), maka perusahaan beroperasi pada skala

efisien, perusahaan beroperasi pada return to scale yang optimal. Skala efisiensi ini
akan menentukan apakah perusahaan tersebut berada pada skala ekonomis atau

disekonomis, yaitu mampu menggambarkan kemampuan optimal perusahaan dalam

memberdayakan sumberdayanya dalam menghasilkan keluaran.

Gambar 4.5 Return to Scale (RTS) Industroi Pengolahan dan Pengawetan Daging
Sumber : Diolah
Keterangan:
IRS = Incereasing Return to Scale;
CRS = Constant Return to Scale;
DRS = Decreasing Return to Scale

Dari Gambar 4 di atas, terdapat 3 (tiga) kondisi keadaan Return To Scale (λ) pada
periode penelitian ini yaitu :
a. Kondisi λ=1 maka derajat perubahan output sebagai hasil dari perubahan input

disebut derajat perolehan tetap (constant returns to scale). Hal ini terjadi karena

kenaikan output proporsional terhadap kenaikan input pada industri pengolahan


dan pengawetan daging pada periode tahun 1990-2013 sebesar 61 persen walaupun

secara tahunan terjadi penurunan prosentase perusahaan dari tahun 2000-2013,


kondisi tersebut dapat disebabkan karena perusahaan-perusahan yang serius

mengolala sumber daya dengan optimal yang mampu bertahan dalam sebelum dan

sesudah krisis dikarenakan kenaikan biaya input.


b. Kondisi λ>1 maka derajat perubahan output sebagai hasil dari perubahan input

disebut derajat perolehan menaik (increasing returns to scale). Kondisi ini terjadi

pada kenaikan output lebih besar dari kenaikan input, yang berarti bahwa
penambahan input bahan baku, bahan bakar dan listrik, tenaga kerja dan

pengeluaran lain masing-masing sebesar 1 persen mampu meningkatkan output


lebih besar dari 1 persen. Increasing Returns to Scale dapat terjadi karena dengan

meningkatnya skala operasi, terjadi karena spesialisasi tugas dan fungsi, serta

penggunaan mesin-mesin khusus yang lebih produktif. Secara umum kondisi ini
terjadi pada industri pengolahan dan pengawetan daging periode 1990-2013 rata-

rata sebesar 28 persen. Kondisi tersebut terjadi pada masa setelah krisis yakni tahun

2000-2003 di mana pada periode tersebut merupakan kondisi stabil setalah melewati
masa krisis ekonomi tahun 1997/1998, sedangkan periode tahun 2008-2010 kembali

mengalami penurunan yang diakibatkan krisis ekonomi global tahun 2008. Kondisi
IRS juga terjadi pada tahun awal penelitian yakni 1990-1992, hal tersebut terjadi

terkait dengan kebijakan liberalisasi pada industri terutama pada tahun 1986 yang

efeknya masih dirasakan saat sampai saat sebelum krisis moneter. Pada saat itu
terjadi banyaknya teknologi dan inovasi serta investasi yang mendukung industri

pengolhan di Indonesia. Kondisi perekonomian yang stabil ikut mendorong

pertumbuhan industri tak terkecuali industri pengolahan daging.


c. Kondisi λ<1 maka derajat perubahan output sebagai hasil dari perubahan input

disebut derajat perolehan menurun (decreasing returns to scale). Kondisi ini terjadi
jika kenaikan output lebih kecil dari kenaikan input. Decreasing Returns to Scale

dapat terjadi karena meningkatnya skala operasi perusahaan namun terjadi


kesulitan dalam mengkoordinasikan berbagai aktivitas dengan baik dan efektif dan

juga dapat terjadi karena peningkatan biaya produksi terutama bahan baku dan
penolong yang bersumber dari bahan baku impor. Kondisi ini tidak mampu

memberikan nilai tambah dikarenakan proporsi biaya penggunaan input terlalu

berlebihan atau tidak proporsional dengan hasil produksi, Kenaikan nilai tukar
rupiah terhadap dolar US ikut mendorong kondisi ini terjadi pada periode tahun

2008-2010. Kondisi perekonomian dunia dan fluktuasi nilai tukar rupiah ikut
mendorong tingginya biaya bahan baku, biaya bahan bakar, serta kenaikan biaya

listrik, sehingga mempengaruhi tingginya biaya untuk menghasilkan produk olahan.

