Anda di halaman 1dari 5

Salsabila Zahra Supratman

2108422
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa (B), Universitas Pendidikan Indonesia
Mata Kuliah Konsep Pendidikan Seni

Seni Kontemporer Nusantara : Sensasi Visual Komunikatif


Lebih Penting dari Visual Estetika Karya

1. PENDAHULUAN
Berdasarkan KBBI, seni memiliki beberapa arti, diantaranya adalah keahlian membuat karya
yang bermutu (dari segi kehalusan, keindahannya, dsb) dan karya yang diciptakan dengan keahlian
yg luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran. Ketiga, kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yg
bernilai tinggi (luar biasa).
Sedangkan menurut (Susanto, 2002:354), “seni adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh orang
bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukan semata-mata
karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan, ataupun karena dorongan spiritual”.
Seiring berkembangnya zaman, dunia seni juga ikut berkembang baik dari segi jenis, aliran,
fungsi, dan bentuk seni. Seni Kontemporer (pascamodern) menjadi salah satu seni baru yang sudah
digandrungi banyak seniman dan diketahui orang awam.
Lahirnya seni kontemporer ini pastinya tidak lepas dari keberadaan seni klasik / tradisional dan
seni modern. Perkembangan seni rupa Indonesia dimulai dari era seni tradisional, dimana kaitan
seni dengan kebudayaan sangat kuat, karya diatur dengan pakem-pakem tertentu yang tidak dapat
diubah. Era selanjutnya adalah era seni modern, pemikiran ini mulai masuk sejak zaman
kolonialisme dimana konsep pemikiran karya bertolak belakang dengan seni tradisional yang
dianggap menghambat, tidak relevan, dan tidak cukup menumpahkan ekspresi seniman.
Seni pascamodern sebenarnya masih menjadi bagian dari seni modern namun sifatnya berlawanan
dengan modernisme. Seni ini banyak menciptakan perubahan dan paradigma baru terhadap seni
rupa.
2. PEMBAHASAN
Seni Kontemporer merupakan seni yang cenderung mementingkan gagasan pikiran dan perasaan
daripada estetika atau visual dari karya itu sendiri, beberapa bahkan merasa bahwa sensasi karya
lebih penting dari interpretasinya. Seni kontemporer memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
ruang dan waktu dimana aturan seni ikut berkembang seiring perkembangan zaman.
Keberadaan seni kontemporer ini seringkali dianggap kontroversial dan mengganggu aturan dan
tatanan seni yang ada, seni tidak lagi tunduk pada aturan sosial, norma, agama, dan moral, justru
seringkali bersifat kontradiktif, memberontak, menghina, dan bertentangan dengan moral.
Seni Kontemporer memaksa penikmatnya untuk memikirkan ulang ideologi seni dan kebebasan
berekspresi.
Seniman Kontemporer di Indonesia sudah cukup banyak berkembang dan dikenal, terutama
sejak Gerakan Seni Rupa Baru sekitar tahun 90-an, dalam pengerjaan sebuah karya permasalahan
teknik bukan lagi jadi masalah utama, namun pemilihan media dan bagaimana cara seniman
merepresentasikan gagasan karya.
Seniman-Seniman Kontemporer Nusantara antara lain Nyoman Nuarta, Made Wianta, Heri Dono,
Agus Suwage, dan masih banyak lagi. Ada juga karya-karya kontroversial yang dihasilkan oleh
para seniman Nusantara yang menggegerkan publik, diantaranya :

1. Pinkswing Park karya Agus Suwage dan Davy Linggar


Pinkswing Park adalah satu karya instalasi yang banyak menarik perhatian publik setelah
dipamerkan dalam CP Biennale 2005 “Urban/Culture”. Secara garis besar karya ini
menampilkan satu ruangan yang ketiga sisi dindingnya dipenuhi foto “telanjang” Anjasmara
dan Isabelle Yahya dan terdapat becak tanpa roda yang diubah menjadi ayunan dan dicat merah
muda sepenuhnya. Karya ini merepresentasikan ruang sendiri di enklaf-enklaf kota besar, dan
ketelanjangan disini menggambarkan persoalan sosial mengenai erotisme di kehidupan urban.
Karya ini mendapatkan kritik dan protesan
setelah FPI (Front Pembela Islam) melaporkan
dan memuat artikel di surat kabar karena
menampilkan ketelanjangan serta menampilan
Anjasmara dan Isabelle Yahya yang merupakan
public figure sebagai model, hingga akhirnya
curator Biennale memilih untuk menutup karya
Gambar 1 : Pinkswing Park
tersebut. Sumber : artsandculture.google.com
2. Patung Mata Hati Gus Dur karya Cipto Purnomo
Cipto Purnomo dikenal sebagai salah satu seniman peraih penghargaan MURI dengan
membuat patung Buddha terkecil di Indonesia berukuran 8x5x4 milimeter.
Pada saat peringatan 40 hari kepergian Gus Dur, Cipto kembali membuat satu karya patung
Buddha, namun kali ini karyanya tidak mendapat cukup respon baik dari masyarakat. Kali ini,
Cipto membuat patung Buddha yang berwajahkan Gus Dur, menurutnya karya ini
menyimbolkan segala kebaikan Gus Dur semasa hidupnya yang direpresentasikan dengan
Buddha Gautama.
Permasalahan dari karya ini dimulai saat Dewan
Pusat Pengurus Pemuda Theravada Indonesia
(DPP PATRIA) yang mengajukan protes karena
karya ini dianggap melecehkan agama Buddha.
Cipto yang tumbuh di lingkungan Candi
Borobudur merasa bahwa dirinya hanya
mengagumi Buddha dan tidak bermaksud
menyinggung ataupun menghina agama tersebut. Gambar 2 : Patung Mata Hati Gus Dur Sumber :
kerajaanagama.wordpress.com
Kendati demikian, karya patung Buddha Mata Hati
Gus Dur ini tetap ditutup oleh sang seniman.

3. Makan Mayit karya Natasha Gabriella Tontey


Natasha merupakan salah satu seniman muda yang karyanya sudah mendunia, ia berfokus
pada cerita-cerita sejarah dan mitos fiksi dan ditumpahkan pada karya-karyanya yang
menghasilkan ketakutan dan pertanyaan dari penikmatnya.
Makan Mayit menjadi salah satu karyanya
yang banyak menarik perhatian publik karena
gagasan dan pelaksanaannya yang tidak biasa.
Penggelaran seni yang digelarnya ini meliputi
acara “makan malam” yang disajikan dalam
sebuah boneka bayi yang dipotong dan berbagai
hidangan berbentuk organ maupun fetus, bahan
Gambar 3 : Acara "makan malam" Makan Mayit hidangan yang disajikan juga terbuat dari
Sumber : wowkeren.com
fermentasi keringat bayi dan air susu ibu (ASI).
Dalam karya ini, Natasha terinspirasi dari berbagai aksi kanibalisme yang kian marak, ia
mengajak penikmatnya untuk mempertanyakan kembali moral, norma, dan moralitas dimana
peserta “makan malam” ini menikmati sajian dari ASI dan bayangan memakan bayi yang
sesungguhnya. Hasrat dan perilaku kanibalisme yang diterapkan pada karya ini juga
sebenarnya menjadi sebuah eksperimen sosial bagi Natasha.
Penggelaran karya ini banyak mendapat respon dari masyarakat dan para pengguna internet,
tidak sedikit juga yang melayangkan protes dan hujatan karena merasa karya ini menjijikan,
mengganggu, dan tidak etis, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) juga ikut mengirimkan
surat berisi protes yang menyebut hal ini tidak beretika dan sensitive, terutama terhadap para
ibu.

3. PENUTUP
Terlepas dari segala kontroversinya, masih banyak seniman kontemporer kebanggan Indonesia
yang banyak menggali local content dan mengembangkannya menjadi karya yang lebih fresh,
bukan hanya berusaha membuat karya orisinil, namun juga dapat mengenalkan potensi kesenian
lokal, seperti karya-karya patung Nyoman Nuarta yang banyak menggunakan ornamen Bali sebagai
objek karyanya, ada juga Indieguerillas yang kebanyakan karyanya memadukan seni tradisional
dan modern.
Seni kontemporer juga bisa menjadi salah satu peluang besar bagi para seniman untuk
memperluas lingkup art market, sifat karya yang universal pastinya akan memberi makna yang bisa
menghubungkan lebih banyak orang. Fokus seniman dalam meningkatkan kualitas artistik karya,
membuat karya lebih menarik dan mendalam tentunya akan membuat karya dapat bersaing di pasar
global.
DAFTAR PUSTAKA

Felix, J. (2012). Pengertian seni sebagai pengantar kuliah Sejarah Seni Rupa. Humaniora, 3(2), 614-
621.
Lee, D. (2021). Demanding Images: Democracy, Mediation, and the Image-Event in Indonesia, by
Karen Strassler. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social
Sciences of Southeast Asia, 177(4), 602-605.
Malarsih, M. (2005). Seni Postmodern Dalam Wujud Konkretnya (Postmodern Art in a Concrete
Form). Harmonia Journal of Arts Research and Education, 6(3), 66108.
Pirous, I. (2014). Makna modernitas bagi seniman seni rupa modern indonesia. Antropologi Indonesia.
SARI, G. B. D. (2018). KARYA SENI MAKAN MAYIT SEBAGAI PSIKODINAMIKA FANTASI
KANIBAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM KONVENSIONAL DAN HUKUM ISLAM (Studi
Pada Karya Seni Natasha Gabriella Tontey).
Supangkat, J. (2006). Lagi-Lagi Tidak Paham. Kompas.
Susanto, Mikke. (2002) Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa, Program Pasca Sarjana ISI
Yogyakarta, Yogyakarta.
Wahono, W. (2009). Akan Kemana Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Visual Art, 5(30), 93-94.
Wicaksana, R. C. (2019, September). Dialektika Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Dalam
Budaya Visual Nusantara. In Seminar Nasional Seni dan Desain 2019 (pp. 349-352). State University
of Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai