Anda di halaman 1dari 27

IDENTIFIKASI VIRUS PADA IKAN DAN UDANG DENGAN METODE

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DI BALAI KARANTINA IKAN PENGENDALIAN


MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SURABAYA II

KARYA ILMIAH PRAKTEK AKHIR


PROGRAM STUDI TEKNIK PENANGANAN PATOLOGI PERIKANAN

PROPOSAL

MUHAMMAD JUNDI SHOLIHUDDIN ADZ-DZIKRI


19.6.02.145

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


BADAN RISET DAN SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN PERIKANAN
POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN SIDOARJO
2021
HALAMAN PERSETUJUAN

Judul : Identifikasi Virus Pada Ikan Dan Udang Dengan Metode Polymerase
Chain Reaction (PCR) Di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu Dan
Keamanan Hasil Perikanan Surabaya II

Nama : Muhammad Jundi Sholihuddin Sholihuddin Adz-dzikri

NIT : 19.6.02.145

Laporan Ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Melaksanakan Karya Ilmiah Praktek Akhir
Program Studi Teknik Penanganan Patologi Perikanan
Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo
Tahun Akademik 2021/2022

Menyetujui

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Indah Puspitasari, S.Si., M.Sc. Era Insivitawati M.Si.


NIP. 19810514 200502 2 001 NIP. 198803292019022003
Tanggal :………………………... Tanggal :……………….........

Mengetahui :

Ketua Program Studi


Teknik Penanganan Patologi Perikanan

Tri Ari Setyaastuti, S.P., M.Si.


NIP. 19730702 200212 2 002

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan penyusunan Proposal Karya Ilmiah Praktek Akhir ini yang berjudul
“Identifikasi Virus Pada Ikan Dan Udang Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Surabaya II”
dengan tepat waktu. Penyusunan Proposal ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta
masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak I Gusti Putu Gede Rumayasa Yudana, S.Pi, M.P selaku Direktur Politeknik
Kelautan dan Perikanan Sidoarjo yang telah mendukung kegiatan Karya Ilmiah
Praktek Akhir.
2. Ibu Ari Setyaastuti, S.P., M.Si. selaku Ketua Program Studi Teknik Penanganan
Patologi Perikanan yang telah memberikan kesempatan dalam melaksanakan Kegiatan
Karya Ilmiah Praktek Akhir.
3. Ibu Puspitasari, S.Si., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga proposal ini dapat selesai.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Proposal Karya Ilmiah
Praktek Akhir.
Penulis menyadari bahwa Proposal ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
laporan ini.

Sidoarjo, Februari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
I. PENDAHULUAN................................................................................................6
1.1. Latar Belakang...........................................................................................7
1.2. Maksud dan Tujuan....................................................................................7
1.2.1. Maksud.............................................................................................7
1.2.2. Tujuan...............................................................................................7
II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................8
2.1. Struktur, Susunan dan Sifat Dasar Virus ...................................................8
2.2. Kriteria Penggolongan Virus......................................................................8
2.3. Replikasi Virus...........................................................................................9
2.4. Perubahan Sel Akibat Infeksi Virus............................................................9
2.5. Penyebaran Penyakit Viral.......................................................................10
2.6. Penyakit Viral Pada Organisme Budidaya...............................................10
2.6.1. WSSV............................................................................................10
2.6.2. TSV................................................................................................11
2.6.3. AHPND..........................................................................................11
2.6.4. IMNV..............................................................................................12
2.6.5. EHP...............................................................................................12
2.6.6. VNN...............................................................................................12
2.6.7. TiLV...............................................................................................13
2.6.8. IHHNV............................................................................................13
2.6.9. KHV...............................................................................................14
2.7. Pengendalian Penyakit Viral....................................................................14
2.8. Polymerase Chain Reaction (PCR)..........................................................14
2.8.1. Tahapan Proses Polymerase Chain Reaction (PCR).....................15
III. METODOLOGI..............................................................................................17
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan............................................................17
3.2. Metode Kerja Praktek Akhir (KPA)..........................................................17
3.3. Teknik Pengumpulan Data......................................................................17
3.4. Pengolahan dan Analisi Data..................................................................18
3.5. Jadwal Kegiatan......................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20
vii
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya

perikanan tangkap maupun budidaya (Sahfitri, 2018). Berkembangnya usaha perikanan

Indonesia baik di bidang budidaya, penangkapan maupun pengolahan hasil perikanan

sangat membawa dampak yang positif terhadap perekonomian nasional, sehingga dapat

memberikan sumbangan pendapatan negara yang cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan

semakin meningkatnya arus lalu lintas (Ekspor dan Impor) komoditas perikanan (Rahajanto,

2006).

Penyakit biasanya timbul berkaitan dengan lemahnya kondisi ikan yang diakibatkan

oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan yang diberikan, dan

keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat penebaran ikan yang tinggi jika

faktor lingkungan kurang menguntungkan misalnya kandungan zat asam dalam air rendah,

pakan yang diberikan kurang tepat baik jumlah maupun mutunya, penanganan ikan kurang

sempurna, maka ikan akan menderita stress. Dalam keadaan demikian ikan akan mudah

terserang oleh penyakit (Snieszko, 1973 ; Sarig, 1971).

Timbulnya serangan penyakit adalah hasil interaksi yang tidak sesuai antara hospek,

kondisi lingkungan dan organisme penyebab penyakit. Interaksi yang tidak serasi tersebut

dapat menimbulkan stress pada ikan, nafsu makan menurun, yang selanjutnya

menyebabkan mekanisme pertahanan tubuh tidak bekerja secara optimal, akhirnya infeksi

dan infestasi penyakit mudah masuk (Afrianto dan Liviawati, 1992).