Kondisi ini bisa dilahat dari hasil input slack tahun 2008 yang terlihat terjadi excess
biaya input.

Hasil tersebut mempunyai makna bahwa saat ini industri pengolahan dan

pengawetan daging harus mengurangi jumlah/nilai input yang ada untuk mencapai
efisiensi. Pengalokasian input yang tidak tepat menjadi penyebab utama timbulnya

inefisiensi dalam industri pengolahan dan pengawetan daging. Apabila input yang
digunakan berlebihan atau terlalu sedikit maka akan menyebabkan perusahaan tidak

efisien. Kombinasi input yang tepat sangat penting dalam usaha pengolahan daging

yang memiliki risiko tinggi, apabila sudah mencapai full efficiency maka pada
gilirannya akan memberikan pendapatan yang maksimal untuk perusahaan.

Masih banyaknya perusahaan yang berada pada decreasing return to scale

sebesar 13 persen, dan constant retun to scale sebesar 61 persen pada industri
pengolahan dan pengawetan daging periode penelitian tahun 1990-2013, tidak dapat

dipisahkan dengan kondisi perekonomian di Indonesia secara umum. Pada periode


pasca krisis ekonomi sampai saat ini terlihat besarnya slack input yang artinya bahwa

alokasi penggunaan input tidak tepat sehingga cenderung akan menurunkan hasil dan

membuat biaya usaha produksi makin besar, dan pada awal tahun penelitian tahun
1990 sampai tahun 2007 yang masih berada pada increasing return to scale dan constan

return to scale, artinya dengan menambah jumlah input tertentu industri pengolahan

daging mampu mencapai efisiensi penuh, karena perusahaan enggan menangggung


risiko maka perusahaan tersebut cenderung berhati-hati dalam penggunaan input,

namun input yang dialokasikan mempengaruhi tingkat efisiensi usaha tersebut, dan
ada beberapa tahun industri pengolahan dan pengawetan daging sudah efisien dalam

mengalokasikan input sehingga berada pada kondisi constant return to scale.


Menurut Priyanto (2005), kondisi periode tahun 1990-2000 merupakan

implementasi kebijakan menteri keuangan tahun 1989 yang menurunkan tarif impor
daging sapi. Kondisi ini, dimana industri pengolahan dan pengawetan daging yang

mulai menggunakan daging impor sebagai bahan baku diuntungkan dengan adanya

pengenaan tarif impor daging yang menurun dari 40 persen tahun 1989 turun sampai
5 persen tahun 2000. Pada saat pengenaan tarif impor yang tinggi pada tahun 1989

sampai 40 persen, hal ini ikut mempengaruhi harga daging impor akan tetapi industri
pengolahan daging sebagian besar masih menggunakan daging sapi domestik sebagai

bahan baku. Seiring dengan penurunan tarif dan harga daging impor komposisi daging

impor juga meningkat digunakan sebagai bahan baku. Hal tersebut ikut berkontribusi
terbentuknya kondisi yang efisien dari segi biaya pada industri pengolahan dan

pengawetan daging di Indonesia.

4.3.2. Produktivitas Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging


Pengukuran produktivitas pada penelitian ini mengacu pada total factor

productivity (TFP) dari seluruh faktor yang digunakan, dan bukan produktivitas parsial,

seperti labor productivity maupun capital productivity. Pendekatan yang digunakan


dalam pengukurannya adalah Malmquist Productivity Index (MPI) yang menggunakan

program DEA Malmquist. Hasil perhitungan produktivitas diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.10. Produktivitas Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di


