Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

Manajemen Anestesi pada Atonia Uteri

Oleh:
Muhammad
Hafizh
Hammami -
1920221136
Nurul Nadifa Erza - 2010221012

Pembimbing:

dr. Ferra Mayasari, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN


REANIMASI RUMAH SAKIT DR. GUNAWAN MANGUNKUSUMO

1
KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus. Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi dan
reanimasi Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUD Ambarawa periode 4 – 24
Oktober 2021. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Ferra Mayasari, Sp. An
selaku pembimbing makalah ini. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya. Terimakasih atas perhatiannya, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Ambarawa, Oktober 2021

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
Manajemen Anestesi Atonia Uteri

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Anestesi dan Reanimasi
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa

Disusun oleh:
Muhammad Hafizh Hammami - 1920221136
Nurul Nadifa Erza - 2010221012

Ambarawa, Oktober 2021


Telah diterima dan disahkan oleh,
Pembimbing

dr. Ferra Mayasari, Sp. An

3
BAB I
PENDAHULUAN

Atonia uteri mengacu pada sel-sel miometrium korpus uteri yang kontraksinya tidak
memadai sebagai respons terhadap oksitosin endogen yang dilepaskan selama proses
pelahiran. Hal ini menyebabkan perdarahan postpartum karena pelepasan plasenta
meninggalkan arteri spiral yang terganggu yang secara unik tidak memiliki otot dan
bergantung pada kontraksi untuk menekannya secara mekanis ke keadaan hemostatik.
Fakto risiko atonia uteri meliputi persalinan lama, persalinan cepat, distensi uterus
(kehamilan multi janin, polihidroamnion, makrosomia janin), jaringan plasenta yang
tertinggal, gangguan plasenta (plasenta previa atau solusio plasenta), serta gangguan
kontraksi uterus yang tidak efektif, baik secara fokal maupun difus.
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum, suatu
kegawatdaruratan obstetrik. Secara global, ini adalah salah satu dari 5 penyebab utama
kematian ibu. Diperkirakan bahwa 3–5% pasien obstetri di seluruh dunia mengalami
perdarahan postpartum. Sekitar 50-60% perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri,
16-17% disebabkan oleh retensio plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5%
disebabkan oleh laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan
darah atau faktor koagulasi.
Anemia postpartum sering terjadi setelah episode atonia uteri dan perdarahan
postpartum (PPP). Anemia berat karena PPP mungkin memerlukan transfusi sel darah merah,
tergantung pada tingkat keparahan anemia dan derajat gejala yang disebabkan oleh anemia.
Praktik yang umum adalah menawarkan transfusi kepada wanita yang bergejala dengan nilai
hemoglobin kurang dari 7 g/dL. Pada sebagian besar kasus perdarahan postpartum terkait
atonia uteri, jumlah besi yang hilang tidak sepenuhnya digantikan oleh darah yang
ditransfusikan. Besi oral dengan demikian juga harus dipertimbangkan. Terapi besi parenteral
merupakan pilihan karena mempercepat pemulihan. Kebanyakan wanita dengan anemia
ringan sampai sedang, bagaimanapun, mengatasi anemia cukup cepat dengan besi oral saja
dan tidak membutuhkan besi parenteral.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

II. 1 Identitas Pasien


Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 26 tahun
Tanggal Lahir : 13 Oktober 1995
Alamat : Bandungan, semarang
No. Rekam Medis : 12331x-xxxx
Tanggal Masuk RS : 5 Oktober 2021
Status : Menikah
Pendidikan : SMU
Pekerjaan : Swasta

II. 2 Anamnesis
Keluhan utama
Keluar cairan bening seperti lendir
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke PONEK pada tanggal 5 Oktober 2021 diantar oleh keluarganya
dengan keluhan keluar cairan bening seperti lendir dari vagina. Keluhan batuk (-), pilek (-),
sesak nafas (-), pusing (-), mual (-), puasa (-), gigi palsu/gigi patah/gigi goyang (-).
Riwayat penyakit dahulu
DM (-), HT (-), asma (-), TB Paru (-), AMI (-), CHF (-), Hepatitis (-), HIV/AIDS (-),
covid (-), alergi (-), mola hidatidosa (+), keguguran (+)
Riwayat sosial ekonomi
Merokok (-), alcohol (-)
Riwayat operasi dan pengobatan
Pasien pernah kuretase

