Bandung, misalnya PT. Badranaya, produsen sosis ini telah beroperasi sejak jaman
Belanda dan baru didirikan secara legal pada tahun 1975, sementara PT. Canning
Indonesia Product (CIP) di Bali, produsen kornet sapi dalam keleng merk Pronas telah
berdiri sejak tahun 1942. Selain itu, di Bali juga telah lama berdiri pabrik sosis seperti
PT. Titeles pada tahun 1955 dan PT. Aroma Duta Rasaprima telah berdiri tahun 1978,
yang utamanya memproduksi produk olahan dari babi. Tapi awal era perkembangan
yang lebih cepat dimulai dengan berdirinya PT Kemang Food Industries di Jakarta
pada tahun 1978, kemudian diikuti oleh perusahaan besar lain seperti PT. Madusari
Nusa Perdana, PT. San Miguel, PT. Purefoods, PT. Eloda Mitra, kemudian PT. JAPFA, PT.
Prima Food, PT. Belfoods, PT. Kibeef, dan PT. Dagsap. Total yang kini terdaftar di
Badan Pusat Statistik sampai tahun 2014 berjumlah 49 perusahaan, sedangkan yang
didominasi oleh dua industri pengolahan yakni industri pengolahan daging sapi dan
pengawetan daging ayam. Industri pengolahan dan pengawetan daging sapi dimulai
sejak tahun 1942 sedangkan industri pengolahan ayam mulai berkembang sejak tahun
1976. Sebelum tahun 1976, industri pengolahan lebih didominasi industri pengolahan
dengan bahan baku daging sapi dan babi. Namun, belakangan ini, 65 persen
didominasi oleh industri pengolahan daging ayam. Industri pengolahan daging sapi
dengan produk utamanya adalah bakso dan sosis., sedangkan untuk industri
(http://www.agrina-online.com).
sedang di Indonesia rata-rata sekitar 3.8 persen pertahun, dari 26 unit usaha pada
tahun 1990 menjadi 49 unit pada tahun 2013. Data perkembangan industri tersebut
Tabel 4.1 Perkembangan Unit Usaha Industri Pengolahan dan Pengawetan daging
di Indonesia
TAHUN KBLI UNIT TAHUN KBLI UNIT
1990 15112 26 2002 15112 25
1991 15112 24 2003 15112 25
1992 15112 23 2004 15112 26
1993 15112 25 2005 15112 26
1994 15112 28 2006 15112 36
1995 15112 26 2007 15112 39
1996 15112 29 2008 15112 40
1997 15112 27 2009 15112 42
1998 15112 28 2010 15112 47
1999 15112 28 2011 15112 45
2000 15112 25 2012 15112 49
2001 15112 28 2013 15112 49
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Besar dan sedang Indonesia
pengawetan daging pada tahun 2008-2012 meningkat sebesar 11.36 persen yakni
sebanyak 44 unit tahun 2008 menjadi 49 unit tahun 2012. Pertumbuhan tersebut
merupakan kontribusi dari industri pengolahan berbasis daging ayam dan lainnya
sebesar 17 persen sedangkan perusahaan yang berbasis daging sapi tidak mengalami
pertumbuhan.
Tabel 4.2. Lokasi, Jumlah Perusahaan Pengolahan dan Pengawetan Daging di
Indonesia
Tahun 2008 Tahun 2013
Daging Daging
Daging Daging
Provinsi Ayam & Total Ayam & Total
Sapi Sapi
Lainya (Unit) Lainya (Unit)
(unit) (Unit)
(Unit) (Unit)
Jawa Barat 8 1 9 7 3 10
Jawa Tengah 5 2 7 5 3 8
Jawa Timur 5 3 8 5 4 9
Banten 5 3 8 7 4 11
DKI Jakarta 2 0 2 2 0 2
Bali 4 3 7 3 2 5
Kalimantan Timur 1 1 2 1 1 2
Lampung 0 0 0 1 1
NTT 1 0 1 1 0 1
Jumlah 31 13 44 31 18 49
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Besar dan sedang Indonesia
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa terjadi fenomena bertambah
dan pengawetan daging di Indonesia, industri ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Pada tahun 2008 sebanyak 34 unit dari 44 unit usaha atau sebesar 77,2 persen berada
di pulau Jawa dan pada tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 40 unit dari 49
unit usaha atau sebesar 81.6 persen. Peningkatan investasi di pulau Jawa pada tahun
2009 sebesar Rp. 1.9 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp. 1.3 triliun. Penurunan nilai
produksi tersebut diikuti dengan turunnya jumlah tenaga kerja. Kondisi berbeda pada
saat krisis ekonomi tahun 1997/1988 yang memberikan dampak bagi sebagian besar
kinerja industri di Indonesia, namun dampak tersebut tidak terlihat mempengaruhi
kinerja industri pengolahan dan pengawetan daging. Pada periode tahun 1996-1999
justru nilai produksi industri pengolahan terus mengalami pertumbuhan dari Rp.
Tabel 4.3. Pertumbuhan Produksi, Nilai Tambah dan Tenaga Kerja Industri
Pengolahan Daging Periode Tahun 1995-2012.