Indonesia

Tahun TFPch EFFch TECHch PEch SEch Tahun TFPch EFFch TECHch PEch SEch
1990 0 0 0 0 0 2002 90 96 92 105 90
1991 92 95 99 98 97 2003 103 97 106 101 143
1992 97 83 111 89 92 2004 93 121 78 103 112
1993 145 185 74 162 122 2005 198 103 190 107 100
1994 158 101 157 95 101 2006 86 105 82 96 107
1995 108 102 107 101 101 2007 92 100 92 99 101
1996 199 93 212 89 96 2008 108 102 106 102 99
1997 112 109 105 104 105 2009 151 105 141 153 106
1998 100 100 99 96 98 2010 131 99 122 94 108
1999 120 94 123 99 91 2011 127 106 123 108 100
2000 136 98 136 102 90 2012 216 101 211 101 100
2001 130 109 113 105 105 2013 58 84 64 93 96

INDEK PRODUKTIVITAS PERTUMBUHAN

TAHUN TFPch EFFch Tech PEch Sech TFPch EFFch Tech PEch Sech
1990-1995 1,20 1,13 1,09 1,09 1,02 20,11 13,06 9,44 9,18 2,45
1995-2000 1,29 0,99 1,30 0,99 0,97 29,17 -0,76 30,36 -1,37 -3,06
2000-2005 1,25 1,04 1,19 1,04 1,07 25,00 4,00 19,00 3,67 6,75
2005-2010 1,28 1,02 1,22 1,08 1,03 28,00 2,01 22,27 8,39 3,42
2010-2013 1,33 0,97 1,30 0,99 1,01 33,00 -2,58 30,08 -1,22 0,75

Rata-rata 1,19 1,04 1,14 1,04 1,03 19,00 4.00 14.00 4,0 3.00
Maksimum 2,16 1,85 2,12 1,62 1,43 116,25 84,92 111,85 61,97 43,47
Minimum 0,58 0,83 0,64 0,89 0,90 -42,27 -17,40 -35,89 -10,7 -9,98
Sumber: Diolah dari Lampiran No 6
Keterangan: EFFch = Efficiency Change; TECHch = Technical Change;
PEch = Pure Efficiency Change SEch = Scale Efficiency
TFPch = Total Factor Productivity Change

Dari Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata nilai Total Factor Productivity

(TFP) industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode tahun 1990-

2013 sebesar 1,19, artinya bahwa terjadi pertumbuhan rata-rata TFP rata-rata sebesar

19 persen pertahunnya. Indek TFP industri ini bervariasi antara 0,58 sampai 2,16,

besarnya variasi indek TFP ini menunjukan bahwa beragamnya tingkat produktivitas
dalam menghasilkan produksi. Besarnya variasi ini juga menunjukan bahwa,

produktvitas pada industri ini masih dapat ditingkatkan apabila semua perusahaan

mampu meningkatkan pertumbuhan technical change (TECHch), efficiency change

(EFFch), Pure Efficiency Change (PEch) dan scale efficiency (SEch) yang

pertumbuhannya masih belum optimal dimana technical change rata-rata tumbuh


sebesar 14,25 persen pertahun, sedangkan efficiency change dan scale efficiency masing

masing tumbuh rata-rata sebesar 3,7 persen dan 2,61 persen pertahun. Di samping itu

masih terdapat industri yang pertumbuhannya negatif -42,27 persen pada periode

1990-2013 yang masih berpotensi untuk ditingkatkan.


Gambar 4.6 Produktivitas Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging
Sumber: Diolah

Bila dilihat pertumbuhan secara per periode, pada periode tahun 1990-1995

merupakan pertumbuhan yang terendah selama periode penelitian yaitu 20,11 persen

yang merupakan kontribusi dari pertumbuhan Efficiency change yang tertinggi sebesar

13 persen, sedangkan kontribusi dari pertumbuhan technical change paling rendah


sebesar 9,44%. Pada periode tahun 1995-2000 terjadi peningkatan pertumbuhan Total

Factor Productivity sebesar rata-rata 19,11 persen, yang merupakan kontribusi

terutama dari technical change sebesar 30,36 persen, sedangkan efficiency change dan

scale efficiency masing masing berkontribusi negatif rata-rata sebesar -0,76 persen dan
-3,06 persen pertahun. Pada periode 1990-1995, dari sisi technical change terlihat

adanya proses learning by doing dalam mengadopsi teknologi karena perusahaan tidak

beroperasi pada kapasitas produksi maksimumnya (Modjo, 2006).