5
II.3 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: sedang
b. Kesadaran: CM
c. Tanda vital:
Tekanan Darah: 107/52
Nadi: 125
Frekuensi nafas: 20
Suhu: 36,4
SpO2: 99%
d. Status generalis
Kepala: bentuk normocephal, simetris
Rambut: hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), palpebra edem (-/-)
Telinga: discharge (-), luka (-)
Hidung: secret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut: mukosa bibir lembab (+), sianosis (-)
Leher: limfadenopati (-), deviasi trakea (-), massa (+)
Thorax:
Pulmo:
Inspeksi: dinding dada simetris, jejas (-), retraksi (-)
Palpasi: fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi dinding dada simetris
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: VBS (+), rhonki (-), wheezing (-)
Cor:
Inspeksi: tidak tampak iktus kordis
Palpasi: iktus kordis tidak teraba
Perkusi: batas jantung kanan dan kiri dalam batas normal
Auskultasi: bunyi jantung normal SI-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi: dinding perut ada massa seperti hamil 34 minggu, tak tampak laserasi, jejas,
jaringan parut/luka bekas operasi, caput medusa, gernia umbilicus, warna kulit sama
dengan watna sekitar
Auskultasi: bising usus normal
Palpasi: nyeri tekan (-), ada massa (-), defans muscular (-), hepar dan lien tidak teraba
6
Perkusi: timpani seluruh regio abdomen, pekak sis (-), pekak alih (-), undulasi (-)
Ekstremitas: edema (-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-), CRT < 2 detik
e. Status lokalis
Regio abdomen: tampak ada massa seperti hamil 34 minggu, terfiksir membesar

II. 4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
a. Hasil pemeriksaan lab di RSGM Ambarawa 5 Oktober 2021 pukul 21.02 WIB
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hb 10,6 L 11,7-15,5
Ht 31,1 L 3,6-11
Leukosit 13,2 H 3,8-5,2
Eritrosit 4,04 35-47
Trombosit 278 150-400
MCV 76,9 L 82-98
MCH 26,2 L 27-32
MCHC 34,0 32-37
RDW 12,4 10-16
MPV 6,84 7-11
Limfosit 2,76 1-4,5
Monosit 0,630 0,2-1
Eosinophil 0,253 0,04-0,8
Basophil 0,105 0-0,2
Neutrophil 9,47 H 1,8-7,5
Limfosit % 21 L 25-40
Monosit% 4,77 2-8
Eosinophil% 1,92 2-4
Basofil% 0,796 0-1
Neutrophil% 71,1 H 50-70
PCT 0,190 0,2-0,5
PDW 19,7 H 10-18

7
Resus (Rh) Positif
Golongan Darah B
ALC 2760 1000-4500
NLR 3,43 H < 3,13

b. Hssil pemeriksaan lab di RSGM Ambarawa 6 Oktober 2021 pukul 09.13 WIB
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
PTT 9,9 9,3-11,4
INR 0,95
APTT 27,6 24,5-32,8
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 81 74-106
SGOT 12 0-35
SGPT 11 0-35
UREUM 10 10-50
Kreatinin 0,67 0,45-0,75
SEROLOGI
HBsAg Negatif Negatif

c. Hssil pemeriksaan lab di RSGM Ambarawa 7 Oktober 2021 pukul 6.48 WIB
SEROLOGI
Rapid Test Antigen
Antigen SARS CoV-2 Negatif Negatif

2. EKG

Gambar1 Hasil Foto EKG Ny. W di RSGM Ambarawa

8
3. USG

Gambar 2 Hasil USG Ny. W di RSGM Ambarawa


II. 5 Diagnosis
G3P1A1 UK 28 mgg gmeli dengan KPD inpartu kala 1 fase aktif

II. 6 Pergolongan status fisik pasien menurut ASA


ASA II E

II. 7 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
- Observasi KU TTV
- Advis dokter pro sc cito
b. Operatif
- Pro SC

II. 8 Rencana anestesi


Anestesi spinal (SAB)

II. 9 Laporan pra anestesi


Tanggal operasi: 7 Oktober 2021
Mulai anestesi: 08:45
Ahli Anestesi: dr. Ferra Mayasari, Sp. An

