Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak penelitian memberikan informasi mengenai usia rata-rata saat
anak-anak mencapai berbagai tonggak perkembangan, tapi tidak semua anak
mencapai tonggak perkembangan pada usia yang sama. Beberapa anak
mencapainya lebih dini, beberapa anak yang lain mencapainya lebih lambat.
Oleh karena itu kita hampir selalu menemukan variabilitas yang cukup besar
dalam pencapaian tonggak perkembangan pada kelompok usia manapun
(Ormrod, 2009).
Kondisi seperti ini menjadi suatu persoalan atau masalah tersendiri
dalam konteks pembelajaran baik dari sisi anak maupun gurunya. Prayitno
(1985) mengemukakan ciri-ciri masalah yaitu sesuatu yang tidak disukai
adanya, menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang lain, dan ingin
atau perlu dihilangkan. Masalah seperti di atas dapat terjadi pada siapa saja,
termasuk murid sekolah dasar, dan hal itu perlu diupayakan
penanggulangannya.
Salah satu masalah yang mungkin belum tertangani dengan baik
oleh guru selama ini adalah masalah anak yang underachiever. Istilah ini
mungkin masih asing buat kita, termasuk bagi para guru yang harus
menangani anak dengan karakter yang sangat variatif. Anak underachiever
seperti yang dikemukakan oleh Whitmore (1980) dalam Wahab, 2005: 3
adalah siswa yang mendemonstrasikan kemampuannya yang unggul untuk
prestasi akademik, tetapi tidak dapat tampil secara memuaskan
berdasarkan hasil tugas akademik dan tes prestasinya untuk
kesehariannya.
Contoh konkrit dari anak underachiever yang genius dan berbakat
adalah Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Leonardo Davinci, Orlando
Bloom, dan masih banyak tokoh hebat dunia lainnya yang ternyata di waktu
kecil termasuk siswa underachiever. Einstein, meskipun cemerlang dan

1
berhasil menempatkan namanya dalam seratus tokoh dunia versi Michael H.
Hart karena penemuan fenoemenalnya, yakni teori relativitas, namun ia tidak
pernah mendapat ijazah sekolah. Thomas Edison yang juga tersohor berkat
penemuan-penemuan cemerlangnya di berbagai bidang, seperti listrik, lampu,
dan Iain-Iain, juga tidak memiliki ijazah. Bahkan, Edison dianggap idiot dan
menderita sakit mental oleh gurunya sehingga ia terpaksa dikeluarkan dari
sekolah dasar pada kelas 3. Namun, berkat kerja keras sang ibu, Edison
berhasil menjadi orang hebat dan namanya terukir abadi dalam seratus tokoh
paling berpengaruh di dunia. Begitu pula Leonardo Davinci, Orlando Bloom,
dan sejumlah tokoh lainnya (Putra, 2013). Padahal Albert Einstein mengatakan
“Ini adalah seni tertingi guru untuk membangkitkan kegembiraan yang
ekspresif, menebarkan kreativitas, dan memperoleh pengetahuan (Suyanto dan
Djihad, 2012)
Hal ini sejalan dengan review dari Chukwu-Etu (2009) bahwa
kemungkinan penyebab dari underachievement di antara siswa adalah
kombinasi antara faktor rumah dan sekolah (Sousa, 2002). Di samping berasal
dari pengaruh sekolah dan keluarga, Gallagher (1991) berpendapat bahwa
faktor personal/psikologis dapat juga menjadi faktor underachievement bagi
pelajar. Oleh karena itu pekerjaan sekarang adalah fokus pada masing-masing
siswa, sikap dalam pikiran yang menjadi fakta bahwa fungsi kognitif siswa
akan sangat menentukan kemampuannya di sekolah.
Sisi lain dari peran seorang guru dalam memahami potensi seorang
anak sangatlah penting bagi pengembangan potensinya, tetapi sebaliknya guru
tidak dapat merubah perilaku anak jika guru sendiri tidak berupaya merubah
dirinya hingga dapat menjadi contoh buat murid-muridnya. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Barbara Luther dari Eleanor Rosevelt High
School bahwa “jika Anda ingin siwa menghormati Anda, maka Anda harus
menjadi panutan rasa hormat. Anda tidak dapat mengajar rasa hormat dimana
Anda tidak melakukanya” (Lickona, 2012).
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Clemonts, dkk. (2008)
diperoleh bahwa sikap seorang pelajar pada suatu sekolah kemungkinan

2
mirip dengan persepsi dirinya tentang materi ajar yang ada di sekolah,
sehingga jika anda bertanya pada siswa tentang sikap mereka terhadap
matematika, maka kemungkinan besar anda juga akan dapatkan indikasi
mengenai kemampuan yang mereka rasakan dalam matematika.
Para guru yang mengajar di kelas pada umumnya tidak mengenal
keadaan anak didiknya secara utuh, khususnya pada kondisi psikologis,
bakat alami, motivasi, serta persepsinya terhadap proses pembelajaran
yang sedang dialaminya. Sering kali guru mengajar dengan hipotesis dan
asumsinya sendiri, tanpa mempertimbangkan faktor anak, sehingga
mekanisme pembelajaran seluruhnya berdasarkan pada apa yang
dipertimbangkan baik oleh guru, tanpa dukungan teori dan fakta
pembanding yang relevan dan pada akhirnya pembelajaran berlangsung
secara klasikal padahal terdapat sejumlah individu yang memiliki karakter
yang berbeda.
Beragam potensi variatif dimiliki oleh anak hampir tak pernah
tergali secara optimal oleh guru, karena selama ini persepsi guru tentang
anak yang baik adalah yang memiliki segudang pengetahuan, dengan nilai
ulangan yang tinggi, nlai raport yang memuaskan, dan nilai UN yang
melebihi standard kelulusan yang dipersyarakan. Inilah indikator-indikator
yang menjadi rujukan para guru dan orang tua dalam menilai potensi anak.
Hal ini dimungkinkan karena menurut Brophy (1987), motivasi siswa
merupakan kompetensi yang diperoleh dan dikembangkan melalui
pengalaman secara umum, namun distimulasi melalui pemodelan,
ekspektasi dalam berkomunikasi, dan interaksi langsung atau sosialisasi
dengan orang lain. Oleh karena itu, lingkungan kelas-bagaimana guru
mempengaruhi sosialisasi, harapan-harapan yang dimiliki dan bagaimana
mereka berkomunikasi, dan komponen pemodelan-dapat mempengaruhi
motivasi dan perhatian siswa secara signifikan (Sprenger, 2011).
Salah satu karakter anak adalah mereka berbakat tapi berprestasi
kurang dan lebih dikenal dengan istilah underachievement. Karena
banyaknya variasi karakter anak, maka guru perlu menolong anak agar

3
menjadi pembelajar-pembelajar yang mandiri, yang meliputi
membangkitkan motivasi diri sendiri dan memonitor pikiran-pikiran,
perasaan dan perilaku dalam mencapai tujuan, baik yang bersifat akademis
maupun yang bersifat sosio-emosional (Santrok, 2007).
Pertanyaannya sekarang adalah betulkah indikator kognitif ini akan
meningkatkan kualitas dan potensi anak didik? Fakta membuktikan bahwa
pengetahuan kognitif yang diserap anak dan menjadi ukuran kebanggaan
orang tua dan guru akan hilang secara perlahan seiring waktu jika tidak
ada repetisi bagi konsep yang telah dipahaminya, tetapi bakat seorang
anak akan tumbuh secara alami seiring pertambahan waktu apalagi jika
mendapat perhatian dan penanganan secara optimal oleh guru dan orang
tua.
Sebagai ilustrasi, Jika terdapat dua orang anak yang menempuh
pendidikan bersama dan terdapat perbedaan kemampuan bakat dan
kemampuan akademis antara keduanya, maka jika kedua anak ini
kemudian ditakdirkan putus sekolah, maka kemampuan akademis anak
akan berkurang dan keberbakatan akan semakin baik, sehingga dalam
perspektif ini bakat seorang anak hendaknya juga menjadi perhatian yang
serius oleh institusi pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Definisi anak underachievement
2. Identifikasi anak underachievement
3. Strategi penanganan anak dengan underachievement

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Underachiever
Untuk memahami konsepsi dari anak berbakat berprestasi kurang,
peting untuk menguji konsep keterbakatan sebagaimana halnya dengan teori-
teori dan penelitian terhadap underachievement. Dalam pengujian literature
terhadap konsep keterbakatan, factor personal seperti motivasi sering dijumpai
sebagai faktor penting bagi anak berbakat berprestasi. Demikian juga, dalam
teori mengenai underachievement, diungkapkan bahwa underachievement
adalah konsepsi yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak variable
(Clemonts, dkk. 2008).
D alam pengertian yang lebih luas , individu yang
berpres tasi kurang (underachiever) adalah individu yang tak
bermotivasi. Mereka secara konsisten tidak menunjukkan usaha, bahkan
mereka cenderung bekerja jauh di bawah potensinya. Dengan demikian,
masalahnya bukanlah terletak pada kemampuan, m el ai nk a n te rl et ak
p ad a s i ka pn ya . M e re ka c en de ru ng m en gh ab is ka n
kesempatannya, sehingga melupakan masa depannya. Mereka
biasanya menolak, melalui tindakannya, bahwa apa yang mereka
lakukan sekarang memiliki dampak bagi masa depannya. Mereka
tidak dapat melihat atau mengijinkan atau menerima bahwa
ketidakmampuannya menyelesaikan tugas dan mengabaikan tanggung
jawabnya akan dapat menimbulkan kegagalan di masa depannya.
Underachievers adalah siswa yang menunjukkan perbedaan yang jauh
antara prestasi yang diharapkan (yang diukur dengan perolehan nilai tes
kemampuan yang telah distandardisasi atau kognitif atau penilaian kemampuan
intelektual) dan prestasi aktual (yang diukur dengan nilai kelas dan evaluasi
guru). Untuk dapat diklasifikasikan sebagai underachiever, perbedaan antara
yang diharapkan dan aktual prestasi tidak harus menjadi akibat langsung dari
ketidakmampuan belajar yang didiagnosis. Anak Berbakat underachiever yang

5
menunjukkan skor lebih unggul pada pengukuran prestasi yang diharapkan
(yaitu, nilai tes prestasi standar atau kognitif atau intelektual penilaian
kemampuan) (McCoach dan Del Siegle, 2007).
Untuk memahami secara komprehensif tentang anak berprestasi
kurang, maka berikut ini akan dikemukakan sejumlah definisi sebagai
berikut:
Rumusan Definisi Anak Berprestasi Kurang Menurut Para Ahli
Penulis Definisi
Bricklin and Siswa yang penampilannya di sekolah lebih lemah
Bricklin daripada yang diharapkan berdasarkan tingkat
(1967) inteligensinya.
Fine (1967) Siswa yang rentangan kemampuan intelektualnya
berada pada rentangan sepertiga bagian atas dari
kemampuan intelektual, tetapi penampilannya secara
dramatik berada di bawah tingkatannya.

Finney Siswa yang skor DAT (Differential Aptitude Tests)


and Van berada pada 25% bagian atas bidang verbal dan
Dalel (1966) numerikal dan Indeks Prestasi Komulatif (IPK)-nya
berada di bawah rata- rata dari semua siswa yang menjadi
peserta DAT.
Gowan (1957) Siswa yang berpenampilan 1 simpangan baku atau
lebih bawahnya dari tingkat kemampuannya.
Newman Siswa yang berprestasi secara signifikan berada di
(1974) bawah tingkat yang diprediksikan oleh IQ-nya, yang
ditunjukkan dengan IPK C atau di bawah potensinya
secara signifikan)

Pringle (1970) Siswa yang ber-IQ 120 atau di atasnya yang memiliki
kesulitan pendidikan dan perilaku.
Shaw and Siswa yang potensinya berada pada bagian dari 25% di atas
McCuen berdasarkan Tes Kemampuan Umum (IQ di atas 110) yang
(1980) memperoleh IPK di bawah rata-rata.
Thorndike Siswa yang berprestasi kurang diukur dalam kaitannya
(1963) dengan beberapa standar prestasi yang diharapkan atau
diprediksikan.

Whitmore Siswa yang mendemonstrasikan kemampuannya yang


(1980) unggul untuk prestasi akademik, tetapi tidak dapat tampil
secara memuaskan berdasarkan hasil tugas akademik
dan tes prestasinya untuk kesehariannya.

6
Zive (1977) Siswa dengan IQ tinggi yang mempunyai prestasi rendah
di sekolahnya.

Table 1: Rumusan Definisi Anak Underachievement dimodifikasi dari Wahab (2005)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa


Anak Berbakat Berprestasi Kurang adalah anak berbakat yang
menampilkan p r e s t a s i a k a d e m i k n y a l e b i h r e n d a h s e c a r a b e r a r t i
d a r i p a d a p o t e n s i akademiknya, sehingga membutuhkan untuk bantuan
dan fasilitasi yang sesuai untuk dapat mengoptimalkan perkembangan
potensinya. Sejalan dengan hal tersebut, Adelman dan Taylor (2000)
berpendapat bahwa komponen yang memungkinkan dalam model
pendidikan pada sasaran anak dengan hambatan belajar, bagi “pencapaian
yang baik tentu saja lebih dibutuhkan dari pembelajaran yang baik”
(Welisch dan Brown, 2011).
Dalam penanganan anak-anak berbakat ini bukan tanpa
masalah, terutama dalam konteks klasikal, karena menurut Michael,
1960 dalam Suryabrata (2004) bahwa bakat itu terutama dari segi
kemampuan individu untuk melakukan sesuatu tugas, yang sedikit
sekali tergantung kepada latihan mengenai hal tersebut. Selain itu,
terdapat kebutuhan lain selain jasmani dan social, yakni kebutuhan
intelektual, dimana siswa tidak sama dalam hal minat untuk
mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan (Sardiman, 2011).