Margono and Sharma (2004) melaporkan bahwa pertumbuhan produktivitas


industri pengolahan di Indonesia menurun sebesar 0,5 persen dalam sektor

pengolahan makanan selama periode penelitian. Pertumbuhan produktivitas didorong

oleh kontribusi positif dari perubahan efisiensi teknis dan kontribusi negatif dari

kemajuan teknologi.

Pada periode 2000-2005 industri pengolahan dan pengawetan daging mengalami


penurunan pertumbuhan produktivitas dibandingkan dengan periode tahun 1995-

2000 menjadi 25 persen. Hal ini terkait dengan kondisi perekonomian masih berada

dalam proses konsolidasi di berbagai bidang pasca krisis ekonomi 1997/1998, termasuk

diantaranya adalah pembenahan iklim investasi agar kepercayaan investor dan dunia

usaha kembali meningkat. Penurunan pertumbuhan produktivitas tersebut didorong


oleh penurunan technical change menjadi 19 persen. Pada periode ini pertumbuhan

technical change yang menurun dapat diartikan sebagai penurunan production

frontier, yaitu penurunan kemampuan mesin-mesin dalam memproduksi, salah satu

kemungkinannya adalah akibat dari terhambatnya proses peremajaan mesin. Hasil ini

berbeda dari Ndari and Permono (2014), menemukan bahwa pada periode 2000-2004

terjadi pertumbuhan produktivitas yang tinggi, hal itu merupakan kontribusi positif
dari efficiency change dan technical change yang tinggi.

Pada periode 2005-2010 industri pengolahan dan pengawetan daging mengalami

peningkatan pertumbuhan produktivitas dibandingkan dengan periode tahun 2000-

2005 sebesar 28 persen. Peningkatan pertumbuhan produktivitas tersebut didorong

oleh peningkatan pertumbuhan dari technical change menjadi 22,27 persen, sedangkan
efficiency change dan scale efficiency mengalami penurunan 2 persen dan 3,42 persen.

Hasil ini berbeda dengan yang ditemukan Ndari and Permono (2014), bahwa pada

periode 2005-2009 terjadi penurunan pertumbuhan produktivitas hanya didorong oleh

kontribusi positif dari efficiency change tinggi sedangkan technical change yang rendah.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh dari krisis keuangan global tahun 2008
yang mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi teknis dan skala.
Pada periode 2010-2013 industri pengolahan dan pengawetan daging mengalami

peningkatan pertumbuhan produktivitas tertinggi dibandingkan dengan periode

sebelumnya sebesar 33 persen. Peningkatan pertumbuhan produktivitas tersebut

didorong oleh peningkatan pertumbuhan dari technical change mencapai 30,08 persen,

sedangkan efficiency change mengalami pertumbuhan – 2,58 persen dan scale efficiency

sebesar 075 persen. Hal ini dapat disebabkan oleh krisis keuangan global tahun 2008
yang masih memiliki efek sampai periode 2010-2013, akibatnya masih tingginya biaya

bahan baku, bahan bakar, gaji dan biaya pengeluaran lain yang berakibat pada

rendahnya tingkat efisiensi dalam produksi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2) dan empat perusahaan terbesar
(CR4) industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode tahun
1990-2013 rata-rata 51 persen dan 69 persen. Rasio konsentrasi tersebut
disumbangkan dari rasio konsentrasi industri pengolahan dan pengawetan daging
ayam dan lainnya sebesar 79 persen (CR2) dan sebesar 92 persen (CR4) serta
daging sapi sebesar 56 persen (CR2), 79 persen (CR4) yang termasuk oligopoli ketat
bahkan menuju duopoli sehingga persaingan pada industri ini kurang kompetitif.

