Anda di halaman 1dari 16

Lembar Pendahuluan Stunting dan balita

A. Konsep Balita
1. Definisi Balita
Balita merupakan istilah umum bagi anak umur 1-3 tahun (batita) dan
anak pra sekolah (3-5 tahun). Masa balita merupakan periode penting
dalam proses perkembangan manusia. Pertumbuhan dan perkembangan
dimasa ini menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan pekembangan
anak di periode selanjutnya (Sutomo & Anggraini, 2010). Anak dibawah
lima tahun atau sering disingkat sebagai anak balita adalah anak yang telah
menginjak umur diatas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian
anak dibawah umur lima tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

2. Pertumbuhan Balita
Pertumbuhan merupakan bertambahnya ukuran dan jumah sel serta
jaringan interseluler. Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah sel dan
ukuran yang mengakibatkan balita bertambah besar tubuhnya secara
keseluruhan. Pertumbuhan erat kaitannya dengan bertambahnya ukuran
fisik seperti tinggi badan, berat badan dan lingkar kepala. Gangguan
pertumbuhan dapat ditandai oleh tinggi badan dan berat badan yang tidak
normal. Gangguan perkembangan kognitif dapat diindikasikan dengan
bentuk dan ukuran lingkar kepala (Sutomo & Anggraini, 2010).

3. Perkembangan Balita
Perkembangan adalah suatu proses dalam kehidupan manusia yang
berlangsung secara terus menerus sejak masa konsepsi sampai akhir hayat
(Rivanica & Oxyandi, 2016). Perkembangan adalah proses yang tidak
pernah berhenti, artinya manusia secara terus menurus berkembang serta
dipengaruhi oleh pengalaman. Perkembangan adalah bertambah
sempurnanya fungsi alat ubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh dan

7
kematangan (Sembiring, 2019). Menurut Rivanica dan Oxyandi (2016)
deteksi dini pertumbuhan bayi dan balita dapat dilakukan dengan
berdasarkan:
a. Panjang Badan atau Tinggi Badan
Pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi.
Tinggi badan atau panjang badan dapat diperkirakan degan
menggunakan rumus Behrman, yaitu:
1) Perkiraan panjang lahir: 50 cm
2) Perkiraan panjang badan umur 1 tahun= 1,5 x panjang badan lahir
3) Perkiraan tinggi badan umur 2-12 tahun= umur (tahun) x 6 + 77
a) Panjang badan BBL normal 48-50 cm
b) Kenaikan tinggi badan pada tahun pertama
(1) Triwulan pertama : 10 cm
(2) Triwulan kedua : 6 cm
(3) Triwulan ketiga : 5 cm
(4) Triwulan keempat : 4 cm
c) Perkiraan panjang badan
(1) 1tahun = 1,5 x PB lahir
(2) 4 tahun = 2 x PB lahir
(3) 6 tahun = 1,5 x TB lahir
(4) 13 tahun = 3 x PB lahir
(5) Dewasa = 3,5 x PB lahir atau 2 x TB 2 tahun
b. Berat Badan
Pertumbuhan bayi dan balita bedasarkan berat badan, sebagai berikut:
Berat badan BBL normal adalah 2.500-4.000 gram. Penurunan
fisiologis 5-10% selama 10 hari pertama
1) Perkiraan berat badan
a) 5 bulan : 2 x BB lahir
b) 1 tahun : 3 x BB lahir
c) 2 tahun : 4 x BB lahir
d) Prasekolah : 2 kg/tahun
2) Pacu tumbuh (growth spurt)
a) Anak perempuan : 8-18 tahun
b) Anak laki-laki : 10-20 tahun
3) Kenaikan berat anak pada tahun pertama kehidupan dengan gizi
yang baik
a) Triwulan pertama : 700-1.000 gram
b) Triwulan kedua : 500-600 gram
c) Triwulan ketiga : 350-450 gram
d) Triwulan keempat : 250-350 gram

Tinggi badan, berat badan dan lingka kepala menurut Sutomo dan
Anggraini (2010) yaitu
a. Umur 1 bulan : Tinggi badan 53 cm, berat badan 4 kg, dan lingkar
kepala 35 cm
b. Umur 4 bulan : Tinggi badan 62 cm, berat badan 6,5 kg, dan
lingkar kepala 40 cm
c. Umur 7 bulan : Tinggi badan 68 cm, berat badan 8 kg, dan lingkar
kepala 43 cm
d. Umur 8 bulan : Tinggi badan 70 cm, berat badan 8,3 kg, dan
lingkar kepala 44 cm
e. Umur 12 bulan : Tinggi badan 75 cm, berat badan 9,6 kg, dan
lingkar kepala 46 cm
f. Umur 18 bulan : Tinggi badan 82 cm, berat badan 11,5 kg, dan
lingkar kepala 48 cm
g. Umur 24 bulan : Tinggi badan 87 cm, berat badan 12 kg, dan
lingkar kepala 48 cm
h. Umur 30 bulan : Tinggi badan 92 cm, berat badan 13 kg, dan
lingkar kepala 48 cm
B. Konsep Stunting
1. Definisi Stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini
diukur dengan panjang atau tinggi badan yang > -2 SD standar
pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi
kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi,
gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi dan kurangnya asupan gizi pada
bayi. Balita stunting dimasa yang akan datang akan mengalami kesulitan
dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes
RI, 2018c).

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan tahun


2017 stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di
bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu
pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi
stunting baru nampak setelah bayi berumur 2 tahun. Balita pendek
(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umur nya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).

2. Tanda dan Gejala Stunting


Menurut Yosephin et al., (2019) tanda-tanda anak stunting sebagai berikut:
a. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar
b. Pertumbuhan gigi terhambat
c. Umur 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak
melakukan eye contact
d. Pertumbuhan melambat
e. Wajah tampak lebih muda dari usianya
3. Penyebab Stunting
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.
Secara lebih detail, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting
sebaga berikut (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,
2017):
a. Praktek Pengasuhan yang kurang baik
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan
informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak umur 0-6 bulan
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif
b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Antenatal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) PNC-
Post Natal Care pembelajaran dini yang berkualitas
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia
menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di posyandu semakin
menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum
mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah
2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang
memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini
yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak umur 3-6 tahun belum terdaftar di
layanan PAUD/Pendidikan Anak Umur Dini)
c. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi
Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih
tergolong mahal. Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI
2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal
dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di
Indonesia lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke
makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1
dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah
tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta
1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
Menurut Stewart et al., (2013) dalam Permadi, et al., (2016) penyebab
masalah stunting salah satunya akibat dari pemberian Air Susu Ibu (ASI)
tidak eksklusif, penundaan Inisiasi Menyusi Dini (IMD), dan penyapihan
ASI yang terlalu cepat.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting


Menurut Yuliana dan Hakim (2019) kejadian stunting berhubungan
dengan berbagai macam faktor yaitu:
a. Faktor karakteristik orang tua yaitu: pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
pola asuh, pola makan dan jumlah anggota dalam keluarga
1) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anindita (2012)
mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan ibu
dengan kejadian stunting pada balita
2) Berdasarkan penelitian Ngaisyah (2015) bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara pekerjaan ayah dengan kejadian stunting
3) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ngaisyah (2015)
mengatakan bahwa pendapatan orang tua memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting. Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Anindita (2012) mengatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan
kejadian stunting pada balita
4) Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nadimin (2013) pola makan
pada anak yang meliputi pemberian makanan prelaktal, pemberian
air susu ibu (ASI) dan pemberian makanan pendamping ASI (MP-
ASI) yang kurang lebih beresiko untuk terjdinya masalah stunting
pada anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Aramico, Sudargo, dan
Susilo (2013) menunjukkan bahwa pola makan dengan kategori
kurang memiliki resiko 6,01 kali lebih besar menyebabkan status
gizi stunting dibandingkan dengan pola makan dengan kategori
cukup, masing-masing dengan status gizi stunting 63,8% dan 22,7%,
sehingga penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pola makan dengan kejadian stunting pada anak
5) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lailatul & Ni’mah
(2015) bahwa pola asuh ibu tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan masalah stunting pada balita
6) Berdasarkan penelitian di Brazil oleh Menezes et al., (2011) bahwa
terdapat hubungan antara jumlah anggota dalam keluarga terhadap
kejadian stunting. Menezes et al., (2011) mengatakan bahwa
semakin besar jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu
rumah, maka anak akan memiliki kecenderungan stunting pada umur
kurang dari lima tahun. Hasil penelitian Menezes et al., (2011) tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasution, Nurdiati,
dan Huriyati (2014) mengatakan bahwa hasil analisis pada jumlah
anggota keluarga tidak menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dengan kejadian stunting. Hal ini karena sebagian besar
rumah tangga memiliki nggota keluaga kecil yaitu kurang dari 4
orang
b. Faktor genetik
Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik dan
merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan
kejadian stunting (Ibrahim dan Faramita 2014). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Ibrahim dan Faramita (2014) bahwa terdapat
hubungan antara tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada
anak balita.
c. Penyakit Infeksi
Menurut Preedy, VR dalam Sundari dan Nuryanto (2016) penyakit
infeksi yang berisiko pada awal umur 2 tahun terhadap kejadian
stunting adalah diare dan penyakit pernafasan. Penelitian yang
dilakukan oleh Sundari dan Nuryanto (2016) bahwa riwayat penyakit
infeksi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting
pada balita. Hal ini sejalan dengan penelitian Dewi dan Adhi tahun
2016 bahwa penyakit infeksi merupakan faktor dominan kejadian
stunting
d. Kejadian BBLR
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasution et al., (2014)
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian BBLR
dengan kejadian stunting pada anak
e. Kekurangan energi dan protein
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, Hadi, dan
Kumara (2010) bahwa anak demgan asupan energi, protein, vitamin B2,
vitamin B6, Fe dan Zn kurang akan memiliki risiko menjadi stuntin.
Hal ini sejalan dengan penelitian Anindita (2012) bahwa tedapat
hubungan yang positif antara tingkat kecukupan protein dengan
kejadian stunting pada balita
f. Sering mengalami penyakit kronis
g. Praktek pemberian makan yang tidak sesuai

5. Dampak Stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting (Yosephin dkk.,
(2019), yaitu:
a. Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,
kecerdasan, gagguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme
dalam tubuh
b. Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah
menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit janntung dan
pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada umur tua.

Berdasarkan teori yang dikemukakan Yosephin dkk., (2019) didukung


oleh penelitian Pantaleon, Hadi, dan Gamayanti (2015) menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan perkembangan
motorik baduta, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara stunting
dengan perkembangan kognitif, bahasa, sosioemosional, dan
perkembangan adaptif baduta. Teori Yosephin dkk., (2019) tersebut
selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwi, Yadika, Berawi, dan
Nasution (2019) yang mengataka bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara stunting dengan IQ sebagai salah satu tanda
perkembangan otak, dimana skor IQ pada anak stunting lebih rendah
dibandingkan dengan anak non stunting, Dwi, Yadika, Berawi, dan
Nasution (2019) mengatakan bahwa hal ini dapat terjadi karena stunting di
awal kehidupan seorang anak dapat menyebabkan kerusakan permanen
pada perkembangan kognitif yang diikuti dengan perkembangan motorik,
dan intelektual yang kurang optimal sehingga cenderung dapat
menimbulkan konsekuensi terhadap pendidikan, pendapatan, dan
produktivitas pada masa dewasa sehingga berpotensi menurunkan
pertumbuhan ekonomi.

6. Pencegahan Stunting
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals
(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke- 2
yaitu menghilangkan kelaparan dari segala bentuk malnutrisi pada tahun
2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah
menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Berdasarkan
peraturan menteri kesehatan nomor 39 tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga,
upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting diantaranya
adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2018c):
a. Ibu Hamil dan Bersalin
1) Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
2) Mengupayakan jainan mutu Ante Natal Care (ANC) terpadu;
3) Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
4) Menyelenggarakan program pemberian makanan Tinggi Kalori,
Protein, Dan Mikronutrien (TKPM);
5) Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular)
6) Pemberantasan kecacingan;
7) Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke
dalam buku KIA;
8) Menyelenggarakan konseling Inisiasi menyusui Dini (IMD) dan
ASI eksklusif; dan
9) Penyuluhan dan pelayanan KB
b. Balita
1) Pemantauan petumbuhan balita;
2) Menyelenggaakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) untuk balita;
3) Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
4) Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal
c. Anak Umur Sekolah
1) Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
2) Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
3) Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
4) Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan
narkoba
d. Remaja
1) Meningkatkan penyuluhan untuk Perilaku Hidup Bersih Dan
Sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan
mengkonsumsi narkoba; dan
2) Pendidikan ksehatan reproduksi
e. Dewasa Muda
1) Penyuluhan dan pelayanan Keluarga Berencana (KB);
2) Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
3) Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang,
tidak merokok/mengonsumsi narkoba

7. Penanganan Stunting
Gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN) pada
tahun 2010 diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk
berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi.
Pada 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut
melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting. Kerangka
Intervensi Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai
macam program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L)
terkait (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2017)


Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi
Sensitif, yaitu:
a. Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan
intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting
Kegiatan ini bergerak di bidang sektor kesehatan. Intervensi ini juga
bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu
relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan
Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi
utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:
1) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil. Intervensi ini
meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu
hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis,
mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi
kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta
melindungi ibu hamil dari Malaria
2) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak umur
0-6 bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang
mendorong Inisiasi Menyusui Dini/IMD terutama melalui pemberian
ASI jolong/colostrum serta mendorong pemberian ASI Eksklusif
3) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak umur
7-23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong
penerusan pemberian ASI hingga anak/bayi berumur 23 bulan.
Kemudian, setelah bayi berumur diatas 6 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan
suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan,
memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi
lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
h. Kerangka intervensi stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang
kedua adalah intervensi gizi sensitif (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, 2017). Kerangka ini dilakukan melalui
berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan diharapkan
dapat berkontribusi pada 70% intervensi stunting. Sasaran dari
intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak
khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK.
Kegiatan terkait intervensi gizi sensitif dapat dilaksanakan melalui
beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas
Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi
pada penurunan stunting melalui intervensi gizi spesifik sebagai
berikut:
1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih
2) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi
3) Melakukan fortifikasi bahan pangan
4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB)
5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
6) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)
7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua
8) Memberikan Pendidikan Anak Umur Dini (PAUD) Universal
9) Memberikan pendidikan gizi masyarakat
10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi
pada remaja
11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin
12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

C Penentuan Status Gizi Stunting Dengan Antropometri


Penilaian status gizi merupakan interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan
berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang berisiko atau dengan status gizi
buruk. Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat perkembangan
kekurangan gizi yaitu metode konsumsi, motode laboratorium, metode antropometri dan metode
klinik. Penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam metode langsung maupun tidak langsung.
Metode langsung penilaian status gizi secara langsung meliputi metode biokimia, antropometri,
klinik dan biofisik (Hidayati. T et al., 2019). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ukuran fisik
erat kaitannya dengan status gizi. Ukuran-ukuran dengan metode antropometri diakui sebagai indeks
yang dapat diandalkan bagi penentuan status gizi di negara-negara berkembang (Hidayati. T et al.,
2019).
Ukuran antropometriterbagi atas 2 tipe, yaitu ukuran pertumbuhan tubuh dan komposisi tubuh.
Ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan yaitu: tinggi badan atau penjang badan, lingkar kepala,
lingkar dada, tingggi lutut. Pengukuran komposisi tubuh dapat dilakukan melalui ukuran berat
badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit (Hidayati. T et al., 2019)
Indikator status gizi yang didasarkan pada ukuran Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB)
biasanya disajikan dalam bentuk indeks yang terkait dengan Umur (U) atau kombinasi diantara
keduanya. Indeks antropometri yang biasa digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U),
Tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U,
TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi yang memiliki karakteristik masing-masing
dengan batasan tertentu. Nilai-nilai antropometri dapat digunakan sebagai indikator untuk
menentukan status gizi. Indeks TB/U cukup sensitif untuk mengukur perubahan status gizi dalam
jangka panjang karena stabil tidak terpengaruh oleh fluktuasi perubahan status gizi yang sifatnya
musiman (Hidayati. T et al., 2019).
Agustina, A., & Hamisah, I. (2019). Hubungan Pemberian ASI Ekslusif, Berat
Bayi Lahir Dan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Di Wilayah Kerja
Puskesmas Reubee Kabupaten Pidie. Journal of Healthcare Technology and
Medicine, 5(2), 162.
Anindita, P. (2012). Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,
Kecukupan Protein & Zinc Dengan Stunting (Pendek) Pada Balita Usia 6 –
35 Bulan Di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 1(2), 1–10.
Aramico, B., Sudargo, T., & Susilo, J. (2013). Hubungan Sosial Ekonomi, Pola
Asuh, Pola Makan Dengan Stunting Pada Siswa Sekolah Dasar Di
Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, 1(3), 121–130.
Azriful, Bujawati, E., Habibi, Aeni, S., & Yusdarif. (2018). Determinan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Kelurahan Rangas Kecamatan
Banggae Kabupaten Majene, 10(2), 192–203.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. (2018). Prevalensi Gizi Buruk di
Jakarta Tinggi, Bappeda Adakan Forum Lintas Bidang Tema Stunting.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Retrieved
from
Dewi, C., & Adhi, T. (2016). Pengaruh Konsumsi Protein Dan Seng Serta
Riwayat Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Balita
Umur 24-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida III, 3(1), 36–
46.
Dwi, A., Yadika, N., Berawi, K. N., & Nasution, S. H. (2019). Pengaruh Stunting
terhadap Perkembangan Kognitif dan Prestasi Belajar, 273–282.
Fitri, L. (2018). Hubungan BBLR Dan ASI Ekslusif Dengan Kejadian Stunting Di
Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru. Jurnal Endurance, 3(1), 131.
Fitri, L., & Ernita. (2019). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan MP ASI Dini
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita. Ilmu Kebidanan, 8(1).
Handayani, S., Kapota, W. N., & Oktavianto, E. (2019). Hubungan Status ASI
Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Batita Usia 24-36 Bulan Di Desa.
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 14(4), 287–300.
Hidayati, L., Hadi, H., & Kumara, A. (2010). Kekurangan Energi Dan Zat Gizi
Merupakan Faktor Risiko Kejadian Stunted Pada Anak Usia 1-3 Tahun Yang
Tinggal Di Wilayah Kumuh Perkotaan Surakarta, 3(1), 89–104. Retrieved
from https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/handle/11617/2315
Ibrahim, I. A., & Faramita, R. (2014). Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Keluarga
dengan Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Barombong Kota Makassar Tahun 2014. Al-Sihah : Public
Health Science Journal, 7(2), 63–75. https://doi.org/10.1121/1.394925
Kemenkes RI. (2018b). Penurunan Stunting Jadi Fokus Pemerintah.
Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. (2018c). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia (1st ed.). (E.
S. Sakti, Ed.). Jakarta: Pusat Data dan Informasi.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Infodatin-Anak-Balita. Kemenkes RI,
Pusat Data Dan Informasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Lailatul, M., & Ni’mah., C. (2015). Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat
Pengetahuan dan Pola Asuh Ibu dengan Wasting dan Stunting pada Balita
Keluarga Miskin. Media Gizi Indonesia, 10(2015), 84–90.
https://doi.org/Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015: hlm. 84–90 terdiri
Nasution, D., Nurdiati, D. S., & Huriyati, E. (2014). Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia, 11(01), 31–37.

Subagyo, A. (2020). Aplikasi Metode Riset: Praktik Penelitian Kualitatif,


Kuantitatif, dan Mix Methods (1st ed.). Malang: Inteligensia Media.
Retrieved
Sujarweni, V. W. (2014). Metodologi Penelitian Keperawatan (Pertama).
Yogyakarta: Gava Media.
Riwayat Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Stunting Pada Balita. Medika
Respati : Jurnal Ilmiah Kesehatan, 15(1), 1.
Sundari, E., & Nuryanto. (2016). Hubungan Asupan Protein, Seng, Zat Besi, dan
Riwayat Penyakit Infeksi Dengan Z-Score TB/U Pada Balita. Journal of
Nutrition College, 5(Jilid 5), 520–529.
Sutomo, B., & Anggraini, D. Y. (2010). Menu Sehat Alami untuk Balita Battita
&Balita (Pertama). Jakarta: Demedia.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. (2017). 1000
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting)
Ringkasan. Jakarta.
Rivanica, R., & Oxyandi, M. (2016). Buku Ajar dan Deteksi Dini Tumbuh
Kembang dan Pemeriksaan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Salemba Medika.
Windasari, D. P., Syam, I., & Kamal, L. S. (2020). Faktor Hubungan Dengan
Kejadian Stunting Di Puskesmas Tamalate Kota Makassar (Factors Related
To The Incidence Of Stunting At The Tamalate Health Center In Makassar
City ),2020(5), 27

Anda mungkin juga menyukai