Dalam dunia kesehatan, korupsi ibarat sebuah penyakit. Sebagai sebuah penyakit,
tidak beralasan kiranya jika ada sementara pihak yang mengatakan bahwa praktik korupsi
memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sudjana (2008: 37) sampai
pada kesimpulan bahwa korupsi merupakan penyakit sosial yang harus dikikis betapapun
banyak orang yang terjangkit olehnya. Berkaitan dengan hal ini, ada kisah bagus dari China
mengenai betapa bahayanya korupsi. Ceritera tersebut berjudul Tikus di Kuil (Tang 2005:
222). Bangsawan Huan dari Qi bertanya kepada Guan Zhong, perdana menterinya: “Apakah
ancaman terbesar bagi negara? “Ancaman itu adalah mereka yang menyerupai tikus-tikus di
kuil,” jawab Guan Zhong. “Tolong Anda jelaskan”. Tuanku, Anda tentunya sudah melihat
tikus-tikus di dinding kuil”. Kuil adalah tempat sakral. Tetapi jika dipenuhi tikus, sangat sedikit
yang dapat kita lakukan. Jika kita mencoba mengasapinya agar mereka keluar, kita bisa jadi
malah membakar kuil itu; jika kita menuangkan air di lubang-lubang di dinding, kita bisa jadi
Orang-orang yang dekat dengan penguasa, kata Guan Zhong, adalah seperti tikus-
tikus itu. Mereka menggunakan pengaruh mereka untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka
menerima suap dan berkolusi dengan kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang
mereka dan mempersulit hidup orang-orang yang tidak mendengarkan mereka. Sepanjang
waktu sang penguasa berada dalam kegelapan. Orang-orang seperti ini harus dihukum,
1
tetapi sayangnya mereka mempunyai tempat di hati penguasa. Jika segalanya terus berjalan
Dalam ceritera di atas, kuil adalah negara, sedangkan tikus adalah para pejabat atau
pegawai negeri yang seolah-olah setia kepada negara dengan bekerja sungguh-sungguh,
tetapi di balik itu mereka menggerogoti keuangan negara dengan melakukan pemerasan,
Terkait dengan hal ini, menarik sekali pernyataan seorang pejabat Thailand yang merasakan
bahwa apa yang selama ini dilakukan tidak termasuk perbuatan korupsi.
“Apa yang anda namakan korupsi, bagi saya adalah bertahan hidup. Anak buah saya
mengharapkan saya untuk membantu mereka dengan cara apapun. Saya suka pekerjaan
saya. Saya punya keluarga besar. Mungkin ada cara-cara lain, tetapi saya tidak melihatnya,
dan selain itu saya tidak merugikan siapapun. Coba katakan, apakah ada pilihan lain? Anda
mau tahu berapa gaji saya? Saya tidak bodoh. Saya tahu tugas saya dan saya kira semua
orang tahu tugas masing-masing. Korupsi memang suatu masalah di Thailand, tetapi tidak
ada jalan yang lebih baik sekarang. Selain itu, setiap orang di bagian ini sudah bertahun-
Dalam agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan adharma atau menyimpang dari
ajaran agama (Kuntoro, 2006: 16). Dharma yang benar adalah jika segala perbuatan
manusia bertujuan untuk memberi kesejahteraan, sebab sebagaimana dalam ajaran Hindu,
kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari dharma. Dalam
ajaran agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan menyimpang dari nilai-nilai agama
(dharma), nilai-nilai kebenaran dan kejujuran (satyam), kebajikan (siwam), dan keharmonisan
atau keindahan hidup (sundaram). Oleh karenanya, ajaran Hindu mengingatkan, mereka
yang tertipu sifat guna (seperti rajas dan tamas) terikat pada keinginan yang dihasilkan
2
olehnya; tetapi yang mengerti jangan sampai menyesatkan mereka yang pengetahuannya
Orang sudah tahu apa yang dilakukannya salah dan merugikan pihak lain, tetapi tetap
saja dilakukan. Karena akibat yang ditimbulkan luar biasa mengerikan bagi kehidupan rakyat,
maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa Musyawarah Nasional
VI MUI Nomor 4/MUNAS VI/MUI/2000 tentang risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah
kepada pejabat (KPK, 2007: 4). Ini artinya, MUI sebagai lembaga resmi pemerintah tegas-
tegas telah melarang dan mengharamkan suap, korupsi, dan pemberian hadiah kepada
pejabat. Dengan demikian, sesungguhnya umat Islam yang merupakan penduduk terbesar di
Indonesia sudah diberi rambu-rambu tentang keharaman perbuatan korupsi. Kalau rambu-
rambu tersebut tetap saja dilanggar, berarti korupsi telah menjadi penyakit bagi umat Islam.
Tampaknya penyakit korupsi yang menjangkiti para koruptor sudah demikian parah.
Mengapa korupsi masih saja berlangsung? Nugroho dan Tri Hanurita (2005: 116) mencatat 7
apapun juga asal mendapatkan tambahan penghasilan untuk membuat keluarganya selamat.
Isu tentang kemiskinan menjadi pembenar mengapa pegawai negeri sering korupsi.
Demikian pula, kemiskinan membuat rakyat kecil bersedia menyuap pejabat pemerintah
Kedua, kekuasaan yang berlebihan atau yang berasal dari keserakahan. Kekuasaan
yang memusat atau monopolistik memberi peluang kepada pemerintahan Soeharto di era
kekuasaannya. Bahkan Enron, perusahaan raksasa di USA tahun 2001 menjadi bangkrut
3
Ketiga, budaya. Kinoshita melaporkan hasil penelitiannya bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat keluarga besar, yakni sebuah masyarakat yang mempunyai
nilai bahwa kesuksesan seseorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh
Asosiasi DPRD Kota se-Indonesia tanggal 7 Desember 2004, pimpinan DPRD kota Depok
sesungguhnya tidak adil. Yang terjadi, dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah
pusat tentang anggaran pembangunan dalam waktu cepat dimana anggota DPRD
menggunakan aturan yang ada namun diperiksa dengan aturan anggaran yang baru.
Dikemukakan pula bahwa pihak eksekutif sering memberi dana yang tidak diketahui dari
Kelima, rendahnya kualitas moral masyarakat. Gaji rendah sering dijadikan alasan
untuk mencari tambahan penghasilan meskipun dengan cara yang tidak benar.
Ketujuh, korupsi terjadi karena penyakit bersama. Seperti dikatakan oleh Kimberley
Ann Elliott, bahwa korupsi menjadi gejala baru dalam globalisasi. Dalam dunia yang serba
terkoneksi, maka penyakit korupsi dengan cepat menular dari satu kawasan ke kawasan lain.