9
Penata Anestesi: Tardi, Afif
Ahli bedah: dr. Adi, Sp. OG
Diagnosis pre operatif: Gmeli + KPD
Diagnosis post operatif: Gmeli + KPD
Tindakan: pro SC
Pre operasi:
Tekanan Darah: 125/81
Nadi: 98
Frekuensi nafas: 20
Suhu: 36,7
BB: 50 kg
ASA: 2E
Hb:10,6
Ht: 31,1
Leukosit: 13,2

10
BAB III
ANESTESI

III. 1 Rencana Anestesi


Anestesi Regional  Anestesi Umum
III. 2 Tatalaksana
a. Induksi
1) Bucain 15 mg
2) Fentanyl 25 mg
b. Maintenance
1) Inhalasi O2 2 L/menit
2) Obat-obatan lain:
i. Ondansentron 4 mg
ii. Ketorolac 30 mg
iii. Oksitosin 10 IU
iv. Methergin 0,2 mg
III. 3 Tindakan Anestesi
1) Persiapan alat, yaitu jarum spinal dengan introducer ukuran 26 G, spuit 5 cc, kassa
kecil, plester, larutan povidone iodine, alcohol 70%, dan lampu
2) Persiapan obat injeksi induksi yaitu Bucain 15 mg
3) Memposisikan pasien dalam posisi duduk tegak dan kepala fleksi, serta
melonggarkan pakaian operasi pada bagian punggung
4) Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan steril
5) Menyemprotkan larutan povidone iodine 3 kali semprot dilanjutkan alcohol
sebanyak 3 kali semprot ke punggung pasien
6) Menentukan tinggi vertebrae tempat dilakukan injeksi obat induksi yaitu antara L2-
L3, L3-L4, atau L4-L5
7) Melakukan pungsi dengan jarum spinal dengan introducer dengan kedalaman 4-6
cm
8) Menarik introducer, kemudian melakukan pengecekan apakah terdapat cairan
serebrospinal yang mengalir keluar. Jika tidak ditemukan, jarum digerakkan sedikit
atau mengulangi pungsi
9) Melakukan aspirasi untuk memastikan ujung jarum berada di ruang epidural,
kemudian menginjeksi obat induksi. Melakukan aspirasi ulang tiap 2 cc
11
10) Jarum spinal ditarik keluar, kemudian luka bekas jarum ditutup dengan kassa dan
plester
11) Pasien Kembali diposisikan berbaring sembari mempersiapkan prosedur operasi
12) Menunggu 3-5 menit sambal bertanya kepada pasien apakah sudah terasa kebas
dan memberi instruksi pada pasien untuk mengangkat kaki tiap 1-2 menit untuk
memastikan apakah obat anestesi sudah bekerja

III. 4 Monitoring Anestesi


Jam (waktu) Tindakan Tekanan Darah Nadi (kali/menit)
(mmHg)
08.35 Pasien masuk ke 125/81 98
kamar operasi dan
dipindahkan ke meja
operasi
Pemasangan
monitoring tekanan
darah
Infus RL terpasang di
tangan kanan dan kiri
500 cc
08.45 Pemberian induksi 116/75 105
anestesi spinal
- Bucain 15 mg
- Fentanyl 25
mg
- Maintenance:
- Pemberian
O2 2 liter per
menit
- Ondansentron
4 mg
- Ketorolac 30
mg

12
- Oksitosin 10
IU
- Methergin
0,2 mg
08.46 Pemasangan 116/75 105
monitoring nadi dan
saturasi
08. 50 Prosedur operasi 116/75 105
dimulai
09.15 Monitoring tanda 90/55 82
vital pasien
Pasien mengalami
perdarahan kurang
lebih 1000 cc
Memberikan cairan
Gelafusal 500 mL
09. 30 Monitoring tanda 95/55 120
vital pasien

III. 5 Pasca Operasi


1. Pemantauan tanda vital: pemantauan tanda vital tiap 15 menit selama 2 jam
2. Pengelolaan nyeri: Tramadol 100 mg dalam futrolit 500 cc 15 tpm
3. Cairan: futrolit 500 cc
4. Pengelolaan mual muntah: ondansentron
III. 6 Follow up post operasi:
S: Post operasi saat di meja operasi pasien mengalami perdarahan banyak pervaginam kurang
lebih 2000 cc post op, kontraksi uterus (-), dan penurunan kesadaran.
O:
A: Atonia uteri post sc P2A1, ASA IV E
P:
a. Non Farmakologi
- Observasi KU TTV
- Advis dokter pro sc cito

13
b. Operatif
- Pro TAH

III. 7 Rencana anestesi II


Anestesi umum

III. 8 Laporan pra anestesi II


Tanggal operasi: 7 oktober 2021
Mulai anestesi: 09.40
Ahli Anestesi: dr. Ferra Mayasari, Sp. An
Penata Anestesi: Tardi, Afif
Ahli bedah: dr. Adi Rahmanadi, Sp. OG
Diagnosis pre operatif: atonia uteri
Diagnosis post operatif: atonia uteri
Tindakan: TAH

III. 9 Tatalaksana
1. Induksi
1) Ketamin 40 mg
2) Roculax 20 mg
2. Maintenance
1) O2
2) N2O
3) Sevoflurane
3. Obat-obatan lain:
1) Tranexamat 1 g
2) Vit K 1 amp
3) Misoprostol 2 tab
4) Epinefrin 2 amp

III. 10 Tindakan Anestesi II


1. Pastikan peralatan steril, lubang pada tube, tidak ada benda yang menyebabkan
sumbatan airway, balon tidak ada kebocoran, pasang blade pada handle laringoskop
dan periksa lampu.
14
2. Periksa airway apakah mudah untuk dilakukan intubasi
3. Pastikan jalur iv lancar, berikan obat sedasi (propofol/ketamin) sesuai dosis dan
indikasi secara titrasi sampai pasien tertidur (periksa tidak ada reflek bulu mata.)
4. Cuff pasien dan gunakan kombinasi (oksigen, N2O, agent inhalasi) sesuai indikasi dan
kontra indikasi, biarkan nafas spontan dan pastikan bisa dilakukan dilakukan presure
positif (baging oksigen).
5. Berikan obat pelumpuh otot sesuai dosis, (vecuronium, atracurarium atau rocuronium)
6. Berikan nafas dengan tekanan positif sampai onset obat pelumpuh otot bekerja.
7. Matikan N20 dan Agent inhalasi dan berikan hyperventilasi oksigen (Cuff antara 5-8
secara cepat)
8. Lakukan imobilisasi manual pada kepala dan leher.
9. Pegang laringoskop dengan tangan kiri.
10. Masukkan laringoskop pada mulut sisi kanan pasien, geser lidah ke kiri.
11. Epiglottis akan terlihat dan kemudian pita suara. Manupulasi trakea dari luar dengan
menekan ke belakang, ke atas, dan ke kanan (BURP = backward, upward, rightward)
untuk melihat trakea dan pita suara dengan lebih jelas
12. Masukkan ETT pelan-pelan tanpa menekan gigi dan mulut
13. Kembangkan balon secukupnya
14. Lakukan ventilasi bag to tube untuk memeriksa posisi ETT
15. Periksa secara manual gerak dada pada ventilasi
16. Lakukan auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk meyakinkan posisi
tube
17. Fiksasi tube, dan sambungkan dengan connector
18. Periksa suara nafas pada apeks paru dan sama antara kanan kiri, plester ETT pada
pojok bibir dan pasang oropharyngeal tube, dan di fiksasi.
19. Hidupkan agent anestesi inhalasi sesuai MAC (minimal alveolar concentration), dan
oksigen, N20
20. Berikan obat analgesi NSAID pada operasi ringan atau kombinasi dengan opioid pada
operasi besar.
21. Monitoring pasien selama operasi (tanda vital, saturasi, EKG , urine output, dan
lapang operasi serta suction untuk perdarahan.

15
III. 11 Monitoring Anestesi
Jam (waktu) Tindakan Tekanan Darah Nadi (kali/menit)
(mmHg)
09.40 Pemasangan 80/60 130
monitoring nadi,
saturasi oksigen, TD
Infus RL terpasang
500 cc (15 Tpm) &
Gelafusal 500 cc
Tambahan WB 1
kolf
Misoprostol 2 tab
Epinephrine 2 amp
Kalnex 1 gr
Vit K 1 amp iv
Animax
Syringe pump
Pemberian induksi
anestesi general:
- Ketamin 40 mg
- Roculax 20 mg
Intubasi
Maintenance:
- Pemberian O2
- N2O
- Sevoflurane
09.45 Prosedur operasi 60/40 135
dimulai
10.00 Monitoring tanda 60/40 140
vital
10.15 Monitoring tanda 50/40 130

16
vital pasien
Tambahan WB 1
kolf
10.30 Gelafusal 500 mL - 140
10.45 - Kehilangan banyak 60/40 130
darah
- Pasien mulai
mengalami
bradikardia, sianosis
ujung jari tangan
Tambahan WB 1
kolf
11.00 Gelafusal 500 mL 60/40 135
11.15 Perdarahan belum 60/40 135
dapat dihentikan
11.30 Tindakan operasi 70/50 135
selesai pasien
dibawa ke ICU

17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

IV.1 Atonia Uteri


IV.1.1 Definisi
Atonia uteri mengacu pada sel-sel miometrium korpus uteri yang kontraksinya tidak
memadai sebagai respons terhadap oksitosin endogen yang dilepaskan selama proses
pelahiran. Hal ini menyebabkan perdarahan postpartum karena pelepasan plasenta
meninggalkan arteri spiral yang terganggu yang secara unik tidak memiliki otot dan
bergantung pada kontraksi untuk menekannya secara mekanis ke keadaan hemostatik.

IV.1.2 Epidemiologi
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum, suatu
kegawatdaruratan obstetrik. Secara global, ini adalah salah satu dari 5 penyebab utama
kematian ibu.
Diperkirakan bahwa 3–5% pasien obstetri di seluruh dunia mengalami perdarahan
postpartum. Sekitar 50-60% perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri, 16-17%
disebabkan oleh retensio plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan
oleh laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan darah atau
faktor koagulasi.

IV.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor risiko atonia uteri termasuk persalinan lama, persalinan cepat, distensi uterus
(kehamilan multijanin, polihidramnion, makrosomia janin), uterus fibroid, korioamnionitis,
indikasi infus magnesium sulfat, dan penggunaan oksitosin yang berkepanjangan. Kontraksi
uterus yang tidak efektif, baik secara fokal atau difus, juga terkait dengan beragam etiologi
termasuk jaringan plasenta yang tertinggal, gangguan plasenta (seperti plasenta yang melekat
secara tidak sehat, plasenta previa, dan solusio plasenta), koagulopati (peningkatan produk
degradasi fibrin), dan uterus inversi. Indeks massa tubuh (BMI) di atas 40 (obesitas kelas III)
juga merupakan faktor risiko yang diakui untuk atonia uteri postpartum

18
IV.1.4 Patofisiologi
Kontraksi miometrium yang secara mekanis menekan pembuluh darah yang
mensuplai plasenta memberikan mekanisme utama hemostasis uterus setelah pelahiran janin
dan penutupan plasenta. Proses ini dilengkapi oleh faktor hemostatik desidua lokal seperti
inhibitor aktivator plasminogen tipe-1 faktor jaringan serta oleh faktor koagulasi sistemik
seperti trombosit dan faktor pembekuan yang bersirkulasi.

IV.1.5 Diagnosis
Pada anamnesis dan pemeriksaan prenatal, penegasan faktor risiko adalah kunci untuk
manajemen risiko yang optimal. Identifikasi risiko memungkinkan perencanaan dan
ketersediaan sumber daya yang mungkin diperlukan termasuk personel, obat-obatan,
peralatan, akses intravena yang memadai, dan produk darah. American College of
Obstetricians merekomendasikan agar wanita diidentifikasi sebelum lahir sebagai berisiko
tinggi untuk perdarahan postpartum berdasarkan adanya spektrum plasenta akreta, BMI pra-
kehamilan lebih besar dari 50, gangguan perdarahan yang signifikan secara klinis, atau faktor
risiko tinggi bedah-medis lainnya. Bagian dari perencanaan harus mengembangkan rencana
yang memungkinkan persalinan di fasilitas dengan tingkat perawatan yang sesuai untuk
kebutuhan pasien ini.
Diagnosis dibuat selama pemeriksaan fisik segera setelah kesimpulan dari persalinan
pervaginam atau sesar obstetrik. Palpasi langsung pada pelahiran sesar (biasanya setelah
penutupan insisi uterus) atau pemeriksaan tidak langsung pada pemeriksaan bimanual setelah
pelahiran pervaginam menunjukkan uterus yang lembek, lunak, dan membesar secara tidak
biasa, biasanya disertai perdarahan dari ostium servikalis (lebih sulit untuk dinilai pada
persalinan sesar). Pengecualian segera dari produk gestasional yang tertinggal atau laserasi
obstetrik dengan cepat menyingkirkan etiologi tambahan yang menyertai. Kemungkinan
koagulopati dipertimbangkan dan dikejar jika ada indikasi klinis. Pemeriksaan fisik yang
disarankan di atas mungkin melibatkan pencitraan ultrasound kebidanan.
Diagnosis atonia uteri difus biasanya ditegakkan dengan ditemukannya kehilangan
darah yang lebih banyak dari biasanya selama pemeriksaan yang menunjukkan uterus yang
lembek dan membesar, yang mungkin mengandung banyak darah. Dengan atonia lokal fokal,
regio fundus dapat berkontraksi dengan baik sementara segmen bawah uterus berdilatasi dan
atonik, yang mungkin sulit dikenali pada pemeriksaan abdomen, tetapi dapat dideteksi pada
pemeriksaan vagina. Eksplorasi digital rongga rahim (jika tersedia anestesi yang memadai),
atau pencitraan ultrasonografi obstetrik di samping tempat tidur untuk mengungkapkan garis
19
endometrium ekogenik adalah pemeriksaan penting, seperti pemeriksaan tepat waktu dengan
pencahayaan yang memadai untuk menyingkirkan laserasi obstetrik.

IV.1.6 Diagnosis Banding


Temuan fisik yang khas menghindari deteksi dengan adanya eversi uterus ketika
permukaan endometrium turun ke dalam vagina dan dimungkinkan oleh atonia uteri. Hal ini
biasanya terjadi setelah persalinan pervaginam, dan temuan biasa dari rahim berawa yang
membesar tidak tersedia dan digantikan oleh temuan massa intra-vagina yang berwarna ceri
(endometrium) dan harus segera dimasukkan kembali ke dalam rongga rahim, setelah itu
restorasi nada uterus mencegah kekambuhannya.

IV.1.7 Tatalaksana
1. Prenatal Readiness
Jika wanita tersebut berada pada risiko sedang untuk intrapartum, darah harus
termasuk diketik dan diskrining. Wanita dengan faktor risiko sedang untuk
perdarahan postpartum terkait atonia uteri termasuk operasi uterus sebelumnya,
kehamilan ganda, multiparitas besar, PPH sebelumnya, fibroid besar, makrosomia,
indeks massa tubuh lebih besar dari 40, anemia, korioamnionitis, kala dua
berkepanjangan, oksitosin lebih lama dari 24 jam, dan pemberian magnesium
sulfat. Mereka yang dinilai berisiko tinggi harus diketik dan dicocokkan silang
untuk mereka yang berisiko tinggi PPH. Kriteria risiko tinggi termasuk plasenta
previa atau akreta, diatesis perdarahan, 2 atau lebih faktor risiko sedang untuk
atonia uteri. Penggunaan penghemat sel (penyimpanan darah) harus
dipertimbangkan untuk wanita dengan peningkatan risiko perdarahan
pascapersalinan, tetapi ini tidak efektif biaya untuk menjadi rutin.
2. Pencegahan Inpartu
Pencegahan intrapartum termasuk manajemen yang optimal dari kala III
persalinan. Penatalaksanaan aktif kala tiga meliputi pemijatan uterus dengan traksi
tingkat rendah yang berkelanjutan pada tali pusat. Infus oksitosin simultan sangat
membantu, meskipun masuk akal untuk menundanya setelah plasenta lahir.
3. Perawatan Medis Awal
Jika atonia uteri terjadi, penyedia layanan kesehatan harus siap untuk manajemen
medis awal yang diarahkan pada penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan
tonus dan menginduksi kontraksi uterus. Memijat rahim juga efektif, seperti
20
memastikan rongga kosong. Dukungan ibu dengan cairan intravena (IV) dimulai
melalui kateter intravena . Pendekatan tim dimulai dengan memanggil personel
yang dibutuhkan melalui sistem peringatan bawaan yang terstandarisasi. Obat-
obatan yang digunakan untuk perdarahan postpartum sekunder akibat atonia uteri
meliputi :
a. Oksitosin (Pitocin) dapat diberikan IV 10 sampai 40 unit per 1000 ml atau 10
unit intramuskular (IM). Infus murni yang cepat dapat menyebabkan
hipotensi.
b. Methylergonovine (Methergine) diberikan IM 0,2 mg. Diberikan setiap 2
sampai 4 jam. Harus dihindari pada penderita hipertensi.
c. 15-metil-PGF2-alfa (Hemabate) diberikan IM 0,25 mg. Diberikan setiap 15
sampai 90 menit untuk maksimal 8 dosis. Harus dihindari pada penderita
asma. Dapat menyebabkan diare, demam, atau takikardia. Itu mahal.
d. Misoprostol (Cytotec): 800 hingga 1000 mg ditempatkan secara rektal. Dapat
menyebabkan demam ringan. Ini memiliki tindakan yang tertunda.
e. Dinoprostone (Prostin E2) 20 mg supositoria vagina atau dubur dapat
diberikan setiap 2 jam.
4. Perawatan Bedah
Jika obat gagal dengan perdarahan berlebih yang bertahan, maka manajemen
bedah dilakukan.
a. Tamponade
-Pembungkusan uterus dengan kasa (dengan balutan vagina untuk
memastikan retensinya, sehingga balutan uterovaginal) dengan
pemasangan kateter Foley untuk memungkinkan drainase kandung kemih.
Pembungkusan uterus harus ketat dan seragam, dan dapat dicapai dengan
cepat dan efisien dengan pita kasa yang digulung.
-Balon bakri (dengan bungkus vagina untuk memastikan retensinya)
dengan pemasangan kateter Foley untuk memfasilitasi drainase kandung
kemih.
b. Managemen Bedah
 Kuretase uterus,
 Ligasi arteri uterina (O' Leary), dengan opsi untuk memperpanjang
ligasi arteri ke pembuluh tubo-ovarium,

21
 Jahitan kompresi seperti B-Lynch biasanya dicadangkan untuk
skenario klinis di mana kompresi bimanual uterus menyebabkan
penghentian perdarahan,
 Ligasi arteri hipogastrik (dilakukan oleh Gyn/Onc),
 Histerektomi.

IV.1.8 Pelayanan Post Operatif dan rehabilitasi


Anemia postpartum sering terjadi setelah episode atonia uteri dan perdarahan
postpartum. Anemia berat karena PPP mungkin memerlukan transfusi sel darah merah,
tergantung pada tingkat keparahan anemia dan derajat gejala yang disebabkan oleh anemia.
Praktik yang umum adalah menawarkan transfusi kepada wanita yang bergejala dengan nilai
hemoglobin kurang dari 7 g/dL. Pada sebagian besar kasus perdarahan postpartum terkait
atonia uteri, jumlah besi yang hilang tidak sepenuhnya digantikan oleh darah yang
ditransfusikan. Besi oral dengan demikian juga harus dipertimbangkan. Terapi besi parenteral
merupakan pilihan karena mempercepat pemulihan. Kebanyakan wanita dengan anemia
ringan sampai sedang, bagaimanapun, mengatasi anemia cukup cepat dengan besi oral saja
dan tidak membutuhkan besi parenteral.

IV.1.9 Prognosis
Wanita dengan PPH sebelumnya memiliki sebanyak 15% risiko kekambuhan pada
kehamilan berikutnya. Risiko kekambuhan tergantung pada penyebab yang mendasarinya,
dan asosiasi seperti obesitas kelas 3 mungkin memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi.

IV.2 Syok Hipovolemia


IV.2.1 Definisi
Syok Hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah
dalam pembuluh darah yang berkurang.

IV.2.2 Etiologi
Penyebab syok hipovolemi dibagi dalam 4 bagian, syok hemoragik, dikarenakan
adanya perdarahan akut tanpa terjadi cedera pada jaringan lunak. syok hemoragik traumatik,
dikarenakan adanya perdarahan akut yang disertai cedera pada jaringan lunak ditambah
dengan adanya pelepasan aktivasi sistem imun. Syok hipovolemik karena kurangnya sirkulasi

22
plasma darah secara kritis tanpa adanya perdarahan. syok hipovolemik traumatik, karena
kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis tanpa adanya perdarahan, terjadi cedera pada
jaringan lunak serta adanya pelepasan aktivasi sistem imun.