Tahun Produksi (M Rp) Growth ( %) Tenaga Kerja Growth (%)
(Orang)
1996 100.7 46,9 2273 12,2
1997 117.0 16,2 2532 11,4
1998 156.1 33,4 2634 4
1999 199.7 27.9 2776 5.4
2000 206.6 3.5 2565 -7,6
2007 858 -4,5 6299 27,6
2008 2.302 159,4 5990 -7,8
2009 1.830 -18,3 5686 -2,1
2010 1.309 -31.2 6090 -21.8
2011 1.312 0,23 6477 6,4
2012 1.985 51,3 6523 0,7
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia
kuota importasi daging dan sapi yakni: Pertama; Peraturan Menteri Pertanian Nomor
59/Permentan/HK.060/8/2007 yang diperbaharui dengan Peraturan Kementerian
Pertanian No 19/OT 410/ 2010 tentang Progam Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang
salah satu sasarannya adalah tercapainya penurunan impor sapi dan daging sehingga
daging, jeroan dan olahan ternak ke dalam negeri yang menyimpulkan bahwa kegiatan
impor akan dibatasi untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan yang berasal dari
ini berisi tentang stabilitas harga daging sapi. Harga daging sapi yang terus melonjak
sepanjang tahun 2012 hingga 2013 membuat Menteri Perdagangan memutuskan untuk
menghapus peraturan pembatasan kuota impor sapi. Hal ini dikarenkan tidak
mampunya sumber daya ternak lokal untuk memenuhi kebutuhan nasional yang
semakin besar yang akhirnya menimbulkan inflasi pada harga daging sapi.
Pada tahun 2013 juga dikelurkan Peraturan Menteri Pertanian No. 84 Tahun
2013 Pasal 9, yang menyebutkan bahwa produk olahan yang menggunakan bahan baku
berasal dari negara belum bebas Penyakit Mulu Kuku (PMK), Vescular Stomatis (VS),
Swine Vesicular Desease (SVD), dapat dipertimbangkan diimpor jika telah dipanaskan
lebih dari 80°C selama 2-3 menit dan berasal dari daging ruminansia yang telah
dilayukan, sehingga pH daging di bawah 5,9 dan dipisahkan linfoglandula (deglanded)
supermarket; (ii) Secondary cut meat untuk meatshop, pasar tradisional, rumah tangga;
(iii) Variation meat khususnya jenis trimming meat dominan digunakan untuk bahan
baku industri pengolahan daging seperti kornet, sosis, bakso; (iv) Offal digunakan pada
industri pengolahan dan industri kuliner tradisional seperti konro, coto, rujak cingur,
tahun 2013 masih rendah yakni sebesar 12.9 kg/kapita/tahun bila dibandingkan
beberapa negara seperti Malaysia sebesar 53.3 kg/kapita/tahun, Jepang sebesar 48.8
daging ayam sebesar 7.6 kg/kapita/tahun dan dari ternak lainnya sebesar 3.08
kg/kapita/tahun, angka ini jauh dibawah standar konsumsi daging yang dicanangkan
FAO yakni sebesar 33 kg/kapita/tahun (Tabel 4.4).
sebanyak 60 ribuan Ton pertahunnya. Sedangkan produksi daging ayam sudah mampu
memproduksi sesuai dengan kebutuhan konsumsi dalam negeri (Tabel 4.5).
Tingkat konsumsi yang dikeluarkan Kementerian Pertanian tahun 2013 tersebut
berbeda dengan laporan National Meat Processor Association Indonesia (NAMPA) (2014),
Konsumsi daging unggas terus mengalami peningkatan dari 4,99 kg/kapita/tahun pada
tahun 2010, berturut-turut meningkat menjadi 6,28 kg (2011), 6,97 kg (2012), 8,08 kg
(2013), dan diprediksi menjadi 9,15 kg/kapita/tahun pada 2014. Sedangkan konsumsi
daging sapi meningkat dari 2,1 kg/kapita/tahun (2012) menjadi 2.22 kg/kapita/tahun
(2013) (http://www.agrina-online.com).
Tabel 4.5. Penyediaan, Konsumsi Daging Ayam Ras dan Sapi Tahun 2009-2012 serta
Prediksi Tahun 2013 (dalam ribu
ton).
No. Uraian Tahun
2009 2010 2011*) 2012*) 2013**)
Ayam Sapi Ayam Sapi Ayam Sapi Ayam Sapi Ayam Sapi
A. Penyediaan (000 613 313 671 352 776 356 812 344 858 359
Ton)
1 Produksi Dalam 610 245 671 262 776 291 812 283 858 294
Negeri (000 ton)
2 Impor (000 ton) 3 68 0 91 0 65 0 61 0 65
3 Ekspor (000 ton) 0 0 0 0 0 0 0 0
B. Konsumsi (000 582 313 637 352 737 356 772 344 815 359
ton)
C. Konsumsi 2,52 1,29 2,64 1,39 3,06 1,38 3,15 1,41 3,28 1,45
(Kg/kapita/tahun)
Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
Peningkatan konsumsi daging sapi tersebut disebabkan konsumsi daging
awetan dan makanan jadi pada tahun 2012 sebesar 0,53 kg dan 1,4 kg. Bila dicermati
pada tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada konsumsi daging sapi
kg/kapita/tahun. Selama periode tahun 2010-2013 konsumsi daging sapi rumah tangga
terlihat mengalami kecendrungan menurun, walaupun ketersediaan Neraca Bahan
Makanan (NBM) mengalami peningkatan, namun tetap saja mengalami defisit yang
signifikan bila dibandingkan dengan total konsumsi rumah tangga. Hal ini sangat
Tabel 4.6. Perbandingan konsumsi daging sapi total per kapita rumah tangga
(SUSENAS) dengan ketersediaan daging sapi (NBM), 2010 – 2016
(Kg/Kapita/Tahun).
