Anda di halaman 1dari 4

MENGHILANGKAN VIRUS FEODALISME SISA KERAJAAN YANG

MENJANGKITI IBU PERTIWI

Oleh : Bagja Ghali Nuryadi

Hanya mereka yang memiliki hati yang murni untuk berani melakukan perlawanan
pada kedzoliman yang nyata. Hanya mereka yang memiliki keberanian untuk bertindak dengan
hati, lisan serta tangan untuk melawan kedzoliman. Merekalah yang mengharapkan terbebas
dari kekang yang merantai dalam sistem lingkaran setan. Menjadi secercah cahaya demi
terwujudnya keadilan yang dirasakan hati serta kebenaran yang dipikirkan akal. Mereka adalah
pendahulu yang telah memerdekakan bangsa dari jeratan penjajahan 76 tahun lalu yang teriring
rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Merdeka bukan berarti perjuangan telah selesai melawan kedzoiman, kini kita sedang
berada ditingkat yang lebih tinggi untuk melakukan perlawanan terhadap kedzoliman para
penghianat amanat rakyat. Sebuah tingkatan yang jauh lebih berat yaang sedang dihadapi oleh
generasi penerus bangsa dalam mempertahankan kedaulatan rakyat. Namun, hantu penjajahan
kini sedang mengintai ibu pertiwi perlahan-lahan menggerogoti sendi-sendi demokrasi bak
kanker dalam tubuh yang tidak terdeteksi kemudian muncul ketika telah kronis.

“perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuanganmu akan


lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Sebuah kebenaran yang terbukti setelah Indonesia
lepas dari penjajah dan perlawanan ini masi berlangsung sampai sekarang. Saat ini generasi
muda garuda sedang berperang melawan sesuatu yang di sebut KORUPSI yang tertuang pada
UU No. 31 Tahun 1999 yang didefinisikan merugikan keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan,
gratifikasi.

Perlawanan terhadap korupsi yang dilakukan tikus negara telah dilakukan mulai dari
orde lama dengan dibentuknya Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling Aparatur
Negara (PARAN) yang dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H.
Nasition yang dibantu Prof M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Perlawanan di orde lama gagal
karena pemerintah kalah melawan pejabat yang protes untuk mengisi formulir daftar kekayaan
yang dibuat PARAN.

1963 perlawanan kembali digalakkan degan keputusan presiden No 275 Tahun 1963
yang membentuk lembaga dengan julukan “Operasi Budhi” yang sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara yang dianggap rawan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Sayangnya “Operasi Budhi” gagal dan kemudian diubah menjadi KOTRAR (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) oleh Soekarno. Perlawanan ini membuahkan hasil
dengan menyelamatkan uang negara sejumlah Rp. 11 miliar.

Perlawanan kembali bangkit ketika memasuki masa orde baru dengan membentuk Tim
Pemberantas Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Namun pemerintah gagal dalam
menjalankan perlawanan memberantas korupsi dengan ditandai demo mahasiswa yang
memprotes kinerja TPK. Akhirnya dibentuk Komite Empat beranggotakan Prof Johanes, I.J
Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto yang bertugas membersihkan sarang korupsi yang
berada di Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.

Perlawanan berlanjut pada era reformasi yang dipimpin sang jenius Mr. Crack dengan
keluarnya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
dari KKN yang kemudian membentuk KPKPN, KPPU atau lembaga ombdusman. Sayangnya
perjuangan Mr. Crack hanya seumur jagung.

Sang Kyai melanjutkan perlawanan dengan membentuk Tim Gabungan Pemberantas


Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) berlandaskan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000.
Namun di tengah semangat memberantas korupsi melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung TGPTPK akhirnya dibubarkan. Kasus ini melibatkan Sofyan Wanandi dihentikan
dengan SP3 dari Jaksa Agung Marzuki Darusman yang akhirna sang Kyai didera kasus
Buloggate.

Ditengah kekecewaan masyarakat dengan berbagai kekalahan bertarung melawan


korukorupsi, KPK hadir pada 2003 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2002. Berbagai rintangan telah dihadapi KPK namun masyarakat belum
mendapatkan kemenangan melawan kanker yang bersarang di tubuh ibu pertiwi. Korupsi kian
mengganas sejak pemerintahan Ibu Megawati hingga Bapak Joko Widodo. KPK di lemahkan
dengan UU No 19 tahun 2019.

Penulis meyakinin terdapat sebuah jiwa yang melekat kuat yang merasuki tubuh ibu
pertiwi sebelum kemerdekaan diraih bahkan sebelum adanya Indonesia. Hal ini sudah ada sejak
zaman kerajaan mendominasi tanah air Indonesia. Budaya feodal, merupakan benih korupsi
yang tertanam pada bangsa ini yang tanpa sadar sudah melekat kuat pada maysarakat
Indonesia. Budaya feodal yang dianut oleh raja-raja terdahulu yang gila hormat, yang serakah
akan kekuasaan, yang mengakarkuat dengan arti kesombongan.
Sebuah ironi nyata ketika mahasiswa sebagai garda terdepan rakyat memberantas
korupsi bersama KPK namun di sisi lain masyarakat telah terjangkit sisa virus feodalisme
peninggalan sejarah. Kita membenci korupsi namun kita juga menyuap aparat untuk
memudahkan urusan administrasi. Kita membenci kolusi namun juga menyukai hadiah cuma-
cuma. Kita membenci nepotisme namun juga lebih memilih jalur orang dalam untuk
mempermudah seleksi.

Pada sudut pandang ini penulis ingin mengupas tuntas budaya sosial yang diwariskan
turun temurun yang menjadi kutukan permasalahan bangsa Indonesia. Hal yang jelas adalah
bahwa korupsi terjadi dalam manapun baik pemerintahan ataupun kehidupan masyarakat
bawah yang dapat menghancurkan nilai-nilai norma kehidupan, sosial, agama sehingga dapat
menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya dan seketika itu secara bertahap atau sekaligus
diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitulah telah terjadi korupsi
budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi.

Dalam pelajaran rantai makanan anak sekolah dasar terdapat sebuah teori yang
menjelaskan cara untuk mengurangi atau menghabiskan suatu populasi adalah dengan
memperbanyak predator alaminya. Jadi, perlawanan kita untuk membasmi habis tikus adalah
dengan cara memperbanyak jumlah ular sebagi predator alaminya dan ditambah dengan
memasang perangkap untuk melindungi padi. Perlu dilakukan dua langkah secara bersamaan
yaitu menambah populasi ular dan memasang perangkap tikus di sekitar padi demi mengurangi
hama yang menjangkiti jiwa sosial rakyat.

Perlu dipahami bahwa “corruption never has been compulsory” atau “tidak ada paksaan
dalam korupsi” yang di katakan Anthony Eden seorang politikus Inggris sekaligus mantan
perdana menteri Inggris 1955-1957. Tidak ada sesuatu pun yang memaksa tikus harus
menghabisi padi di suatu ladang atau bahkan tidak ada yang memaksa tikus untuk memakan
padi.

Hal pertama dalam membasmi tikus adalah dengan menambah populasi ular.
Maksudnya adalah dengan memperkuat fungsi-fungsi dan kebijakan KPK serta melakukan
peningkatan mutu hakim lembaga peradilan yang ada sebagaimana kualitas yang dimiliki oleh
mantan hakim agung Aridjo Alkostar. Selain itu terus melakukan kolaborasi aktif antara satu
lembaga dengan lembaga lainnya untuk memberantas korupsi seperti bekerja sama dengan
POLRI, PPATK, BPKP, dan BPK.
Di sisi lain untuk menjaga padi yang menguning dibutuhkan perangkap tikus yang
dipasang sekelilingnya dengan melakukan kontrol sosial yang berjalan di lingkup
pemerintahan kecil seperti Desa dan Kecamatan. Menumbuhkan jiwa pemberani dengan
menentang praktik praktik kotor pemerintahan kelas bawah seperti berani menolak gratifikasi,
tolak suap pembuatan ktp, berhenti membayar untuk membuat sim, berhenti menyuap polisi
ketika ditilang dijalan.

Penulis meyakini bahwa pemerintah sebagai pemimpin umat memiliki hubungan yang
terikat dengan rakyatnya sebab rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Menilai
pemimpin dapat dilihat dari rakyatnya dan jika ingin memperbaiki pemerintahan maka langkah
pertama adalah memperbaiki karakter rakyatnya. Sebuah konsep dimana rakyat harus hidup
dengan hati nurani untuk merasakan keadilan dan berpikir dengan akal untuk mendapat
kebenaran.

Langkah nyata yang bisa dilakukan mahasiswa bersama masyarakat adalah


menggaungkan kampanye melawan KKN dengan berani memiliki integritas moral. Karena
ketika kita membenci korupsi maka harus berani hidup sederhana tidak bermewah-mewahan
untuk mrndapatkan bonus pemasukan. Ketika kita membenci kolusi maka harus berani
menolak pemberian cuma-cuma yang teriring udang dibalik batu. Ketika kita membenci
nepotisme maka beranilah untuk mengikuti prosedur yang ada tanpa pandang bulu.

Emas akan selalu menjadi emas dimannapun ia berada tanpa merubah sedikitpun unsur
pembentuknya. Berbeda dengan besi yang akan termakan karat dirinya sendiri yang di
sebabkan faktor luar berupa udara dan air. Ketika kita memiliki ideologis untuk terus
melakukan perlawanan terhadap KORUPSI maka disitulah integritas moral kita sedang diuji.
Jangan karena sistem pemerintahan yang busuk bagai lingkaran setan yang tidak ada habisnya
kita tergoda dan kehialngan integritas moral untuk menolak KKN, kehilangan semangat untuk
sembuh dari penyakit kanker yang menggerogoti ibu pertiwi kita.

“jika kau tidak bisa melakukan hal besar maka lakukanlah hal kecil dengan cinta yang
besar.” Sebuah motto yang penulis pegang teguh untuk berkontribusi melawan korupsi di
negeri ini. Dengan menghadirkan cinta dalam berkegiatan masyarakat baik di lingkungan
RT/RW, Desa, bahkan Kecamatan untuk berani menolak praktik KKN dengan tujuan
menyembuhkan ibu pertiwi dari sisa-sisa peninggalan virus feodalisme.

Anda mungkin juga menyukai