IV.2.3 Patofisiologi
Secara klinis, syok hemoragik terjadi karena adanya perdarahan pada pembuluh darah
besar seperti perdarahan gastrointestinal, aneurisma aorta, atonia uteri, perdarahan pada
telinga, hidung, tenggorokan. Syok terjadi karena adanya penurunan secara drastis volume
darah di sirkulasi darah, kehilangan sel darah merah secara massif sehingga meningkatkan
hipoksia pada jaringan.
Pada tingkat sirkulasi mikro, interaksi leukosit-endotel dan penghancuran
proteoglikan dan glikosaminoglycan yang terikat dengan membrane endotel menyebabkan
adanya disfungsi mikro vascular dan terjadi sindrom kebocoran kapiler. Di intraseluler
tingkat ketidakseimbangan metabolise terjadi karena kerusakan mitokondria dan pengaruh
negatif pada sistem vasomotor. Syok hypovolemia maupun syok hypovolemia traumatik
menunjukan tanda terjadinya kehilangan cairan tanpa adanya perdarahan. Syok hypovolemia
dalam arti yang lebih sempit muncul karena adanya kehilangan cairan baik dari internal
maupun eksternal dengan ketidakadekuatan intake cairan ke tubuh. Hal ini dapat disebabkan
oleh hipertermi, muntah atau diare persisten, masalah pada ginjal.
Penyerapan sejumlah besar cairan ke dalam abdomen dapat menjadi penyebab utama
berkurangnya sirkulasi volume plasma. Secara patologis peningkatan hematokrit, leukosit

23
dan trombosit dapat merusak sifat reologi darah dan dapat merusak organ secara persisten
walaupun pasien telah mendapatkan terapi untuk syok.

IV.2.4 Klasifikasi perdarahan


Penentuan klasifikasi syokhipovolemik berdasarkan persentase volume darah yang
hilang dari tubuh pasien.

IV.2.5 Diagnosis
Pada umumnya, pasien yang menderita hypovolemic shock memiliki tekanan darah
yang rendah (dibawah 100 mmHg) dan suhu tubuh yang rendah pada bagian-bagian tubuh
perifer. Tachycardia (diatas 100 bpm), brachycardia (dibawah 60 bpm), dan tachypnea juga
umumnya terjadi pada pasien-pasien yang menderita hypovolemic shock. Kandungan
haemoglobin yang relatif kurang (<=6g/l) pada darah juga dapat menjadi pertanda adanya
perdarahan dan dapat membantu dalam mendeteksi hypovolemic shock. Pasien juga

24
umumnya memiliki kegangguan kesadaran dan mengalami kebingungan/kemarahan yang
diakibatkan oleh gangguan pada sistem saraf akibat kurangnya darah.
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan meliputi, Darah rutin (Hb, Ht), kimia
darah (termasuk tes fungsi ginjal), hitung darah lengkap, , elektrolit, CT- scan, USG, atau x-
ray pada daerah trauma, echocardiogram, endoskopi, kateterisasi urin, tabung ditempatkan ke
dalam kandung kemih untuk mengukur output urin

IV.2.6 Penatalaksanaan
a. Bebaskan jalan nafas, oksigen, apabila perlu maka dapat diberikan ventilator support
b. Infus RL atau koloid 20 mg/kgBB dalam 10-15 menit, dan diulang 2-3 kali. Bila akses
vena sulit dapat dilakuakn akses intraosseus di pretibial. Pada renjatan berat
pemberian cairan sidah mencapai 2-3 kali tapi respons belum adekuat, sehingga
dipertimbangkan untuk intubasi dan bantuan ventilasi. Bila tetap hipotensi sebaiknya
dipasang kateter tekanan vena sentral (CVP).
c. Transfusi WB

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Margarita. N R. Anestesiologi dan Terapi Intensif. Pertama. Fajarianto, editor.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2019.
2. Gill P, Patel A, Cook JW Van. Uterine Atony [Internet]. Statpearls Publishing. 2021
[cited 2021 Oct 11]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493238/

3. Jaffe, R. A., Samuel, S. I., Clifford, A., Golianu, B. Anesthesiologist’s Manual of


Surgical Procedures 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2009.
4. Miller, R.D., Eriksson L.I., Fleisher, L.A., Wienner, J.P., Young, W.L. Miller’s
Anesthesia 7th ed. Elsevier: USA. 2018.
5. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Butterworth, J. F., Mackey, D. C. Wasnick, J. D.
Clinical Anesthesiology 5th edition. USA: Lange Medical Book. 2013.
6. Jaffe, R. A., Samuel, S. I., Clifford, A., Golianu, B. Anesthesiologist’s Manual of
Surgical Procedures 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2009.

26

Anda mungkin juga menyukai