2. Nilai kolusi pada industri pengolahan daging secara nasional pada periode 1990-

2013 rata-rata 0,32, masih dibawah 0,5, artinya bahwa kolusi yang terjadi masih

rendah. Nilai kolusi tersebut disumbangkan oleh nilai kolusi pada industri
pengolahan dan pengawetan daging sapi sebesar 0,35 dan daging ayam sebesar

0,18.

3. Efisiensi teknis (technical efficiency) indutri pengolahan dan pengawetan daging di

Indonesia periode 1990-2013 dengan model CRS sebesar 0.887 dan model VRS

sebesar 0.951. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata inefisiensi teknis


(technical inefficiency) dapat dikurangi sebesar 11,3 persen pada model constant

return to scale (CRS) dan 4,9 persen pada model variable return to scale (VRS).

Rata-rata efisiensi skala (scale efficiency) selama periode penelitian adalah 0,932,
dimana mengindikasikan bahwa masih memiliki peluang yang potensial untuk

meningkatkan efisiensi skala di industri pengolahan dan pengawetan daging


sebesar 6,8 persen atauscale inefficiency dapat dikurangi atau diturunkan sebesar

6,8 persen. Hal ini menunjukan bahwa skala ekonomis industri pengolahan dan

pengawetan daging dibawah angka 1 menunjukan bahwa industri ini berada pada

skala disekonomis atau pada derajat decrreasing return to scale.

4. Total Factor Productivity (TFP) industri pengolahan dan pengawetan daging di

Indonesia periode tahun 1990-2013 sebesar 1,19, artinya bahwa terjadi


pertumbuhan rata-rata TFP rata-rata sebesar 19 persen pertahunnya.

Pertumbuhan TFP merupakan kontribusi yang berasal dari pertumbuhan

technical change (TECHch) rata-rata sebesar 14,25 persen pertahun, sedangkan

efficiency change (EFFch) dan scale efficiency (Sech) masing masing tumbuh rata-

rata sebesar 3,7 persen dan 2,61 persen pertahun.


5.2. Saran

1. Negara yang kaya harus memiliki kedaulatan pangan yang kuat tidak terkecuali

berdaulat atas bahan pangan daging sehingga mampu memenuhi kebutuhan


domestik (ketahanan pangan) bahkan ekspor ke mancanegara, sehingga juga
dapat memberikan kesempatan yang luas kepada peternak untuk meningkatkan
produksi. Namun upaya untuk mewujudkannya tidak mudah, karena peningkatan
produksi dihadapkan pada persoalan kapasitas produksi dan kendalanya.
Persoalan di sektor produksi, penyediaan bibit/benih/bakalan, bahan baku, dan
input produksi lainnya, yang masih tergantung pada pasokan impor. Persoalan di
sektor pengolahan masih belum tersedianya bahan baku daging yang cukup,
sesuai kualitas dan harga menjadi sulit bertemunya titik equilibrium antara supply
–demand peternak dengan pengusaha. Dalam menyikapi persoalan ini maka
respon dari pelaku pasar, baik peternak, pengusaha yang selama ini memasok
kebutuhan komoditas dan input produksi komoditas dipertemukan pemerintah
sebagai regulator. Kebijakan terhadap bahan baku industri pengolahan dan
pengawetan daging harus dikelola dan menjadi perhatian yang serius untuk mecegah

terjadinya anti persaingan dipasar bahan baku daging.

3. Ketergantungan dengan bahan baku daging impor harus mampu diatasi pemerintah
dengan memberikan insentif dan pendidikan dan latihan terhadap peternak/

bucher penyedia bahan baku daging yang memenuhi persyaratan kualitas dan

kontinyuitas dari produksi ternak sebagai sumber bahan baku daging.

