NIT : 19.6.02.145
Menyetujui
Mengetahui :
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Proposal Karya Ilmiah Praktek
Akhir ini yang berjudul “Identifikasi Virus Pada Ikan Dan Udang Dengan Metode
Polymerase Chain Reaction (PCR) Di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu Dan
Keamanan Hasil Perikanan Surabaya II” dengan tepat waktu. Penyusunan Proposal
ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak I Gusti Putu Gede Rumayasa Yudana, S.Pi, M.P selaku Direktur
Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo yang telah mendukung kegiatan
Karya Ilmiah Praktek Akhir.
2. Ibu Tri Ari Setyaastuti, S.P., M.Si. selaku Ketua Program Studi Teknik
Penanganan Patologi Perikanan yang telah memberikan kesempatan dalam
melaksanakan Kegiatan Karya Ilmiah Praktek Akhir.
3. Ibu Indah Puspitasari, S.Si., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan arahan sehingga Karya Ilmiah Praktek Akhir ini
dapat selesai.
4. Ibu Era Insivitawati M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga Karya Ilmiah Praktek Akhir ini dapat selesai.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya Ilmiah Praktek
Akhir.
Penulis menyadari bahwa penulisan Karya Ilmiah ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan Karya Ilmiah Praktek Akhir ini.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan .................................................................................. 3
1.2.1. Maksud ............................................................................................ 3
1.2.2. Tujuan .............................................................................................. 3
1.3. Pendekatan Masalah ................................................................................ 3
iv
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 83
5.1. Hasil Identifikasi Virus .......................................................................... 83
5.1.1. Virus DNA ................................................................................... 83
5.1.2. Virus RNA ................................................................................... 86
5.2. Sterilisasi ............................................................................................... 89
5.3. Nekropsi ................................................................................................ 91
5.4. Analisis Proses Ekstraksi pada Pemeriksaan Virus Ikan & Udang ......... 93
5.5. Analisis Proses Amplifikasi pada Pemeriksaan Virus Ikan & Udang ....... 96
5.6. Analisis Proses Elektroforesis ............................................................ 111
5.7. Permasalahan dan Penanganan ........................................................ 116
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
Gambar 32. Hasil UV Transilluminator negatif RSIVD....................................... 85
Gambar 33. Hasil UV Transilluminator negatif VNN .......................................... 87
Gambar 34. Hasil UV Transilluminator negatif VHSV ........................................ 88
Gambar 35. Hasil UV Transilluminator negatif TiLV .......................................... 89
Gambar 36. Sterilisasi Alat dan Bahan.............................................................. 91
Gambar 37. Nekropsi ........................................................................................ 93
Gambar 38. Proses Ekstraksi ........................................................................... 95
Gambar 39. Proses Pencampuran Komposisi PCR .......................................... 97
Gambar 40. Amplifikasi Program WSSV ......................................................... 100
Gambar 41. Amplifikasi Program RSIVD......................................................... 102
Gambar 42. Ampifikasi Program VNN ............................................................. 105
Gambar 43. Amplifikasi Program VHSV .......................................................... 107
Gambar 44. Ampifikasi Program TiLV ............................................................. 109
Gambar 45. Pembuatan TAE 1X..................................................................... 113
Gambar 46. Pembuatan gel agarose .............................................................. 114
Gambar 47. Proses elektroforesis ................................................................... 115
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
I. PENDAHULUAN
cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya arus lalu lintas
diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan
yang diberikan, dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat
misalnya kandungan zat asam dalam air rendah, pakan yang diberikan kurang
tepat baik jumlah maupun mutunya, penanganan ikan kurang sempurna, maka
ikan akan menderita stress. Dalam keadaan demikian ikan akan mudah terserang
yang tidak serasi tersebut dapat menimbulkan stress pada ikan, nafsu makan
bekerja secara optimal, akhirnya infeksi dan infestasi penyakit mudah masuk
penyakit virus. Virus adalah organisme penyakit yang sangat kecil dengan ukuran
1
20-300 nanometer. Didalam tubuh ikan, virus akan bersifat laten sebagai wabah
ketika ikan berada pada kondisi lemah (Saparinto, 2012). Pada kondisi tersebut
mampu menyebabkan kematian massal dalam waktu singkat. Karakter virus yang
menyerang sel inang intraseluler, maka pengendalian virus sulit dilakukan. Oleh
dengan intensitas yang bervariasi. Jenis penyakit virus yang menyerang ikan dan
udang antara lain Penyakit White Spot Syndrome Virus, Red-bream Sea Iridovirus
Virus Disease, Viral Nervous Necrosis, Viral Haemmoragic Septicaemia Virus, &
Agar serangan penyakit virus dapat ditangani secara tepat, maka perlu
Keunggulan dari metode PCR untuk identifikasi virus adalah metode PCR ini telah
menggunakan metode ini dapat diperoleh hasil secara cepat dan sangat efektif
1.2.1. Maksud
2
Maksud dari pelaksanaan Kerja Praktek Akhir ini adalah mengikuti seluruh
kegiatan teknik Identifikasi penyakit Virus Pada Ikan Dan Udang Di Balai Karantina
1.2.2. Tujuan
1. Mengidentifikasi penyakit Virus Pada Ikan Dan Udang Di Balai Karantina Ikan
Karantina, kawasan Karantina, jenis Hama dan Penyakit, tempat pemasukan, dan
Indonesia Nomor 21 Tahun 2019 Bab I pasal 1 yang berbunyi Karantina Hewan,
pencegahan masuk, keluar dan tersebarnya hama dan penyakit hewan Karantina,
dan mutu pangan, keamanan pakan dan mutu pakan, Produk Rekayasa Genetik,
Sumber Daya Genetik, Agensia Hayati, Jenis Asing Invasif, Tumbuhan dan Satwa
Liar, serta Tumbuhan dan Satwa Langka yang dimasukkan ke dalam, tersebarnya
3
dari suatu Area ke Area lain, dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
relatif cepat serta hasil pengujian yang akurat. Pada Karya Ilmiah Praktek Akhir ini
virus yang diidentifikasi yaitu White Spot Syndrome Virus (WSSV), Red-bream Sea
Haemmoragic Septicaemia Virus (VHSV), & Tilapia Lake Virus (TiLV). Kelima virus
tersebut di pilih dikarenakan mewakili virus pada ikan dan udang, mewakili metode
PCR yang digunakan (single step, nested, dan semi nested), serta mewakili jenis
virus (DNA/RNA).
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
Mayoritas virus berukuran antara 2-20 mµ atau menduduki kisaran 20-250 nm.
Volk dan Wheeler (1984) menyatakan bahwa terdapat tiga teknik dasar yang dapat
membrannya.
2. Sentrifuse dengan kecepatan tinggi (100.00 kali lebih besar dari kecepatan
mikroorganisme lainnya karena sifat-sifat dasar virus berikut ini (Schlegel, 1985)
hanya asam nukleat dari genom virus yang masuk ke dalam sel dan
sebaliknya, pada semua tingkatan siklus hidup organisme non virus terdiri
atas sel yang dikelilingi oleh membran sel dan memiliki sistem metabolisme
1993).
3. Virus tidak memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri diluar sel hidup.
Multiplikasi virus terjadi di dalam sel hospes an virus terdapat sebagai partikel
5
Pertikel virus yang disebut virion terdiri dari satu macam asam nukleat
(DNA/RNA) yang dibungkus oleh suatu selubung protein yaitu kapsid. Virion
membran sel. Kapsid berfungsi melindungi asam nukleat dari perubahan fisik
dan hidrolisi enzimatik oleh nuklease sel inang. Kapsid memiliki tempat
pengikatan yang memungkinkan virus menempel pada tempat yang khas pada
sel inang. Kapsid masih terdiri dari sub-sub bagian yaitu kapsomer. Satuan yang
terdiri dari asam nukleat dan kapsid disebut nukleokapsid (Schlegel, 1985).
Terdapat dua komponen yang tidak dimiliki oleh semua virus yaitu sistem
pembangkit ATP sebagai penghasil energi kimia dalam bentuk ikatan fosfat untuk
sintesis biologis dan ribosom sebagai komponen struktural untuk sintesis protein
Fenner et al. (1993) mneyatakan bahwa terdapat tiga kriteria utama untuk
penggolongan virus yaitu : jenis asam nukleat yang menyusun genom (DNA/RNA),
strategi replikasi virus dan morfologi virion. Contoh virus DNA antara lain poxvirus,
6
Perbanyak virus dilakukan dengan cara replikasi. Rincian langkah
reproduksi ini beraneka macam untuk setiap virus namun secara umum, tahapan
1. Perlekatan virion pada tempat reseptor yang khas di permukaan sel inang
merupakan reaksi yang paling khas antara virus dan sel inang. Sel yang tidak
kedalam sel.
mereplikasikannya.
replikasi asam nukleat virus. Proses perakitan di dalam virion telah selesai
6. Pelepasan virion adalah tahapan akhir dari replikasi virus. Virus yang
dengan lisi sel inang atau dilepaskan dengan penonjolan melewati daerah
Hasil pertemuan antara virus dan sel hospes yang sesuai akan tergantung
pada sifat virus, sifat sel dan lingkungan tempat terjadinya interaksi antara virus
dan sel hospes tersenut. Sifat-sifat virus yang paling penting adalah kemampuan
virus dalam suatu sel yang memasuki sel lain sehingga menyebabkan penyebaran
7
infeksi. Spektrum penyakit yang ditimbulkan oleh virus berkisar dari infeksi akut
dapat diketahui dari akibat yang ditimbulkan pada hospes. Virus merusak seluruh
piringan lisis (Schlegel, 1985). Sel inang pada umumnya sudah tidak dapat
meneruskan fungsinya sebagai sel normal saat virus pertama kali mulai
mereplikasi. Virus juga mungkin menyebabkan proliferasi sel yang terkena infeksi
perubahan yang mentransformasi sel inang normal menjadi sel kanker. Bahkan
pada beberapa virus menghasilkan inklusi intaselular dalam sel inang yang
terinfeksi dan dapat dikenali dengan mikroskop biasa setelah dilakukan fiksasi dan
pewarnaan. Badan inklusi ini sering terjadi tapi tidak selalu, dimana perakitan virus,
lokasi intaselular dan penampilannya konstan untuk virus tertentu sehingga badan
inklusi yang terdapat didalam sel adalah kriteria diagnosis untuk infeksi virus yang
dalam waktu singkat. Hal yang tak kalah penting adalah fakstor transmisi dan
reservoar infeksi. Penyebaran penyakit viral pada ikan maupun udanf dapat terjadi
secara horisontal maupun vertikal. Secara horisontal dapat terjadi melalui rantai
makanan atau virion yang terbabas ke lingkungan melalui kotoran dan akan
seminal/ovarium dan telur yang telah terinfeksi. Infeksi pada umumnya melalui tiga
8
2.6. Penyakit Viral Pada Ikan dan Udang
1. Faktor agen
(varian). Akan tetapi, harus disadari bahwa karena Nimaviridae adalah famili yang
baru dikenal, konsep spesies akan berubah setelah isolat yang ada dan yang baru
Nimaviridae. Virion WSSV berbentuk bulat telur atau ellipsoid hingga basil,
memiliki simetri beraturan, dan berukuran diameter 120-150 nm dan panjang 270-
290 nm. Yang paling menonjol adalah ekstensi (embel-embel) seperti benang atau
flagela di salah satu ujung virion. Saat ini, meskipun berbagai isolat geografis
sebagai spesies tunggal (virus white spot syndrome-1) dalam genus Whispovirus
Virus tersebut dapat bertahan selama setidaknya 30 hari pada suhu 30°C
dalam air laut dalam kondisi laboratorium (Momoyama et al., 1998); dan bertahan
9
Agen tidak aktif dalam <120 menit pada suhu 50°C dan <1 menit pada 60°C
d. Siklus Kehidupan
Studi in-vitro dengan kultur sel primer dan studi in-vivo dengan postlarva
2. Faktor Host
WSSV memiliki jangkauan host yang sangat luas. Virus ini dapat
menginfeksi berbagai krustasea air termasuk penaeids laut, payau dan air tawar,
Semua krustasea dekapoda (ordo Decapoda) dari sumber air laut dan
payau atau air tawar adalah Spesies inang yang rentan (Flegel et al., 1997.
Semua tahapan kehidupan berpotensi rentan, mulai dari telur hingga induk
daripada pada udang. Tahap kehidupan terbaik dari krustasea untuk deteksi
adalah stadium akhir PL, juvenil dan dewasa. Probabilitas deteksi dapat
pemijahan, molting, perubahan salinitas, suhu atau pH, dan selama booming
plankton).