No Uraian 2010 2011 2013 2014*) 2015*) 2016*)
1 Ketersediaan Daging Sapi 1,39 1,4 1,55 1,69 1,69 1,77
Konsumsi Total Daging Sapi
2 **) 2,3 2,43 2,63 2,34 2,31 2,27
3 Selisih -0,91 -1,03 -1,08 -0,65 -0,62 -0,5
Sumber : Susenas, BPS dan NBM, BKP Kementan (2013)
Keterangan : *) Angka Prediksi **) Total konsumsi : akumulasi konsumsi daging sapi
segar, awetan dan olahan nasional
4.2 Analisis Struktur Perilaku dan Kinerja Industri Pengolahan dan Pengawetan
Daging
Terdapat tiga pemikiran dalam menganalisis hubungan antara struktur pasar
dan kinerja dengan menggunakan paradigma Structure Conduct Performance (SCP).
Pertama, hipotesis tradisional yang mendasarkan pada perilaku kolusi, kedua, hipotesis
diferensiasi yang mendasarkan pada perilaku diferensiasi produk dan yang ketiga,
hipotesis efisiensi yang mendasarkan pada perilaku efisiensi pasar (Carlon and Perlof,
2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis seberapa kuat pengaruh dari
konsentrasi, kolusi, efisiensi dan produktivitas industri pengolahan dan pengawetan
daging di Indonesia.
perusahaan dalam industri ialah nilai rasio konsentrasi (Kuncoro, 2007). Struktur
industri tidak hanya dilihat dari berapa jumlah perusahaan yang bersaing di dalamnya,
namun juga dilihat dari seberapa besar penguasaan perusahaan tertentu terhadap total
pasar di industri tersebut atau yang dikenal dengan pangsa pasar. Pangsa pasar
industri pengolahan dan pengawetan daging terdiri dari pangsa pasar output,
turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset yang diukur dengan Rasio
Konsentrasi empat (Concentration Ratio/ CR). Dari data hasil penelitian diketahui Rasio
Konsentrasi empat perusahanaan terbesar (CR4) dan Rasio Konsentrasi dua
(CR4) serta daging sapi sebesar 56 persen (CR2), 79 persen (CR4). Kurang sehatnya iklim
persaingan subsektor ini karena beroperasi dalam kondisi oligopoli yang memiliki
persaingan yang rendah. Ini terbukti dari selama periode 1990-2013 subsektor industri
ini memiliki indeks konsentrasi dua perusahaan (CR2) di atas 50 persen. Hal ini
empat perusahaan terbesar (CR4) memiliki pangsa pasar antara 60-100 persen (Jaya,
2008).
Gambar 4.1 Konsentrasi Dua Perusahaan Terbesar (CR2) Industroi Pengolahan dan
Pengawetan Daging
Sumber : Diolah
Gambar 4.2 Konsentrasi Empat Perusahaan Terbesar (CR4) Industri Pengolahan
dan Pengawetan Daging
Sumber : Diolah
diduga menyebabkan kolusi efektif. Kolusi dapat diketahui melalui salah satu cara
yakni mengetahui nilai konjectural variation dengan metode pengujian kolusi
didasarkan model Cowling dan Waterson (1976) dan dikembangkan oleh Clarke and
Davis (1982). Clarke et al., (1984) mengembangkan model dengan mempertimbangkan
sulitnya untuk mengetahui perbedaan antara harga dan biaya marjinal. Model yang
dikembangkan dengan asumsi bahwa sejumlah industri memproduksi barang yang
homogeneous dengan biaya marjinal yang sama untuk perusahaan yang memiliki
jumlah output yang sama. Nilai kolusi yang diestimasi dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel. 4.8 Kolusi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia
Tahun Nasional Sapi Ayam Tahun Nasional Sapi Ayam
1990 0,178 0,195 0,076 2002 0,331 0,357 0,247
Dari Tabel 5.2 di atas dapat dilihat bahwa nilai kolusi (a) pada industri
pengolahan daging secara nasional pada periode 1990-2013 rata-rata 0,32 yang
disumbangkan oleh nilai kolusi pada industri pengolahan dan pengawetan daging sapi
sebesar 0,35 dan daging ayam sebesar 0,18. Pada periode tahun 1990-1995 nilai kolusi
masih berada pada nilai rata-rata sebesar 0,189, terjadi peningkatan nilainya pada
tahun 1996-1997 0,448 kembali turun pada periode 1998 dengan nilai 0,193,
peningkatan nilai kolusi disumbangkan oleh nilai kolusi pada industri pengolahan
daging sapi. Kecenderungan terbentuknya kolusi terlihat pada saat krisi ekonomi
tanun 1997 terjadi penurunan impor daging sapi yang disebabkan karena kenaikan
harga daging sapi impor. Kenaikan harga daging sebagai bahan baku ikut mendorong
meningkat sampai tahun 2013 yakni sebesar 0,56. Pada periode 2008-2013 terjadi
kecenderungan terbentuknya kolusi hal ini terlihat dari nilai cojuctural variation di
atas 0.5. Menurut Bank Indonesuia (2008), kondisi ini merupakan pengaruh
pertumbuhan ekonomi dunia yang turun pada tahun 2008, selain disebabkan oleh
krissi keuangan global, juga akibat dari melambungnya harga minyak dunia yang
menyentuh level USD 145 per barel. Di samping itu, kebijakan domestik pengurangan
kuota impor sampai 10 persen yang diterapkan pemerintah yakni Peraturan Menteri
komoditas impor makanan terutama daging sapi, hal itu mendorong terbentuknya nilai
kolusi pada industri ini sampai tahun 2013. Nilai cojuctural variation industri
mark-up ratio atau price-cost margin selalu timbul. Selain itu adanya beberapa industri
yang berperilaku pro-cyclical dalam menentukan harga jual dimana kenaikan
sebelum krisis ekonomi (1993-1997) memiliki nilai cojuctural variation yang lebih
rendah dibandingkan dengan periode setelah krisis ekonomi (1998-2000). Khusus
untuk industri pengolahan dan pengawetan daging ditemukan nilai cojuctural variation
pada periode 1993-1997 sebesar 0,02 sedangkan pada periode 1998-2000 nilainya
negatif.
seberapa banyak jumlah input dapat dikurangi (input reducing) secara proporsional
tanpa mengubah kuantitas output yang diproduksi. Model VRS ini beranggapan bahwa
perusahaan dalam industri pengolahan dan pengawetan daging tidak atau belum
beroperasi pada skala yang optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara
penambahan input dan output tidak sama (variable return to scale), artinya
penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x
memproduksi output sebanyak mungkin dengan input dan teknologi yang ada atau
outputnya yang didapat melalui pengurangan setidaknya satu output lainnya atau
peningkatan setidaknya satu input, serta bila penurunan satu input didapatkan melalui
peningkatan satu input lainnya atau penurunan setidaknya satu output. Oleh karena
itu perusahaan yang secara teknis efisien akan mampu memproduksi output yang
sama setidaknya satu input yang lebih sedikit atau dengan menggunakan input yang
sama akan mampu menghasilkan setidaknya satu output yang lebih banyak.
perusahaan yang efisien, sehingga perusahaan/ industri yang berada dalam garis
frontier yang sama termasuk perusahaan yang inefficient setelah mengurangi
(meningkatkan) jumlah input (output) yang mereka miliki agar bisa beroperasi relatif
harus melakukan salah satunya adalah dengan menaikkan (menurunkan) nilai output
(input) sebesar nilai radial movement dan slack movement dari hasil perhitungan DEA.
Disamping itu bisa dilakukan perusahaan inefficient (manager) adalah harus
dan pengawetan daging di Indonesia periode 1990-2013 dengan model CRS rata-rata
sebesar 88,7 persen dengan nilai minimum-maksimum berada antara 72 – 99 persen
dan model VRS rata-rata sebesar 95,1 persen dengan nilai minimum-maksimum
berada antara 83 – 100 persen serta efisiensi skala (Scale) rata-rata sebesar 93 persen
dengan nilai minimum-maksimum berada antara 79-100 persen. Secara keseluruhan
rata-rata tingkat efisiensi teknis masih berada dibawah nilai optimal 100 persen yaitu
sebesar 94 persen. Artinya bahwa industri pengolahan dan pengawetan daging hanya
mampu beroperasi dalam mengoptimalkan sumberdaya yang ada sebesar 94 persen.
Masih memungkinkan bagi perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi
efisiensi teknisnya dengan mengurangi tingkat inefisiensi teknis (technical inefficiency)
pada model constant return to scale (CRS) dan sebesar 6 persen dengan nilai
maksimum sebesar 17 persen pada model variable return to scale (VRS) dengan tanpa
menambah biaya.
Efisiensi teknis pada periode tahun 1990-1995 rata-rata sebesar 94 persen model
VRS dan 92 persen model CRS, dengan skala efisiensi tertinggi rata-rata sebesar 98
persen. Secara keseluruhan pada periode 1990-1995 memiliki rata-rata tingkat efisiensi
teknis masih berada dibawah nilai optimal 100 persen, artinya bahwa industri
persen pada model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 2 persen. Masih
memungkinkan bagi perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi
teknisnya dengan mengurangi tingkat inefisiensi teknis (technical inefficiency) dalam
penggunaan input.
Tabel 4.9 Nilai Efisiensi Metode DEA-VRS berorientasi Input (Persen)
Secara tahunan, pada tahun 1992 merupakan periode dengan tingkat efisiensi
teknis yang terendah sebesar 83 persen model VRS dan 72 persen pada model CRS,
sedangkan yang tertinggi adalah tahun 1995 sebesar 100 persen pada model VRS dan 99
pada model CRS. Secara umum pada periode ini berada pada posisi increasing return to
scale (IRS), yang mengindikasikan bahwa dengan penambahan input tertentu pada
masih akan dapat meningkatkan efisiensi pada industri pengolahan dan pengawetan
daging pada periode 1990-1995. Pada tahun 1992 terjadi penurunan efisiensi yang
disebabkan oleh kenaikan pengeluaran biaya input bahan bakar dan biaya input
persen model VRS, 92 persen pada model CRS dan 97 persen pada efisiensi skala. Secara
keseluruhan, periode ini belum mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100 persen.
Artinya bahwa masih dapat dioptimalkan tingkat efisiensi teknis dengan
mengoptimalkan sumberdaya sebesar 5 persen pada model VRS dan 8 persen pada
model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 3 persen. Masih memungkinkan bagi
perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan
Pada periode ini terjadi kondisi constant return to scale tahun 1996 dan tahun 1998
yang memiliki skala optimal 100 persen, sedangkan tahun 1997, 1999 dan tahun 2000
persen model VRS, 82 persen pada model CRS dan 88 persen pada efisiensi skala. Secara
keseluruhan, periode ini belum mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100 persen.
Artinya bahwa masih dapat dioptimalkan tingkat efisiensi teknis dengan
mengoptimalkan sumberdaya sebesar 7 persen pada model VRS dan 18 persen pada
model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 12 persen. Masih memungkinkan bagi
perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan
scale (CRS) sebesar 28 persen, yang berada increasing return to scale (IRS) sebesar 45
persen dan yang berada pada posisi decreasing return to scale (DRS) sebesar 26 persen.
Periode tahun 2005-2010 memiliki rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 94
persen model VRS, 87 persen pada model CRS dan 92 persen pada efisiensi skala.
Secara keseluruhan, periode ini belum mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100
persen, artinya bahwa masih dapat dioptimalkan tingkat efisiensi teknis dengan
mengoptimalkan sumberdaya sebesar 6 persen pada model VRS dan 13 persen pada
model CRS, sedangkan skala inefisiensi sebesar 8 persen. Masih memungkinkan bagi
perusahaan atau industri ini untuk meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan
berpengaruh terhdap kondisi ekonomi secara keseluruhan, akan tetapi secara umum
kondisi industri pengolahan dan pengawetan daging masih berada pada constant
return to scale (CRS) sebesar 16 persen, yang berada increasing return to scale (IRS)
sebesar 64 persen dan yang berada pada posisi decreasing return to scale (DRS) sebesar
20 persen.
Periode tahun 2010-2013 memiliki rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 92
persen model VRS, 82 persen pada model CRS dan 90 persen pada efisiensi skala.
Secara keseluruhan, periode ini merupakan periode dengan tingkat efisiensi yang
terendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara umum periode ini belum
mencapai tingkat efisiensi optimal sebesar 100 persen, artinya bahwa masih dapat
sebesar 10 persen. Masih memungkinkan bagi perusahaan atau industri ini untuk
meningkatkan lagi efisiensi teknisnya dengan mengurangi tingkat inefisiensi teknis
(technical inefficiency) dalam penggunaan input. Pada periode ini, walaupun terjadi
kondisi krisis ekonomi akan tetapi secara umum kondisi industri masih berada pada
constant return to scale (CRS) sebesar 22 persen, yang berada increasing return to scale
(IRS) sebesar 62 persen dan yang berada pada posisi decreasing return to scale (DRS)
sebesar 16 persen.
relatif yang disebabkan constant return to scale yang ditunjukan oleh nilai 100 persen
dan mendekati 100 persen. Rata-rata efisiensi skala (scale efficiency) selama periode
21 persen atau dapat dikatakan bahwa scale inefficiency dapat dikurangi atau
diturunkan sebesar 6,8 persen sampai 21 persen.
Jika skala efisiensinya = 1 (100 persen), maka perusahaan beroperasi pada skala
efisien, perusahaan beroperasi pada return to scale yang optimal. Skala efisiensi ini
akan menentukan apakah perusahaan tersebut berada pada skala ekonomis atau
Gambar 4.5 Return to Scale (RTS) Industroi Pengolahan dan Pengawetan Daging
Sumber : Diolah
Keterangan:
IRS = Incereasing Return to Scale;
CRS = Constant Return to Scale;
DRS = Decreasing Return to Scale
Dari Gambar 4 di atas, terdapat 3 (tiga) kondisi keadaan Return To Scale (λ) pada
periode penelitian ini yaitu :
a. Kondisi λ=1 maka derajat perubahan output sebagai hasil dari perubahan input
disebut derajat perolehan tetap (constant returns to scale). Hal ini terjadi karena
mengolala sumber daya dengan optimal yang mampu bertahan dalam sebelum dan
disebut derajat perolehan menaik (increasing returns to scale). Kondisi ini terjadi
pada kenaikan output lebih besar dari kenaikan input, yang berarti bahwa
penambahan input bahan baku, bahan bakar dan listrik, tenaga kerja dan
meningkatnya skala operasi, terjadi karena spesialisasi tugas dan fungsi, serta
penggunaan mesin-mesin khusus yang lebih produktif. Secara umum kondisi ini
terjadi pada industri pengolahan dan pengawetan daging periode 1990-2013 rata-
rata sebesar 28 persen. Kondisi tersebut terjadi pada masa setelah krisis yakni tahun
2000-2003 di mana pada periode tersebut merupakan kondisi stabil setalah melewati
masa krisis ekonomi tahun 1997/1998, sedangkan periode tahun 2008-2010 kembali
mengalami penurunan yang diakibatkan krisis ekonomi global tahun 2008. Kondisi
IRS juga terjadi pada tahun awal penelitian yakni 1990-1992, hal tersebut terjadi
terkait dengan kebijakan liberalisasi pada industri terutama pada tahun 1986 yang
efeknya masih dirasakan saat sampai saat sebelum krisis moneter. Pada saat itu
terjadi banyaknya teknologi dan inovasi serta investasi yang mendukung industri
disebut derajat perolehan menurun (decreasing returns to scale). Kondisi ini terjadi
jika kenaikan output lebih kecil dari kenaikan input. Decreasing Returns to Scale
juga dapat terjadi karena peningkatan biaya produksi terutama bahan baku dan
penolong yang bersumber dari bahan baku impor. Kondisi ini tidak mampu
berlebihan atau tidak proporsional dengan hasil produksi, Kenaikan nilai tukar
rupiah terhadap dolar US ikut mendorong kondisi ini terjadi pada periode tahun
2008-2010. Kondisi perekonomian dunia dan fluktuasi nilai tukar rupiah ikut
mendorong tingginya biaya bahan baku, biaya bahan bakar, serta kenaikan biaya
Kondisi ini bisa dilahat dari hasil input slack tahun 2008 yang terlihat terjadi excess
biaya input.
Hasil tersebut mempunyai makna bahwa saat ini industri pengolahan dan
pengawetan daging harus mengurangi jumlah/nilai input yang ada untuk mencapai
efisiensi. Pengalokasian input yang tidak tepat menjadi penyebab utama timbulnya
inefisiensi dalam industri pengolahan dan pengawetan daging. Apabila input yang
digunakan berlebihan atau terlalu sedikit maka akan menyebabkan perusahaan tidak
efisien. Kombinasi input yang tepat sangat penting dalam usaha pengolahan daging
yang memiliki risiko tinggi, apabila sudah mencapai full efficiency maka pada
gilirannya akan memberikan pendapatan yang maksimal untuk perusahaan.
sebesar 13 persen, dan constant retun to scale sebesar 61 persen pada industri
pengolahan dan pengawetan daging periode penelitian tahun 1990-2013, tidak dapat
alokasi penggunaan input tidak tepat sehingga cenderung akan menurunkan hasil dan
membuat biaya usaha produksi makin besar, dan pada awal tahun penelitian tahun
1990 sampai tahun 2007 yang masih berada pada increasing return to scale dan constan
return to scale, artinya dengan menambah jumlah input tertentu industri pengolahan
namun input yang dialokasikan mempengaruhi tingkat efisiensi usaha tersebut, dan
ada beberapa tahun industri pengolahan dan pengawetan daging sudah efisien dalam
implementasi kebijakan menteri keuangan tahun 1989 yang menurunkan tarif impor
daging sapi. Kondisi ini, dimana industri pengolahan dan pengawetan daging yang
mulai menggunakan daging impor sebagai bahan baku diuntungkan dengan adanya
pengenaan tarif impor daging yang menurun dari 40 persen tahun 1989 turun sampai
5 persen tahun 2000. Pada saat pengenaan tarif impor yang tinggi pada tahun 1989
sampai 40 persen, hal ini ikut mempengaruhi harga daging impor akan tetapi industri
pengolahan daging sebagian besar masih menggunakan daging sapi domestik sebagai
bahan baku. Seiring dengan penurunan tarif dan harga daging impor komposisi daging
impor juga meningkat digunakan sebagai bahan baku. Hal tersebut ikut berkontribusi
terbentuknya kondisi yang efisien dari segi biaya pada industri pengolahan dan
productivity (TFP) dari seluruh faktor yang digunakan, dan bukan produktivitas parsial,
Tahun TFPch EFFch TECHch PEch SEch Tahun TFPch EFFch TECHch PEch SEch
1990 0 0 0 0 0 2002 90 96 92 105 90
1991 92 95 99 98 97 2003 103 97 106 101 143
1992 97 83 111 89 92 2004 93 121 78 103 112
1993 145 185 74 162 122 2005 198 103 190 107 100
1994 158 101 157 95 101 2006 86 105 82 96 107
1995 108 102 107 101 101 2007 92 100 92 99 101
1996 199 93 212 89 96 2008 108 102 106 102 99
1997 112 109 105 104 105 2009 151 105 141 153 106
1998 100 100 99 96 98 2010 131 99 122 94 108
1999 120 94 123 99 91 2011 127 106 123 108 100
2000 136 98 136 102 90 2012 216 101 211 101 100
2001 130 109 113 105 105 2013 58 84 64 93 96
TAHUN TFPch EFFch Tech PEch Sech TFPch EFFch Tech PEch Sech
1990-1995 1,20 1,13 1,09 1,09 1,02 20,11 13,06 9,44 9,18 2,45
1995-2000 1,29 0,99 1,30 0,99 0,97 29,17 -0,76 30,36 -1,37 -3,06
2000-2005 1,25 1,04 1,19 1,04 1,07 25,00 4,00 19,00 3,67 6,75
2005-2010 1,28 1,02 1,22 1,08 1,03 28,00 2,01 22,27 8,39 3,42
2010-2013 1,33 0,97 1,30 0,99 1,01 33,00 -2,58 30,08 -1,22 0,75
Rata-rata 1,19 1,04 1,14 1,04 1,03 19,00 4.00 14.00 4,0 3.00
Maksimum 2,16 1,85 2,12 1,62 1,43 116,25 84,92 111,85 61,97 43,47
Minimum 0,58 0,83 0,64 0,89 0,90 -42,27 -17,40 -35,89 -10,7 -9,98
Sumber: Diolah dari Lampiran No 6
Keterangan: EFFch = Efficiency Change; TECHch = Technical Change;
PEch = Pure Efficiency Change SEch = Scale Efficiency
TFPch = Total Factor Productivity Change
Dari Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata nilai Total Factor Productivity
(TFP) industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode tahun 1990-
2013 sebesar 1,19, artinya bahwa terjadi pertumbuhan rata-rata TFP rata-rata sebesar
19 persen pertahunnya. Indek TFP industri ini bervariasi antara 0,58 sampai 2,16,
besarnya variasi indek TFP ini menunjukan bahwa beragamnya tingkat produktivitas
dalam menghasilkan produksi. Besarnya variasi ini juga menunjukan bahwa,
produktvitas pada industri ini masih dapat ditingkatkan apabila semua perusahaan
(EFFch), Pure Efficiency Change (PEch) dan scale efficiency (SEch) yang
masing tumbuh rata-rata sebesar 3,7 persen dan 2,61 persen pertahun. Di samping itu
masih terdapat industri yang pertumbuhannya negatif -42,27 persen pada periode
Bila dilihat pertumbuhan secara per periode, pada periode tahun 1990-1995
merupakan pertumbuhan yang terendah selama periode penelitian yaitu 20,11 persen
yang merupakan kontribusi dari pertumbuhan Efficiency change yang tertinggi sebesar
terutama dari technical change sebesar 30,36 persen, sedangkan efficiency change dan
scale efficiency masing masing berkontribusi negatif rata-rata sebesar -0,76 persen dan
-3,06 persen pertahun. Pada periode 1990-1995, dari sisi technical change terlihat
adanya proses learning by doing dalam mengadopsi teknologi karena perusahaan tidak
oleh kontribusi positif dari perubahan efisiensi teknis dan kontribusi negatif dari
kemajuan teknologi.
2000 menjadi 25 persen. Hal ini terkait dengan kondisi perekonomian masih berada
dalam proses konsolidasi di berbagai bidang pasca krisis ekonomi 1997/1998, termasuk
diantaranya adalah pembenahan iklim investasi agar kepercayaan investor dan dunia
kemungkinannya adalah akibat dari terhambatnya proses peremajaan mesin. Hasil ini
berbeda dari Ndari and Permono (2014), menemukan bahwa pada periode 2000-2004
terjadi pertumbuhan produktivitas yang tinggi, hal itu merupakan kontribusi positif
dari efficiency change dan technical change yang tinggi.
oleh peningkatan pertumbuhan dari technical change menjadi 22,27 persen, sedangkan
efficiency change dan scale efficiency mengalami penurunan 2 persen dan 3,42 persen.
Hasil ini berbeda dengan yang ditemukan Ndari and Permono (2014), bahwa pada
kontribusi positif dari efficiency change tinggi sedangkan technical change yang rendah.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh dari krisis keuangan global tahun 2008
yang mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi teknis dan skala.
Pada periode 2010-2013 industri pengolahan dan pengawetan daging mengalami
didorong oleh peningkatan pertumbuhan dari technical change mencapai 30,08 persen,
sedangkan efficiency change mengalami pertumbuhan – 2,58 persen dan scale efficiency
sebesar 075 persen. Hal ini dapat disebabkan oleh krisis keuangan global tahun 2008
yang masih memiliki efek sampai periode 2010-2013, akibatnya masih tingginya biaya
bahan baku, bahan bakar, gaji dan biaya pengeluaran lain yang berakibat pada
5.1. Kesimpulan
1. Rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar (CR2) dan empat perusahaan terbesar
(CR4) industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode tahun
1990-2013 rata-rata 51 persen dan 69 persen. Rasio konsentrasi tersebut
disumbangkan dari rasio konsentrasi industri pengolahan dan pengawetan daging
ayam dan lainnya sebesar 79 persen (CR2) dan sebesar 92 persen (CR4) serta
daging sapi sebesar 56 persen (CR2), 79 persen (CR4) yang termasuk oligopoli ketat
bahkan menuju duopoli sehingga persaingan pada industri ini kurang kompetitif.
2. Nilai kolusi pada industri pengolahan daging secara nasional pada periode 1990-
2013 rata-rata 0,32, masih dibawah 0,5, artinya bahwa kolusi yang terjadi masih
rendah. Nilai kolusi tersebut disumbangkan oleh nilai kolusi pada industri
pengolahan dan pengawetan daging sapi sebesar 0,35 dan daging ayam sebesar
0,18.
Indonesia periode 1990-2013 dengan model CRS sebesar 0.887 dan model VRS
return to scale (CRS) dan 4,9 persen pada model variable return to scale (VRS).
Rata-rata efisiensi skala (scale efficiency) selama periode penelitian adalah 0,932,
dimana mengindikasikan bahwa masih memiliki peluang yang potensial untuk
6,8 persen. Hal ini menunjukan bahwa skala ekonomis industri pengolahan dan
pengawetan daging dibawah angka 1 menunjukan bahwa industri ini berada pada
efficiency change (EFFch) dan scale efficiency (Sech) masing masing tumbuh rata-
1. Negara yang kaya harus memiliki kedaulatan pangan yang kuat tidak terkecuali
3. Ketergantungan dengan bahan baku daging impor harus mampu diatasi pemerintah
dengan memberikan insentif dan pendidikan dan latihan terhadap peternak/
bucher penyedia bahan baku daging yang memenuhi persyaratan kualitas dan
4. Harus diakui bahwa peternak sapi berskala kecil yang selama ini menjadi basis
penyediaan daging sapi domestik di Indonesia, hanya sedikit peternak yang
berskala menengah atau besar sehingga perlu yang seharusnya mereka perlu
diberdayakan sebagai meat producer.
5. Hal yang menarik untuk dikaji adalah mata rantai pemasaran daging impor,
dimana pola distrubusinya dapat melalui berbagai alur, yakni secara langsung
dari importir ke hotel atau restoran tertentu atau dapat juga dari importir ke
distributor terlebih dahulu, kemudian didisitribusikan ke hotel, supermarket,
meatshop dan pedagang pengecer di pasar tradisional.
7. Kebutuhan industri yang masih tergantung dengan bahan baku impor,
pemerintah perlu membatasi impor dengan sistem prioritas utility. Prime cut meat
dan secondary cut meat untuk daging konsumsi hotel berbintang, restoran, pasar
khususnya jenis trimming meat dominan untuk bahan baku industri pengolahan
daging perlu diberikan kuota sesuai dengan kapasitas produksi terpasang industri
tersebut.
daging. Menurut Firman dan Rahayu (2006) satu hal yang sering dijadikan acuan
bahwa sektor tersebut memiliki nilai keunggulan komparatif (comparative
advantage) adalah input primer yang digunakan sebagai bahan baku dasar berasal
dari sumber daya lokal (local content) dan output yang dihasilkan diusahakan
untuk ekspor, sehingga nilai net ekspor – impornya akan surplus.
9. Hambatan dalam distribusi produk olahan dan bahan baku yaitu infrastruktur
transportasi harus diperbaiki dan sediakan oleh negara, Hal ini telah menjadi
beban biaya tersendiri bagi pemasaran produk. Sebagai ilustrasi untuk negara
kompetitor seperti Malaysia membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah untuk
yang umumnya berlokasi di Jawa dan Bali. Begitu pun Filipina akan jauh lebih
murah jika mengirim ke wilayah perbatasannya dengan Indonesia. Di lain pihak
dan spesialisasi sektoral. Dengan kata lain, kluster merujuk pentingnya spesialisasi
dalam suatu daerah geografis yang berdekatan.
Peluang pasar daging olahan yang besar dan cukup menjanjikan menyebabkan
persaingan yang ketat diantara para produsen daging olahan di Indonesia untuk
memperoleh keuntungan usaha. Peluang pasr tersebut bahkan sangat menggiurkan bagi
pelaku usaha dari negara tetangga. Persaingan yang ketat dapat menimbulkan perilaku
curang diantara produsen besar dengan melakukan perilaku kolusi untuk menguasai
pasar baik pada pasar input bahan baku daging maupun pasar output. Untuk menghindari
dan analisis digunakan dalam model penelitian ini dapat dibuat beberapa implikasi
kebijakan yang terkait dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Konsentrasi yang tinggi pada industri pengolahan dan pengawetan daging di
Indonesia berpengaruh positif terhadap kolusi serta negatif terhadap efisiensi dan
sehat yang terbukti selama periode 1990-2013 dengan rata-rata CR2 lebih dari 50
persen dan CR4 rata-rata 69 persen sehingga industri ini tidak melakukan efisiensi, hal
ini akan merugikan konsumen. Kebijakan perlu dilakukan adalah untuk mengurang
tingkat konsentrasi yang tinggi yang juga akan mengurangi tingkat kolusi pada
industri pengolahan dan pengawetan daging maka kepada pelaku usaha diberikan
akses yang sama terhadapa bahan baku, barang modal, akses teknologi, hubungan
dan kolusi.
2. Perilaku kolusi terbentuk karena adanya pengaruh positif dari konsentrasi, intensitas
impor, regulasi impor dan produktivitas. Konsentrasi yang tinggi akan cenderung
membentuk kolusi. Intensitas impor yang terus dikurangi dari tahun 2007 sehubungan
terjadinya kolusi. Intensitas impor yang meningkat akan mendorong terjadinya kolusi
yang diambil, perlu di tinjau kembali kebijakan impor daging yang lebih bijaksana
agar pihak industri pengolahan dapat survive dan pihak peternak dapat berkembang
dengan cara kebijakan impor yang selektif khususnya bahan baku industri
pengolahan daging sambil memperbaiki industri peternakan nasional.
dan kolusi, sehingga untuk meningkatkan efisiensi maka harus dilakukan usaha
signifikan negatif oleh konsentrasi dan regulasi pembebasan impor, serta secara
positif oleh intensitas impor dan kolusi. Pembebasan impor produk olahan daging ke
mampu meningkatkan produktivitas industri ini. Untuk itu perlu dilakukan regulasi
impor dan mendorong ekspor untuk produk industri ini dengan sehigga dapat
daging olahan yang akan bersaing dipasar dengan produk olahan dari luar sehingga
untuk dapat bersaing bukan saja harga yang akan menjadi patokan akan tetapi
Sebagian Hasil
DISERTASI
KOLOKIUM II
SEMINAR HASIL PENELITIAN
Oleh:
J A F R I Z A L
NIM 01123601007
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
APRIL 2015
Berbagi 0
Poskan Komentar
‹ Beranda ›
Lihat versi web
Mengenai Saya