4. Harus diakui bahwa peternak sapi berskala kecil yang selama ini menjadi basis
penyediaan daging sapi domestik di Indonesia, hanya sedikit peternak yang
berskala menengah atau besar sehingga perlu yang seharusnya mereka perlu
diberdayakan sebagai meat producer.
5. Hal yang menarik untuk dikaji adalah mata rantai pemasaran daging impor,

dimana pola distrubusinya dapat melalui berbagai alur, yakni secara langsung
dari importir ke hotel atau restoran tertentu atau dapat juga dari importir ke
distributor terlebih dahulu, kemudian didisitribusikan ke hotel, supermarket,
meatshop dan pedagang pengecer di pasar tradisional.
7. Kebutuhan industri yang masih tergantung dengan bahan baku impor,

pemerintah perlu membatasi impor dengan sistem prioritas utility. Prime cut meat

dan secondary cut meat untuk daging konsumsi hotel berbintang, restoran, pasar

modern, meatshop,maupun ada yang masuk ke pasar tradisional untuk konsumsi


masyarakat perlu dibatasi mengingat hal ini akan berdampak besar terhadap

pertumbuhan industri peternakan di Indonesia, akan tetapi untuk Variation meat

khususnya jenis trimming meat dominan untuk bahan baku industri pengolahan

daging perlu diberikan kuota sesuai dengan kapasitas produksi terpasang industri

tersebut.

8. Pemerintah perlu mendorong industri pengolahan yang menggunakan daging


impor sebagai bahan baku untuk melakukan ekspor produk jadi sehingga dapat

memberikan nilai tambah bagi industri dan negara, sementara juga

mempersiapkan infrastruktur industri pemotongan hewan yang dapat

menyediakan bahan baku khusus untuk industri pengolahan dan pengawetan

daging. Menurut Firman dan Rahayu (2006) satu hal yang sering dijadikan acuan
bahwa sektor tersebut memiliki nilai keunggulan komparatif (comparative
advantage) adalah input primer yang digunakan sebagai bahan baku dasar berasal
dari sumber daya lokal (local content) dan output yang dihasilkan diusahakan
untuk ekspor, sehingga nilai net ekspor – impornya akan surplus.
9. Hambatan dalam distribusi produk olahan dan bahan baku yaitu infrastruktur
transportasi harus diperbaiki dan sediakan oleh negara, Hal ini telah menjadi

beban biaya tersendiri bagi pemasaran produk. Sebagai ilustrasi untuk negara

kompetitor seperti Malaysia membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah untuk

mengirim produk ke Kalimantan dan Sumatera dibanding industri dalam negeri

yang umumnya berlokasi di Jawa dan Bali. Begitu pun Filipina akan jauh lebih
murah jika mengirim ke wilayah perbatasannya dengan Indonesia. Di lain pihak

pengiriman antar daerah di Indonesia saja, juga adakalanya dipersulit dengan

pungutan dari Peraturan daerah tertentu.

10. Perlu kebijakan menuju perspektif spasial pembangunan industri, dengan

berbasis kluster (industrial clusters/districts) yang dicirikan konsentrasi geografis

dan spesialisasi sektoral. Dengan kata lain, kluster merujuk pentingnya spesialisasi
dalam suatu daerah geografis yang berdekatan.

5.3. Implikasi Kebijakan

Peluang pasar daging olahan yang besar dan cukup menjanjikan menyebabkan

persaingan yang ketat diantara para produsen daging olahan di Indonesia untuk

memperoleh keuntungan usaha. Peluang pasr tersebut bahkan sangat menggiurkan bagi

pelaku usaha dari negara tetangga. Persaingan yang ketat dapat menimbulkan perilaku
curang diantara produsen besar dengan melakukan perilaku kolusi untuk menguasai

pasar baik pada pasar input bahan baku daging maupun pasar output. Untuk menghindari

perilaku anti persaingan perlu dibuatkan kebijakan-kebijakan. Berdasarkan hasil estimasi

dan analisis digunakan dalam model penelitian ini dapat dibuat beberapa implikasi

kebijakan yang terkait dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Konsentrasi yang tinggi pada industri pengolahan dan pengawetan daging di

Indonesia berpengaruh positif terhadap kolusi serta negatif terhadap efisiensi dan

produktivitas. Tingginya konsentrasi industri pada periode tahun 1990-2013 tidak

memberikan dampak positif terhadap peningkatan efisiensi dan produktivitas

namaun cenderung terbentuknya kolusi. Tingginya konsentrasi ini menyebabkan


pertumbuhan unit usaha dalam industri ini menjadi lamban karena persaingan tidak

sehat yang terbukti selama periode 1990-2013 dengan rata-rata CR2 lebih dari 50
persen dan CR4 rata-rata 69 persen sehingga industri ini tidak melakukan efisiensi, hal

ini akan merugikan konsumen. Kebijakan perlu dilakukan adalah untuk mengurang

tingkat konsentrasi yang tinggi yang juga akan mengurangi tingkat kolusi pada
industri pengolahan dan pengawetan daging maka kepada pelaku usaha diberikan

akses yang sama terhadapa bahan baku, barang modal, akses teknologi, hubungan

pemasaran dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia untuk meningkatkan

efisiensi dan produktivitas sehingga dapat mengurangi industri yang terkonsentrasi

dan kolusi.
2. Perilaku kolusi terbentuk karena adanya pengaruh positif dari konsentrasi, intensitas

impor, regulasi impor dan produktivitas. Konsentrasi yang tinggi akan cenderung

membentuk kolusi. Intensitas impor yang terus dikurangi dari tahun 2007 sehubungan

dengan program swasembada daging sapi 2014 telah memicu kecenderungan

terjadinya kolusi. Intensitas impor yang meningkat akan mendorong terjadinya kolusi

bila industri pengolahan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. Peningkatan


produktivitas yang terjadi akibat dari penggunaan teknologi yang terjadi untuk pada

perusahaan yang bermodal besar sehingga mendorong terbentuknya kolusi. Kebijakan

yang diambil, perlu di tinjau kembali kebijakan impor daging yang lebih bijaksana

agar pihak industri pengolahan dapat survive dan pihak peternak dapat berkembang

dengan cara kebijakan impor yang selektif khususnya bahan baku industri
pengolahan daging sambil memperbaiki industri peternakan nasional.

3. Efisiensi dan produktivitas, Efisiensi dipengaruhi signifikan negatif oleh konsentrasi

dan kolusi, sehingga untuk meningkatkan efisiensi maka harus dilakukan usaha

menurunkan tingkat konsentrasi dan kolusi. Produktivitas dipengaruhi secara

signifikan negatif oleh konsentrasi dan regulasi pembebasan impor, serta secara
positif oleh intensitas impor dan kolusi. Pembebasan impor produk olahan daging ke

Indonesia telah menurunkan produktivitas, sedangkan peningkatan impor daging

mampu meningkatkan produktivitas industri ini. Untuk itu perlu dilakukan regulasi

impor dan mendorong ekspor untuk produk industri ini dengan sehigga dapat

mengurangi industri terkonsentrasi yang cenderung kolusif agar terbentuk efisiensi

dan produktivitas. Pentingnya efisiensi dan produktivitas dalam meningkatkan daya


saing industri pengolahan dan pengewetan daging di Indonesia menyongsong
diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang tentunya produk

daging olahan yang akan bersaing dipasar dengan produk olahan dari luar sehingga

untuk dapat bersaing bukan saja harga yang akan menjadi patokan akan tetapi

kualitas dan produktivitas inovasiyang meanikan keunggulan produk yang dihasilkan

harus mampu memenuhi ekspektasi konsumen

ANALISIS KONSENTRASI, PERILAKU KOLUSI, EFISIENSI,


PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN DAGING DI
INDONESIA

Sebagian Hasil

DISERTASI

KOLOKIUM II
SEMINAR HASIL PENELITIAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor


pada
Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi Kekhususan Industri dan Agribisnis
Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya

Oleh:

J A F R I Z A L
NIM 01123601007
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

APRIL 2015

Dr. drh. Jafrizal - Palembang di 03.53

Berbagi 0

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

‹ Beranda ›
Lihat versi web

Mengenai Saya

Dr. drh. Jafrizal - Palembang


Ikuti 17

Dokter hewan profesional


Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai