Oleh:
Muhammad
Hafizh
Hammami -
1920221136
Nurul Nadifa Erza - 2010221012
Pembimbing:
1
KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus. Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi dan
reanimasi Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUD Ambarawa periode 4 – 24
Oktober 2021. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Ferra Mayasari, Sp. An
selaku pembimbing makalah ini. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya. Terimakasih atas perhatiannya, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.
Penulis
2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Manajemen Anestesi Atonia Uteri
Disusun oleh:
Muhammad Hafizh Hammami - 1920221136
Nurul Nadifa Erza - 2010221012
3
BAB I
PENDAHULUAN
Atonia uteri mengacu pada sel-sel miometrium korpus uteri yang kontraksinya tidak
memadai sebagai respons terhadap oksitosin endogen yang dilepaskan selama proses
pelahiran. Hal ini menyebabkan perdarahan postpartum karena pelepasan plasenta
meninggalkan arteri spiral yang terganggu yang secara unik tidak memiliki otot dan
bergantung pada kontraksi untuk menekannya secara mekanis ke keadaan hemostatik.
Fakto risiko atonia uteri meliputi persalinan lama, persalinan cepat, distensi uterus
(kehamilan multi janin, polihidroamnion, makrosomia janin), jaringan plasenta yang
tertinggal, gangguan plasenta (plasenta previa atau solusio plasenta), serta gangguan
kontraksi uterus yang tidak efektif, baik secara fokal maupun difus.
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum, suatu
kegawatdaruratan obstetrik. Secara global, ini adalah salah satu dari 5 penyebab utama
kematian ibu. Diperkirakan bahwa 3–5% pasien obstetri di seluruh dunia mengalami
perdarahan postpartum. Sekitar 50-60% perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri,
16-17% disebabkan oleh retensio plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5%
disebabkan oleh laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan
darah atau faktor koagulasi.
Anemia postpartum sering terjadi setelah episode atonia uteri dan perdarahan
postpartum (PPP). Anemia berat karena PPP mungkin memerlukan transfusi sel darah merah,
tergantung pada tingkat keparahan anemia dan derajat gejala yang disebabkan oleh anemia.
Praktik yang umum adalah menawarkan transfusi kepada wanita yang bergejala dengan nilai
hemoglobin kurang dari 7 g/dL. Pada sebagian besar kasus perdarahan postpartum terkait
atonia uteri, jumlah besi yang hilang tidak sepenuhnya digantikan oleh darah yang
ditransfusikan. Besi oral dengan demikian juga harus dipertimbangkan. Terapi besi parenteral
merupakan pilihan karena mempercepat pemulihan. Kebanyakan wanita dengan anemia
ringan sampai sedang, bagaimanapun, mengatasi anemia cukup cepat dengan besi oral saja
dan tidak membutuhkan besi parenteral.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
II. 2 Anamnesis
Keluhan utama
Keluar cairan bening seperti lendir
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke PONEK pada tanggal 5 Oktober 2021 diantar oleh keluarganya
dengan keluhan keluar cairan bening seperti lendir dari vagina. Keluhan batuk (-), pilek (-),
sesak nafas (-), pusing (-), mual (-), puasa (-), gigi palsu/gigi patah/gigi goyang (-).