10
Target utama infeksi WSSV adalah jaringan embrionik ektodermal dan
ikat yang mendasari di hepatopankreas udang dan usus tengah, sel epitel tubulus
hepatopankreas dari kedua organ ini berasal dari endodermal, dan mereka tidak
terinfeksi.
Infeksi persisten sering terjadi dan infeksi seumur hidup telah ditunjukkan
(Lo et al., 1998). muatan virus selama infeksi persisten bisa sangat rendah dan
f. Vektor
Vektor termasuk rotifera (Yan et al., 2004), moluska laut, cacing polychaete
(Chang et al., 2002) dan copepoda, serta artropoda air non-krustasea seperti
slaters laut (Isopoda) dan larva serangga Euphydradae. Semua spesies ini dapat
mengakumulasi konsentrasi tinggi dari WSSV yang layak, meskipun tidak ada
3. Pola Penyakit
(Tsai et al., 1999), tergantung pada faktor-faktor yang belum dipahami dengan baik
tetapi terkait dengan toleransi spesies dan pemicu lingkungan. Dengan dosis
infeksi yang tepat untuk memberikan waktu yang cukup sebelum kematian, hewan
bersirkulasi dalam hemolimfa (Lo et al., 1997)), tetapi ini juga dapat terjadi pada
spesies yang toleran yang tidak menunjukkan kematian. Jadi, viral load yang tinggi
11
itu sendiri tidak menyebabkan penyakit atau kematian untuk semua spesies yang
rentan.
a. Mekanisme transmisi
konsumsi jaringan yang terinfeksi (misalnya kanibalisme, predasi, dll), dan melalui
jalur air. Penularan infeksi dapat terjadi dari hewan yang tampaknya sehat tanpa
adanya penyakit. Hewan yang mati dan sekarat dapat menjadi sumber penularan
b. Prevalensi.
Prevalensi sangat bervariasi, dari <1% pada populasi liar yang terinfeksi
c. Distribusi Geografis
Korea (Rep.), Asia Tenggara, Asia Selatan, Benua India, Mediterania, Timur
Tengah, dan Amerika, zona bebas WSD dan kompartemennya diketahui dalam
mengakibatkan kematian yang tinggi. Kepiting, udang karang, udang air tawar,
lobster berduri dan lobster cakar rentan terhadap infeksi, tetapi morbiditas dan
mortalitas akibat infeksi sangat bervariasi (Lo et al., 1998). Infeksi tingkat tinggi
e. Faktor Lingkungan
12
Wabah penyakit dapat disebabkan oleh stresor, seperti perubahan salinitas
yang cepat. Suhu air memiliki pengaruh besar pada ekspresi penyakit, dengan
suhu air rata-rata di bawah -30°C menjadi kondusif untuk wabah WSD (Vidal et al.,
2001).
1. Faktor Agen
Penyakit ini disebabkan oleh red sea bream iridovirus (RSIV) (Inouye et al.,
1992, Jeong et al., 2003, Jeong et al., 2006, Kurita et al., 2002, Kusuda et al.,
1994, Nakajima et al., 1994) strain Ehime-1 dan genotipe RSIV lainnya, termasuk
banyak virus yang dianggap sinonim dari RSIV (Chou et al., 1998, Chua et al.,
1994, Do et al., 2005, Do et al., 2004, Gibson-kueh et al., 2004, Jung et al., 1997,
Jung et al., 2000, Kim et al., 2002, Miyata et al., 1997, Sudhongkong et al., 2002).
Penyakit ini juga disebabkan oleh infeksi virus limpa dan nekrosis ginjal (ISKNV)
(He et al., 2001, Oseko et al., 2004), yang merupakan salah satu virus yang terkait
dengan RSV, tetapi berbeda dari RSIV. Sejumlah iridovirus lain yang
menyebabkan penyakit serupa pada ikan hias air tawar telah dilaporkan (Paperna
13
Virus ini sulit dibedakan secara genetik dari ISKNV, dan belum ditentukan
apakah penyakit ini harus dimasukkan dalam RSIVD, Baru-baru ini, iridovirus pada
ikan turbot dengan tubuh kemerahan (TRBIV) (Shi et al., 2004) dan kemungkinan
sinonimnya (Do et al., 2005, Jeong et al., 2006), yang terkait ke RSIV, tetapi
berbeda dari, RSIV dan ISKNV, dilaporkan dari Republik Rakyat Cina dan
ditentukan apakah penyakit yang disebabkan oleh TRBIV juga harus dimasukkan
Semua agen ini termasuk dalam genus kelima dari famili Iridoviridae, dan
mereka dapat dibedakan secara genetik dan biologis dari ranavirus ikan seperti
virus epizootic haematopoietic necrosis (EHNV), iridovirus ikan lele Eropa (ECV)
et al., 1997, Murali et al., 2002, Qin et al., 2001, Shi et al., 2004, Song et al., 2004),
tidak ada satupun yang bersifat patogen terhadap ikan red seabream (Nakajima et
al., 1998).
Belum Diketahui
Diinaktivasi pada 56°C selama 30 menit, sensitif terhadap eter dan kloroform
d. Siklus Kehidupan
2. Faktor Host
14
Dalam kasus infeksi RSIV: ikan red sea bream (Pagrus major), black porgy
amberjack (Seriola lalandi), ikan hybrid dari yellowtail amberjack dan Japanese
dentex), ikan northern bluefin tuna (Thunnus thynnus), Ikan Japanese Spanish
atau sea bass (Lates calcarifer), Ikan hybrid dari striped sea bass and white bass
variegatus), dan ikan torafugu (Takifugu rubripes),, diketahui rentan. Pada kasus
infeksi ISKNV: ikan Chinese perch (Siniperca chuatsi), ikan red drum (Sciaenops
15
ocellatus), ikan flathead mullet (Mugil cephalus), dan ikan Epinephelus sp.
diketahui rentan.
Remaja hingga dewasa (kerentanan remaja umumnya lebih tinggi daripada inang
dewasa).
Dalam kasus infeksi RSIV, ikan yang termasuk dalam genus Oplegnathus lebih
Sel-sel yang terinfeksi diamati di limpa, ginjal, jantung, usus dan insang.
Tidak diketahui
f. Vektor
Tidak diketahui
3. Pola Penyakit
a. Mekanisme transmisi
Modus utama transmisi RSIV adalah horizontal melalui air. Transmisi vertikal RSIV
belum diselidiki.
b. Prevalensi
Tidak diketahui
c. Distribusi Geografis
16
RSIVD yang disebabkan oleh RSIV dan ISKNV telah dilaporkan tidak
hanya dari Jepang tetapi juga secara luas dari negara-negara Asia Timur dan
Tenggara lainnya (China Taipei, China [Republik Rakyat, Hong Kong, Korea [Rep,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) (Chou et al., 1998, Chua et al., 1994,
Do et al., 2005, Do et al., 2004, Gibson-Kueh et al., 2004, Jeong et al., 2003, Jeong
et al., 2006, Jung et al., 1997, Jung et al., 2000, Kawakami et al., 2002, Kurita et
al., 2004, Miyata et al., 1997, Oseko et al., 2004, Sudthongkong et al., 2002).
Tergantung pada spesies ikan inang, umur ikan, suhu air, dan kondisi
budidaya lainnya, tingkat kematian berkisar antara 0% dan 100%. Morbiditas tidak
diketahui.
e. Faktor Lingkungan
Wabah telah terlihat sebagian besar di musim panas pada suhu air 25°C dan di
atas.
Gambar 2. Ikan Red sea bream (Pagrus major) asal Korea Selatan yang
terinfeksi RSIV
Sumber : Australian Government Department of Agriculture (2019)
17
1. Faktor agen
Agen penyebab VER atau VNN pertama kali diidentifikasi sebagai anggota
baru dari keluarga Nodaviridae setelah pemurnian jaringan otak dari larva striped
jack yang terkena, dan nama virus nekrosis saraf jack bergaris (SINNV) diadopsi
(Mori et al., 1992) Selanjutnya agen VER/VNN lainnya dimurnikan dari beberapa
spesies ikan yang sakit (Chi et al., 2001; Comps et al., 1994). Taksonomi saat ini
dan berdiameter sekitar 25 nm. Genom terdiri dari dua molekul ssRNA positif-
sense RNA1 (3,1 kb) mengkodekan replika (110 kDa) dan RNA2 (1,4 kb)
mengkode protein mantel (42 kDa). Urutan nukleotida lengkap RNA1 dan RNA2
dilaporkan untuk SJNNV dan lainnya (Iwamoto et al., 2001; Iwamoto et al., 2004;
Sommerset & Norland, 2004; Tan et al., 2001). Berdasarkan analisis filogenetik
menjadi empat genotipe utama, yang ditunjuk: SJNNV-type, tiger puffer nervous
al, 1997). Genotipe yang diidentifikasi sebagian berkorelasi dengan tiga serotipe
berbeda yang telah diidentifikasi oleh netralisasi virus dengan antibodi poliklonal,
spesies inang yang berbeda dan suhu pertumbuhan optimum in vitro (Iwamoto et
mengenai taksonomi, nomenklatur numenkal (cluster I, II, III dan IV), independen
dari asal spesies inang, telah diusulkan oleh Thiéry et al., 2004. Pada Tabel 1.,
18
genotipe resmi, spesies inang target dan suhu pertumbuhan in-vitro yang optimal
lama di air laut pada suhu rendah (Frerichs et al., 2000) sedangkan pada suhu
bertahan selama jangka panjang dan merupakan sumber infeksi bagi spesies liar
yang rentan. Pada ikan beku, virus dapat bertahan untuk waktu yang lama dan
dapat menimbulkan risiko potensial jika ikan mentah digunakan untuk pakan (Mori
diamati setelah periode 7 hari pada 21°C (Maltese & Bovo, 2007).
19
Disinfektan umum seperti natrium hipoklorit, yodium, hidrogen peroksida,
sementara formalin menunjukkan aktivitas yang buruk (Frerichs et al., 2000). Ozon
juga telah digunakan untuk menghindari atau mengurangi kontaminasi virus pada
permukaan kulit telur (Gratmal & Tolland, 2000) dan air yang terkontaminasi virus
dapat disterilisasi secara efektif dengan paparan sinar UV (Frerichs et al., 2000).
d. Siklus Kehidupan
paling umum untuk menyebarkan partikel virus dalam jumlah besar di lingkungan.
Sedikit yang diketahui tentang siklus hidup betanodavirus Mengingat hasil yang
diperoleh dari infeksi eksperimental yang dilakukan oleh penulis yang berbeda,
virus kemungkinan besar menyerang inang melalui epitel usus dan sistem saraf
kematian. dari host atau tetap selama beberapa tahun pada inang yang selamat
(Johansen et al, 2004). Ikan yang mati membusuk dapat menyebarkan virus di
lingkungan mencapai vektor biologis yang berbeda. Lebih jauh lagi, ikan yang sakit
dapat dengan mudah dikanibal oleh pemangsa yang lain, selain kemungkinan
vertikal sangat dicurigai pada beberapa spesies (Arimoto et al, 1992, Comps et al.,
1994, Grotmal & Totland, 2000, Mushiake et al., 1994, Watanabe et al., 2000);
dalam hal ini virus dapat mencapai gonad yang sedang berkembang di tempat
yang sering terdeteksi (Dalla Valle et al., 2000; Mushiako et al., 1994; Nishizawa
et al., 1996) dan menginfeksi telur dan sperma (Nishizawa et al, 1994 )
2. Faktor Host
20
Sampai saat ini, penyakit ini telah dilaporkan pada lebih dari 50 spesies
ikan, terutama ikan laut dengan dampak terbesar pada ikan striped jack, ikan
European sea bass (Dicentrarchus labrax), ikan kerapu, dan flatfishes (Munday et
al., 2002, Sano et al, 2011). Beberapa wabah juga telah didokumentasikan di
peternakan air tawar (Bovo et al, 2011, Chi et al., 2003). Spesies ikan yang secara
alami dipengaruhi oleh VER tercantum dalam Tabel 2, spesies ikan air tawar
sturgeon queldenstaedti
catfish
catfish
Haddock Melanogrammus
aeglefinus
surgeonfish triostegus
21
Apogonidae narrowstripe Apogon exostigma
cardinalnsh
dentex
amberjack
pompano
pompano
bass
bass japonicas
niloticus.
batfish
trumpeter
snapper erythropterus
snapper argentimaculatus
22
Malacanthidae Japanese or Branchiostegus
mullet
knifejaw or fasciatus
rock bream
spotted Oplegnathus
knifejaw punctatus
bass
canadum
weakfish
tuna
grouper
yellow E. awoara
grouper
23
sevenband E. septemfasciatus
grouper
blackspotted E. fuscoguttatus
grouper
grouper
greasy E. tauvina
grouper
dragon E. lanceolatus
grouper
humpback Chromileptes
grouper altivelis.
