Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Balita

a) Definisi Balita

Anak balita adalah anak di dibawah lima tahun atau anak

yang telah menginjak usia diatas satu tahun. Balita merupakan anak

umur 1 sampai dengan 3 tahun (batita) dan anak prasekolah yaitu

umur 3 sampai dengan 5 tahun. Anak umur 1 sampai dengan 3

tahun belum bisa melakukan kegiatan makan, mandi, dan buang air,

pada usia terebut anak masih harus dibantu sepenuhnya oleh orang

tuanya (Setyawati, 2018).

Balita adalah anak yang mempunyai kelompok umur

sebagai berikut kelompok usia bayi yaitu usia 0 sampai dengan 2

tahun, kelompok balita yaitu usia 2 sampai dengan 3 tahun dan

kelompok prasekolah yaitu usia lebih dari 3 sampai dengan 5 tahun.

Sedangkan menurut WHO, umur balita adalah 0 sampai dengan 60

bulan (Andriani dan Wirjatmadi, 2014).

Menurut Prasetyawati (2011) tumbuh kembang manusia

berlangsung cepat dan masa balita merupakan periode penting

dalam proses tumbuh kembang tersebut. Perkembangan dan

pertumbuhan anak usia balita menjadi faktor dasar pertumbuhan dan

perkembangan anak di masa mendatang. Anak balita adalah anak di

19
20

dibawah lima tahun atau anak yang telah menginjak usia diatas satu

tahun. Balita adalah anak usia 1 sampai dengan 3 tahun atau disebut

batita dan anak prasekolah yaitu umur 3 sampai dengan 5 tahun.

Tumbuh kembang anak usia 1 sampai dengan 3 tahun seperti

makan, buang air besar atau mandi masih tergantung penuh pada

bantuan orangtuanya (Setyawati, 2018).

Balita adalah golongan usia bayi 0 sampai dengan 2 tahun,

golongan balita usia 2 sampai dengan 3 tahun) dan golongan

prasekolah yaitu usia lebih dari 3 sampai dengan 5 tahun.

Sedangkan menurut WHO, usia balita adalah 0-60 bulan (Andriani

dan Wirjatmadi, 2014). Lebih lanjut menurut Prasetyawati (2011)

perkembangan dan pertumbuhan pada masa balita merupakan dasar

dalam pertumbuhan dan perkembangan anak di masa yang akan

datang dan proses pada periode ini berlangsung cepat.

b) Kondisi Fisiologi Balita

Pada masa usia anak dibawah lima tahun yaitu pada usia 12

sampai dengan 59 bulan mengalami kemajuan pada fungsi sekresi

dan perkembangan gerak baik gerak kasar maupun halus, dan pada

usia tersebut mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan. (Marmi

dan Rahardjo, 2015).

Pertumbuhan yang terjadi pada usia balita akan menjadi

dasar dan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya, lebih

rinci dijelaskan bahwa perkembangan kemampuan bicara dan


21

bahasa, kreativitas, kesadaran sosial, kecerdasan, tingkat emosi pada

usia balita berjalan sangat cepat dan merupakan dasar perkembangan

lebih lanjut. Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak masih

berlangsung, dan pertumbuhan syaraf juga masih berlangsung,

sehingga terbentuk jaringan syaraf dan otak yang kompleks, hal ini

terjadi setelah bayi lahir terutama pada 3 tahun pertama kehidupan,

dimana anak mulai mengenal huruf, mempunyai kemampuan belajar

berjalan, sampai bisa bersosialisasi terhadap sekita. hal tersebut

terjadi karena pada usia itu sel syaraf mulai berkembang yang

mempengaruhi kinerja otak. (Marmi dan Rahardjo, 2015).

Hal tersebut senada dengan Setyawati (2018), yang

menjelaskan waktu yang paling penting dalam tumbuh kembang

anak dan menjadi dasar keberhasilan pertumbuhan dan

perkembangan anak pada usia selanjutnya terjadi pada saat anak

dalam usia emas yaitu pada usia balita, dimana pada usia ini

berlangsung sangat cepat dan tidak akan pernah bisa diulang

kembali.

2. Status Gizi

a) Definisi Status Gizi

Status gizi merupakan gambaran keadaan keseimbangan

gizi dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan keadaan gizi

dalam bentuk variabel tertentu (Adriani & Wirjatmadi, 2014). Lebih

lanjut berdasarkan Kemenkes (2018) diketahui bahwa kondisi dimana


22

pada metabolisme tubuh diperlukan zat gizi yang diperoleh dari

asupan zat gizi maknan, dimana asupan makanan dan kebutuhan

tubuh harus seimbang, kondisi ini yang disebut sebagai status gizi,

lebih lanjut dijelaskan anak dengan status gizi baik terjadi karena

adanya keseimbangan asupan zat gizi dari makanan dengan

kebutuhan tubuhnya. Setiap individu membutuhkan asupan zat gizi

yang berbeda tergantung pada usia, berat badan, aktivitas tubuh, jenis

kelamin, dan lainnya (Kemenkes RI, 2018)

b) Klasifikasi Status Gizi

Status gizi pada usia balita dapat dinilai menurut Berat

Badan berdasarkan Umur (BB/U), Tinggi Badan berdasarkan Umur

(TB/U), Berat Badan berdasarkan Tinggi Badan (BB/TB).

1) BB/U adalah berat badan anak berdasarkan umur tertentu.

a) Gizi buruk : < -3SD

b) Gizi kurang : -3SD sampai dengan < -2SD

c) Gizi baik : -2SD sampai dengan 2SD

d) Gizi lebih : > 2SD

2) TB/U adalah tinggi badan anak berdasarkan umur tertentu.

a) Sangat pendek : < -3SD

b) Pendek : -3SD sampai dengan -2SD

c) Normal : ≥ -2SD

3) BB/TB adalah berat badan anak dibanding tinggi badani.

a) Sangat kurus : < -3SD


23

b) Kurus : -3SD sampai dengan -2SD

c) Normal : -2SD sampai dengan 2SD

d) Gemuk : > 2SD (Kemenkes RI, 2018)

c) Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dapat menggunakan antropometeri

yang merupakan parameter status pertumbuhan dimana dapat

menjelaskan mengenai status gizi, seperti gizi yang tidak seimbang

akan mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan.

Terhambatnya pertumbuhan terjadi karena anak mengalami kurang

gizi dan pertumbuhan berlebih atau kegemukan pada anak terjadi

karena anak mengalami kelebihan gizi. (Kemenkes RI, 2018).

Asupan gizi yang dikonsumsi berpengaruh terhadap

perkembangan dan penambahan tubuh anak dari waktu ke waktu, dan

antropometri ini bisa digunakan sebagai penilaian status pertumbuhan

tersebut Pemantauan penambahan berat badan dapat dilakukan di

posyandu den dengan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat), dan

pemantauan pertumbuhan dengan menggunakan Grafik Pertumbuhan

Anak (Kemenkes RI, 2018).

1) Penilaian satus gizi menggunakan metode antropometri

mempunyai kelebihan sebagai berikut :

a) Prosedur pengukuran status gizi menggunkan metode ini

sederhana dan aman digunakan.


24

b) Pengukuran dengan metode ini tidak membutuhkan tenaga ahli,

hanya dilakukan pelatihan sebelumnya.

c) Alat ukur yang digunakan pada metode ini harganya terjangkau,

mudah dibawa dan awet.

d) Hasilnya tepat dan akurat.

e) Hasil ukuran dapat mendeteksi riwayat asupan gizi masa lalu.

f) Hasil ukuran dapat mengidentifikasi status gizi baik, sedang,

kurang, dan buruk.

g) Ukuran hasil metode ini dapat digunakan untuk menyaring

status gizi anak sehingga dapat mengetahui adanya risiko

permaslahan gizi.

2) Penilaian status gizi menggunkan metode antropometri mempunyai

kekurangan sebagai berikut :

a) Hasil ukuran tidak bisa membedakan kekurangan gizi tertentu

dimana zat gizi mikro, misalnya kekurangan Zinc tidak bisa

terdeteksi karena kurang sensitif.

b) Pada pengukuran antropimetri, faktor-faktor diluar gizi dapat

menurunkan spesifikasi dan sensitivitas ukuran. Contohnya

anak memiliki asupan gizi yang normal tapi anak tersebut

masuk dalam kategori kurus, hal ini bisa terjadi karena anak

menderita penyakit infeksi.

c) Kesalahan waktu pengukuran pada antropometri dapat

mempengaruhi hasil (Kemenkes RI, 2018).


25

d) Faktor Yang Mempengaruhi Gizi

1) Faktor lingkungan

Lingkungan merupakan faktor penting yang mempengaruhi

tercapainya pertumbuhan tubuh, dimana pada lingkungan yang

baik akan memungkinkan tercapainya potensi pertumbuhan,

sebaliknya lingkungan yang kurang baik akan mengakibatkan

pertumbuhan terhambat (Kemenkes RI, 2018).

2) Faktor genetik

Faktor genetik merupakan penentu sifat yang diturunkan

dari kedua orang tuanya, hal ini dapat dijelaskan anak akan

mempunyai tinggi badan yang kurang ketika orang tuanya

memiliki tinggi badan yang pendekl, walaupun asupan gizi anak itu

termasuk yang baik. Faktor genetik ini juga dapat dijelaskan ketika

anak yang mempunyai orang tua obesitas, maka anak tersebut

mempunyai risiko untuk menjadi obesitas lebih besar dari pada

anak yang berat badan orang tuanya normal (Kemenkes RI, 2018).

e) Dampak Asupan Gizi

1) Asupan gizi kurang pada tubuh dapat berdampak sebagai

berikut :

a. Struktur dan fungsi otak

Ganggunya fungsi otak secara permanen, yang bisa

menyebabkan kemampuan berpikir menjadi berkurang pada anak


26

sekolah maupun orang dewasa terjadi karena kekurangan asupan

gizi (Kemenkes RI, 2018).

b. Pertumbuhan

Balita yang mempunyai asupan gizi yang kurang tidak

dapat tumbuh optimal dan pembentukan otot terhambat (Kemenkes

RI, 2018).

c. Pertahanan tubuh

Asupan Gizi yang kurang dalam hal ini kekurangan protein,

dimana berguna untuk pembentukan antibodi, dapat

mengakibatkan sistem imunitas dan antibodi berkurang sehingga

anak mudah terserang penyakit seperti pilek, batuk, diare atau

penyakit infeksi yang lebih berat (Kemenkes RI, 2018).

d. Produksi tenaga

Asupan gizi yang kurang akan berdampak pada sumber

tenaga, dimana dapat menyebabkan kekurangan tenaga untuk

bergerak, bekerja, dan melakukan aktivitas (Kemenkes RI, 2018).

e. Perilaku

Balita yang mempunyai perilaku tidak tenang, cengeng, dan

pada stadium lanjut anak bersifat apatis merupakan balita yang

sedang menderita kekurangan gizi. Hal ini juga terjadi pada orang

dewasa. (Kemenkes RI, 2018).

2) Asupan gizi berlebih pada tubuh dapat berdampak sebagai

berikut
27

a. Asupan gizi lebih menyebabkan kegemukan atau obesitas.

Hal ini dapat dijelaskan ketika kelebihan energi yang

dikonsumsi akan disimpan sebagai cadangan energi tubuh

dalam bentuk lemak dan disimpan di bawah kulit.

b. Akibat dari kelebihan asupan gizi ini merupakan faktor

risiko terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti

kanker, diabetes mellitus, hipertensi, jantung koroner,

gangguan hati, kantong empedu dan lainnya (Kemenkes RI,

2018).

Menurut Siswanto (2017) menjelaskan bahwa asupan gizi

kurang secara langsung disebabkan oleh konsumsi makanan yang

tidak seimbang, yang mana zat gizi di dalam makanan yang

dikonsumsi tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pada

tubuh yang diperlukan sehingga mempengaruhi melemahnya daya

tahan tubuh, keadaan itu akan memudahkan munculnya penyakit

infeksi seperti diare, demam dan lain sebagainya, hal terebut akan

membuat nafsu makan menjadi turun dan akhirnya dapat menderita

kurang gizi.

2. Teori Stunting

a. Definisi Stunting

Stunting adalah suatu keadaan tinggi badan (TB) seseorang

yang tidak sesuai dengan umurnya, dimana penentuan stunting

dilakukan dengan menghitung skor Z indeks Tinggi Badan


28

berdasarkan umur (TB/U). Asupan gizi yang kurang, baik dari segi

kualitas maupun kuantitas, tingginya kesakitan, atau merupakan

kombinasi dari keduanya, merupakan dampak dari stunting, selain

itu stunting merupakan gambaran status gizi dan status kesehatan

pada anak di masa lalu yang kurang baik dimana terjadi gangguan

pertumbuhan linear. (Kartini, 2016).

Berdasarkan Perturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak

diketahui bahwa penilaian tren pertumbuhan anak dengan

membandingkan pertambahan panjang badan atau tinggi badan

dengan standar pertambahan panjang badan atau tinggi badan

dilakukan dengan menggunakan grafik Panjang/Tinggi Badan

berdasarkan Umur (PB/U atau TB/U) atau dengan membandingkan

pada tabel pertambahan panjang badan atau tinggi badan. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa penentuan status gizi anak merujuk pada

tabel Standar Antropometri Anak. Dalam hal penentuan stunting

pada bayi dan balita dengan menggunakan tabel Standar Panjang

Badan menurut Umur (PB/U) Anak Laki-Laki dan Anak

Perempuan Umur 0 - 24 Bulan dimana pada tabel standar panjang

badan tersebut anak berdasarkan umur akan dapat dilihat masuk

dalam kategori ambang batas / Z Score. (Kemenkes, 2020)

Perturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 2

Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak juga menjelaskan


29

mengenai kategori dan ambang batas Status Gizi Anak dimana

terlihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Anak

Indeks ategori Status Gizi Ambang Batas (Zscore)


njang Badan atau Sangat Pendek < -3 SD
Tinggi Badan (Severely stunde)
menurut Umur Pendek (stuned) SD sampai dengan < -2
(PB/U atau TB/U) SD
Anak Usia 0 – 60 2 SD sampai dengan +3
Normal SD
bulan Tinggi > +3 SD
(Kemenkes, 2020)

Stunting menunjukkan bagaimana keadaan gizi

sebelumnya dan digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik

yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka

waktu lama (Kartikawati, 2011).

b. Proses Terjadinya Stunting

Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi, yaitu ketika

seorang remaja yang mengalami kurang gizi dan menderita anemia

telah menjadi ibu, kemudian ketika hamil ibu tersebut asupan

gizinya tidak mencukupi kebutuhan, ditambah lagi ketika ibu hidup

di lingkungan dengan sanitasi kurang memadai sehingga kondisi

kesehatan dan status gizinya menjadi lebih parah. Ibu hamil pada

umumnya akan mengalami pengurangan atau defisit energi dan

protein. Hasil dari Survei Nasional Konsumsi Makanan Individu

(SKMI) tahun 2104 menunjukkan asupan makan berupa energi dan

protein merupakan permasalahan pada sebagian besar ibu hamil


30

baik di kota dan di desa, hal ini disebabkan salah satunya adalah

oleh faktor sosial ekonomi. Kondisi-kondisi tersebut disertai

dengan ibu hamil yang pada umumnya juga pendek (< 150 cm), hal

tersebut berdampak pada bayi yang dilahirkan mengalami kurang

gizi, dengan berat badan lahir rendah < 2.500 gram dan juga

panjang badan yang kurang dari 48 cm (Kemenkes RI, 2018).

Asupan makanan dan penyakit infeksi merupakan faktor

yang secara langsung dapat menyebabkan stunting. Sedangkan

faktor sosial ekonomi, seperti tingkat pendidikan, pendapatan

keluarga, dan ketersediaan pangan merupakan faktor tidak

langsung yang mempengaruhi terjadinya stunting (Suiraoka, 2011),

hal di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Asupan Zat Gizi

Faktor langsung kejadian stunting adalah pemenuhan zat

gizi terutama pemenuhan asupan energi dari zat gizi makro

(karbohidrat, lemak dan protein) yang sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan anak kedepannya. Asupan energi dan protein

mempunyai hubungan yang erat dengan status gizi, dimana asupan

yang rendah dan berlebih akan berdampak terhadap status gizi

yang buruk. Gizi kurang disebabkan ketika asupan energi dan

protein sangat rendah dan dalam jangka waktu yang lama,

kemudian jika tidak cepat ditangani akan menjadi gizi buruk

(Suiraoka, 2011).
31

Stunting pada anak, selain disebabkan oleh defisiensi zat

gizi makro, juga berhubungan dengan defisiensi zat gizi mikro

dalam hal ini jika terjadi defisiensi Zinc. Zinc merupakan mineral

penting yang berperan dalam sintesis, sekresi, dan kontrol hormon

pertumbuhan, sehingga jika asupan zinc rendah maka sintesis

hormon pertumbuhan ikut rendah dan dapat menghambat

pertumbuhan linier yang akhirnya akan menyebabkan kondisi

stunting pada masa balita (Hidayati, 2010).

b) Penyakit Infeksi

Diare merupakan penyakit infeksi yang dapat

mengakibatkan stunting pada balita. Balita yang sering mengalami

diare akut akan beresiko 2 sampai 3 kali lebih besar tumbuh

menjadi stunting. Selama diare terjadi, penanganan dan

penyeimbangan dengan asupan makan yang adekuat akan

memperbaiki terjadinya kondisi malabsorbsi zat gizi, dehidrasi dan

kehilangan zat gizi pada balita yang menderita diare, tapi apabila

tidak dilakukan penanganan terebut maka akan timbul dehidrasi

parah, malnutrisi dan gagal tumbuh (Nasikhah, 2012).

c) Berat Badan Lahir

Berat lahir akan mempengaruhi dan berdampak terhadap

pertumbuhan, perkembangan dan tinggi badan anak pada masa

yang akan datang. Risiko tinggi pada mortalitas, morbiditas,

penyakit infeksi, kekurangan berat badan dan stunting dapat terjadi


32

pada bayi dengan berat badan lahir ringan. Hal ini terjadi pada

awal periode neonatal sampai masa kanak-kanak (Wiyogowati C,

2012). Tingginya kejadian stunting di Indonesia dan menjadi faktor

yang paling dominan berisiko terhadap stunting pada anak

dipengaruhi oleh tingginya BBLR yang ada di Indonesia (Nadiyah,

2014).

Balita dengan berat lahir rendah memiliki risiko mengalami

stunting 4,47 kali lebih besar daripada balita dengan berat lahir

normal, hal ini diketahui pada penelitian di Nepal dan dapat

disimpulkan bahwa BBLR merupakan faktor resiko terjadinya

stunting (Paudel,et al., 2012).

d) Pendapatan dan Pendidikan Orangtua

Dalam menentukan jumlah makanan yang tersedia pada

keluarga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, dimana faktor ini

turut menentukan status gizi keluarga tersebut, dan juga

mempengaruhi pertumbuhan anak (Ibrahim, 2014). Kemudahan

memperoleh akses pendidikan dan kesehatan akan juga

mempengaruhi status gizi anak, hal tersebut terjadi apabila

pendapatan pada keluarga tergolong tinggi (Bishwakarma, 2011).

Penelitian Meilyasari dan Isnawati (2014) menunjukkan

bahwa risiko stunting lebih tinggi dialami oleh balita dengan

panjang lahir rendah (< 48 cm) yaitu 4,091 kali lebih besar

daripada balita dengan panjang badan lahir normal (> 48 cm). Pada
33

bayi yang sudah mengalami gangguan ketika dalam kandungan

pada masa kehamilan dan prematuritas mempunyai resiko lebih

besar untuk terjadi gangguan tumbuh, yaitu panjang badan yang

jauh di bawah rata-rata lahir. Hal ini disebabkan ketika dalam

kandungan telah mengalami retardasi pertumbuhan. Lebih rinci

dapat dijelaskan bahwa panjang badan merupakan faktor risiko lain

dari stunting.

Kurva pertumbuhan standar yang menggambarkan

Standar pertumbuhan anak umur 0-59 bulan pada lingkungan

yang mendukung pertumbuhan optimal anak dapat dilihat pada

kurva standar pertumbuhan anak berdasarkan WHO (2016).

Kurva pertumbuhan berdasarkan panjang badan balita umur 2 –

5 tahun dapat diketahu pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Kurva WHO Panjang Badan Balita Laki-laki Usia 0 –

2 tahun
34

Gambar 2.2. Kurva WHO Panjang Badan Balita Perempuan Usia 0 –

2 tahun

Wong (2016) menjelaskan bahwa pengukuran panjang badan

untuk anak usia sampai dengan 2 tahun sebagai berikut :

1) Papan atau meja pengukur disiapkan dan apabila tidak ada

dapat digunkan pita pengukur (meteran)

2) Anak dibaringkan terlentang tanpa bantal atau disebut supinasi,

kemudian luruskan lutut sampai menempel pada meja atau

disebut posisi ekstensi

3) Bagian puncak kepala dan bagian bawah kaki diluruskan atau

dengan kata lain telapak kaki tegak lurus dengan meja

pengukur, kemudian panjang badan diukur sesuai dengan skala

yang tertera.

4) Memberi tanda pada tempat tidur yang rata berupa garis atau

titik pada bagian puncak kepala dan bagian tumit kaki bayi jika

tidak ada papan pengukur.


35

Gambar 2.3. Cara Pengukuran Lingkar Kepala, Dada, Abdomen, dan Panjang

Badan (pada Posisi Berbaring) dari Kepala sampai Tumit, Wong (2016)

c. Dampak Stunting

Menurut World Health Organization (WHO), dampak yang

ditimbulkan stunting dapat dibagi sebagai berikut :

1) Jangka Pendek

a) Peningkatan kejadian morbiditas dan mortalitas pada anak;

b) Perkembangan yang tidak optimal pada tingkat kecerdasan,

motorik, dan verbal pada anak

c) Peningkatan biaya kesehatan.

2) Jangka Panjang

a) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa diman tinggi

badan lebih pendek dibandingkan dengan umurnya

b) Meningkatkan resiko kegemukan atau obesitas dan

penyakit lainnya

c) Menurunnya kesehatan reproduksi

d) Pada masa sekolah mengalami kapasitas belajar dan

performa yang kurang optimal


36

e) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal

(Kemenkes RI, 2018).

Kemampuan membaca pada anak yang pendek lebih rendah

dibandingkan pada anak yang normal, hal ini membuktikan bahwa

anak yang menderita stunting pada saat dewasa nanti akan

mempengaruhi tumbuh kembangnya (Gibney, 2009 dalam Ilahi

2017).

d. Upaya Pencegahan Stunting

Salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu

menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun

2030 serta mencapai ketahanan pangan adalah stunting, dimana

angka stunting harus diturunkan hingga 40% pada tahun 2025.

Stunting ditetapkan sebagai salah satu program prioritas

pemerintah, sehingga prevalensi stunting harus diturunkan melalui

upaya sebagai berikut:

1) Ibu hamil dan bersalin

a) Melalakukan upaya penigkatan status gizi pada ibu hamil

sampai anak usia 2 tahun

b) Meningkatkan kualitas sarana dan sumber daya manusia

pada saat persalinan di fasilitas kesehatan

c) Mengupayakan jaminan kulaitas persalinan terpadu

d) Penyuluhan dan pelayanan Keluarga Berencana.


37

e) Menyelenggarakan program pemberian makanan dengan

kandungan gizi yang optimal

f) Deteksi dini penyakit

g) Pencegahan dan pemberantasan kejadian kecacingan di

masyarakat

h) Mewujudkani Kartu Menuju Sehat (KMS).

2) Balita

a) Pemantauan tumbuh kembang balita;

b) Memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan optimal

c) Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak

d) Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan

Tambahan untuk balita (Kemenkes RI, 2018).

Pencegahan stunting dilakukan melalui intervensi gizi

spesifik pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dimana

dilakukan untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu

menyusui 0-6 bulan, ibu menyusui 7-23 bulan, anak usia 0- 23

bulan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian konseling

gizi kepada individu dan keluarga, dimana konseling ini dapat

membantu dan mengenali masalah kesehatan terkait gizi,

memahami penyebab terjadinya masalah gizi, dan membantu

individu serta keluarga memecahkan masalahnya sehingga terjadi

perubahan perilaku makan yang telah disepakati bersama

(Muhammad et al, 2018).


38

2. Teori Zinc

a. Definisi Zinc

Zinc merupakan mikromineral esensial yang berperan

penting pada pertumbuhan dan pembelahan sel, metabolisme

tubuh, fungsi imunitas dan perkembangan, serta merupakan

kofaktor metaloenzim yang berperan penting dalan regenerasi sel,

metabolisme, pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Tubuh

tidak memiliki mekanisme khusus untuk menyimpan Zinc dan

Zinc di dalam tubuh setiap hari mengalami ekskresi, hal tersebut

menyebabkan asupan Zinc harian diperlukan untuk menjaga Zinc

di dalam tubuh tetap normal. Zinc dibutuhkan dalam tubuh dalam

jumlah kecil sehingga merupakan zat gizi mikro. Hal ini dapat

dijelaskan ketika konsumsi Zinc sebesar 4-14 mg/hari, hanya 10-

40% saja yang di absorbsi. Pertumbuhan yang tidak optimal,

diare, gagal tumbuh, penurunan nafsu makan, dan penyembuhan

luka yang lambat serta penurunan fungsi imunitas merupakan

dampak dari defisiensi Zinc. Pemberian suplemen Zinc dapat

memperbaiki pertumbuhan anak balita dimana lebih rinci

dijelaskan bahwa kenaikan berat badan dan tinggi badan, serta

peningkatkan pertumbuhan linear pada remaja dan anak stunting

dapat dipengaruhi pleh pemberian sumplemen zinc (Simbolon,

2019).
39

Peran zinc dalam reaksi-reaksi yang berkaitan dengan

sintesis serta degradasi karbohidat, protein, lipida, dan asam

nukleat merupakan bentuk peran zinc pada aspek metabolisme

dimana dalam hal ini zinc sebagai bagian dari enzim terebut.

Peran penting zinc terlihat dalam proses tumbuh kembang, fungsi

kecerdasan otak, pematangan seks, fungsi kekebalan atau

imunitas, dan menghilangkan radikal bebas (Almatsier, 2011).

Hormon-hormon penting yang terlibat dalam pertumbuhan,

seperti osteocalcin, testosteron, hormon tiroid, samatomedinoc

dan insulin dipengaruhi dengan adanya kandungan zinc dalam

tubuh. Zinc erat kaitannya dengan metabolisme tulang yang

berperan penting pada pertumbuhan, hal itu dpat dijelaskan

bahwa Zinc dapat memperlancar efek vitamin D terhadap

metabolisme tulang dengan distimulasi sintesis DNA didalam sel-

sel tulang (Anindita, 2012). Lebih lanjut Abunada, (2013)

menjelaskan mikronutrien yang berperan pada sistem enzim yang

terlibat dalam tumbuh kembang fisik, imunologi atau kekebalan

tubuh dan fungsi reproduksi yaitu berupa zinc. Pertumbuhan fisik

terutama anak-anak sangat dipengaruhi dengan adanya zinc dalam

tubuh.

Asupan Zinc adalah jumlah Zinc yang dikonsumsi oleh

anak yang dihasilkan dari makanan sehari. Zinc yang tersebar

dihampir semua sel pada tubuh manusia diketahui berjumlah 2 -


40

2.5 gram dan sebagian besar Zinc berada di dalam hati, pankreas,

ginjal, otot, dan tulang. Jaringan pada kelenjar prostat, mata, ,

spermatozoa, kulit, rambut, dan kuku banyak mengandung zinc.

Zinc mempunyai masa pergantian yang cepat dan didalam plasma

hanya berjumlah 0,1 % dari seluruh jumlah zinc dalam tubuh

(Almatsier, 2011).

Hormon-hormon penting yang terlibat dalam pertumbuhan,

seperti osteocalcin, testosteron, hormon tiroid, samatomedinoc

dan insulin dipengaruhi dengan adanya kandungan zinc dalam

tubuh. Zinc erat kaitannya dengan metabolisme tulang yang

berperan penting pada pertumbuhan, hal itu dpat dijelaskan bahwa

Zinc dapat memperlancar efek vitamin D terhadap metabolisme

tulang dengan distimulasi sintesis DNA didalam sel-sel tulang

(Anindita, 2012). Lebih lanjut Abunada, (2013) menjelaskan

mikronutrien yang berperan pada sistem enzim yang terlibat

dalam tumbuh kembang fisik, imunologi atau kekebalan tubuh

dan fungsi reproduksi yaitu berupa zinc. Pertumbuhan fisik

terutama anak-anak sangat dipengaruhi dengan adanya zinc dalam

tubuh.

Asupan Zinc adalah jumlah Zinc yang dikonsumsi oleh

anak yang dihasilkan dari makanan sehari. Zinc yang tersebar

dihampir semua sel pada tubuh manusia diketahui berjumlah 2 -

2.5 gram dan sebagian besar Zinc berada di dalam hati, pankreas,
41

ginjal, otot, dan tulang. Jaringan pada kelenjar prostat, mata, ,

spermatozoa, kulit, rambut, dan kuku banyak mengandung zinc.

Zinc mempunyai masa pergantian yang cepat dan didalam plasma

hanya berjumlah 0,1 % dari seluruh jumlah zinc dalam tubuh

(Almatsier, 2011).

b. Patofisiologi Zinc

Tubuh yang mengalami kekurangan zinc akan menghambat

perputaran Zinc dari pankreas ke saluran cerna sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi pankreas, gangguan

pembentukan kilomikron, dan kerusakan permukaan saluran

cerna. Hal tersebut menyebabkan nafsu makan menurun dan juga

bisa menyebebkan penurunan ketajaman indra rasa. Peningkatkan

sirkulasi Zinc di dalam tubuh dari pankreas ke saluran pencernaan

dapat dibantu dengan menggunakan suplemen zinc atau

mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung sumber zinc,

hal ini dapat memperbaiki pembentukan kilomikron dan

permukaan saluran cerna. yang dapat meningkatkan ketajaman

indra rasa sehingga nafsu makan meningkat (Almatsier, 2011).

Achmadi (2013) kaitan dengan patofisiologis Zinc

dijelaskan pada defisiensi Zinc yang berpengaruh terhadap

hormon pertumbuhan, seperti rendahnya Insuline-like Growth

Factor 1 (IGF-1), Growth Hormone (GH), reseptor dan GH


42

binding protein RNA yang dapat menghambat pertumbuhan linier

hingga terhentinya pertumbuhan berat badan.

Almatsier (2011) menjelaskan bahwa feses, urin, dan

jaringan tubuh yang dibuang, seperti jaringan kulit, sel dinding

usus, cairan haid, dan mani merupakan tempat pembuangan zinc

pada tubuh. Serat dan fitat menghambat ketersediaan biologik

Zinc. Sebaliknya, protein histidin tampaknya membantu absorpsi.

Penentu utama penyerapan Zinc adalah nilai albumin yang

terdapat dalam plasma. Albumin merupakan alat transport utama

Zinc, dimana jika nilai albumin darah menurun maka penyerapan

zinc pun ikut menurun misalnya dalam keadaan gizi kurang.

Rendahnya serum dan plasma Zinc diakibatkan cepatnya

sintesis jaringan pada masa pertumbuhan bayi umur 2 tahun yang

berlangsung cepat. Pada kasus kekuranngan Zinc metabolik

hormon pertumbuhan terrhambat dan mengakibatkan sintesis dan

sekresi IGF-1 berkurang, hal ini terjadi karena asupan zinc kurang

dalam pembentukan dan mineralisasi tulang (Achmadi, 2013).

c. Patofisiologi Zinc dan Susu dalam Pencegahan Stunting

Percepatan pertumbuhan tulang dapat terjadi apabila

Insulin-like Growth Factor I (IGF I) ditingkatkan dengan zinc.

Zinc dapat mempengaruhi pertumbuhan linier karena Zinc masuk

kedalam nutrient tipe 2 yang berfungsi sebagai bahan pokok

dalam pembentukan jaringan dan dibutuhkan oleh balita usia 6-23


43

bulan. Defisiensi Zinc dapat menurunkan imunitas sehingga dapat

meningkatkan resiko terkena penyakit infeksi, sehingga memicu

meningkatnya kebutuhan energi dan Zinc dan dapat menghambat

pertumbuhan tulang (Dewi, 2017).

Susu sapi merupakan sumber kalsium, riboflavin, vitamin

A dan vitamin D. Setiap 100 gram susu terkandung Kalori sebesar

70.5 kilokalori, 3.4 gram protein, 3.7 gram lemak, 125 miligram

kalsium, terkandung dalam 100 gram susu dan persentase

penyerapan dalam tubuh sebesar 98% – 100%. Kalsium dalam

susu berfungsi untuk menambah kekuatan tulang, mencegah

tulang menuyusut dan patah tulang. Produk sapi perah dengan

laktosa yang sudah difermentasi seperti yoghurt, mentega atau

keju dapat dikonsumsi oleh anak yang menderita laktosa

intoleransi (Khomsan, 2010).

d. Manfaat Zinc

Sintesis serta degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan

asam nukleat dipengaruhi oleh enzim pada aspek metabolisme

dimana zinc merupakan bagian didalamnya. Zinc juga mempunyai

peranan penting dalam proses pertumbuhan, fungsi kognitif,

pematangan seks, fungsi kekebalan dan pemusnahan radikal

bebas. Zinc terutama dibutuhkan untuk proses percepatan

pertumbuhan. Zinc tidak hanya berperan pada efek replikasi sel


44

dan metabolisme asam nukleat, tetapi juga sebagai mediator dari

aktifitas hormon pertumbuhan (Simbolon, 2019).

e. Pemberian Zinc

1) Pemberian suplemen Zinc

Jenis suplemen Zn yang diberikan dalam bentuk syrup,

setiap 5 ml syrup mengandung Zinc Sulfate 27,45 mg yang setara

dengan berisi 10 mg Zn elemental. Suplementasi zinc diberikan

kepada bayi baru lahir dengan panjang badan kurang dari 47 cm

bagi perempuan dan panjang badan kurang dari 48 cm bagi bayi

laki laki. BB < 5 KG : 2,5 mg Zn elemental / hari, sedangkan BB

> 5 KG : 5 mg Zn elemental /hari (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah, 2019).

2) Tatalaksana

1. Informed consent

2. Tanyakan tanggal lahir bayi

3. Lakukan pengukuran panjang badan bayi terlebih dahulu

sebelum pemberian sirup Zn.

4. Berikan sirup Zn bila sudah sesuai dengan kriteria

5. Jelaskan cara pemberian

6. Lakukan pemantauan (monev) (Dinas Kesehatan Provinsi

Jawa Tengah, 2019).


45

f. Akibat Kekurangan Zinc

Kekuarangan Zinc sering terjadi anak-anak, ibu hamil dan

menyusui serta orangtua yang merupakan kelompok rentan.

Kekurangan Zinc kronis dapat mengganggu fungsi system saraf,

fungsi otak juga mengganggu fungsi kelenjar tiroid, gangguan

nafsu makan, penurunan ketajaman indra rasa serta

memperlambat penyembuhan luka, selain itu juga kekurangan

Zinc dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematangan

seksual. Fungsi pencernaan terganggu, karena gangguan fungsi

pankreas dam kerusakan permukaan saluran cerna. Di samping itu

dapat terjadi diare dan gangguan fungi kekebalan..

Metabolisme tulang dengan stimulasi sintesis DNA di sel-

sel tulang dipengaruhi oleh adanya vitamin D yang dinbantu oleh

keberadaan zinc. Hormon samatomedin-c, osteocalcin,

testosteron, hormon tiroid dan insulin merupakan hormon yang

terlibat dalam pertumbuhan tulang dimana hormon tersebut

berhubungan dengan kandungan zinc dalam tubuh. Oleh sebab itu,

Zinc erat kaitannya dengan metabolisme tulang, sehingga sangat

penting dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan (Anindita,

2012).

Proses percepatan pertumbuhan pada anak membutuhkan

asupan zinc, karena selainn efek replikasi sel dan metabolisme

asam nukleat, zinc juga berperan dalam mediator dari aktifitas


46

hormon pertumbuhan. Penurunan aktifitas hormon pertumbuhan

pada mencit yang disebabkan rendahnya asupan zinc akan

membuat pertumbuhannya terhenti dalam waktu 24 jam (Ghazian,

2016). Nutrient tipe 2 berupa zinc yang berfungsi sebagai bahan

pokok dalam pembentukan jaringan dapat mempengaruhi

pertumbuhan linear dan dibutuhkan oleh balita usia 6 - 23 bulan.

Zinc dapat meningkatkan Insulin-like Growth Factor I (IGF I)

yang berfunsi untuk mempercepat pertumbuhan tulang dapat

ditingkatkan dengan adanya kandungan zinc. (Dewi, 2017).

3. Teori Susu Formula

a. Definisi Susu Formula

Susu formula adalah susu yang berasal dari sapi dimana

sudah dilakukan perubahan pada susunan nutrisinya sehingga dapat

diberikan kepada bayi tanpa memberikan efek samping (Khasanah,

2013).

Susu formula bayi adalah cairan atau bubuk yang berasalah

dari susu sapi yang memiliki formula tertentu dan diberikan pada

bayi dan anak-anak sebagai makanan tambahan. Susu formula ini

berfungsi sebagai pengganti ASI dan memiliki peran penting dalam

makanan bayi serta bisa dimanfaatkan sebagai satu-satunya sumber

gizi bagi bayi, sehingga komposisi susu formula harus dikontrol

degan hati-hati dan harus memenuhi standar ketat tertentu

(Nirwana, 2014).
47

b. Jenis Susu Formula

a) Susu Formula Adaptasi

Susu formula yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk

bayi yang baru lahir sampai bayi umur 6 bulan. Saluran pencernaan

dan ginjal pada bayi usia di bawah 3 tahun belum bisa berfungsi

secara baik sehingga pengganti ASInya harus mengandung zat - zat

gizi yang mudah dicerna dan tidak mengandung mineral yang

berlebihan maupun kurang. Susu formula ini tidak dianjurkan

selain bagi bayi baru lahir yang mengalami gangguan kesehatan

atau bayi yang ibunya mengalami gangguan kesehatan sehingga

ASI nya tidaka dapat diproduksi (Khasanah, 2013).

b) Susu Formula Awal Lengkap

Susu ini merupakan susu formula yang mempunyai

kandungan zat gizi lengkap yang bisa diberikan setelah bayi

dilahirkan. Susu formula ini memiliki kadar protein yang lebih

tinggi, komposisi zat gizi lain tidak disesuaikan dengan yang

terdapat dalam ASI, kadar mineral lebih tinggi dibandingkan

dengan formula adaptasi (Khasanah, 2013).

c) Susu Formula Follow-up

Susu Formula follow up diperuntukkan bagi bayi berumur 6

bulan keatas dengan asumsi bahwa bayi yang berumur lebih dari 6

bulan memiliki fungsi organ-organ yang sudah memadai, sehingga


48

tidak memberatkan fungsi pencernaan dan ginjal pada bayi

(Khasanah, 2013).

d) Susu Formula Prematur

Susu ini dikonsumsi oleh bayi yang lahir secara prematur

dimana keadaan ini secara cepat membutuhkan asupan zat gizi

yang lebih banyak sehingga susu ini kandungannya harus

mempunyai komposisi zat gizi lebih besar dibandingkan dengan

susu biasa seperti kandungan protein, dan kadar kalsium serta

natrium yang lebih banyak (Khasanah, 2013).

e) Susu Soya

Susu soya adalah susu berbahan dasar sari kedelai yang

diperuntukkan bagi bayi yang memiliki alergi terhadap protein

susu sapi, tetapi tidak alergi terhadap protein kedelai, dimana

protein susunya telah dipecah sempurna.

c. Kandungan Susu Formula

Menurut Khasanah (2013) menjelaskan kandungan susu

formula adalah sebagai berikut :

a) Lemak

Kadar lemak pada susu formula disarankan antara 2,7 – 4,1 gr tiap 100

ml.

b) Protein

Sebesar 1,2 sampai dengan 1,9 gram protein harus ada dalam kandungan

susu formula tiap mililiternya. Perbedaan antara protein ASI dan


49

susu formula terletak pada kandungannya dan perbandingannya

antara protein jenis whey dan kaseinnya.

c) Karbohidrat

Kandungan karbohidrat yang disarankan pada susu formula yaitu antara

5,4 – 8,2 gr tiap 100 ml.

d) Mineral

Mineral dalam susu formula seperti natrium, kalium, kalsium, fosfor,

magnesium, khlorida, lebih tinggi 3 sampai 4 kali dibandingkan

dengan yang terdapat dalam ASI. Penurunan jumlah mineral antara

0,25 dan 0,34 gr tiap 100 ml susu formula adaptasi diperlukan

karena bayi baru lahir belum bisa mengsekresi dengan sempurna

kelebihannya.

e) Vitamin

Dalam mencukupi kebutuhan vitamin pada bayi sehari hari perlu

dtimbahkan berbagai macam vitamin.

Tabel 1.1. Komposisi Susu Formula

Komposisi / 100 ml Susu Formula


Kalori 67
Protein 1,5
Lactalbumin (%) 60
Kasein (%) 40
Air (ml) 90
Lemak (gr) 3,8
Karbohidrat 6,9
Ash (gr) 0,34
Mineral :
Na 21
K 69
Ca 46
P 32
50

Mg 5,3
Fe 1,3
Zn 0,42
Vitamin
A (iu) 210
C (mg) 5,3
D (iu) 42
E (iu) 0,04
Thiamin (mg) 0,04
Riboflafin (mg) 0,06
Niacin (mg) 0
Ph Acid
Bacteria iontent Sterile
Sumber : Kristiyanasari, (2010)

d. Patofisiologi Susu dalam Pertumbuhan Panjang Badan

Menurut Matali (2017) menjelaskan bahwa susu

formula mengandung zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan

seorang anak seperti Kalsium, Vitamin D, Fosfor dan Protein.

Kandungan tersebut sangat penting dalam pembentukan tulang

dan pertumbuhan seorang anak. Hal diatas dapat dijelaskan

dimana kalsium dan fosfor berperan dalam penguatan dan

pertumbuhan tulang yang penyerapannya dibantu oleh vitamin D.

Faktor pertumbuhan panjang tulang yang terdapat dalam susu

berupa IGF-1 dimana akan distimulasi oleh hormon pertumbuhan

dan berperan dalam meningkatkan aktivitas osteoblast dan

proliferasi serta diferensiasi sel tulang sehingga terjadi

pembentukan dan pertumbuhan tulang.

e. Pemberian Susu Formula pada Bayi

Menurut Bulan (2010), susu formula diberikan dengan

menggunakan botol susu dalam keadaan steril, dan susu diberikan


51

dalam keadaan hangat agar bayi tidak mudah kembung serta

jangan pernah memberikan sisa susu formula kepada bayi jika

lebih dari 2,5 jam karena akan menyebabkan bayi terkena diare,

selain itu jika ada sisa susu sebaiknya dibuang dan berikan susu

yang baru dibuat. Lebih lanjut Bulan (2010) menjelaskan

mengenai Porsi Pemberian Susu Formula seperti pada tabel di

bawah.

Tabel 2.2 Porsi Pemberian Susu Formula (Bulan, 2010)

Usia Bayi Porsi Pemberian


0 – 3 bulan Sekitar 60 – 90 ml, diberikan kapan saja setiap kali
bayi lapar.
Di atas Sekitar 180 ml, diberikan tiap 2 – 3 jam.
3
bulan Sekitar 200 ml diberikan 2 kali sehari karena bayi
Di atas telah mendapat MP ASI/ makanan padat
6 bulan
52

B. Kerangka Teori

Zat Gizi Makro : Zat Gizi Mikro :


Karbohidrat Zinc
Lemak Zat Besi
Protein

ASUPAN MAKANAN
SOSIAL
SUS SUPLEMEN
EKONO
U MI
SYRUP ZINC

BALITA
STUNTING
Tingkat pendidikan
Pendapatan Keluarga

PENYAKIT
INFEKSI
Keterangan :
: Diteliti

Penyakit Diare
: Tidak diteliti
Infeksi Saluran Pernafasan

Gambar 2.4. Kerangka Teori (Suiraoka, 2011)

Anda mungkin juga menyukai