Riwayat penyakit dahulu
DM (-), HT (-), asma (-), TB Paru (-), AMI (-), CHF (-), Hepatitis (-), HIV/AIDS (-),
covid (-), alergi (-), mola hidatidosa (+), keguguran (+)
Riwayat sosial ekonomi
Merokok (-), alcohol (-)
Riwayat operasi dan pengobatan
Pasien pernah kuretase
5
II.3 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: sedang
b. Kesadaran: CM
c. Tanda vital:
Tekanan Darah: 107/52
Nadi: 125
Frekuensi nafas: 20
Suhu: 36,4
SpO2: 99%
d. Status generalis
Kepala: bentuk normocephal, simetris
Rambut: hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), palpebra edem (-/-)
Telinga: discharge (-), luka (-)
Hidung: secret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut: mukosa bibir lembab (+), sianosis (-)
Leher: limfadenopati (-), deviasi trakea (-), massa (+)
Thorax:
Pulmo:
Inspeksi: dinding dada simetris, jejas (-), retraksi (-)
Palpasi: fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi dinding dada simetris
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: VBS (+), rhonki (-), wheezing (-)
Cor:
Inspeksi: tidak tampak iktus kordis
Palpasi: iktus kordis tidak teraba
Perkusi: batas jantung kanan dan kiri dalam batas normal
Auskultasi: bunyi jantung normal SI-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi: dinding perut ada massa seperti hamil 34 minggu, tak tampak laserasi, jejas,
jaringan parut/luka bekas operasi, caput medusa, gernia umbilicus, warna kulit sama
dengan watna sekitar
Auskultasi: bising usus normal
Palpasi: nyeri tekan (-), ada massa (-), defans muscular (-), hepar dan lien tidak teraba
6
Perkusi: timpani seluruh regio abdomen, pekak sis (-), pekak alih (-), undulasi (-)
Ekstremitas: edema (-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-), CRT < 2 detik
e. Status lokalis
Regio abdomen: tampak ada massa seperti hamil 34 minggu, terfiksir membesar
7
Resus (Rh) Positif
Golongan Darah B
ALC 2760 1000-4500
NLR 3,43 H < 3,13
b. Hssil pemeriksaan lab di RSGM Ambarawa 6 Oktober 2021 pukul 09.13 WIB
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
PTT 9,9 9,3-11,4
INR 0,95
APTT 27,6 24,5-32,8
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 81 74-106
SGOT 12 0-35
SGPT 11 0-35
UREUM 10 10-50
Kreatinin 0,67 0,45-0,75
SEROLOGI
HBsAg Negatif Negatif
c. Hssil pemeriksaan lab di RSGM Ambarawa 7 Oktober 2021 pukul 6.48 WIB
SEROLOGI
Rapid Test Antigen
Antigen SARS CoV-2 Negatif Negatif
2. EKG
8
3. USG
II. 7 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
- Observasi KU TTV
- Advis dokter pro sc cito
b. Operatif
- Pro SC
9
Penata Anestesi: Tardi, Afif
Ahli bedah: dr. Adi, Sp. OG
Diagnosis pre operatif: Gmeli + KPD
Diagnosis post operatif: Gmeli + KPD
Tindakan: pro SC
Pre operasi:
Tekanan Darah: 125/81
Nadi: 98
Frekuensi nafas: 20
Suhu: 36,7
BB: 50 kg
ASA: 2E
Hb:10,6
Ht: 31,1
Leukosit: 13,2
10
BAB III
ANESTESI
12
- Oksitosin 10
IU
- Methergin
0,2 mg
08.46 Pemasangan 116/75 105
monitoring nadi dan
saturasi
08. 50 Prosedur operasi 116/75 105
dimulai
09.15 Monitoring tanda 90/55 82
vital pasien
Pasien mengalami
perdarahan kurang
lebih 1000 cc
Memberikan cairan
Gelafusal 500 mL
09. 30 Monitoring tanda 95/55 120
vital pasien
13
b. Operatif
- Pro TAH
III. 9 Tatalaksana
1. Induksi
1) Ketamin 40 mg
2) Roculax 20 mg
2. Maintenance
1) O2
2) N2O
3) Sevoflurane
3. Obat-obatan lain:
1) Tranexamat 1 g
2) Vit K 1 amp
3) Misoprostol 2 tab
4) Epinefrin 2 amp
15
III. 11 Monitoring Anestesi
Jam (waktu) Tindakan Tekanan Darah Nadi (kali/menit)
(mmHg)
09.40 Pemasangan 80/60 130
monitoring nadi,
saturasi oksigen, TD
Infus RL terpasang
500 cc (15 Tpm) &
Gelafusal 500 cc
Tambahan WB 1
kolf
Misoprostol 2 tab
Epinephrine 2 amp
Kalnex 1 gr
Vit K 1 amp iv
Animax
Syringe pump
Pemberian induksi
anestesi general:
- Ketamin 40 mg
- Roculax 20 mg
Intubasi
Maintenance:
- Pemberian O2
- N2O
- Sevoflurane
09.45 Prosedur operasi 60/40 135
dimulai
10.00 Monitoring tanda 60/40 140
vital
10.15 Monitoring tanda 50/40 130
16
vital pasien
Tambahan WB 1
kolf
10.30 Gelafusal 500 mL - 140
10.45 - Kehilangan banyak 60/40 130
darah
- Pasien mulai
mengalami
bradikardia, sianosis
ujung jari tangan
Tambahan WB 1
kolf
11.00 Gelafusal 500 mL 60/40 135
11.15 Perdarahan belum 60/40 135
dapat dihentikan
11.30 Tindakan operasi 70/50 135
selesai pasien
dibawa ke ICU
17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
IV.1.2 Epidemiologi
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum, suatu
kegawatdaruratan obstetrik. Secara global, ini adalah salah satu dari 5 penyebab utama
kematian ibu.