Dalam kegiatan budidaya, sering terjadi kendalan salah satunya adalah penyakit

virus. Virus adalah organisme penyakit yang sangat kecil dengan ukuran 20-300 nanometer.

Didalam tubuh ikan, virus akan bersifat laten sebagai wabah ketika ikan berada pada kondisi

lemah (Saparinto, 2012). Pada kondisi tersebut virus dapat menyebabkan kerusakan

ataupun penyakit pada inangnya.

1
Penyakit viral pada budidaya ikan merupakan ancaman serius karena mampu

menyebabkan kematian massal dalam waktu singkat. Karakter virus yang menyerang sel

inang intraseluler, maka pengendalian virus sulit dilakukan. Oleh karena itu diperlukan

kemampuan dalam pengendalian penyakit virus dalam keberhasilan kegiatan budidaya.

Penyakit akibat infeksi virus merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan

kegagalan dalam budidaya, penyakit virus masih sering terjadi dengan intensitas yang

bervariasi. Jenis penyakit virus yang menyerang ikan dan udang antara lain Penyakit Viral

Nervous Necrosis, Tilapia Lake Virus, Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease, White

Spot Syndrome Virus, Taura Syndrome Virus, Enterocytozoon Hepatopenaei, Infectious Myo

Necrosis Virus dan lain-lain.

Agar serangan penyakit virus dapat ditangani secara tepat, maka perlu dilakukan

identifikasi virus tersebut dengan menggunakan metode PCR. Keunggulan dari metode PCR

untuk identifikasi virus adalah metode PCR ini telah banyak digunakan oleh laboratorium uji

di Indonesia, karena di nilai dengan menggunakan metode ini dapat diperoleh hasil secara

cepat dan sangat efektif (Fitriatin dan Manan, 2015).

1.2. Maksud Dan Tujuan

1.2.1. Maksud

Maksud dari pelaksanaan Kerja Praktek Akhir ini adalah mengikuti seluruh kegiatan

teknik Identifikasi penyakit Virus Pada Ikan Dan Udang Di Balai Karantina Ikan

Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Surabaya II

1.2.2. Tujuan

Tujuan Kerja Praktek Akhir (KPA) ini adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan keterampilan tentang teknik Identifikasi penyakit Virus Pada Ikan

Dan Udang Di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil

Perikanan Surabaya II.

2
2. Mengetahui tahapan pemeriksaan Penyakit virus Pada ikan dan udang

menggunakan teknik identifikasi PCR yang dilakukan Di Balai Karantina Ikan

Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Surabaya II.

3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur, Susunan dan Sifat Dasar Virus

Virus adalah parasit intraselular obligat dan merupakan patogen terkecil. Mayoritas

virus berukuran antara 2-20 mµ atau menduduki kisaran 20-250 nm. Volk dan Wheeler

(1984) menyatakan bahwa terdapat tiga teknik dasar yang dapat dgunakan untuk

menentukan ukuran virus yaitu :

1. Filtrasi melalui membran yang digradasi dan diketahui ukuran pori membrannya.

2. Sentrifuse dengan kecepatan tinggi (100.00 kali lebih besar dari kecepatan gravitasi)

sehingga ukuran virus dapat dihitung dengan menentukan laju kecepatan

pengendapan partikel virus pada dasar tabung sentrifuse.

3. Pengamatan langsung dengan mikroskop elektron.

Virus memiliki perbedaan yang sangat amat nyata dengan mikroorganisme lainnya

karena sifat-sifat dasar virus berikut ini (Schlegel, 1985) :

1. Virus hanya mengandung salah satu asam nukleat (DNA/RNA).

2. Reproduksi virus hanya memerlukan asam nukleat. Virus dapat berbiakjika hanya

asam nukleat dari genom virus yang masuk ke dalam sel dan sebaliknya, pada semua

tingkatan siklus hidup organisme non virus terdiri atas sel yang dikelilingi oleh

membran sel dan memiliki sistem metabolisme lengkap dan mandiri mencakup

mitokondria dan ribosom (Fenner et al., 1993).

3. Virus tidak memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri diluar sel hidup. Multiplikasi

virus terjadi di dalam sel hospes an virus terdapat sebagai partikel virus (virion) jika

berada di luar sel hospes.

Pertikel virus yang disebut virion terdiri dari satu macam asam nukleat (DNA/RNA)

yang dibungkus oleh suatu selubung protein yaitu kapsid. Virion memperoleh amplop

selama pendewasaan melalui proses penguncupan dari membran sel. Kapsid berfungsi

melindungi asam nukleat dari perubahan fisik dan hidrolisi enzimatik oleh nuklease sel

inang. Kapsid memiliki tempat pengikatan yang memungkinkan virus menempel pada

4
tempat yang khas pada sel inang. Kapsid masih terdiri dari sub-sub bagian yaitu

kapsomer. Satuan yang terdiri dari asam nukleat dan kapsid disebut nukleokapsid

(Schlegel, 1985).

Terdapat dua komponen yang tidak dimiliki oleh semua virus yaitu sistem

pembangkit ATP sebagai penghasil energi kimia dalam bentuk ikatan fosfat untuk sintesis

biologis dan ribosom sebagai komponen struktural untuk sintesis protein (Volk dan

Wheeler, 1984).

2.2. Kriteria Penggolongan Virus

Fenner et al. (1993) mneyatakan bahwa terdapat tiga kriteria utama untuk

penggolongan virus yaitu : jenis asam nukleat yang menyusun genom (DNA/RNA), strategi

replikasi virus dan morfologi virion. Contoh virus DNA antara lain poxvirus, herpesvirus,

adenovirus dan circovirus. Sedangkan virus RNA adalah paramyxovirus, orthomyxovirus,

coronavirus, reovirus, birnavirus, picornavirus, serta rhabdovirus. Strategi replikasi virus

dibedakan berdasarkan letak replikasi asam nukleat virus. Replikasi untuk golongan

adenovirus, herpesvirus dan orthomyxovirus terjadi di dalam nukleus sedangkan untuk

golongan poxvirus, paramyxovirus, coronavirus, reovirus, dan birnavirus terjadi di dalam

sitoplasma. Penggolongan berdasarkan morfologi virion adalah bentuk ikosahedral, helikal,

bersampul dan virion bentuk kompleks (rumit).

2.3. Replikasi Virus

Perbanyak virus dilakukan dengan cara replikasi. Rincian langkah reproduksi ini

beraneka macam untuk setiap virus namun secara umum, tahapan replika virus adalah

sebagai berikut (Volk dan Wheeler, 1984) :

1. Perlekatan virion pada tempat reseptor yang khas di permukaan sel inang merupakan

reaksi yang paling khas antara virus dan sel inang. Sel yang tidak mempunyai tempat

reseptor akan resisten terhadap infeksi virus.

5
2. Penembusan terjadi dengan penelanan virion utuh atau fusi dengan membran sel

inang sehingga hanya nukleokapsid yang dimungkinka masuk kedalam sel.

3. Pelepasan pembungkus sehingga asam nukleat terlepas dari kapsid yang

memudahkan bagi enzim untuk menyalin, menerjemahkan dan mereplikasikannya.

4. Asam nukleat akhirnya diterjemahkan untuk memproduksi asam nukleat virus yang

lebih banyak.

5. Perakitan komponen virus menjadi nukleokapsid terjadi segera setelah replikasi asam

nukleat virus. Proses perakitan di dalam virion telah selesai ketika asam nukleat

terbungkus kapsid.

6. Pelepasan virion adalah tahapan akhir dari replikasi virus. Virus yang terdapat sebagai

nukleokapsid telanjang mungkin dilepaskan desertai dengan lisi sel inang atau

dilepaskan dengan penonjolan melewati daerah membran sel inang yang khas.

2.4. Perubahan Sel Akibat Infeksi Virus

Hasil pertemuan antara virus dan sel hospes yang sesuai akan tergantung pada sifat

virus, sifat sel dan lingkungan tempat terjadinya interaksi antara virus dan sel hospes

tersenut. Sifat-sifat virus yang paling penting adalah kemampuan virus dalam suatu sel yang

memasuki sel lain sehingga menyebabkan penyebaran infeksi. Spektrum penyakit yang

ditimbulkan oleh virus berkisar dari infeksi akut sehingga bentuk infeksi yang kronis (Bellanti,

1985).

Perkembangan virus melibatkan kematian sel hospes. Kehadiran virus dapat

diketahui dari akibat yang ditimbulkan pada hospes. Virus merusak seluruh kompleks sel

dan menimbulkan kerusakan jaringan, bercak-bercak nekrosis dan piringan lisis (Schlegel,

1985). Sel inang pada umumnya sudah tidak dapat meneruskan fungsinya sebagai sel

normal saat virus pertama kali mulai mereplikasi. Virus juga mungkin menyebabkan

proliferasi sel yang terkena infeksi sehingga menyebabkan manifestasi seperti kutil atau

menyebabkan terjadinya perubahan yang mentransformasi sel inang normal menjadi sel

kanker. Bahkan pada beberapa virus menghasilkan inklusi intaselular dalam sel inang yang

6
terinfeksi dan dapat dikenali dengan mikroskop biasa setelah dilakukan fiksasi dan

pewarnaan. Badan inklusi ini sering terjadi tapi tidak selalu, dimana perakitan virus, lokasi

intaselular dan penampilannya konstan untuk virus tertentu sehingga badan inklusi yang

terdapat didalam sel adalah kriteria diagnosis untuk infeksi virus yang khas (Volk dan

Wheeler, 1984).

2.5. Penyebaran Penyakit Viral

Penyebaran penyakit terjadi secara cepat dan melanda satu kawasan dalam waktu

singkat. Hal yang tak kalah penting adalah fakstor transmisi dan reservoar infeksi.

Penyebaran penyakit viral pada ikan maupun udanf dapat terjadi secara horisontal maupun

vertikal. Secara horisontal dapat terjadi melalui rantai makanan atau virion yang terbabas ke

lingkungan melalui kotoran dan akan menginfeksi ikan maupun udang yang sehat.

Penyebaran secara vertikal diturunkan dari induk yang menjadi karier ke keturunannya

melalui cairan seminal/ovarium dan telur yang telah terinfeksi. Infeksi pada umumnya

melalui tiga rute yaitu : kulit, insang dan saluran pencernaan (Sudaryatma, 2012).

2.6. Penyakit Viral Pada Organisme Budidaya

Beberapa penyakit viral pada ikan dan udang yang utama di indonesia dan

memerlukan perhatian khusus antara lain : White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura

Syndrome Virus (TSV), Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND), Infectious Myo

Necrosis Virus (IMNV), Enterocytozoon Hepatopenaei (EHP), Viral Nervous Necrosis (VNN),

Tilapia Lake Virus (TiLV), Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV), Koi Herpes Virus (KHV)

(Anonim, 2004).

2.6.1. WSSV

Persebaran White Spot Syndrome Virus (WSSV) dimulai pada tahun 1992, dengan

daerah sebarannya mulai dari Jepang, Thailand, Bangladesh, India, Korea, Malaysia,

Philipina hingga ke Indonesia. Penyakit White Spot atau bercak putih ini menyerang udang

mulai dari stadium benur hingga udang dewasa (Destarlina, 2004). White Spot Syndrome

7
Virus (WSSV) merupakan salah satu penyakit pada udang yang dapat menyebabkan

kerusakan parah hingga kematian yang mencapai 100% dalam waktu 3-4 hari. Gejala

penyakit yang timbul merupakan interaksi yang terjadi antara inang, agen penyakit, dan

lingkungan. Lingkungan yang tidak dijaga dengan baik akan lebih mudah berpengaruh pada

pertumbuhan patogen yang dapat menimbulkan penyakit pada udang (Amrillah, 2015).

Penyakit bercak putih merupakan salah satu penyakit virus yang disebabkan oleh

White Spot Syndrome Virus (WSSV) yang menyebabkan penyakit viral pada udang

(Destarlina, 2004). Jaringan ektodermal dan mesodermal merupakan jaringan yang menjadi

target utama serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Jaringan yang diserang berupa

insang, organ limfoid dan epitel kutikula (Azizah dan Kurniasih, 2005). Menurut Destarlina

(2004), apabila jaringan ektodermal dan mesodermal telah terinfeksi White Spot Syndrome

Virus maka akan terjadi kerusakan jaringan pada udang.

White Spot Syndrome Virus (WSSV) dapat menular melalui jalur vertikal, yaitu White

Spot Syndrome Virus (WSSV) yang menyebar melalui induk ke anak, dan melaui jalur

horizontal yaitu terjadinya kontak langsung dengan udang yang terinfeksi White Spot

Syndrome Virus (WSSV). Selain itu, jalur White Spot Syndrome Virus (WSSV) juga dapat

tertular melalui perantara burung dari satu tambak ke tambak lain dengan cara burung

memakan udang sakit yang berenang di permukaan kolam dan jatuhnya sisa yang tidak

termakan burung ke dalam kolam lain (Arafani et.al, 2016).

2.6.2. TSV

Taura syndrome merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Taura Syndrome

Virus. Selama ini diketahui penyakit tersebut menjadi salah satu kendala dalam budidaya

udang vaname (Litopenaeus vannamei). Infeksi virus tersebut dapat menyebabkan kematian

80-85% dari populasinya (Rufiati, 2008). Menurut OIE (2009), udang vaname merupakan

salah satu host dari Taura Syndrome Virus. Udang vaname merupakan jenis udang

introduksi yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Budidaya udang tersebut

memungkinkan adanya penyebaran infeksi Taura Syndrome Virus pada jenis udang lokal

yang juga banyak dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah udang galah. Selama

8
ini belum pernah ada laporan mengenai adanya infeksi Taura Syndrome Virus pada udang

galah karena tidak ada pemeriksaan TSV terhadap udang tersebut sehingga ketahanan

udang galah terhadap infeksi TSVbelum diketahui secara pasti.

2.6.3. AHPND

AHPND singkatan dari Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease, mengacu pada

penyakit yang merusak jaringan hepatopankreas udang yang bersifat akut atau cepat.

Pertama kali ditemukan di China tahun 2009 dengan nama Covert Mortality Syndrome

(CMV) mempunyai gejala yang hampir sama dengan AHPND China (Lightner, 2010).

Setelah itu penyakit merebak ke Negara lain yaitu Vietnam (2010), Malaysia (2011),

Thailand (2012), sampai Mexico (2013) hingga kini ditemukan di Bangladesh (2014) dan

Phillipina (2015).

Epidemi ini telah menurunkan kemampuan produksi udang negara terdampak, dan

terutama terlihat dari efeknya terhadap tingkat produksi udang Thailand yang yang tercatat

dalam FAO dalam kurun waktu 3 tahun terkena infeksi produksi udang turun drastis dari

609.552 ton di tahun 2013 menjadi 273.000 ton di tahun 2016, sedangkan kerugian di

Vietnam selama kurun waktu 2013 - 2015 mencapai 216,23 juta USD. Sungguh dampak

yang luar biasa untuk penurunan produksi udang.

2.6.4. IMNV

Infeksi IMNV mampu membunuh hingga 70% populasi udang dan myonecrosissaat

ini menjadi salah satu penyakit penting yang telah memengaruhi industri budidaya udang

vaname baik di Indonesia maupun di dunia. Di Indonesia, penyakit myonecrosis pertama kali

dilaporkan terjadi di Situbondo pada tahun 2006, dengan gejala klinis serupa dengan

kejadian wabah myonecrosis di Brazil berupa jaringan otot berwarna putih akibat nekrosis

ekstensif, khususnya bagian punggung dan ekor (Senapin et al., 2007). Penyakit

myonecrosis biasanya terjadi secara akut di tambak dengan tingkat kematian yang tinggi

dan gejala klinis pada udang muda, kemudian perjalanan penyakit menjadi kronis dengan

tingkat kematian mencapai 40-70% (Lightner et al.,2004). Penularan IMNV terjadi secara

9
horizontal karena kanibalisme dan melalui air, sedangkan penularan secara vertikal diduga

terjadi dari induk ke benur (Naim et al., 2014).

2.6.5. EHP

Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) banyak menyerang udang di wilayah Thailand,

Vietnam, China dan India. Serangan penyakit EHP tersebut menyebabkan pertumbuhan

udang menjadi lambat dan pada ukuran udang menjadi tidak seragam pada saat panen.

Selain itu, faktor stres pada udang diduga mampu menyebabkan serangan EHP lebih ganas

dan menyebabkan kematian udang vaname.

2.6.6. VNN

Viral Nervous Necrosis atau Viral Encephalopathy and Retinopathy (VER)

merupakan Famili Nodaviridae yang diperoleh dengan melihat asam nukleat dan protein

struktural dari larva virus Pseudocaranx dentex. Famili Nodaviridae dibagi menjadi dua

Genus yaitu Alphanodavirus dan Betanodavirus, dimana kedua genus ini sangat ganas

dalam menginfeksi ikan. Betanodavirus adalah agen penyebab serangan VNN pada

budidaya ikan laut (Yukio et al., 2007). Betanodavirus berukuran sangat kecil dengan

diameter 25±30 nm, tidak mempunyai kapsid (envelope) dan memiliki asam inti RNA untai

tunggal. Genom virus ini berbentuk iksohedral yang terdiri dari dua utas RNA, RNA-1

berukuran 3,1 kb berfungsi menyandikan RNA polimerase yang bertanggung jawab dalam

replikasi genom dan RNA-2 berukuran 1,4 kb berfungsi menyandikan protein kapsid (Mori et

al., 1992; Comps et al., 1994; Chi et al., 2001). Berdasarkan analisis genetik urutan

nukleotida, Betanodavirus dibagi menjadi empat genotip yaitu, Stripped Jack Nervous

Necrosis Virus (SJNNV), Barfin Flounder Nervous Necrosis Virus (BFNNV), Tiger Puffer

Nervous Necrosis Virus (TPNNV) dan Redspotted Grouper Nervous Necrosis Virus

(RGNNV) (Lio-Po et al., 2001).

Penyakit ini berdampak secara signifikan terhadap kerugian ekonomi industri

budidaya laut sejak akhir tahun 1980-an dan menyebabkan kematian massal lebih dari 39

spesies ikan termasuk spesies ikan kerapu (Maltese dan Boyo, 2007). Jenis kerapu yang

telah dilaporkan terinfeksi VNN meliputi, Epinephelus akaara, E. suillus, E. fuscoguttatus, E.

10
septemfasciatus, E. malabaricus, E. Bruneus. Merujuk pada KEPMEN-KPNomor 08 Tahun

2015, VNN merupakan jenis virus yang termasuk dalam Hama Penyakit Ikan Karantina

(HPIK) Golongan I, merupakan jenis-jenis hama penyakit ikan yang ditetapkan pemerintah

untuk dicegah masuk atau tersebarnya di dalam Wilayah NKRI.

2.6.7. TiLV

Tilapia lake virus merupakan spesies baru yang memiliki 10 segmen dengan ssRNA,

negatif sense RNA genome, dan beramplop dengan partikel icosahedral berukuran 55-75

nm. Sembilan dari segmen gen virus ini tidak memiliki kesamaan dengan virus lainnya,

hanya satu segmen yang sangat mirip dengan protein virus Influenza tipe C. Hibridisasi

secara in situ menunjukan TiLV ini bereplikasi dan tertranskripsi pada hati dan pusat saraf

ikan nila. TiLV sensitif terhadap eter dan kloroform (KEPUTUSAN BKIPM PETUNJUK

TEKNIS SURVEILAN PENYAKIT TILAPIA LAKE VIRUS, 2017). Ikan nila (Oreochromis

niloticus) merupakan jenis ikan air tawar yang diintroduksi dari Afrika bagian timur pada

tahun 1969. Ikan ini menjadi ikan budidaya yang populer di kolam-kolam air tawar di

Indonesia. Produksi ikan nila di Indonesia terus meningkat sejak tahun 2009, yaitu mencapai

99.969 ton tetapi nilai ekspor menurun menjadi 11,879 ton pada tahun 2016. Kondisi

penurunan ini kemungkinan ada hubungannya dengan kasus kematian massal akibat

penyakit. Pada tahun 2016 kasus kematian massal terpantau terjadi di pembudidaya ikan di

Lombok, dengan gejala menyerupai kasus infeksi virus TiLV yang pernah terjadi di Israel.

Kondisi ini perlu diwaspadai karena saat ini bibit atau benih nila selain dari lokal juga diimpor

dari beberapa negara lain seperti dari Thailand, Filipina, dan Amerika. Kegiatan impor benih

sering menimbulkan masalah karena akan disertai pula impor penyakit. Kasus ini sama

seperti kasus impor ikan hias yang juga disertai masuknya penyakit baru yang pada awalnya

belum ada di Indonesia seperti Koiherpes virus (KHV) (Sunarto & Cameron, 2006).Tilapia

Lake Virus (TiLV) Virus ini merupakan genus dari famili Orthomyxoviridae, yang mereplikasi

di inti sel pada jaringan ikan. TiLV yang pertama kali dilaporkan terjadi di Israel menyebar ke

Ekuador dan Kolombia. dan ke beberapa negara seperti Mesir serta Malaysia (Koesharyani

dkk., 2018).

11
2.6.8. IHHNV

IHHNV memiliki diamter kurang lebih 22 nm dan termasuk golongan parvovirus

dengan genom DNA untai tunggal. Penyebaran penyakit ini sangat luas meliputi negara-

negara di amerika dan asia termasuk indonesia. Penyakit ini tergolong akut, dimana

menyebabkan kematian yang sangat tinggi pada juvenil Penaeus stylirostris. Menginfeksi

secara vertikal.

2.6.9. KHV

Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) yang menyerang ikan koi dan ikan mas memang

sudah cukup jarang terdengar kasusnya, atau sudah tidak separah saat ia pertama kali

mewabah di awal tahun 2000-an. Namun demikian, sepinya kasus dan perbincangan soal

KHV seharusnya tidak membuat lengah para pelaku usaha ikan mas dan koi dari serangan

virus yang sempat memporakporandakan spesies Cyprinus carpio (ikan mas dan koi) ini.

Menurut virologi di bidang akuakultur ini, KHV pada ikan cukup mirip dengan flu yang

terjadi pada manusia. Flu bersifat musiman yang sering muncul saat musim hujan dan

berkurang atau hilang saat musim panas. “Saya menduga mungkin (KHV juga) begitu.

Tahun 2002 awalnya wabah. Pola wabah itu ketika pertama kali muncul kematiannya tinggi.

Nanti kemudian ilang lagi. Ini bukan hal yang aneh bagi kami,” terang pria yang sudah

meneliti KHV sejak lama ini.

2.7. Pengendalian Penyakit Viral

Pengendalian penyakit viral ini lebih di tekankan pada upaya pencegahan dan

membatasi penularan, beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain :

1. Penggunaan benih dan induk bebas virus

2. Kontrol kualitas air.

3. Pembrsihan karier di lingkungan tambak.

2.8. Polymerase Chain Reaction (PCR)

12
PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik

perbayakan DNA secara in vitro. Dalam sistem kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA.

Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita

yang berpasangan anti paralel antara satu dengan yang lain dan berkaitan dengan ikatan

hydrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara

basa adenin (A) dengan timin (T), dan guanin (G) dengan sitosin (C) (Mulado, 2003).

PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan salah satu teknik untuk mempelajari

biologi molekuler. Merupakan metode enzimatis yang digunakan untuk melipatgandakan

secara eksponensial suatu nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini sangat

sensitif, sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu molekul DNA (Widowati,

2013).

Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA template; (2)

denaturasi DNA template; (3) penempelan primer pada template (Annealing); (4)

pemanjangan primer (Extension) dan (5) pemantapan (Post- extension). Tahap 2 sampai

dengan 4 merupakan tahapan berulang (siklus), dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi

jumlah DNA (Darmo dan Ari, 2000).

2.8.1. Tahapan Proses Polymerase Chain Reaction (PCR)

A. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan asam nukleat (DNA/RNA) patogen dari sel

inangnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulandari (2003), yang menyatakan bahwa

prinsip dasar ekstraksi DNA/RNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA/RNA

dari komponen-komponen lainnya yaitu penghancuran dinding sel, penghilangan protein dan

pengendapan asam nukleat.

Ekstraksi dan purifikasi DNA pada dasarnya merupakan serangkaian proses

pemisahan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Ekstraksi DNA pada organisme

eukariot dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls),

penghilangan protein dan RNA (cell digestion), dan pengendapan DNA (precipitation) dan

pemanenan (OIE, 2003).

13
Proses tahapan ekstraksi DNA adalah menjadikan bahan sampel menjadi

supernatan, menghomogenkan sampel. Sampel disentrifuge dengan kecepatan dan waktu

yang berbeda-beda tiap prosesnya. Adapun maksud dari homogenisasi adalah

proses penyatuan antara komponen-komponen dalam dalam supernatant sesuai dengan

fraksi berat komponen untuk mendapatkan DNA templat. Sedangkan sentrifuge adalah

proses untuk menghilangkan hancuran sel-sel atau komponen-komponen antara protein lain

agar mendapatkan DNA template (OIE, 2003).

Proses sentrifuge adalah suspensi jaringan disentrifuge dengan kecepatan rendah

sehingga menghasilkan endapan yang mengandung sel utuh, inti dan sitoskeleton. Proses

selanjutnya, supernatan diputar dengan kecepatan sedang sehingga menghasilkan endapan

yang mengandung mitokondria dan lisosom peroksisom. Kemudian supernatan diputar

dengan kecepatan tinggi sehingga mengandung endapan mikrosom dan versikel kecil.

Proses terakhir adalah supernatan diputar dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga

menghasilkan endapan yang mengandung ribosom, virus dan makro molekul. (Hutami, et

al., 2017).

B. Amplifikasi

Amplifikasi DNA adalah proses penggandaan DNA cetakan dengan bantuan enzim

dan primer serta suhu yang sudah diatur sehingga diperoleh sejumlah DNA tertentu (OIE,

2003). Amplifikasi DNA dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, denaturasi cetakan DNA

beruntai ganda pada suhu di atas 90 ° C sehingga menjadi DNA cetakan berantai tunggal.

Kedua, penempelan (annealing) primer oligonukleotida ke DNA cetakan beruntai tunggal

biasanya pada suhu 50 ° C – 60 ° C sehingga primer akan membentuk jembatan hidrogen

dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu

dimana primer annealing biasanya diistilahkan dengan Melting temperature (Tm). Ketiga,

perpanjangan (ekstension) fragmen DNA dengan enzim polimerase dan primer untuk

menghasilkan kopi DNA yang dapat berfungsi sebagai DNA cetakan untuk siklus

selanjutnya yang berlangsung pada suhu 70 ° C – 78 ° C. Kedua DNA cetakan asli dan target

yang teramplifikasi selanjutnya berfungsi sebagai substrat untuk proses denaturasi,

14
penempelan primer dan perpanjangan fragmen DNA. Berdasarkan teori, setiap siklus akan

menggandakan jumlah kopi target DNA sehingga terjadi amplifikasi geometri. Amplifikasi

DNA target sebanyak 25 siklus akan menghasilkan 33 juta kopi. Setiap penambahan 10

siklus menghasilkan 1024 lebih kopi. Rataan perubahan suhu atau tahapan lamanya

inkubasi di setiap suhu dan jumlah waktu setiap siklus yang diulang, dikontrol dengan suatu

program dari alat thermal cycler. Jumlah siklus amplifikasi PCR harus dioptimasi tergantung

pada konsentrasi awal DNA target. Minimal diperlukan 25 siklus untuk dapat

melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target sehingga hasil PCR dapat dilihat secara

langsung dengan menggunakan agar elektroforesis (OIE, 2003).

C. Elektroforesis

Elektroforesis adalah proses pemisahan fragmen DNA hasil dari amplifikasi

sehingga didapatkan ukuran tertentu berat molekul dari suatu DNA. Prinsip kerja gel

elektroforesis dimulai saat makro molekul yang bermuatan listrik ditempatkan pada medium

berisi tenaga listrik. Molekul-molekul tersebut akan bermigrasi menuju kutub positif atau

kutub negatif berdasarkan muatan yang terkandung di dalamnya. Molekul-molekul yang

bermuatan negatif (anion) akan bergerak menuju kutub positif (anoda), sedangkan molekul-

molekul yang bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif (katoda).

Kecepatan migrasi ditentukan oleh panjang-pendek pita DNA. Semakin kecil molekul DNA

maka semakin cepat migrasi molekul DNA melewati gel (Sulandri, 2003).

D. Pembacaan hasil

Pembacaan hasil adalah pembacaan hasil elektroforesis yang dibaca dengan

bantuan sinar UV serta pendaran warna dari Ethidium Bromide dan pengamatan dengan

yang sudah ditambahkan pada Agarose. Pemberian Ethidium Bromide adalah untuk

mendeteksi asam nukleat bentuk tunggal atau ganda (baik DNA atau RNA). Dalam Ethidium

Bromide terdapat substansi yang mengandung gugus planar yang terdapat diantara basa-

basa DNA yang tertumpuk. Posisi yang tetap gugus ini dan letaknya berdekatan dengan

basa-basa menyebabkan zat warna yang terikat pada DNA menunjukkan peningkatan

fluoresensi dibanding zat warna yang bebas dalam larutan (OIE, 2003).

15
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan Kerja Praktek Akhir (KPA) dilaksanakan Di Balai Karantina Ikan

Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Surabaya II, Jl. Kalimas Baru No.86,

Perak Utara, Kec. Pabean Cantian, Kota Surabaya, Jawa Timur 60165. Kegiatan ini

dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2022 sampai dengan 31 Maret 2022.

3.2. Metode Kerja Praktek Akhir (KPA)

Metode yang digunakan dalam Kerja Praktek Akhir ini adalah metode survei

dengan menggunakan pola partisipasi langsung. Menurut Nazir (2003), metode survei

adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang

ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi

sosial,ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Sedangkan untuk

mendapatkan keterampilan digunakan pola partisipasi langsung terhadap seluruh

kegiatan yang ada pada unit usaha tersebut. Yang dimaksud partisipasi langsung adalah

ikut melaksanakan seluruh kegiatan pada unit tersebut.).

Metode pengambilan data pada kegiatan Kerja Praktek Akhir (KPA), sebagai

berikut :

Studi Literatur

Pembuatan Proposal

Kerja Praktek Akhir

Analisis Data

Pembuatan Laporan KPA

1
Gambar 1. Metode Kerja Praktek Akhir

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Fase terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data

tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian, agar dapat

memperoleh temuan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada Kerja Praktek Akhir (KPA) ini

adalah metode observasi dan wawancara.

1. Observasi

Menurut Narbuko dan Achmadi (2001) observasi adalah pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis gejala-

gejala yang diamati.

Adapun jenis observasi yang diterapkan dalam kegiatan Kerja Praktek Akhir

(KPA) ini adalah observasi partisipan, yaitu mengikuti seluruh kegiatan dalam

proses identifikasi virus pada sampel ikan dan udang, yang meliputi proses

nekropsi, pengamatan gejala klinis, ekstraksi, amplifikasi, elektroforesis, kemudian

pembacaan hasil.

2. Wawancara

Wawancara merupakan suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan

informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada

para responden. Wawancara bermakna berhadapan langsung antara interview

dengan responden, dan kegiatannya dilakukan secara lisan (Subagyo, 2011).

Pengertian wawancara menurut Narbuko dan Achmadi (2001) adalah proses

tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, dilakukan oleh dua

orang atau lebih, bertatap muka, mendengarkan secara langsung informasi dan

keterangan. Wawancara dilakukan dengan acuan daftar kuisioner yang dibuat.

2
3.4. Pengolahan dan Analisi Data

Analisis data adalah proses menyusun secara sistematis data yang diperoleh

dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara

mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang

akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri

maupun orang lain (Sugiyono, 2014).

Teknik analisis data mempunyai prinsip yaitu untuk mengolah data dan

menganalisis data yang terkumpul menjadi data yang sistematis, teratur, terstruktur

dan mempunyai makna. Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk tabel yang

terdiri dari jenis sampel, organ target bakteri dan hasil identifikasi virus yang

menginfeksi ikan dan udang.

3.5. Jadwal Kegiatan

Tabel 1. Jadwal Kegiatan

No. Jadwal Kegiatan Maret April Mei


I II III IV I II III IV I II III IV
1. Tiba di lokasi KPA ✓
2. Pengenalan Lokasi KPA ✓
3. Penerimaan Sampel Ikan ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
dan Pengamatan Gejala
Klinis
4. Ekstraksi (DNA/RNA) ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
patogen dari sel
5. Amplifikasi DNA ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
6. Elektroforesis ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
7. Pembacaan hasil ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
8. Penyusunan Laporan KPA ✓ ✓ ✓ ✓

3
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Yogyakarta:
Kanisius.

Amrillah, A.M dan S. Widyarti. Y. Kilawati. 2015. Dampak Stres Salinitas Terhadap
Prevalensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Survival Rate Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) pada Kondisi Terkontrol. Research Journal Of Life Science
Agustus 2015 Volume 02 No. 01.

Arafani, L. dan M. Ghazali. M. Ali. 2016. Pelacakan Virus Bercak Putih pada Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) di Lombok dengan Real-Time Polymerase Chain Reaction.
Jurnal Veteriner Maret. Vol. 17 No. 1 : 88-95.

Azizah, A., Kurniasih. 2005. Deteksi Infeksi White Spot Syndrome Virus pada Udang Putih
(Penaeus vannamei) di Pulau Jawa dengan Metode Polymerase Chain Reaction.
Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci)VI (1): 32-39

Bellanti. J.A., 1985, Immunologi III, Penerjemah: S.Wahab dan N.Soeripati. 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada Press. Briggs. T., dan Chandler,
A.M., 1995,Biochemistry. Third edition.Spinger. Verlag. New York.

Chi S.C., Lo C.F. & Lin S.C. (2001). Characterization of grouper nervous necrosis virus. J.
Fish Dis., 24, 3–13.

Comps M., Pepin J.F. & Bonami J.R. (1994). Purification and characterization of two fish
encephalitis viruses (FEV) infecting Lates calcarifer and Dicentrarchus labrax.
Aquaculture, 123, 1–10.

Destarlina, Oni M. (2004). Sreening Test White Spot Syndrome Virus pada Udang Putih
(Panaeus vannamei) Menggunakan Teknik Polimerase Chain Reaction di Balai
Karantina Ikan Soekrno-Hatta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada Press. Briggs. T., dan
Chandler, A.M., 1995,Biochemistry. Third edition.Spinger Verlag.New York

Fenner, F.J.,Gibbs, E.P.J., Murphy, F.A., Rott, R., Studdert, M.J., White, D.O., 1993.
Veterinary Virology, 2d ed. Academic Press, 429-442.

Fitriatin, E dan A. Manan. 2015. Pemeriksaan Viral Nervous Necrosis (VNN) Pada Ikan
Dengan Metode Polymerase. Chain Reaction (PCR). Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan Vol. 7 No. 2, November 2015.

Lightner, D.V., C.R. Pantoja, B.T. Poulos, K.F.J. Tang, R.M. Redman, T. Pasos-de-Andrade
and J.R. Bonami. 2004. Infectious myonecrosis. New disease in pasific white shrimp.
Global Aquaculture Avocate. 85 p.

Lightner, V. 2010. In The Court Of Appeals Of Ohio Third Appellate District Hardin County.
Appeal from Hardin County Common Pleas Court Trial Court No. 20082125 CRI.

4
Mori K., Nakai T., Muroga K., Arimoto M., Mushiake K. and I. Furusawa, 1992. Properties of
a new virus belonging to Nodaviridae found in larval striped jack (Pseudocaranx
dentex ) with nervous necrosis. Virology, 187:368-371.

Naim S, Brown JK, Nibert ML. 2014. Genetic diversification of penaeid shrimp infectious
myonecrosis virus between Indonesia and Brazil. Virus Research 189: 97-105.

Rahajanto, D. 2006. Profil Stasiun Karantina Ikan Kelas I Tanjung Perak Surabaya. Pusat
Karantina Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Surabaya. 16 Hal.

Report Of The Meeting Of The Oie Terrestrial Animal Health Standards Commission Paris,
7–18 September 2009.

Rufiati, Indah. 2008. Laporan Pratikum Manajemen Akuakultur Tawar.

Saparinto, C. 2012. Panduan Lengkap Bisnis dan Budi Daya Lele Unggul. Yogyakarta: Lily
Publisher.

Sarig, S. (1971) Diseases of warm water fishes. TFH Publ., Neptune City, New Jersey, USA.

Sahfitri, I.A.H. 2018. Potensi Pengembangan Budidaya Perikanan. Tugas latihan unggah
jurnal ke Repository Online, Mata Kuliah Metodologi Penelitian BDP FIKP UMRAH.

Senapin, S., K. Phewsaiya, M. Briggs, & T. W. Flegel. 2007. Outbreaks Of Infectious


Myonecrosis Virus (IMNV) In Indonesia Confirmed by Genom Sequencing and Use
Of An Alternative RT-PCR Detection Method. Science Direct Aquaculture. 266: 32-
38.

Schlegel Hans G,. 1994. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Edisi keenam.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Snieszko, S.F. (1973) The Effect of Environmental Stress on Outbreak of Infection


Diseases of Fishes. J. Fish. Biol. 6: 197-208.

Sudaryatma, P.E. dan N.N. Eriawati. 2012. Histopatologis Insang Ikan Hias Air Laut yang
Terinfestasi Dactylogyrus sp. Jurnal Sain Veteriner.

Volk and Wheeler, 1984. Mikrobiologi Dasar. Jakart : Erlangga.

Yukio, M., Leobert d. De la peňa and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish
Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center
(SEAFDEC) (Tigbauan 5021, IIoilo, Philippines)

5
6

Anda mungkin juga menyukai