B. Identifikasi Anak dengan Underachievement


Para peneliti (Raph, Goldberg, and Passow, 1966) dan
beberapa penulis mutakhir (Davis and Rimm, 1989) telah
mendefinisikan berprestasi kurang (underachievement) berkenaan
dengan suatu kesenjangan antara suatu performansi sekolah dan
beberapa kemampuan yang sering diindikasikan dengan suatu indeks
IQ. Definisi ini, walau nampak jelas dan singkat, memberikan
sedikit wawasan bagi orangtua dan guru yang bermaksud untuk

7
menyelesaikan masalah ini dengan siswa secara individual. Cara yang lebih
baik untuk mendefinis ikan berpres tas i kurang (underachievement)
adalah mempertimbangkan berbagai komponen (Welisch dan Brown,
2011).
Prestasi kurang (underachievement) adalah suatu perilaku yang
dapat berubah sepanjang waktu. Sering kali berprestasi kurang
(underachievement) dilihat sebagai suatu masalah sikap atau kebiasaan
bekerja. Namun, perlu diketahui bahwa kebiasaan atau sikap dapat
dimodifikasi secara langsung oleh prilaku. Underachievement berkenaan
dengan isi dan situasi yang spesifik. Anak-anak berbakat yang tidak berhasil
di sekolah sering kali sukses dalam berbagai kegiatan di luar, seperti
bidang olahraga, kegiatan sosial, dan bekerja setelah selesai sekolah.
Bahkan seorang anak yang tampil secara kurang memuaskan untuk
hampir pada semua mata pelajaran, mungkin menampilkan suatu bakat
atau minat, paling tidak satu mata pelajaran. Dengan demikian,
memberi nama seorang anak sebagai berprestasi kurang
(underachievement) dapat juga mengurangi penghargaan terhadap setiap
dampak positif atau perilaku yang ditampilkannya. Adalah lebih baik
untuk memberikan label terhadap perilaku daripada anak (misalnya, anak
itu lemah di matematika dan bahasa cenderung lebih baik daripada
menyebut anak sebagai berprestasi kurang (Welisch dan Brown, 2011).
Ada beberapa ciri yang menandakan seorang siswa tergolong siswa
underachiever. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan waktu sekurang-
kurangnya dua minggu. Penelitian tentang anak berbakat berprestasi kurang
menemukan ciri-ciri yang khas dari anak-anak ini. Whitmore meringkas ciri-
ciri yang paling penting dalam suatu daftar yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi mereka. Jika siswa menunjukkan lebih dari sepuluh ciri-ciri
dalam daftar berikut, kemungkinan besar ia termasuk anak berbakat berprestasi
kurang:

8
1. Nilai rendah pada tes prestasi.
2. Mencapai nilai rata-rata atau di bawah rata-rata kelas dalam keterampilan
dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
3. Pekerjaan setiap hari tidak lengkap atau buruk.
4. Memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat.
5. Kesenjangan antara tingkat kualitatif pekerjaan lisan dan tulisan (secara
lisan lebih baik).
6. Pengetahuannya faktual sangat luas.
7. Daya imajinasi kuat.
8. Selalu tidak puas dengan pekerjaannya, juga dalam bidang seni.
9. Kecenderungan perfeksionis dan mengkritik diri sendiri, menghindari
kegiatan baru, seperti menghindari kinerja yang tidak sempurna.
10. Menunjukkan prakarsa dalam mengerjakan proyek di rumah yang dipilih
sendiri.
11. Mempunyai minat luas dan mungkin keahlian khusus dalam suatu bidang
penelitian dan riset.
12. Rasa harga diri rendah nyata dalam kecenderungan untuk menarik diri
atau menjadi agresif di dalam kelas.
13. Tidak berfungsi konstruktif di dalam kelompok. Menunjukkan kepekaan
dalam persepsi terhadap diri sendiri, orang lain, dan terhadap hidup pada
umumnya.
14. Menetapkan tujuan yang tidak realistis untuk diri sendiri, terlalu tinggi
atau terlalu rendah.
15. Tidak menyukai pekerjaan praktis atau hafalan.
16. Tidak mampu memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas.
17. Mempunyai sikap acuh dan negatif terhadap sekolah.
18. Menolak upaya guru untuk memotivasi atau mendisiplinkan perilaku di
dalam kelas.
19. Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya, kurang dapat
mempertahankan persahabatan (Putra, 2013).
Sejalan dengan pencirian anak underachiever di atas, dan

9
menyadari akan kompklesitas keberadaan Anak Berbakat Berprestasi
Kurang, maka setidak-tidaknya karakteristik anak berbakat akademik
di antaranya sebagai berikut:
1. Memiliki IQ yang sangat tinggi
2. Memiliki kebiasaan kerja yang jelek
3. Ketidakmampuan berkonsentrasi
4. Kurang usaha dalam menjalankan tugas.
5. Minat yang kuat terhadap suatu bidang tertentu, sehingga melupakan
akademiknya.
6. Pekerjaaannya sering tidak selesai.
7. Harga dirinya rendah
8. Menampilkan frustasi emosional
9. Bersikap negatif terhadap diri sendiri dan orang lain.
10. Tiadanya perhatian terhadap tugas yang sedang dihadapi (Wahab,
2005).
Salah satu penyebab utama anak menjadi underachiever ialah cara kita
membimbing anak kita baik di rumah maupun di sekolah. Kita menggunakan
memakai metode one size fits all ( atau dalam ukuran baju disebut free
size atau all size). Artinya anak dipaksakan mengikuti sistem yang ada.
Misalnya, guru mengatakan bahwa kurikulum sudah demikian maka anak
harus mengikutinya begitu. Anak-anak adalah pribadi yang kompleks, dan
menjelaskan underachievement dalam beberapa anak, berbakat atau tidak,
mungkin bagaikan mengurai bola dari rajutan benang, tidak ada penyebab
tunggal yang terpisah, tapi sebuah sistem di mana setiap bagian mempengaruhi
yang lain. Berbakat berprestasi kurang cenderung sangat sensitife untuk guru
yang kritis, kaku, suka mengganggu, dan tidak simpatik (Fine, 1967). Ada
banyak guru yang memiliki sikap negatif terhadap siswa berbakat yang
menolak kompromi. Guru yang menekankan ketertiban, kendali, dan
penyesuaian cenderung untuk mempromosikan gaya yang lebih terstruktur dan
kurang inovatif pada siswa mereka (Kim, 2008).
Sebuah tinjauan literatur telah mengungkapkan divergensi besar

10
pendapat tentang apa yang menyebabkan keterbelakangan pada siswa. Sousa
(2003) mengamati bahwa kombinasi faktor baik di rumah maupun di sekolah
dapat menyebabkan underachievement. Berdasarkan penelitian saat ini dalam
perkembangan kognitif dan bahan bacaan yang lengkap, terdapat dua alasan
penting bagi siswa dengan prestasi kurang dalam bidang akademik dapat
diidentifikasi, pertama karena kurangnya pemahaman mereka tentang
bagaimana untuk memilih, menyesuaikan, dan memonitor strategi untuk
belajar dan kedua adalah kurangnya motivasi mereka untuk menerapkan secara
aktif pemahaman yang mereka miliki (Ryan 1989 dalam Chukwu-Etu, 2009). 
Secara umum faktor dominan penyebab dari anak underachiever
adalah:
1. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan faktor yang sangat berperan dalam
menyebabkan terjadinya underachiever pada anak. Cara pengajaran, materi-
materi yang diberikan, dan ukuran-ukuran keberhasilan dan kemampuan
guru dapat menjadi penyebab anak mengalami underachiever.
Alberlt Einstein adalah salah satu kasus bagaimana sekolah dapat
menjadikan anak jenius sebagai underachiever. Ketika sekolah dasar, nilai-
nilai Einstein sangatlah buruk hingga ia sempat disebut anak yang bodoh
karena tidak “mampu” berprestasi dengan baik. Einstein tidak dapat
berprestasi di sekolah karena ia harus mengulang hal-hal yang sudah
diketahuinya, yang menurutnya tidak ada manfaatnya, bukan karena ia tidak
mampu. Dapat kita bayangkan kerugian seperti apa yang dialami oleh dunia
jika Einstein tidak dapat mengatasi permasalahannya di sekolah. Yang perlu
menjadi catatan di sini adalah Albert Einstein berhasil mengatasi
permasalahan tersebut di atas dengan bantuan orang lain, pamannya, bukan
karena ia mampu mengatasi sendiri permasalahan tersebut. Mungkin saat ini
banyak Einstein-Einstein Indonesia yang gagal mengatasi.
Whitmore (1980, dalam Wahab 2005) mengemukakan bahwa
ada beberapa faktor sekolah yang menyebabkan gejala berprestasi
kurang, di antaranya sbb:

11
a. Kurangnya respek yang tulus dari guru
b. Suatu iklim sosial yang kompetitif.
c. Tidak adanya fleksibilitas dan adanya kekakuan.
d. Penekanannya pada evaluasi eksternal.
e. Adanya sindrom kegagalan dan kondisi kritis yang mendominasi
kecuali bagi orang-orang yang berprestasi.
f. Kontrol orang dewasa/guru secara konstan di kelas.
g. Kurikulum belajar yang tak apresiatif
2. Faktor Guru
Guru memegang peranan penting dalam prestasi sekolah. Bagaimana
guru dalam memperlakukan anak didiknya akan mempengaruhi prestasi
yang akan dicapai anak. Penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli psikologi
menunjukkan bahwa harapan (expectancy) guru terhadap kemampuan anak
sangat berpengaruh pada penilaian anak mengenai hal tersebut di atas. Kelas
yang diberitahukan bahwa mereka adalah anak-anak pintar dan cerdas
mendapatkan perstasi belajar lebih tinggi dibandingkan kelas yang
dibandingkan kelas yang diberitahukan bahwa kemampuan mereka kurang
(pada kenyataannya, kemampuan mereka tidak berbeda). Sering kali guru
tanpa sadar mengabaikan hal ini.
Sejalan dengan hal di atas, banyak hal yang dapat diperoleh dari
hubungan guru-murid yang baik, yaitu membantu siswa merasa dicintai dan
mampu, memotivasi mereka untuk melakukan dan menjadi yang terbaik,
karena mereka peduli tentang apa yang guru pikirkan tentang mereka,
membuat guru dan siswa lebih mudah untuk berkomunikasi dan
bekerjasama untuk mengatasi hambatan dalam belajar dan megajarkan siswa
untuk mengenali guru mereka dan dengan demikian mereka dapat membuka
pengaruh positif dan pengharapan karakter guru dan teladan peribadinya.
Seperti yang dikatakan oleh Hendri Adams, bahwa pengaruh guru adalah
abadi. Guru yang berdedikasi dan peduli selalu menjadi pengaruh yang
signifikan pada nilai-nilai dan karakter seorang anak (Lickona, 2012).
3. Keluarga dan Lingkungan Rumah

12
Selain sekolah, lingkungan rumah juga dapat menyebabkan anak
menjadi underachiever. Bagaimana orang-orang terdekat memperlakukan
anak akan mempengaruhi pencapaian anak dalam berprestasi. Keluarga
adalah faktor terpenting yang dapat menyebabkan anak
mengalami underachiever. Misalnya, kurangnya perhatian, dukungan, dan
kesiapan orang tua untuk membantu anaknya dalam belajar di rumah.
Harapan orang tua yang terlampau tinggi terhadap anaknya sehingga sering
terjadi pertentangan pendapat antara orang tua dengan anak. Selain itu,
orang tua kurang menghargai prestasi belajar yang telah dicapai oleh anak.
Sikap orang tua yang demikian kurang memacu anak untuk belajar lebih
giat. Anak merasa prestasi belajar yang telah dicapai kurang dihargai dan
anak juga akan merasa dirinya tidak mampu berprestasi dalam belajar.
Keretakan hubungan antara orang tua (ayah dan ibu), sehingga sering
menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga yang pada akhirnya
menjurus pada perceraian. Kondisi yang demikian, menyebabkan anak
kurang berkonsentrasi dalam belajar. Anak akan
mengalami underachiever juga terjadi jika suasana rumah gaduh, bising,
sumpek, dan dalam keadaan berantakan.
Apa yang kita tahu tentang perkembangan otak dan emosional
adalah bahwa setiap anak berkembang pada kecepatan yang berbeda
dan beberapa orang tidak siap untuk mencapai akademis sampai awal
dua puluhan.
a. Jaga hubungan anak-orang tua dalam arah yang benar.
b. Ajarkan nilai kerja keras. Ajarkan kepada anak rasa tanggung
jawab. Apakah mereka melakukan pekerjaan. Tidak ada hal
seperti makanan gratis dalam hidup.
c. Biarkan anak tahu dia bisa berhasil atau gagal dan Anda
senantiasa menyayanginya. Hal ini membuat mereka merasa tidak
harus berhasil.
d. Jangan memaksakan anak-anak di luar kemampuan belajarnya.
e. Jangan memberi kesan bahwa selalu orang tua yang menang dan

13
anak yang kalah.
f. Jangan membuat pertentangan awal dalam kehidupan atau anak
masih akan berjuang menjadi figur otoritas sebagai orang dewasa
(Fay dan Fay).
4. Faktor dalam Diri Individu
a. Persepsi diri
Tidak tercapainya prestasi sekolah yang baik juga sangat
ditentukan oleh karakteristik anak. Salah satunya adalah penilaian anak
terhadap kemampuan yang dimilikinya. Penilaian anak terhadap
kemampuannya berpengaruh banyak terhadap pencapaian prestasi
sekolah. Anak yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk
mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilaian
terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, anak yang menilai
dirinya sebagai anak yang tidak mampu atau anak yang bodoh akan
menganggap nilai-nilai kurang yang didapatkannya sebagai hal yang
sepatutnya dia dapatkan.
b. Hasrat berprestasi
Faktor lain dalam diri anak yang menentukan prestasi yang akan
dicapainya adalah faktor keinginan untuk berprestasi (need for
achievement) itu sendiri. Ada anak yang memilii dorongan dari dalam
dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi ada pula yang kurang memiliki
dorongan tersebut. Keinginan untuk berprestasi adalah hasil dari
pengalaman-pengalaman anak dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang
sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan mengalami frustasi dan
tidak mengharapkan hasil yang baik dan tindakan-tindakan yang
dilakukaknnya.
c. Lokus control
Bagaimana anak menilai penyebab prestasi yang dimilikinya
dapat menyebabkan tercapainya prestasi yang tinggi. Anak dapat
menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi tersebut karena faktor usaha
yang dilakukannya atau karena faktor-faktor di luar yang tidak dapat

14
dikontrolnya.
Anak yang menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi karena
faktor usaha tersebut anak yang memiliki lokus kontrol (locus of
control) internal, dan jika sebaliknya disebut memiliki lokus kontrol
eksternal. Anak yang memiliki lokus kontrol internal akan menilai
bahwa angka 4 yang didapatnya dalam pelajaran matematika adalah
karena ia kurang belajar, sedangkan mereka yang memiliki lokus kontrol
eksternal akan mengatakan karena guru yang sentimen pada dirinya.
d. Pola belajar
Pola belajar anak sangat mempengaruhi pencapaian prestasi
anak. Ada anak yang terbiasa belajar secara teratur walaupun besok
harinya tidak ada tes atau ujian, tetapi ada pula anak yang hanya belajar
jika ada ujian.

C. Strategi Penanganan Anak dengan Underachiever


Psikolog dan pendidik motivasional tertarik pada bagaimana pikiran
(anak) memengaruhi perilaku mereka terhadap pilihan penting mereka di
sekolah, keterlibatan mereka dalam tugas-tugas akademik, kemampuan mereka
untuk gigih saat mereka menghadapi kemunduran (Dweeck, 2002 dalam
Gredler, 2011).
Ketika menemukan siswa atau anak mengalami masalah
underachievement, mungkin Anda bertanya-tanya; bagaimana mengatasi anak
dengan masalah tersebut? Beberapa tips yang dapat dilakukan dalam
menghadapi anak underachievement. Adapun langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut:
1 . Bantulah anak untuk belajar sesuai dengan gaya belajarnya. Dengan gaya
belajar yang sesuai, ia dapat menentukan pola belajar yang efektif. Tipe
pembelajar auditori lebih suka belajar dengan mendengarkan daripada
membaca. Tipe pembelajar kinestetik lebih mudah memahami pelajaran
dengan melakukan praktik.
2. Modifikasi cara mengajar sesuai dengan gaya belajar anak.

15
3. Berikan reinforcement positif dan pujian. Motivasi yang berasal dari luar
diri anak dianggap efektif untuk menimbulkan semangat dan daya dorong
baginya untuk berprestasi lebih baik. Untuk itu, pemberian pujian atau
hadiah masih sangat relevan.
4. Berikan harapan yang jelas, dan sesuaikan tuntutan dengan kemampuan
anak. Pemberian harapan yang jelas dan realistis sesuai dengan kemampuan
anak akan mengantarkan anak kepada upaya yang optimal, karena ia yakin
meraih harapan tersebut. Siswa dengan ketangguhan diri tinggi
meningkatkan usahanya pada tugas yang sulit, gigih saat menghadapi
rintangan, dan cenderung menentukan tujuan yang menantang (Gredler,
2011).
5. Libatkan mentor dan role model, libatkan anggota keluarga jika perlu.
6. Gunakan metode belajar yang variatif (role play, simulasi, studi kasus,
proyek, dan Iain-Iain).
7. Ajarkan anak manajemen waktu. Dengan manajemen waktu yang teratur,
pola belajar anak dapat dijadwalkan, dan akan terbentuk menjadi kebiasaan
yang positif.
8. Belajar dalam kelompok kecil. Belajar kelompok dengan jumlah anggota 3-
5 orang dapat meningkatkan kerja sama dan semangat berkompetisi yang
positif.
9. Ciptakan situasi yang kondusif, gunakan pola belajar kerja sama, bukan
kompetitif. Melalui situasi yang kondusif, anak akan merasa nyaman dan
mengeluarkan seluruh potensinya dengan optimal (Putra, 2013).
Salah satu strategi yang dianggap berhasil membalikkan gejala kurang
berprestasi yakni dengan penggunaan Trifocal Model Pada Klinik Keluarga
Berprestasi, kita mampu mengubah kurang berprestasi di sekitar empat dari
lima anak-anak dengan menggunakan pendekatan tiga cabang. Kami
menyebutnya Trifocal Model porque Fokus pada anak, orang tua, dan sekolah.
Banyak sekolah telah menggunakan Model Trifocal Juga dengan keberhasilan
yang sangat baik. Telah teratur digunakan efektif dalam program sekolah,
program di sekolah yang kurang berprestasi, pendidikan khusus dan program

16
berbakat, dan anak-anak di TK sampai kelas 12. Juga Telah digunakan dengan
mahasiswa. The Trifocal Model meliputi enam langkah, yang lima pertama
berlaku untuk semua anak underchiever. Pada langkah enam, dibagi menjadi
tiga jenis anak underachiever, Anda dapat memilih Ide yang paling mungkin
untuk anak atau siswa.

Model Trifocal untuk Penanganan Sindrom Underachievement (Rimm, 2008).

Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa penanganan sindrom


underachiever yang melibatkan kolaborasi antara anak, orang tua dan sekolah
dalam penerapannya melalui enam langkah, yaitu:
Tahapan Tujuan Diperoleh dengan…
1. Assesment Untuk menentukan sifat Menggunakan tes, penemuan,
danTingkat siswa pertanyaan, dan observasi
underachievement
2. Komunikasi Untuk mendapatkan orang tua,
Pertemuan untuk membahas isu-
guru, dan siswa untuk bekerja
isu dan Pertukaran informasi
sama dengan saling menghargai dan
tanpa menyalahkan
3. Mengubah Untuk mengubah harapan Menetapkan tujuan yang
Harapan siswa, orang tua, dan guru realistis dan mengungkapkan
untuk menyesuaikan tingkat keyakinan dalam kemampuan
pencapaian yang baru siswa untuk menemui mereka
4. Model Peran Untuk menemukan model Pemilihan positif dan
peran yang baik bagi siswa pencapaian yang berorientasi
kedewasaan dengan siapa siswa
dapat mengidentifikasinya

17
5. Koreksi Untuk mengatasi penurunan Menyediakan tutorial jangka
Kekurangan keahlian apapun Itu yang pendek
mungkin ada kekurangan
6. Modifikasi Untuk membuat perubahan di Memperkuat pencapaian
Pengukuhan rumah dan di sekolah yang perilaku
diperlukan untuk
menghentikan tingkah laku
manipulatif
siswa
Sumber : Rimm (2004)

BAB III

18
PENUTUP
Kesimpulan
Underachievement dari siswa berbakat merupakan masalah
kompleks. Bakat, yang biasanya diidentifikasi oleh intelegensi, tidak
mengesampingkan kreativitas, dan banyak anak-anak yang sangat kreatif
tidak melakukannya dengan baik di lingkungan sekolah. Karakteristik
anak underachievement mirip dengan karakteristik berprestasi sangat
kreatif. Mereka menolak kesesuaian, mereka memiliki penerimaan sedikit
sosial dengan rekan-rekan mereka dan guru, dll atau secara khusus
teridentifkasi pada, pekerjaan setiap hari tidak lengkap atau buruk lalu
memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat, kesenjangan
antara tingkat kualitatif pekerjaan lisan dan tulisan (secara lisan lebih baik),
pengetahuannya faktual kecenderungan perfeksionis dan mengkritik diri sendiri,
menghindari kegiatan baru, menghindari kinerja yang tidak sempurna, tidak
menyukai pekerjaan praktis atau hafalan dan tidak mampu berkonsentrasi pada
tugas serta minat yang kuat terhadap suatu bidang tertentu, sehingga
melupakan akademiknya.
Guru hendaknya dapat membuat atau menambah tantangan sehingga tugas
berjalan sedikit melampaui apa anak-anak sudah bisa melakukan, sehinga mereka
merasa memiliki tantangan dan lebih bergairah untuk mengikuti proses
pembelajaran. Selain itu guru juga harus melakukan penilaian klinis yang
sensitive setiap saat untuk mengetahui kapan harus mengintervensi dan kapan
harus membiarkan interaksi terus berlanjut
Anak underachiever dapat ditangani dengan membantu anak untuk belajar
sesuai dengan gaya belajarnya, modifikasi cara mengajar sesuai dengan gaya
belajar anak, berikan reinforcement positif dan pujian, berikan harapan yang jelas,
dan sesuaikan tuntutan dengan kemampuan anak lalu libatkan mentor dan role
model, libatkan anggota keluarga jika perlu, gunakan metode belajar yang variatif,
ajarkan anak manajemen waktu, belajar dalam kelompok kecil. Belajar kelompok
dengan jumlah anggota 3-5 orang dapat meningkatkan kerja sama dan semangat
berkompetisi yang positif, ciptakan situasi yang kondusif, gunakan pola belajar

19
kerja sama, bukan kompetitif. Melalui situasi yang kondusif, anak akan merasa
nyaman dan mengeluarkan seluruh potensinya dengan optimal serta gunakan
model trifocal dalam mengatasi sindrom underachievement.

DAFTAR PUSTAKA

20
Chukwu-Etu, O. (2009). Underachieving Learners: Can They Learn All.
University of Nigeria Nsukka.

Clemons, Trudy L. (2008). Undeachieving Gifted Student: A Social


Cognitive Model. Virginia: University of Virginia.

Fay, Jim dan Fay, Charles. Opening the Dor to Success: Hope for
Underachieving Kids.

Kim, Kyung Hee. (2008). Underachievement and Creativity: Are Gifted


Underachievers Highly Creative? Eastern Michigan University:
Taylor & Francis Group.

Lickona, Thomas. (2012). Character Matters. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

McCoach, D. Betsy dan Del Siegle. (2007). Factors That Differentiate


Underachieving Gifted Students From High-Achieving Gifted
Students. University of Connecticut.

Putra, Sitiatava Rizema. (2013). Panduan Pendidikan Berbasis Bakat


Siswa. Jogjakarta: Diva Press.

Rimm, Sylvina. (2004). Why Bright Kids Get Poor Grades And What You
Can Do About It. Crown Publishers.

Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas, Jilid 1.


Jakarta: Erlangga.

Sprenger, Marilee. (2011). Cara Mengajar Agar Siswa Tetap Ingat.


Jakarta: Erlangga.

Wellisch, M. dan Brown, J. (2011). Where Are the Underachievement in


the DMTG’s Academic Talent Development? Australia: Macquarie
University.

21

Anda mungkin juga menyukai