Diperkirakan bahwa 3–5% pasien obstetri di seluruh dunia mengalami perdarahan
postpartum. Sekitar 50-60% perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri, 16-17%
disebabkan oleh retensio plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan
oleh laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan darah atau
faktor koagulasi.
18
IV.1.4 Patofisiologi
Kontraksi miometrium yang secara mekanis menekan pembuluh darah yang
mensuplai plasenta memberikan mekanisme utama hemostasis uterus setelah pelahiran janin
dan penutupan plasenta. Proses ini dilengkapi oleh faktor hemostatik desidua lokal seperti
inhibitor aktivator plasminogen tipe-1 faktor jaringan serta oleh faktor koagulasi sistemik
seperti trombosit dan faktor pembekuan yang bersirkulasi.
IV.1.5 Diagnosis
Pada anamnesis dan pemeriksaan prenatal, penegasan faktor risiko adalah kunci untuk
manajemen risiko yang optimal. Identifikasi risiko memungkinkan perencanaan dan
ketersediaan sumber daya yang mungkin diperlukan termasuk personel, obat-obatan,
peralatan, akses intravena yang memadai, dan produk darah. American College of
Obstetricians merekomendasikan agar wanita diidentifikasi sebelum lahir sebagai berisiko
tinggi untuk perdarahan postpartum berdasarkan adanya spektrum plasenta akreta, BMI pra-
kehamilan lebih besar dari 50, gangguan perdarahan yang signifikan secara klinis, atau faktor
risiko tinggi bedah-medis lainnya. Bagian dari perencanaan harus mengembangkan rencana
yang memungkinkan persalinan di fasilitas dengan tingkat perawatan yang sesuai untuk
kebutuhan pasien ini.
Diagnosis dibuat selama pemeriksaan fisik segera setelah kesimpulan dari persalinan
pervaginam atau sesar obstetrik. Palpasi langsung pada pelahiran sesar (biasanya setelah
penutupan insisi uterus) atau pemeriksaan tidak langsung pada pemeriksaan bimanual setelah
pelahiran pervaginam menunjukkan uterus yang lembek, lunak, dan membesar secara tidak
biasa, biasanya disertai perdarahan dari ostium servikalis (lebih sulit untuk dinilai pada
persalinan sesar). Pengecualian segera dari produk gestasional yang tertinggal atau laserasi
obstetrik dengan cepat menyingkirkan etiologi tambahan yang menyertai. Kemungkinan
koagulopati dipertimbangkan dan dikejar jika ada indikasi klinis. Pemeriksaan fisik yang
disarankan di atas mungkin melibatkan pencitraan ultrasound kebidanan.
Diagnosis atonia uteri difus biasanya ditegakkan dengan ditemukannya kehilangan
darah yang lebih banyak dari biasanya selama pemeriksaan yang menunjukkan uterus yang
lembek dan membesar, yang mungkin mengandung banyak darah. Dengan atonia lokal fokal,
regio fundus dapat berkontraksi dengan baik sementara segmen bawah uterus berdilatasi dan
atonik, yang mungkin sulit dikenali pada pemeriksaan abdomen, tetapi dapat dideteksi pada
pemeriksaan vagina. Eksplorasi digital rongga rahim (jika tersedia anestesi yang memadai),
atau pencitraan ultrasonografi obstetrik di samping tempat tidur untuk mengungkapkan garis
19
endometrium ekogenik adalah pemeriksaan penting, seperti pemeriksaan tepat waktu dengan
pencahayaan yang memadai untuk menyingkirkan laserasi obstetrik.
IV.1.7 Tatalaksana
1. Prenatal Readiness
Jika wanita tersebut berada pada risiko sedang untuk intrapartum, darah harus
termasuk diketik dan diskrining. Wanita dengan faktor risiko sedang untuk
perdarahan postpartum terkait atonia uteri termasuk operasi uterus sebelumnya,
kehamilan ganda, multiparitas besar, PPH sebelumnya, fibroid besar, makrosomia,
indeks massa tubuh lebih besar dari 40, anemia, korioamnionitis, kala dua
berkepanjangan, oksitosin lebih lama dari 24 jam, dan pemberian magnesium
sulfat. Mereka yang dinilai berisiko tinggi harus diketik dan dicocokkan silang
untuk mereka yang berisiko tinggi PPH. Kriteria risiko tinggi termasuk plasenta
previa atau akreta, diatesis perdarahan, 2 atau lebih faktor risiko sedang untuk
atonia uteri. Penggunaan penghemat sel (penyimpanan darah) harus
dipertimbangkan untuk wanita dengan peningkatan risiko perdarahan
pascapersalinan, tetapi ini tidak efektif biaya untuk menjadi rutin.
2. Pencegahan Inpartu
Pencegahan intrapartum termasuk manajemen yang optimal dari kala III
persalinan. Penatalaksanaan aktif kala tiga meliputi pemijatan uterus dengan traksi
tingkat rendah yang berkelanjutan pada tali pusat. Infus oksitosin simultan sangat
membantu, meskipun masuk akal untuk menundanya setelah plasenta lahir.
3. Perawatan Medis Awal
Jika atonia uteri terjadi, penyedia layanan kesehatan harus siap untuk manajemen
medis awal yang diarahkan pada penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan
tonus dan menginduksi kontraksi uterus. Memijat rahim juga efektif, seperti
20
memastikan rongga kosong. Dukungan ibu dengan cairan intravena (IV) dimulai
melalui kateter intravena . Pendekatan tim dimulai dengan memanggil personel
yang dibutuhkan melalui sistem peringatan bawaan yang terstandarisasi. Obat-
obatan yang digunakan untuk perdarahan postpartum sekunder akibat atonia uteri
meliputi :
a. Oksitosin (Pitocin) dapat diberikan IV 10 sampai 40 unit per 1000 ml atau 10
unit intramuskular (IM). Infus murni yang cepat dapat menyebabkan
hipotensi.
b. Methylergonovine (Methergine) diberikan IM 0,2 mg. Diberikan setiap 2
sampai 4 jam. Harus dihindari pada penderita hipertensi.
c. 15-metil-PGF2-alfa (Hemabate) diberikan IM 0,25 mg. Diberikan setiap 15
sampai 90 menit untuk maksimal 8 dosis. Harus dihindari pada penderita
asma. Dapat menyebabkan diare, demam, atau takikardia. Itu mahal.
d. Misoprostol (Cytotec): 800 hingga 1000 mg ditempatkan secara rektal. Dapat
menyebabkan demam ringan. Ini memiliki tindakan yang tertunda.
e. Dinoprostone (Prostin E2) 20 mg supositoria vagina atau dubur dapat
diberikan setiap 2 jam.
4. Perawatan Bedah
Jika obat gagal dengan perdarahan berlebih yang bertahan, maka manajemen
bedah dilakukan.
a. Tamponade
-Pembungkusan uterus dengan kasa (dengan balutan vagina untuk
memastikan retensinya, sehingga balutan uterovaginal) dengan
pemasangan kateter Foley untuk memungkinkan drainase kandung kemih.
Pembungkusan uterus harus ketat dan seragam, dan dapat dicapai dengan
cepat dan efisien dengan pita kasa yang digulung.
-Balon bakri (dengan bungkus vagina untuk memastikan retensinya)
dengan pemasangan kateter Foley untuk memfasilitasi drainase kandung
kemih.
b. Managemen Bedah
Kuretase uterus,
Ligasi arteri uterina (O' Leary), dengan opsi untuk memperpanjang
ligasi arteri ke pembuluh tubo-ovarium,
21
Jahitan kompresi seperti B-Lynch biasanya dicadangkan untuk
skenario klinis di mana kompresi bimanual uterus menyebabkan
penghentian perdarahan,
Ligasi arteri hipogastrik (dilakukan oleh Gyn/Onc),
Histerektomi.
IV.1.9 Prognosis
Wanita dengan PPH sebelumnya memiliki sebanyak 15% risiko kekambuhan pada
kehamilan berikutnya. Risiko kekambuhan tergantung pada penyebab yang mendasarinya,
dan asosiasi seperti obesitas kelas 3 mungkin memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi.
IV.2.2 Etiologi
Penyebab syok hipovolemi dibagi dalam 4 bagian, syok hemoragik, dikarenakan
adanya perdarahan akut tanpa terjadi cedera pada jaringan lunak. syok hemoragik traumatik,
dikarenakan adanya perdarahan akut yang disertai cedera pada jaringan lunak ditambah
dengan adanya pelepasan aktivasi sistem imun. Syok hipovolemik karena kurangnya sirkulasi
22
plasma darah secara kritis tanpa adanya perdarahan. syok hipovolemik traumatik, karena
kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis tanpa adanya perdarahan, terjadi cedera pada
jaringan lunak serta adanya pelepasan aktivasi sistem imun.
IV.2.3 Patofisiologi
Secara klinis, syok hemoragik terjadi karena adanya perdarahan pada pembuluh darah
besar seperti perdarahan gastrointestinal, aneurisma aorta, atonia uteri, perdarahan pada
telinga, hidung, tenggorokan. Syok terjadi karena adanya penurunan secara drastis volume
darah di sirkulasi darah, kehilangan sel darah merah secara massif sehingga meningkatkan
hipoksia pada jaringan.
Pada tingkat sirkulasi mikro, interaksi leukosit-endotel dan penghancuran
proteoglikan dan glikosaminoglycan yang terikat dengan membrane endotel menyebabkan
adanya disfungsi mikro vascular dan terjadi sindrom kebocoran kapiler. Di intraseluler
tingkat ketidakseimbangan metabolise terjadi karena kerusakan mitokondria dan pengaruh
negatif pada sistem vasomotor. Syok hypovolemia maupun syok hypovolemia traumatik
menunjukan tanda terjadinya kehilangan cairan tanpa adanya perdarahan. Syok hypovolemia
dalam arti yang lebih sempit muncul karena adanya kehilangan cairan baik dari internal
maupun eksternal dengan ketidakadekuatan intake cairan ke tubuh. Hal ini dapat disebabkan
oleh hipertermi, muntah atau diare persisten, masalah pada ginjal.
Penyerapan sejumlah besar cairan ke dalam abdomen dapat menjadi penyebab utama
berkurangnya sirkulasi volume plasma. Secara patologis peningkatan hematokrit, leukosit
23
dan trombosit dapat merusak sifat reologi darah dan dapat merusak organ secara persisten
walaupun pasien telah mendapatkan terapi untuk syok.
IV.2.5 Diagnosis
Pada umumnya, pasien yang menderita hypovolemic shock memiliki tekanan darah
yang rendah (dibawah 100 mmHg) dan suhu tubuh yang rendah pada bagian-bagian tubuh
perifer. Tachycardia (diatas 100 bpm), brachycardia (dibawah 60 bpm), dan tachypnea juga
umumnya terjadi pada pasien-pasien yang menderita hypovolemic shock. Kandungan
haemoglobin yang relatif kurang (<=6g/l) pada darah juga dapat menjadi pertanda adanya
perdarahan dan dapat membantu dalam mendeteksi hypovolemic shock. Pasien juga
24
umumnya memiliki kegangguan kesadaran dan mengalami kebingungan/kemarahan yang
diakibatkan oleh gangguan pada sistem saraf akibat kurangnya darah.
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan meliputi, Darah rutin (Hb, Ht), kimia
darah (termasuk tes fungsi ginjal), hitung darah lengkap, , elektrolit, CT- scan, USG, atau x-
ray pada daerah trauma, echocardiogram, endoskopi, kateterisasi urin, tabung ditempatkan ke
dalam kandung kemih untuk mengukur output urin
IV.2.6 Penatalaksanaan
a. Bebaskan jalan nafas, oksigen, apabila perlu maka dapat diberikan ventilator support
b. Infus RL atau koloid 20 mg/kgBB dalam 10-15 menit, dan diulang 2-3 kali. Bila akses
vena sulit dapat dilakuakn akses intraosseus di pretibial. Pada renjatan berat
pemberian cairan sidah mencapai 2-3 kali tapi respons belum adekuat, sehingga
dipertimbangkan untuk intubasi dan bantuan ventilasi. Bila tetap hipotensi sebaiknya
dipasang kateter tekanan vena sentral (CVP).
c. Transfusi WB
25
DAFTAR PUSTAKA
26