orange- E. coloides
spotted
grouper
bream
niloticus niloticus
filefish cirrhifer
puffer fish
24
Pleuronectidae barfin flounder Verasper moseri
Japanese Paralichthys
flounder olivaceus
Atlantic Hippoglossus
halibut hippoglossus
weakfish
kematian yang serius juga telah dilaporkan pada ikan ukuran panen dan ikan
penyebab biasanya lebih tinggi pada ikan muda daripada ikan yang lebih tua,
sementara selama musim pemijahan virus dapat ditemukan di gonad induk (Dalla
Otak, sumsum tulang belakang dan retina dianggap sebagai organ target
di mana virus secara aktif bereplikasi menyebabkan vakuolasi jaringan yang luas,
inklusi intracytoplasmic telah dijelaskan dalam sel-sel otak ikan European sea
bass, ikan Asian sea bass (Lates calcarifer), ikan Japanese parrotfish
25
malabaricus) (Munday et al., 2002). Virus juga telah terdeteksi pada gonad induk
(Dalla Valle et al., 2000; Mushiake et al, 1994; Nishizawa et al, 1996). Pada
beberapa spesies seperti ikan striped jack, ikan European sea bass, ikan barfin
flounder (Verasper moseri), ikan sevenband grouper dan ikan Atlantic halibut, ikan
induk cenderung menjadi reservoir virus yang paling konsisten dan sumber infeksi
terpenting bagi larva dan ikan remaja (Mushiake et al., 1994; Watanabe et al.,
2000). Virus mungkin tidak bereplikasi dan menetap di organ reproduksi setiap
saat dan lebih mungkin ditemukan di sana setelah kondisi stres (Mushiake et al.,
1994).
pasca pajanan (Johansen et al., 2003). Setelah wabah alami di halibut Atlantik,
tahun (Johansen et al., 2002). Persentase ikan yang positif dengan polymerase
tinggi sepanjang periode dan virus diisolasi kembali dari ikan yang terinfeksi
secara subklinis pada akhir tahun, menunjukkan bahwa ikan yang bertahan hidup
infeksi dapat menampung virus untuk waktu yang lama dan berpotensi menularkan
infeksi ke ikan lain. Garis sel (BB) yang berasal dari jaringan otak ikan barramundi
(Lates calcarifer) baru-baru ini dibuat dan akan menawarkan model yang valid
untuk mempelajari infeksi virus dan mekanisme replikasi baik in vivo maupun in
f. Vektor
dapat dengan mudah menyebar, selama wabah klinis, oleh satu bagian
26
peternakan ke bagian lain secara langsung melalui air dan dengan mencemari
yang memadai harus ditetapkan, terutama di dalam pembenihan (Mori et al, 1998).
Di laut lepas, penularan infeksi dari satu tempat ke tempat lain disebabkan oleh
pasang surut, arus dominan, perahu yang mengunjungi peternakan yang berbeda,
dan ikan liar yang bermigrasi. Karena resistensi virus yang tinggi terhadap kondisi
asam dan pada suhu 37°C (Frerichs et al., 2000) burung ichthyophagous harus
besar, perhatian khusus harus ditujukan pada moluska yang berasal dari daerah
yang terkontaminasi. Virus telah dideteksi dari cacing pasir yang termasuk dalam
(Bovo et al, pengamatan tidak dipublikasikan) Pasar internasional yang besar yang
terdapat bite worms harus dianggap sebagai risiko lebih lanjut untuk menyebarkan
3. Pola Penyakit
a. Mekanisme transmisi
Penyakit ini dapat direproduksi pada ikan yang sehat dengan co-habitation,
penyakit melalui air yang terkontaminasi. Selain itu, beberapa bukti ada untuk
transmisi vertikal dari induk ke keturunan di ikan striped jack, ikan European sea
bass, ikan Asian sea bass, ikan barfin flounder, ikan Atlantic halibut, dan ikan
sevenband grouper, seperti yang disebutkan sebelumnya (Comps et al, 1994, Mori
et al, 1998 Mushiake et al., 1994; Watanabe et al., 2000). Fakta ini terutama
dicerminkan oleh kemunculan awal penyakit klinis dan deteksi materi genetik virus
dari gonad dewasa (Dalla Valle et al., 2000, Mushiake et al., 1994, Nishizawa et
27
al., 1996), apakah virus tersebut terletak di dalam atau di luar telur sebagai
memberi makan induk dengan ikan mentah (Mori et al, 2005) Ada juga bukti yang
sangat kuat bahwa ozonasi telur yang dibuahi dari induk yang terinfeksi
1998), menunjukkan transmisi vertikal dapat terjadi sebagai kontaminasi kulit telur,
b. Prevalensi.
Kanada, populasi ikan liar tertentu diduga bertindak sebagai reservoir alami yang
otentik, pada kenyataannya, virus telah ditunjukkan oleh PCR untuk hadir di 0,23%
dari ikan winter flounder liar (Pleuronectes americanus) (Barker et al., 2002). Di
berbeda menegaskan bahwa sebagian besar ikan budidaya dan ikan liar
c. Distribusi Geografis
Penyakit ini telah dilaporkan secara resmi dari banyak daerah Ini termasuk
negara-negara di Asia Selatan dan Timur (China [Republik Rakyat, China Taipei,
disebabkan oleh betanodavirus telah dilaporkan pada kerapu liar yang hidup di
28
Ada variasi yang cukup besar dalam usia di mana penyakit pertama kali
dicatat dan periode kematian terjadi (Munday et al., 2002). Secara umum, semakin
awal gejala penyakit muncul, semakin besar angka kematiannya. Pada ikan
striped jack, kematian paling sering diamati dalam waktu 10 hari setelah menetas
sementara penyakit paling awal terjadi pada hari ke-2 pasca-penetasan, yang
biasanya tidak terlihat sampai sekitar 30 hari setelah menetas tetapi wabah dapat
terjadi bahkan pada ikan ukuran pasar. Angka kematian bergantung pada usia.
diamati sementara pada ikan remaja dan ikan yang lebih tua, kerugian yang lebih
e. Faktor Lingkungan
Suhu air merupakan faktor penting dan munculnya gejala klinis dapat
budidaya ikan bass dan penyakit ini awal diidentifikasi sebagai Penyakit Musim
Panas Korelasi antara munculnya tanda-tanda klinis dan suhu air sebagian
didukung oleh studi in-vitro (Iwamoto et al., 2000). Spesifisitas inang tampaknya
ada pada genotipe RGNNV untuk ikan air hangat dan dalam genotipe BFNNV
untuk ikan air dingin. Pada larva ikan striped jack yang terinfeksi SJNNV (suhu
terlihat di antara kelompok yang berbeda yang dipelihara pada suhu air yang
berbeda mulai dari 20°C hingga 26°C, sedangkan pada larva kerapu bergaris
yang terinfeksi RGNNV (suhu pertumbuhan optimum in-vitro: 25-30°C) suhu air
yang lebih tinggi dan munculnya penyakit karier diamati pada suhu yang lebih
tinggi, sedangkan suhu air yang lebih tinggi dari 31°C menghambat proliferasi
RGNNV pada kerapu bungkuk (Chromileptes altivelis) (Yuasa et al., 2007). Di sisi
29
lain, infeksi AHNV (genotipe BFNNV, optimum: 15-20°C) di halibut Atlantik terjadi
1. Faktor agen
nm dan panjang 180 nm), mengandung genom RNA untai tunggal negatif sense
sekitar 11.000 nukleotida (Schütze et al., 1999) dan memiliki amplop yang berisi
wabah penyakit yang parah, beberapa spesies ikan laut juga rentan terhadap
30
penyakit tersebut. Wabah alami telah terjadi di turbot yang dibudidayakan (Ross
et al., 1994, Schlotfeldt et al., 1991) dan di ikan Japanese flounder yang
dibudidayakan secara liar (Isshiki et al., 2001, Takano et al., 2000). Kematian
akibat infeksi alami pada spesies ikan laut yang hidup bebas telah diamati di
sepanjang pantai Pasifik Amerika Utara (Meyers et al., 1999, Traxler et al., 199).
Selain itu, isolat dari ikan Pacific herring telah terbukti patogen untuk ikan Pacific
herring dalam kondisi eksperimental (Kocan et al., 1997). Demikian pula, wabah
VHS telah terjadi di spesies air tawar liar di Great Lakes (Elsayed et al., 2006,
Rentang inang besar yang baru-baru ini ditemukan dan perbedaan yang
didasarkan pada perlindungan industri produksi ikan trout pelangi yang signifikan.
Masalah utamanya adalah apakah penemuan VHSV laut pada ikan hidup bebas
di kawasan bebas VHSV yang disetujui harus mengarah pada pencabutan status
tersebut. Namun, telah diamati di sebagian besar Eropa bahwa VHS pada ikan
yang hidup bebas di lingkungan laut mempengaruhi status bebas VHS yang
disetujui hanya dalam beberapa kasus. Namun demikian, wabah trout pelangi
baru-baru ini di Norwegia disebabkan oleh genotipe III VHSV, genotipe laut yang
sampai saat itu tidak dianggap patogen untuk trout pelangi (Dale et al., 2009),
menunjukkan bahwa galur laut bukannya tanpa arti penting bagi industri trout
dengan semua isolat VHSV dari semua geno- dan serotipe. Sebagian besar
31
silang dengan semua isolat VHSV yang diketahui dalam uji antibodi fluoresen tidak
langsung (IFAT) dan uji imunosorben terkait-enzim (ELISA). Namun, dalam uji
netralisasi terhadap panel empat MAb penetralisir dan satu antibodi poliklonal
(Olesen et al., 1993). VHSV dengan demikian berbagi beberapa epitop antigenik,
prep).
geografis daripada tahun isolasi atau spesies inang (Skall et al., 2005). Empat
penuh dan/atau terpotong dari gen-N (Einer-Jensen et al., 2005, Snow et al., 2004,
Snow et al., 1999) G-gen (Einer-Jensen et al., 2004, Einer-Jensen et al., 2005)
Genotipe I : Beberapa sublineage (la-le) yang mengandung Isolat VHSV air tawar
Eropa, isolat dari daerah Laut Hitam dan sekelompok isolat laut dari Laut Baltik,
Genotipe III : Isolat dari Laut Atlantik Utara (dari Flemish Cap (López-Vázquez et
al., 2006) ke pantai Norwegia (Dale et al., 2009), Laut Utara, Skagerrak dan
Kattegat.
32
Genotipe IV : Isolat Amerika Utara dan Jepang/Korea (dua sublineage IVa dan IVb
Genotipe I sublineage Ib. Resolusi terbaik dari sublineage genotipe I diperoleh saat
Karena genotipe I terdiri dari VHSV yang diisolasi dari ikan laut liar, serta
isolat penyebab kematian pada trout pelangi dari benua Eropa, hubungan antara
jenis air tawar dan laut disarankan (Skall et al., 2005). Semua
Isolat Jepang dan Asia lainnya kecuali satu termasuk dalam genotipe IVa
Amerika Utara. Itu isolat yang tersisa termasuk dalam genotipe tradisional Eropa
lb (Nishizawa et al., 2002). Isolat ini dianggap memiliki diperkenalkan dari luar
Jepang.
pantai Pasifik dan genotipe IVb di Danau Besar. Isolat yang ditemukan di pantai
Atlantik Amerika Utara paling terkait dengan kelompok IVb tetapi secara tentatif
kimiawi media berair (Ahne et al., 1982) dan pada suhu: virus bertahan lebih lama
pada suhu 4°C dibandingkan dengan 20°C (Parry et al., 1997). Virus telah
didokumentasikan untuk bertahan di air tawar selama 28-35 hari pada 4°C (Parry
et al., 1997) dan telah ditemukan infektif selama 1 tahun pada 4°C di air tawar yang
disaring (Hawley et al., 2008). Virus dapat bertahan lebih lama jika bahan organik
ditambahkan ke dalam air, seperti cairan ovarium atau produk darah seperti serum
sapi. Di air tawar mentah pada 15°C, waktu Inaktivasi 99,9% adalah 13 hari, tetapi
di air laut virus dinonaktifkan dalam waktu 4 hari. (Hawley et al., 2008). Dalam
33
penelitian lain yang menggunakan air laut pada suhu 15°C, infektivitas virus
berkurang 50% setelah 10 jam tetapi masih dapat pulih setelah 40 jam (Kocan et
al., 2001).
kemudian mencairkan ikan tidak akan membunuh virus sepenuhnya, tetapi akan
menurunkan infektivitas atau titer virus sebesar 90% atau lebih (Arkush et al.,
2006). Artkush et al. mencatat bahwa virus hidup yang tersisa tetap berada di
jaringan ikan dan tidak hilang dalam air yang dicairkan dari ikan beku.
VHSV sensitif terhadap sejumlah disinfektan umum. Untuk ulasan lihat referensi
2. Faktor Host
Reservoir VHSV adalah ikan yang terinfeksi secara klinis serta berperan
sebagai covert carriers di antara ikan budidaya, atau liar. Beberapa faktor
variabilitas genetik untuk kerentanan (Henryon et al., 2002), dan usia ikan
Pada umumnya ikan tua yang mengalami kematian VHS tinggi belum pernah
Selama dua dekade terakhir VHSV telah diisolasi dari peningkatan jumlah
spesies ikan laut dan air tawar (lihat Tabel 3). Sangat mungkin bahwa VHSV
endemik pada populasi ikan di wilayah yang luas di belahan bumi utara yang
beriklim sedang. Sejauh ini, telah diisolasi dari 82 spesies ikan yang berbeda di
seluruh belahan bumi utara, termasuk Amerika Utara, Asia dan Eropa. 11 spesies
34
ikan lebih lanjut telah terbukti rentan terhadap VHSV dalam kondisi eksperimental.
Namun, spesies ikan yang paling rentan adalah rainbow trout terhadap genotipe
la, meskipun VHS juga dilaporkan menyebabkan kematian pada ikan turbot yang
dibudidayakan dan Japanese flounder. Kematian yang sangat parah telah diamati
dalam beberapa tahun terakhir di wilayah Great Lakes di Amerika Serikat dan
Kanada yang melibatkan setidaknya 28 spesies ikan air tawar. Semua VHSV yang
diisolasi dari wabah ini termasuk dalam genotipe IVb (United States Department
35
Tabel 3. Spesies ikan dari mana viral haemorrhagic septicaemia telah diisolasi
umum
trout 2005,
salmon s tshawytscha
Sockeye Oncorhynchu
salmon*3 s nerka
salmon s, 2008,
Skall et al.,
2005)
s, 2008,
Skall et al.,
2005,USD
A)
36
Lake Salvelinus (Anonymou
Skall et al.,
2005)
thymellus 2005)
Whitefish Coregonus
spp.
lavaretus s, 2008)
whitefish clupeaformis
e masquinongy s, 2008,
USDA)
pike s, 2008,
Skall et al.,
2005,
USDA)
37
European Sprattus
sprat sprattus
South Sardinops
American sagax
pilchard
gizzard cepedianum S,
shad 2008,USD
A)
Haddock Melanogramm
us aegle finus
minutus
Norway Trisopterus
pout esmarki
Blue Micromesistiu
whiting s poutassou
Whiting Merlangius
merlangus
38
Alaska Theragra
Pollock chalcogramm
Skall et al.,
2005)
limanda
Flounder Platichthys
flesus
European Pleuronectes
plaice platessa
English Parophrys
sole vetula
Greenland Reinhardtius
halibut Hippoglossoid
es
39
Atlantic Hippoglossus (Skall et
e maximus s, 2008,
catfish)
pretiosus
Sandeel Ammodytes
spp.
Pacific Ammodytes
sandeel personatus
40
Gobiidae Sand goby Pomatoschist
us minutus
s USDA)
Skall et al.,
2005)
Skall et al.,
2005,
USDA)
macrochirus
Black Pomoxis
crappie nigromaculatu
rupestris
Pumpkinse Lepomis
ed gibbosus
41
Sciaenidae Freshwater Aplodinotus (Anonymou
Walleye Sander
vitreus
mackerel 2005)
USDA)
perch americana
seabream s, 2008)
Black Acanthopagru
porgy*2 s schlegeli
Skall et al.,
2005)
42
Black Acanthopagru (Skall et
seabream* s, 2008,
2 Skall et al.,
amberjack* quinqueradiat
2 a
grouper*2 akaara
(Japanese)
Schlegel’s Sebastes
black schlegel
rockfish*2
eel Anguilla
es g heteroclitus
stickleback
43
Aulorhynchida Tube-snout Aulorhynchus
e
flavidus
redhorse macrolepidotu
Emerald Notropis
shiner atherinoides
Spottail Notropis
shiner hudsonius
danio*2
cavefish)
lamprey.
1. Uji coba infeksi, perendaman 2. Uji coba infeksi, injeksi IP 3. PCR saja
44
b. Tahapan yang rentan dari Host
protektif di daerah endemik; penyakit ini karena itu lebih banyak populasi muda,
bukan ikan yang sebelumnya terinfeksi. VHSV tidak diketahui menginfeksi telur
ikan.
Dalam survei ikan laut liar, VHSV telah diisolasi dari sebagian besar
periode tahun. Hanya sedikit benih yang telah diuji karena mereka biasanya tidak
tertangkap selama survei. Prevalensi virus tertinggi ditemukan pada ikan shoaling,
kulit dan otot. Target organ ginjal, jantung dan limpa karena ini adalah tempat di
mana virus paling melimpah. Secara bertahap, titer virus bisa menjadi tinggi di otak
e. Vektor
Mengingat banyaknya spesies yang rentan, tidak ada spesies ikan vektor
yang telah diidentifikasi karena virus tersebut diharapkan dapat berkembang biak
3. Pola Penyakit
45
Pengetahuan tentang mekanisme penularan virus terutama berasal dari
studi isolat VHSV ikan rainbow trout dari Eropa; ini telah menunjukkan penularan
horizontal melalui kontak dengan ikan lain yang terinfeksi atau air yang
terkontaminasi, dll. Virus dikeluarkan dari ikan yang terinfeksi melalui urin (Smail
et al., 1999) dan cairan reproduksi dan juga dapat ditransfer oleh burung piscivora
sebagai vektor mekanis eksternal (Olesen et al., 1982, Peters et al., 1986).
Transmisi mudah terjadi pada kisaran suhu 1-15 °C tetapi dapat terjadi hingga 20
°C. Waktu inkubasi tergantung pada suhu dan dosis; itu adalah 5-12 hari pada
Selama dan segera setelah wabah, virus dapat diisolasi dengan mudah
dalam kultur sel (Wolf et al., 1988). Jaringan ginjal, jantung dan limpa
Pada ikan pembawa (sehat secara klinis), deteksi VHSV lebih bermasalah
(Skall et al., 2005). VHSV akan tumbuh dalam kisaran garis sel ikan, dengan garis
sel BF-2 menjadi yang paling sensitif terhadap infeksi oleh galur Eropa air tawar
(Skall et al., 2005). Kerentanan sel diberi peringkat dalam urutan BF-2, FHM, RTG-
2, dan EPC (Lorenzen et al., 1999), tetapi galur sel ikan lainnya, seperti CHSE-
214 dan SSN-1, juga rentan. Kerentanan garis sel terhadap infeksi akan
tergantung pada berbagai parameter termasuk garis keturunan sel dan perbedaan
strain virus; dengan demikian tampak bahwa garis sel EPC mungkin lebih rentan
terhadap isolat VHSV genotipe IV daripada isolat tipe I hingga III (Skall et al.,
2005),
Status pembawa spesies ikan air tawar VHSV sudah mapan (Enzmann et
al., 1985, Jørgensen et al., 1982). Status virologi dari pembawa tersebut akan
46
awal dan kedekatan geografis dengan outlet peternakan ikan. Sejak penemuan
strain VHSV pada spesies laut, telah ada sejumlah penelitian yang melibatkan
pengambilan sampel ekstensif dari berbagai spesies ikan dari perairan pesisir
benua Eropa (Skall et al., 2005), Inggris (Skall et al., 2005), Amerika Utara (Hedrick
et al., 2003) dan Jepang (Takano et al., 2000). Dalam studi ini, sampel dianalisis
untuk keberadaan virus dengan inokulasi ke garis sel ikan. Dalam beberapa
penelitian, sampel ikan dikumpulkan dan oleh karena itu penentuan prevalensi
yang tepat sulit dilakukan. Namun demikian, berdasarkan isolasi virus dalam kultur
sel dan terlepas dari spesies ikan yang diperiksa, prevalensi VHSV pada spesies
ikan laut yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berada pada kisaran 0,0-
Penyakit umumnya terjadi pada suhu antara 4°C dan 14°C. Pada suhu air
antara 15°C dan 18°C, penyakit ini umumnya berlangsung singkat dengan
akumulasi kematian yang sedang. Penyakit jarang terjadi pada suhu yang lebih
setidaknya satu ikan mati pada 20-22°C di New York (A. Noyes, pers.com) dan
VHSV telah ditunjukkan secara eksperimental untuk mereplikasi pada suhu naik
penyakit yang diperpanjang dengan kematian harian yang rendah tetapi akumulasi
kematian yang tinggi. Wabah VHS terjadi di semua musim, tetapi paling sering
terjadi di musim semi ketika suhu air naik atau berfluktuasi. Untuk ulasan kondisi
yang lebih rinci, lihat ulasan oleh Wolf (Wolf et al., 1988) dan Small (Smail et al.,
1999).
a. Mekanisme transmisi
47
Penularan terutama terjadi secara horizontal melalui air, dengan ekskresi
bioluminesensi ikan trout hidup yang terinfeksi IHNV virulen rekombinan, virus
yang sangat mirip dengan VHSV, membawa gen reporter, secara elegan
menggambarkan bahwa hasil virus pada kulit ikan sangat tinggi (Bremont et al.,
2005). Ini masih harus diperiksa untuk ikan yang terinfeksi VHS, tetapi diperkirakan
bahwa ekskresi langsung virus dari kulit merupakan sumber penyebaran virus
yang signifikan (Smail et al., 1999). Tidak ada indikasi atau bukti penularan vertikal
b. Prevalensi.
Sampai akhir 1980-an, VHS dianggap terbatas pada rainbow trout yang
dibudidayakan di benua Eropa, dengan isolasi sesekali dari sejumlah spesies ikan
air tawar lainnya (misalnya trout coklat, pike [Meier et al., 1980, Schlotfeldt et al.,
1988]) dengan Skandinavia (kecuali Denmark), Inggris Raya, dan Irlandia bebas
VHS. Dengan deteksi dan isolasi VHSV dari salmon Pasifik di lepas pantai Pasifik
bahwa VHSV terjadi pada banyak spesies ikan budidaya dan liar di sepanjang
pantai Pasifik dan Atlantik Amerika Utara (Skall et al., 2005), di Great Wilayah
Survey) laut di sekitar Inggris (Skall et al., 2005), Laut Baltik, Skagerrak dan
Kattegat (Skall et al., 2005), di perairan sekitar Jepang (Skall et al., 2005), dan di
wilayah Laut Hitam, dengan genotipe yang berbeda le (Nishizawa et al., 2006).
c. Distribusi Geografis
Selama dua dekade terakhir. VHSV telah diisolasi dari ikan liar di seluruh
daerah beriklim belahan bumi utara, baik di perairan tawar dan laut (Skall et al.,
2005). Wabah VHS pada ikan trout pelangi yang dibudidayakan, bagaimanapun,
hanya dialami di Eropa, di mana masih dianggap sebagai salah satu penyakit virus
48
paling serius dalam budidaya. Di Amerika, VHS terutama menyebabkan kematian
pada ikan liar (Meyers et al., 1995, Skall et al., 2005, United States Department Of
The Interior, Us Geological Survey). Di Asia, ada laporan wabah klinis di flounder
Jepang yang dibudidayakan serta isolasi dari spesies ikan liar (Skall et al., 2005).
secara umum merupakan penyakit air dingin dengan kematian tertinggi pada suhu
sekitar 9-12°C. Benih trout pelangi kecil (0,3-3 g) paling rentan terhadap genotipe
la dengan kematian mendekati 100%, tetapi semua ukuran ikan trout pelangi dapat
perendaman juga menyebabkan kematian hingga 100% pada ikan hering Pasifik
e. Faktor Lingkungan
Wabah VHS telah dilaporkan di lingkungan air tawar dan air laut dengan
salinitas hingga 36% dan pada suhu berkisar antara 2 hingga 20°C. Sebagian
besar wabah penyakit diamati pada musim semi ketika suhu berfluktuasi.
Gambar 4. Seekor ikan dari Danau St. Clair berpotensi terinfeksi viral
hemorrhagic septicemia, virus yang sangat menular.
Sumber : Michigan Department of Natural Resources, 2017
49
2.6.5. Tilapia Lake Virus (TiLV)
1. Faktor agen
a. Etiologi Agen
dikumpulkan di Israel (Eyngor et al. 2014), Mesir (Fathi et al., 2017), Ekuador
(Tsofack et al. 2017), Kolombia (Tsofack et al. 2016) dan Thailand (Dong et al.,
Virus ini telah digambarkan sebagai virus RNA beruntai tunggal, negatif-
Bacharach et al. 2016; Surachetpong et al. 2017) dengan diameter antara dan 55
dan 100 nm (Ferguson et al., 2014; Eyngor et al., 2014; del-Pozo et al., 2017;
(ORF), dengan segmen terbesar, segmen 1, berisi kerangka baca terbuka dengan
homologi urutan lemah terhadap subunit virus influenza C PB1 (Bacharach et al.
2016). Segmen yang tersisa tidak menunjukkan homologi dengan virus lain yang
komplementer yang dilestarikan pada ujung 5' dan 3’ konsisten dengan organisasi
virus diketahui sensitif terhadap pelarut organik (eter dan kloroform), karena
2. Faktor Host
50
Spesies budidaya yang terkena dampak termasuk nila hibrida
(Oreochromis niloticus x O. aureus hybrids) di Israel (Eyngor et al. 2014); Ikan nila
(O niloticus) di Mesir (Fathi et al. 2017), Ekuador (Ferguson et al. 2014) dan
Thailand (Dong et al. 2017a; Surachetpong et al. 2017); dan nila merah
Israel, TILV juga telah diidentifikasi dari berbagai spesies ikan nila liar (termasuk
Ekuador, dengan perbedaan 60-70% dalam tingkat kematian yang diamati antara
Ikan belanak abu-abu (Mugil cephalus) dan ikan mas (Cyprinus carpio)
penyakit di Israel (Eyngor et al. 2014). Demikian pula, belanak abu-abu yang
dibudidayakan bersama dan belanak berbibir tipis (Liza ramada) ditemukan tidak
Di Israel, kematian telah diamati pada kisaran berat yang luas (Eyngor et
al. 2014). Ikan ukuran Fingerlings telah terpengaruh di Ekuador (Ferguson et al.
2014) dan Thailand (Dong et al. 2017a; Surachetpong et al., 2017). Selain itu, ikan
diarsipkan dan segar yang dikumpulkan antara tahun 2012 dan 2017 dari empat
tempat penetasan menemukan telur yang dibuahi, larva kantung kuning telur, fry,
dan benih ikan positif untuk TILV (Dong et al., 2017b), Di Mesir, ikan berukuran
sedang (>100 g) dan besar telah dipengaruhi oleh penyebab kematian yang tidak
51
diketahui selama bulan-bulan musim panas, yang biasa disebut sebagai "kematian
musim panas," beberapa di antaranya telah dites positif TILV (Fathi et al., 2017).
menghasilkan sinyal positif di banyak organ (hati, ginjal, otak, insang, limpa dan
jaringan ikat otot), dengan sinyal terkuat yang ditemukan di hati, ginjal, dan insang
(Dong et al., 2017a). Dalam sampel yang berasal dari Ekuador, kecenderungan
virus terhadap hati dan saluran pencernaan disarankan, dengan tropisme yang
3. Pola Penyakit
a. Mekanisme transmisi
alami, termasuk dalam 10 hari tingkat kematian yang tinggi (hingga 80%) pasca
infeksi (Eyngor et al. 2014). Studi tantangan terbaru (intraperitoneal Hasil dari
hibridisasi in situ menunjukkan bahwa replikasi dan transkripsi TILV terjadi di lokasi
patologi (yaitu hati dalam sampel dengan lesi hati dan sistem saraf pusat dalam
b. Distribusi Geografis
Publikasi ilmiah telah melaporkan deteksi TILV dalam sampel yang berasal
dari Israel (Eyngor et al., 2014), Mesir (Fathi et al. 2017), Ekuador (Bacharach et
al. 2016; Tsofack et al., 2017), Kolombia (Tsofack et al. 2017) dan Thailand (Dong
Di Israel antara Mei 2011 dan Juli 2013, isolat TiLV. diperoleh dari sampel
stok liar di Laut Galilea, serta dari stok budidaya di daerah budidaya utama (pantai
52
pesisir, Lembah Yordan dan Galilea Atas dan Bawah) (Eyngor et al. 2014). Di
Mesir, 37% dari tambak ikan yang dipilih secara acak di area budidaya utama (Kafr
el Sheikh, Behera, Sharkia) dipengaruhi oleh kematian musim panas ketika diambil
sampelnya pada tahun 2011 dan 2012 (Ferguson et al., 2014; Bacharach et al.,
2016), sementara tidak ada deskripsi kasus yang diberikan untuk sampel positif-
sampel pada 2016 dan Pathum Thani sampel 2017) dilaporkan TILV-positif oleh
peternakan, diambil sampelnya antara Oktober 2015 dan Mei 2016, menjadi positif
TILV (provinsi Ang Thong, Chai Nat, Chachoengsao, Kanchanaburi, Khon Kaen,
peternakan negatif TILV berlokasi di tiga provinsi lain (Samut Songkhram, Prachin
Buri dan Nong Khai) (Surachetpong et al., 2017). TILV telah ditemukan dalam
sampel yang diarsipkan di Thailand yang berasal dari tahun 2012 (Dong et al.,
2017).
berkisar dari tingkat rendah 10-20% hingga tingkat tinggi 80% tergantung pada
jenis ikan (Ferguson et al., 2014) . Variasi kematian telah dilaporkan dari Thailand
di peternakan dengan spesies yang berbeda dan kombinasi bentuk produksi, mulai
dari sekitar 20% di peternakan dengan penebaran campuran nila merah dan nila
53
Ikan nila di provinsi Pathum Thani dan budidaya dengan ikan nila merah di
d. Faktor Lingkungan
Wabah klinis telah dilaporkan selama musim panas, yaitu Mei hingga
Oktober (pada suhu air 22°C hingga 32°C) di Israel (Eyngor et al., 2014), Juni
hingga Oktober (≥25°C) di Mesir (Fathi et al., 2017) dan Mei hingga November
(25°C hingga 27°C) di Ekuador (Ferguson et al., 2014). Beberapa sampel yang
antara Oktober dan Mei (Surachetpong et al., 2017). Di Mesir, ukuran peternakan
besar, padat tebar tinggi, dan polikultur ikan nila-belanak telah diidentifikasi
dan membatasi penularan, beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain :
54
2.8. Polymerase Chain Reaction (PCR)
merupakan teknik perbayakan DNA secara in vitro. Dalam sistem kerjanya, PCR
dilandasi oleh struktur DNA. Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double
helix, yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan anti paralel antara satu
dengan yang lain dan berkaitan dengan ikatan hydrogen. Ikatan hidrogen
terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa adenin (A)
dengan timin (T), dan guanin (G) dengan sitosin (C) (Mulado, 2003).
cara in vitro. Metode ini sangat sensitif, sehingga dapat digunakan untuk
template; (2) denaturasi DNA template; (3) penempelan primer pada template
dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA (Darmo dan Ari, 2000).
a. Ekstraksi
patogen dari sel inangnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulandari (2003), yang
55
Ekstraksi dan purifikasi DNA pada dasarnya merupakan serangkaian
pada organisme eukariot dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis
of cell walls), penghilangan protein dan RNA (cell digestion), dan pengendapan
dalam supernatant sesuai dengan fraksi berat komponen untuk mendapatkan DNA
rendah sehingga menghasilkan endapan yang mengandung sel utuh, inti dan
endapan yang mengandung ribosom, virus dan makro molekul. (Hutami, et al.,
2017).
b. Amplifikasi
bantuan enzim dan primer serta suhu yang sudah diatur sehingga diperoleh
sejumlah DNA tertentu (OIE, 2003). Amplifikasi DNA dibagi menjadi tiga tahap.
56
sehingga menjadi DNA cetakan berantai tunggal. Kedua, penempelan (annealing)
pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu dimana
untuk menghasilkan kopi DNA yang dapat berfungsi sebagai DNA cetakan untuk
jumlah kopi target DNA sehingga terjadi amplifikasi geometri. Amplifikasi DNA
Rataan perubahan suhu atau tahapan lamanya inkubasi di setiap suhu dan
jumlah waktu setiap siklus yang diulang, dikontrol dengan suatu program dari alat
thermal cycler. Jumlah siklus amplifikasi PCR harus dioptimasi tergantung pada
melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target sehingga hasil PCR dapat dilihat
c. Elektroforesis
amplifikasi sehingga didapatkan ukuran tertentu berat molekul dari suatu DNA.
Prinsip kerja gel elektroforesis dimulai saat makro molekul yang bermuatan listrik
bermigrasi menuju kutub positif atau kutub negatif berdasarkan muatan yang
57
bergerak menuju kutub positif (anoda), sedangkan molekul-molekul yang
molekul DNA maka semakin cepat migrasi molekul DNA melewati gel (Sulandri,
2003).
d. Pembacaan hasil
dengan bantuan sinar UV serta pendaran warna dari Ethidium Bromide dan
Ethidium Bromide adalah untuk mendeteksi asam nukleat bentuk tunggal atau
ganda (baik DNA atau RNA). Dalam Ethidium Bromide terdapat substansi yang
tertumpuk. Posisi yang tetap gugus ini dan letaknya berdekatan dengan basa-basa
fluoresensi dibanding zat warna yang bebas dalam larutan (OIE, 2003).
58
III. METODOLOGI
Molekuler, Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu & Keamanan Hasil Perikanan
Kelas 1 Surabaya II. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2022
sampai dengan 1 Juli 2022. Data yang digunakan didapat dari data sampel lalu
lintas perikanan yang akan diperiksa, sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu
Metode yang digunakan dalam Kerja Praktek Akhir ini adalah metode survei
dengan menggunakan pola partisipasi langsung. Menurut Nazir (2003), metode survei
yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi
sosial,ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Sedangkan
kegiatan yang ada pada unit usaha tersebut. Yang dimaksud partisipasi langsung
sebagai berikut :
59
Studi Literatur
Pembuatan Proposal
Analisis Data
data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian, agar
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada Kerja Praktek Akhir (KPA)
1. Observasi
data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis
60
Adapun jenis observasi yang diterapkan dalam kegiatan Kerja Praktek Akhir
(KPA) ini adalah observasi partisipan, yaitu mengikuti seluruh kegiatan dalam
proses identifikasi virus pada sampel ikan dan udang, yang meliputi proses
2. Wawancara
proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, dilakukan
oleh dua orang atau lebih, bertatap muka, mendengarkan secara langsung
yang dibuat.
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara
melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
Teknik analisis data mempunyai prinsip yaitu untuk mengolah data dan
terstruktur dan mempunyai makna. Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk
61
tabel yang terdiri dari jenis sampel, organ target virus dan hasil identifikasi virus
II, dengan pemeriksaan biologi molekuler yaitu PCR (Polymerase Chain Reaction),
yang mengacu pada journal OIE & IKM (Instruksi Kerja Metode) BKIPM Surabaya
3.5.1. Sterilisasi
Alat & bahan yang digunakan pada tahap sterilisasi antara lain autoclave,
b. Prosedur Kerja
3.5.2. Nekropsi
62
Alat & bahan yang digunakan pada tahap Nekropsi antara lain pisau besar,
nampan, dissecting sets, timbangan digital, plastic klip besar & kecil, sampel ikan
dan udang.
b. Prosedur Kerja
3.5.4.
Ambil &
Cacah Hingga
Udang Timbang Organ
Halus
Target
3.5.3. Ekstraksi
Alat & bahan yang digunakan pada tahap Ekstraksi antara lain Pellet
Pestle, Mikropipet 1000 & 200 μl, Laminary Air Flow, Dissecting Sets, Vortex Mixer,
Microsentrifuge, Dry Block, Botol Sprayer, GT Buffer, Ethanol 70%, Kit Silica
63
b. Prosedur Kerja
Inkubasi 10
Ambil 500 μl
menit suhu 55 Vortex + sentrifuge
12.000 rpm 2 menit. Supernatan
°C
3.5.4. Amplifikasi
64
a. Alat & bahan
Alat & bahan yang digunakan pada tahap Amplifikasi antara lain Mikropipet
10, 20, 100 & 200 μl, Vortex Mixer, Spin Down, Thermalcycler, Cooling Block,
Master Mix (Gotaq Green & Access Quick), Enzime AMV RT, Primer, Template,
b. Prosedur Kerja
Amplifikasi
(Ekstensi)
3.5.5. Elektroforesis
Alat & bahan yang digunakan pada tahap Elektroforesis antara lain
Power Supply, UV Translliminator, Sisir, Buffer TAE 1x, SYBR Safe, Marker 100
bp, Agarose.
65
b. Prosedur Kerja
Masukkan Gel
ke UV
Transilluminator
66
3.6. Jadwal Kegiatan
67
IV. KEADAAN UMUM
Kelas I Surabaya II, Jawa Timur berpusat di Jl. Kalimas Baru No. 86, Tanjung
Agro yang bertempat di Pasar Induk Agrobis Puspa Agro terletak di Jalan
Karantina Ikan Puspa Agro yang mempunyai luas wilayah kurang lebih 40.000 m².
Berjarak sekitar 16 km dari pusat Kabupaten Sidoarjo dan kurang lebih 19 km dari
pusat Kota Surabaya. Secara geografis terletak pada koordinat 7°22'17.0" Lintang
Selatan dan 112°41'16.3" Bujur Timur. Peta lokasi Instalasi disajikan pada
1. Selatan : Persawahan
3. Timur : Persawahan
68
Gambar 12. Gedung Instalasi Karantina Ikan Puspa Agro Sidoarjo
Sumber : Data Primer (2022)
permukaan air laut dengan iklim tropis. Instalasi Karantina Ikan berada di komplek
pasar induk dengan dikelilingi oleh area persawahan di sebelah Selatan dan
Timur, Pasar Buah di sebelah Barat serta gudang Puspa Agro di sebelah Utara.
Lokasi Praktik dekat dengan daerah perindustrian. Denah lokasi disajikan pada
lampiran 2.
Kelas I Surabaya II, Instalasi Karantina Ikan Puspa Agro Sidoarjo mempunyai
Stasiun Karantina Ikan Juanda dan pada saat itu kantornya masih bergabung
ditingkatkan menjadi wilayah kerja Karantina Ikan Tanjung Perak dan berada
• 2000 : Kantor karantina Ikan Tanjung Perak berdiri terpisah dengan Karantina
Surabaya.
69
• 2001 : Dibentuk Departemen Kelautan dan Perikanan sesuai dengan
kerja UPT Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
maka Balai Karantina Ikan Kelas II Tanjung Perak, Surabaya pada tahun 2011
• 2014 : Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan keamanan Hasil Perikanan
40.000 m² ditanah dengan hak milik Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Jawa
Timur yang letaknya di Pasar Induk Modern Agrobis Puspa Agro, Desa
70
Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Instalasi
Karantina Ikan Puspa Agro ini digunakan sebagai laboratorium uji mutu serta
uji hama dan penyakit ikan yang semula berada di Tanjung Perak kemudian
Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya II, dipimpin oleh Kepala Balai yang
membawahi :
• Kepala Sub bagian Tata Usaha (Bagian Keuangan, Bagian Kepegawaian, dan
Agro Sidoarjo)
Ikan)
bagan struktur organisasi Instalasi Karantina Ikan Puspa Agro disajikan pada
Lampiran 4.
71
4.4. Sarana dan Prasarana
segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai makasud atau tujuan.
4.4.1. Sarana
Sarana yang terdapat pada Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan
Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya II, Instalasi Karantina Ikan Puspa
Agro Sidoarjo adalah ruang kepala instalasi, ruang pelayanan operasional, ruang
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya II, Instalasi
Karantina Ikan Puspa Agro terdiri dari beberapa ruangan (laboratorium) yang
memiliki fungsi dan tugas masing-masing. Adapun ruang berikut adalah sebagai
berikut :
1. Ruang Nekropsi
72
Kegiatan yang dilakukan di ruang ini merupakan awal tindakan pengujian
penyakit ikan dari contoh uji yang diperiksa dengan melakukan pembedahan ikan
laboratorium. Berikut ini adalah dokumentasi ruang nekropsi yang disajikan pada
Gambar 13.
2. Laboratorium Mikrobiologi
Laboratorium ini mempunyal fungsi dalam melakukan uji bakteri, baik uji
bakteri HPIK maupun uji bakteri mutu pada komoditas perikanan. Laboratorium ini
ruang Inkubasi dan ruang isolasi. Berikut ini adalah dokumentasi laboratorium
73
Gambar 14. Ruang Mikrobiologi
Sumber : Data Primer (2022)
3. Laboratorium Jamur
74
Ruang ini mempunyai fungsi dalam melakukan pemeriksaan organ-organ
alat untuk di sterilisasi) dan bahan (media) yang akan digunakan untuk uji Hama
75
dan Penyakit Ikan maupun uji mutu. Berikut ini adalah dokumentasi ruang Bahan
yang digunakan untuk pengujian virus, parasit, jamur dan bakteri. Berikut ini
adalah dokumentasi ruang bahan stock yang disajikan pada Gambar 18.
molekuler atau Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan lama waktu pengujian
5-8 jam. Laboratorium biologi molekuler memiliki tiga ruangan yaitu ruang
76
Gambar 19. Laboratorium Biologi Molekuler
Sumber : Data Primer (2022)
8. Laboratorium Kimia
adanya kandungan zat kimia dalam produk perikanan seperti formalin, histamine,
dan lain sebagainya. Berikut ini adalah dokumentasi laboratorium kimia yang
77
9. Laboratorium Parasit
penyakit ikan golongan parasit pada organ eksternal dan internal ikan serta
Ruang ini berfungsi sebagai tempat untuk mensterilkan alat dan bahan.
Peralatan yang digunakan adalah autoclave dan oven yang telah dikalibrasi. Jenis
sterilisasi yang digunakan adalah metode sterilisasi basah dan kering. Berikut ini
78
11. Ruang Arsip
HPI/HPIK dalam bentuk beku yang diarsipkan dalam plastik contoh uji dan diberi
label, selanjutnya disimpan pada freezer. Di Instalasi KIPM Puspa Agro terdapat
dua ruang arsip. Berikut ini adalah dokumentasi ruang arsip disajikan yang pada
Gambar 23.
Ruangan ini berfungsi untuk melakukan proses destruksi pada alat dan
bahan yang telah digunakan untuk identifikasi di Instalasi KIPM Puspa Agro.
Berikut ini adalah dokumentasi ruang destruksi yang disajikan pada Gambar 24.
79
Gambar 24. Ruang Destruksi
Sumber : Data Primer (2022)
ini adalah dokumentasi ruang pustaka yang disajikan pada Gambar 25.
80
4.4.2. Prasarana
1. Forklift
Forklift yaitu alat angkat barang umum / general cargo dengan kapasitas
2. Reachstacker
flexibel dari suatu tempat ketempat yang lain yang jangkauannya relatif terbatas.
Berikut ini adalah dokumentasi Reachstacker yang disajikan pada Gambar 27.
81
Gambar 27. Reachstacker
Sumber : Data Primer (2022)
3. Warehouse
Agro Balai KIPM Surabaya II. Berikut ini adalah dokumentasi warehouse yang
82
4. Lapangan Timbun
selama masa karantina. Berikut ini adalah dokumentasi lapangan timbun yang
sampel, Terdiri dari 22 sampel red shrimp, 11 Sampel udang windu, 1 sampel
artemia, 5 sampel udang vanamei, 1 sampel air tambak, 3 sampel white shrimp, 1
sampel Slipper Lobster, 3 Wild Shrimp, 2 Ekstraksi DNA, & 3 sampel Udang. Dari
sampel ekstraksi DNA, 1 sampel Udang Vanamei, 1 sampel benur windu, dan 1
sampel white shrimp.. Data tentang kode sampel, jenis sampel, organ target dan
83
Berikut hasil uji beberapa sampel Berdasarkan pembacaan hasil UV
Transilluminator yang disajikan pada Gambar 30, sampel Argentina Red Shrimp
pita (band) DNA yang sejajar dengan band dari kontrol positif WSSV berukuran
941 bp. Sedangkan pada gambar 31, sampel Pasific White Shrimp/Udang Putih
DNA yang sejajar dengan band dari control positif WSSV berukuan 941 bp Jadi,
dapat dinyatakan bahwa keempat sampel Argentina Red Shrimp tersebut tidak
terinfeksi virus WSSV (hasil negatif) sedangkan untuk sampel Pasific White
84
Gambar 31. Hasil UV Transilluminator positif WSSV
Sumber : Dokumentasi Balai KIPM Surabaya II (2022)
Indian Mackarel, & 26 sampel mackerel. dari sampel tersebut semua sampel
dinyatakan negative RSIVD. Data tentang kode sampel, jenis sampel, organ target
Transilluminator yang disajikan pada Gambar 32, sampel ikan japanese mackerel
perpendaran pita (band) DNA yang sejajar dengan kontrol positif RSIVD berukuran
570 bp. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ketiga sampel ikan japanese mackerel
85
Gambar 32. Hasil UV Transilluminator negatif RSIVD
Sumber: Dokumentasi Balai KIPM Surabaya II (2022)
kerapu, 1 sampel nila merah, & 2 sampel ekstraksi RNA. dari sampel tersebut
Data tentang kode sampel, jenis sampel, organ target dan hasil uji disajikan pada
lampiran 5.
86
Berikut hasil uji beberapa sampel Berdasarkan hasil pembacaan UV
Transilluminator yang disajikan pada Gambar 33, sampel Ikan Bandeng (Chanos
chanos) dengan kode sampel A tidak terlihat garis perpendaran pita (band) DNA
yang sejajar dengan kontrol positif VNN berukuran 294 bp. Jadi, dapat dinyatakan
bahwa sampel ikan bandeng tersebut negatif atau tidak terinfeksi virus VNN.
Pollock, & 1 sampel fish oil. dari sampel tersebut semua sampel dinyatakan
negative VHSV.
87
Data tentang kode sampel, jenis sampel, organ target dan hasil uji disajikan
pada lampiran 5. Berikut hasil uji beberapa sampel Berdasarkan hasil pembacaan
mackerel (Scomber scombrus) dengan kode sampel A, B, & C tidak terlihat garis
perpendaran pita (band) DNA yang sejajar dengan kontrol positif VHSV berukuran
505 bp. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ketiga sampel ikan Atlantic mackerel
Hasil identifikasi virus Tilapia Lake Virus (TiLV) pada 84 sampel, terdiri dari
81 sampel nila & 3 sampel ekstak RNA. dari sampel tersebut semua sampel
kode sampel, jenis sampel, organ target dan hasil uji disajikan pada lampiran 5.
88
Berikut hasil uji beberapa sampel Berdasarkan hasil pembacaan UV
Transilluminator yang disajikan pada Gambar 35, sampel ikan nila (O. niloticus)
dengan kode sampel A, B, & C tidak terlihat garis perpendaran pita (band) DNA
yang sejajar dengan kontrol positif TiLV berukuran 250 bp. Jadi, dapat dinyatakan
bahwa ketiga sampel ikan nila (O. niloticus) tersebut negatif atau tidak terinfeksi
virus TiLV.
5.2. Sterilisasi
harus disterilisasikan dahulu agar terhindar dari kontaminasi. Alat dan bahan yang
disterilisasi yaitu mikrotube, mikrotip, cawan petri, dissecting sets, dan pellet
pastle. Peralatan seperti cawan petri, dissecting sets, dan pellet pastle sebelum
disterilisasi harus dicuci menggunakan sabun dan air mengalir. Cawan petri dan
dissecting sets dikeringkan, lalu dibungkus dengan aluminium foil dan kertas,
sedangkan cawan petri hanya dibungkus dengan kertas. Peralatan yang tidak
89
tahan terhadap panas seperti pellet pestle, mikrotip, dan mikrotube dimasukkan ke
dalam botol kaca yang tahan terhadap panas, kemudian mulut botol kaca ditutup
dengan penutupnya dan dibungkus menggunakan kertas. Alat dan bahan yang
menit dengan tekanan 1 atm. Kegiatan sterilisasi alat dan bahan disajikan pada
Gambar 36.
semua organisme yang terdapat pada suatu benda. Ada beberapa cara yang
dipakai dalam sterilisasi yaitu, penggunaan panas, bahan kimia dan penyaringan
(filtrasi). Bila panas bersama-sama digunakan dalam uap air maka disebut
sterilisasi panas lembab atau sterilisasi basah, bila tanpa kelembaban maka
disebut sterilisasi panas kering. Sterilisasi basah atau panas lembab dilakukan
bertekanan 15 lb/in² selama 15 menit pada suhu 121°C. Autoklaf digunakan untuk
ialah media biakan, larutan, kapas, sumbat karet, dan peralatan laboratorium
90
6. Setting rentang waktu sesuai dengan kebutuhan.
9. Masukkan semua alat dan bahan dan susun secara rapi di dalam autoklaf.
1 3
5.3. Nekropsi
pengambilan organ target pada sampel sebelum identifikasi virus dilakukan. Pada
kegiatan KPA ini, terdapat beberapa contoh sampel berupa udang Argentina Red
Ikan Bandeng (Chanos chanos), Ikan Atlantic mackerel (Scomber scombrus) &
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Negatif. Udang Argentina Red Shrimp (Pleoticus
91
muelleri) dengan pengujian virus WSSV (White Spot Syndrome Virus) dimana
organ target yang diambil adalah Kaki Renang, Insang, Ekor, & Hepatopankreas,
RSIVD (Red-bream Sea Iridovirus Virus Disease) dimana organ target yang
diambil adalah ginjal, Ikan Bandeng (Chanos chanos) dengan pengujian virus VNN
(Viral Nervous Necrosis) dimana organ target yang diambil adalah mata & otak,
ikan Atlantic mackerel (Scomber scombrus) dengan pengujian virus VHSV (Viral
Haemmoragic Septicaemia Virus) dimana organ target yang diambil adalah ginjal,
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan pengujian virus TiLV (Tilapia Lake Virus)
dimana organ target yang diambil adalah Mata, Otak & Insang
Teknis Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina menyatakan bahwa target
organ untuk nekropsi didasarkan atas sifat HPIK dalam menginfeksi organ
didasarkan landasan ilmiah. Untuk ikan-ikan sakit, tetapi tidak menunjukan adanya
perubahan patologik, maka spesimen pemeriksaan diambil dari organ yang diduga
mengandung lesi.
92
Gambar 37. Nekropsi
Sumber : Data Primer
5.4. Analisis Proses Ekstraksi pada Pemeriksaan Virus Ikan & Udang.
ekstraksi adalah mendapatkan DNA atau RNA dari organ target sampel yang akan
diuji.
1,5 ml.
menit.
93
• Supernatan sebanyak 600 μl dipindahkan ke dalam mikrotube yang telah berisi
vortex mixer dan disentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 detik.
mikrotube baru.
Hasil akhir ekstraksi disebut DNA template. DNA template ini siap untuk
dilakukan tahap selanjutnya yaitu amplifikasi atau dapat disimpan di dalam freezer
dengan suhu 20 °C. Berikut ini adalah dokumentasi proses ekstraksi yang
94
a b c
d e
Gambar 38. Proses Ekstraksi (a. Pencacahan Sampel, b. Pemberian
Larutan Pada Ekstraksi, c. Penghomogenan Sampel, d. Sentrifugasi Sampel, e.
Hasil Akhir Ekstraksi)
Sumber : Data Primer
adsorbsi (membran silika gel) (Gupta et al., 2019). Pada Laboratorium biologi
molekuler BKIPM Surabaya II, menggunakan metode membran silika gel, karena
menghasilkan DNA berkualitas & kuantitas tinggi, mudah digunakan, murah serta
dapat digunakan untuk mengikat DNA & RNA sekaligus (Knebelsberger & Isabella,
95
menghomogenisasi jaringan, meningkatkan jumlah sel yang dilisiskan, serta
Buffer, dilakukan untuk pelepasan asam nukleat dengan melisiskan sel karena
kecepatan 12.000 rpm bertujuan memisahkan asam nukleat, & dilanjutkan dengan
pemberian silika kit 40 ul pada mikrotube baru & pengambilan 600 ul supernatan
dari mikrotube lama, silika kit digunakan sebagai metode utama dalam proses
ekstraksi karena mengikat DNA & RNA sekaligus, & dapat mencuci lemak &
awal, GT Buffer step ini bertujuan untuk mencuci silika kit, karena bersifat PH tinggi
& garam rendah yang berkebalikan dengan sifat silika kit sehingga dapat mencuci
memecah DNA/RNA jika aktif serta untuk presipitasi DNA, sehingga presipitat
kembali pelet DNA, & terakhir dilakukan inkubasi pada termoblock 10 menit pada
55°C untuk mempermudah pelarutkan kembali pelet DNA & inaktivasi nuklease.
Hasil dari proses ekstraksi adalah template DNA/RNA yang siap dilanjutkan untuk
proses amplifikasi.
5.5. Analisis Proses Amplifikasi pada Pemeriksaan Virus Ikan & Udang
sebanyak 3 buah disiapkan dan diberi kode. Mikrotube pertama diisi DNA
Template yang diperoleh dari hasil ekstraksi. Mikrotube kedua diisi Nuclease Free
96
Water (NFW) sebagai kontrol negatif, sedangkan mikrotube ketiga diisi template
1. Virus DNA
step. Pada first PCR, template yang digunakan adalah template DNA yang
diperoleh dari hasil ekstraksi, sedangkan pada Nested PCR, template yang
digunakan adalah amplicon dari hasil first step. Komposisi First PCR yang dibuat
97
Tabel 5. Komposisi Master Mix First PCR Identifikasi WSSV
No Komposisi Volume
2. Primer 146F1 : 5’-ACT ACT AAC TTC AGC CTA TCT AG-3’ 1 μl
3. Primer 146R1 : 5'-TAA TGC GGG TGT AAT GTT CTT ACG A- 1 μl
3'
4. DNA Template 2 μl
Total 25 μl
diusahakan berada di dasar mikrotube, tidak ada gelembung ataupun cairan yang
menempel di dinding mikrotube. Hal itu dilakukan agar semua komposisi PCR
dapat tercampur dengan sempurna dan proses hasil amplifikasi diperoleh dengan
baik. Selanjutnya, mikrotube dimasukkan ke dalam mesin thermal cycler dan tekan
tombol RUN sesuai program (WSSV first). Profil amplifikas i first dan nested PCR
98
Tabel 6. Protokol Amplifikasi First dan Nested PCR WSSV
Profil Amplifikasi First dan Nested PCR
55 °C, 1 menit
72 °C, 2 menit
Amplicon 941 bp
Hasil tahap amplifikasi yang disebut sebagai amplicon pada first step digunakan
untuk nested PCR. Komposisi yang digunakan untuk pembuatan master mix
2. Primer 146F2 : 5’-GTA ACT GCC CCT TTC ATC TCC A-3' 1 μl
3. Primer 146R2 : 5’-TAC GGC AGC TGC TGC ACC TTG T-3' 1 μl
5. NFW 8,5 μl
Total 25 μl
dalam mesin thermal cycler dengan program WSSV nested PCR. Berikut ini
99
adalah dokumentasi amplifikasi program WSSV menggunakan mesin thermal
step. Berikut adalah komposisi PCR yang dibuat untuk proses amplifikasi virus
3’
3'
4. DNA Template 2 μl
5. NFW 8,5 μl
Total 25 μl
100
Sumber : Data Sekunder Balai KIPM Surabaya II (2022)
dasar mikrotube, tidak ada gelembung ataupun cairan yang menempel di dinding
mikrotube. Hal itu dilakukan agar semua komposisi PCR dapat tercampur dengan
tekan tombol RUN sesuai program. Profil amplifikasi untuk program RSIVD
Amplicon 570 bp
101
Gambar 41. Amplifikasi Program RSIVD
Sumber : Data Primer (2022)
2. Virus RNA
Identifikasi virus VNN pada tahap amplifikasi dilakukan secara double step.
Pada first step template yang digunakan adalah template DNA yang diperoleh dari
hasil ekstraksi. Berikut adalah komposisi PCR yang dibuat untuk proses amplifikasi
2. 10pm Primer F2 : 5'-CGT GTC AGT CAT GTG TCG CT-3’ 0,5 μl
3. 10pm Primer R3 : 5'-CGA GTC AAC ACG GGT GAA GA-3’ 0.5 μl
5. DNA template 1 μl
6. ddH₂O 10 μl
total 25 µl
102
Semua bahan komposisi master mix tersebut dicampurkan ke dalam mikrotube.
dinding mikrotube. Hal itu dilakukan agar semua komposisi PCR dapat tercampur
cycler dan tekan tombol RUN sesuai program. Profil amplifikasi first step PCR
Amplicon 605 bp
Hasil tahap amplifikasi yang disebut sebagai amplicon pada first step digunakan
103
Tabel 12. Komposisi Master Mix Nested PCR Identifikasi VNN
No Komposisi Volume
3. Primer R3 0,5 μl
5. NFW 10 μl
Total 25 μl
Bahan-bahan komposisi master mix nested PCR yang telah dibuat, selanjutnya
dimasukkan ke dalam mesin thermal cycler dengan program VNN nested PCR.
Amplicon 605 bp
104
Gambar 42. Ampifikasi Program VNN
Sumber : Data Primer (2022)
step. Berikut adalah komposisi PCR yang dibuat untuk proses amplifikasi virus
4. RNA template 2 μl
6. ddH₂O 8 μl
total 25 μl
105
dinding mikrotube. Hal itu dilakukan agar semua komposisi PCR dapat tercampur
cycler dan tekan tombol RUN sesuai program. Profil amplifikasi untuk program
Amplicon 505 bp
106
Gambar 43. Amplifikasi Program VHSV
Sumber : Data Primer (2022)
nested. Berikut adalah komposisi PCR yang dibuat untuk proses amplifikasi virus
4. RNA template 2 μl
6. ddH₂O 8 μl
total 25 μl
107
dinding mikrotube. Hal itu dilakukan agar semua komposisi PCR dapat tercampur
cycler dan tekan tombol RUN sesuai program. Profil amplifikasi first step PCR
Hasil tahap amplifikasi yang disebut sebagai amplicon pada first step digunakan
untuk semi nested PCR. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan
Tabel 18. Komposisi Master Mix semi Nested PCR Identifikasi TiLV
No Komposisi Volume
5. ddH₂O 9 μl
Total 25 μl
108
Bahan-bahan komposisi master mix semi nested PCR yang telah dibuat,
semi nested PCR. Profil amplifikasi semi nested PCR TiLV disajikan pada Tabel
19.
Amplicon 250 bp
109
Amplifikasi merupakan suatu teknik menggandakan sekuen DNA yang
amplifikasi Pada Virus RSIVD & VHSV hanya menggunakan singgle step PCR
sedangkan pada virus WSSV & VNN Pada proses amplifikasi ini menggunakan
tahapan first step PCR dan nested PCR yang merupakan proses amplifikasi DNA
untuk munculnya amplikon yang berbeda, disebabkan oleh adanya interaksi antar
primer. Hal ini didukung oleh pernyataan Rhyclik, (2005), penggunaan dua set
primer forward-reverse (F1R1 dan F2R2) akan terjadi interaksi primer dengan
cetakan oleh struktur cros dimer yang terbentuk, hal ini disebabkan oleh faktor
selisih suhu Tm antar primer kecil dan persentase GC primer forward yang lebih
tinggi. Disamping itu adanya stabilitas internal primer yang merupakan perbedaan
kestabilan pelekatan primer-cetakan ujung 5’ dan ujung 3’ pada DNA target. Primer
dengan kestabilan ujung 5’ yang lebih besar dari pada ujung 3’ umumnya memiliki
penelitian sebelumnya dari Dong et al (2017), menyatakan bahwa salah satu dari
sepasang primer yang digunakan yaitu primer "Nested ext-2", tersusun dari 20
nukleotida, dimana 13-18 lebih dari 20 nukleotida tersebut serupa dengan gen
pada ikan target, sehingga memberikan hasil positif palsu. Hal tersebut
menjadikan identifikasi TiLV hanya menggunakan 2 forward & 1 reverse primer &
First PCR digunakan untuk menentukan adanya fragmentasi DNA target agar
110
kontaminasi pada produk selama amplifikasi dari penyatuan primer yang tidak
diperlukan. Primer Nested akan menyatu dengan produk PCR yang pertama dan
menghasilkan produk yang lebih pendek dari pada produk yang pertama.
Pada virus VNN, VHSV & TiLV karena merupakan RNA virus, maka proses
DNA (cDNA). Proses tersebut melibatkan banyak komponen seperti RNA Access
, master Mix go taq green, primer, enzim AMV Reverse Transkriptase, NFW
(Nuclease Free Water), & RNA Template. Master Mix merupakan reagen
campuran yang terdiri dari DNA taq polimerase, dNTPs (dATP, dGTP, dCTP,
dTTP), MgCl2 serta loading dye (Wheeler, 2016). DNA taq polymerase berperan
sebagai enzim untuk mensintesis cDNA baru, dNTPs & Buffer MgCl2 mendukung
complementary DNA (cDNA) wajib diberikan. Primer yang digunakan untuk setiap
virus berbeda, hal ini disebabkan karena primer tersusun dari sekuen nukleotida
pendek yang didesain berpasangan dengan fragmen asam nukleat dari virus
dari elektroforesis adalah untuk mengetahui ukuran dan bentuk suatu partikel baik
DNA, RNA dan protein. Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan
111
pembuatan gel agarose 1,5 %. Langkah selanjutnya yaitu proses elektroforesis
TAE Buffer adalah larutan yang digunakan pada pembuatan gel agarose
dan proses elektroforesis. Larutan TAE Buffer 1x dibuat dari TAE Buffer 50x yang
sebagai berikut.
𝑉 1 . 𝑀2 = 𝑉 2 . 𝑀2
𝑉 1 𝑀1
𝑉2 = 𝑀2
500.1
𝑉2 =
50
= 10 𝑚𝑙
Jadi, pembuatan TAE Buffer 1x dengan volume 500 ml dibutuhkan TAE Buffer 50x
sebanyak 10 ml.
𝑉 1 . 𝑀2 = 𝑉 2 . 𝑀2
𝑉 1 𝑀1
𝑉2 = 𝑀2
250.1
𝑉2 =
50
= 5 𝑚𝑙
Jadi, pembuatan TAE Buffer 1x dengan volume 250 ml dibutuhkan TAE Buffer 50x
sebanyak 5 ml.
ml untuk botol berkapasitas 250 ml. TAE Buffer 50x dimasukkan ke dalam masing-
112
masing botol. Aquades ditambahkan sebanyak 490 ml ke dalam botol berkapasitas
500 ml dan 250 ml untuk botol berkapasitas 250 ml. Kedua larutan dihomogenkan.
Gambar 15.
disajikan pada Gambar 16. Pembuatan gel agarose 1,5% dibuat dengan
melarutkan agarose ke dalam TAE Buffer 1x. Hal pertama yang dilakukan adalah
serbuk agarose ditimbang sebanyak 1,5 gram. Serbuk agarose yang telah
microwave dengan suhu medium selama 15 menit sampai larutan terlihat bening.
Setelah 15 menit, botol diangkat dari microwave dan ditunggu hingga hangat lalu
ditambahkan SYBR safe sebanyak 4 μl. Agarose cair dituang ke dalam cetakan
agarose (gel box) yang telah dipasang sisir (comb). Sisir ini berfungsi untuk
membuat sumur pada gel agarose. Agarose cair ditunggu hingga memadat agar
berubah menjadi gel. Lalu, sisir diangkat perlahan agar tidak merusak gel agarose.
113
Berikut ini adalah dokumentasi pembuatan gel agarose 1,5% yang disajikan pada
Gambar 46.
a b c
Gambar 46. Pembuatan gel agarose (a. penimbangan agarose, b. pemberian
aquades, c. pemanasan agarose)
Sumber : Data Primer (2022)
c. Proses Elektroforesis
telah memadat ditambahkan TAE Buffer 1x pada alat gel box hingga menutupi
permukaan gel agarose. Selanjutnya kontrol positif, kontrol negatif dan amplicon
berfungsi untuk menentukan ukuran pita DNA yang dihasilkan dari proses PCR,
lalu gel box ditutup. Kabel anoda dan katoda dipasang pada alat elektroforesis dan
diatur dengan tegangan listrik sebesar 115 Volt dan waktu 45 menit. Proses
elektroforesis ditunggu hingga 45 menit, apabila telah selesai penutup gel box
dibuka dan TAE Buffer 1x dibuang ke dalam kotak limbah TAE Buffer. Gel agarose
Hasil uji akan terlihat pada monitor UV Transilluminator, selanjutnya hasil tersebut
114
a b c
d e
Gambar 47. Proses elektroforesis (a. pengisian amplicon ke sumuran gel
agarose, b. pemasangan alat unit elektroforesis, c. elektroforesis, d. pengaturan
gel agarose ke dalam UV Transluminator, e. interpretasi hasil UV Transluminator
Sumber : Data Primer (2022)
tunggal & untuk teknik separasi (Pusat Pelatihan Kelautan & Perikanan, 2017).
Pada BKIPM Surabaya II digunakan Gel agarose, yang efektif untuk memisahkan
fragmen DNA/RNA dengan ukuran dari 100 bp hingga 25 kb (Lee et al., 2012). Gel
agarose 1,5% yang digunakan diencerkan dengan arutan TAE Buffer 1x. TAE
buffer standar yang mengandung asam lemah, asam asetat dengan bentuk ion
netral & anionik (e.g., COOH and COO- species), sebagai buffer PH, menjaga
konduktivitas media tetap rendah, & mendukung resolusi fragmen DNA yang baik
(Sanderson et al.,2014).
115
Pengujian di Laboratorium Biologi Molekuler selama kegiatan PKM yang
berikut:
• Pada Saat Memindahkan Supernatan Kedalam Mikrotube baru yang telah terisi
Agarose 1,5%.
Cara menangani permasalahan dan kendala dalam proses uji Biologi Molekuler
• Selalu teliti Saat Pemasangan Cetakan Agarose, Pastikan Karet pada pinggir
cetakan rapat agar tidak terjadi kebocoran sehingga hasil cetakan terbentuk
dengan baik.
116
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
sebagai berikut :
• Hasil identifikasi virus White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada 52 sampel, 8
6.2. Saran
Prosedur Pengujian Untuk Virus Virus Baru Ke Dalam Dokumen Instruksi Kerja
117
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, H. Abu dan Narbuko, Cholid, 2001. Metodologi penelitian. Jakarta: PT.
Bumi Aksara
Amrillah, A.M dan S. Widyarti. Y. Kilawati. 2015. Dampak Stres Salinitas Terhadap
Prevalensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Survival Rate Udang
Vannamei (Litopenaeus vannamei) pada Kondisi Terkontrol. Research
Journal Of Life Science Agustus 2015 Volume 02 No. 01.
Arafani, L. dan M. Ghazali. M. Ali. 2016. Pelacakan Virus Bercak Putih pada Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei) di Lombok dengan Real-Time
Polymerase Chain Reaction. Jurnal Veteriner Maret. Vol. 17 No. 1 : 88-95.
Arimoto M., Mushiake K., Mizuta Y., Nakai T., Muroga K. & Furusawa I. (1992).
Detection of striped jack nervous necrosis virus (SJNNV) by enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Fish Pathol., 27, 191–195.
Arkush K.D., Mendonca H.L., Mcbride A.M., Yun S., Mcdowell T.S. & Hedrick R.P.
(2006). Effects of temperature on infectivity and of commercial freezing on
survival of the North American strain of viral hemorrhagic septicemia virus
(VHSV). Dis. Aquat. Org., 69, 145–151
Azizah, A., Kurniasih. 2005. Deteksi Infeksi White Spot Syndrome Virus pada
Udang Putih (Penaeus vannamei) di Pulau Jawa dengan Metode
Polymerase Chain Reaction. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci)VI (1): 32-39
Bacharach, E., Mishra, N., Briese, T., Zody, M. C., Kembou Tsofack, J. E.,
Zamostiano, R., … Lipkin, W. I. (2016). Characterization of a Novel
Orthomyxo-like Virus Causing Mass Die-Offs of Tilapia. mBio, 7(2),
e00431-16. https://doi.org/10.1128/mBio.00431-16
Barker D.E., Mackinnon A.M., Boston L., Burt M.D.B., Cone D.K., Speare D.J.,
Griffiths S., Cook M., Ritchie R. & Olivier G. (2002). First report of piscine
nodavirus infecting wild winter flounder Pleuronectes americanus in
Passamaquoddy Bay, New Brunswick, Canada. Dis. Aquat. Org., 49, 99–
105
Bellanti. J.A., 1985, Immunologi III, Penerjemah: S.Wahab dan N.Soeripati. 1993.
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada Press.
Briggs. T., dan Chandler, A.M., 1995,Biochemistry. Third edition.Spinger.
Verlag. New York.
Bovo G., Gustinelli A., Quaglio F., Gobbo F., Panzarin V., Fusaro A., Mutinelli F.,
Caffara M. & Fioravanti M.L. (2011). Viral encephalopathy and retinopathy
outbreak in freshwater fish farmed in Italy. Dis. Aquat. Org., 96, 45–54. Chi
S.C., Hu W.W. & Lo B.L. (1999). Establishment and characterization of a
118
continuous cell line (GF-1) derived from grouper, Epinephelus coioides
(Hamilton): a cell line susceptible to grouper nervous necrosis virus
(GNNV). J. Fish Dis., 22, 173–182
Bovo G., Hill B., Husby A., Håstein T., Michel C., Olesen N.J., Storset A. & Midtlyng
P. (2005). Work package 3 report: Pathogen survival outside the host, and
susceptibility to disinfection. VESO, P.O. Box 8109 Dep., N-0032 Oslo,
Norway. Available at: http://www.crl-
fish.eu/upload/sites/crlfish/reports/links/fisheggtrade%20wp_3.pdf
Chang Y.S., Lo C.F., Peng S.E., Liu K.F., Wang C.H. & Kou G.H. (2002). White
spot syndrome virus (WSSV) PCR-positive Artemia cysts yield PCR-
negative nauplii that fail to transmit WSSV when fed to shrimp Postlarvae.
Dis. Aquat. Org., 49, 1–10.
Chou H.Y., Hsu C.C. & Peng T.Y. (1998). Isolation and characterization of a
pathogenic iridovirus from cultured grouper (Epinephelus sp.) in Taiwan.
Fish Pathol., 33, 201–206.
Chua F.H., Ng M.L, Ng K.L, Loo J.J. & Lee J.Y. (1994). Investigation of outbreaks
of a novel disease, “Sleepy Grouper Disease”, affecting the brown-spotted
grouper, Epinephelus tauvina Forsakl. J. Fish Dis., 17, 417–427.
Chi S.C., Lo C.F. & Lin S.C. (2001). Characterization of grouper nervous necrosis
virus. J. Fish Dis., 24, 3–13.
Chi S.C., Shieh J.R. & Lin S.J. (2003). Genetic and antigenic analysis of
betanodaviruses isolated from aquatic organisms in Taiwan. Dis. Aquat.
Org., 55, 221–228
Chi S.C., Wu Y.C. & Cheng T.M. (2005). Persistent infection of betanodavirus in a
novel cell line derived from the brain tissue of barramundi Lates calcarifer.
Dis. Aquat. Org., 65, 91–98
Comps M., Pepin J.F. & Bonami J.R. (1994). Purification and characterization of
two fish encephalitis viruses (FEV) infecting Lates calcarifer and
Dicentrarchus labrax. Aquaculture, 123, 1–10.
Dalla Valle L., Zanella L., Patarnello P., Paolucci L., Belvedere P. & Colombo L.
(2000). Development of a sensitive diagnostic assay for fish nervous
necrosis virus based on RT-PCR plus nested PCR. J. Fish Dis., 23, 321–
327
Dale O.B., Ørpetveit I., Lyngstad T.M., Kahns S., Skall H.F., Olesen N.J. &
Dannevig B.H. (2009). Outbreak of viral haemorrhagic septicaemia (VHS)
in seawater-farmed rainbow trout in Norway caused by VHS virus
Genotype III. Dis. Aquat. Org., 85, 93–103
119
Darmo, H & Ari, R. (2000). Prinsip umum dan pelaksanaan Polymerase Chain
Reakction (PCR). Surabaya
Del-Pozo, J., Mishra, N., Kabuusu, R., Cheetham, S., Eldar, A., Bacharach, E.,
Lipkin, W.I., & Ferguson, H. W. (2016). Syncytial Hepatitis of Tilapia
(Oreochromis niloticus L.) is Associated With Orthomyxovirus-Like Virions
in Hepatocytes. Veterinary Pathology
.https://doi.org/10.1177/0300985816658100
Destarlina, Oni M. (2004). Sreening Test White Spot Syndrome Virus pada Udang
Putih (Panaeus vannamei) Menggunakan Teknik Polimerase Chain
Reaction di Balai Karantina Ikan Soekrno-Hatta. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Do J.W., Cha S.J., Kim J.S., An E.J., Park M.S., Kim J.W., Kim Y.C., Park M.A. &
Park J.W. (2005). Sequence variation in the gene encoding the major
capsid protein of Korean fish iridoviruses. Arch. Virol., 150, 351–359.
Do J.W., Moon C.H, Kim H.J., Ko M.S., Kim S.B., Son J.H., Kim J.S., An E.J., Kim
M.K., Lee S.K., Han M.S., Cha S.J., Park M.S., Park M.A., Kim Y.C., Kim
J.W. & Park J.W. (2004). Complete genomic DNA sequence of rock bream
iridovirus. Virology, 325, 351–363.
Dong, H.T., Siriroob, S., Meemetta, W., Santimanawong, W., Gangnonngiw, W.,
Pirarat, N., Khunrae, P., Rattanarojpong, T.,. Vanichviriyakit, R,. Senapin,
S (2017), Emergence of tilapia lake virus in Thailand and an alternative
semi-nested RT-PCR for detection. Aquaculture, advance online
publication oi: 10.1016/j.aquaculture.2017.04.019
Einer-Jensen K., Ahrens P., Forsberg R. & Lorenzen N. (2004). Evolution of the
fish rhabdovirus viral haemorrhagic septicaemia virus. J. Gen. Virol., 85,
1167–1179
Eyngor, M., Zamostiano, R., Tsofack, J. E. K., Berkowitz, A., Bercovier, H., Tinman,
S., Lev, M., Huryitz, A., Galeotti, M., 7 Eldar, A. (2014). Identification of a
novel RNA virus lethal to tilapia. Journal of Clinical Microbiology, 52(12),
4137–4146. https://doi.org/10.1128/JCM.00827-14
Elsayed E., Faisal M., Thomas M., Whelan G., Batts W. & Winton J. (2006).
Isolation of viral haemorrhagic septicaemia virus from muskellunge, Esox
masquinongy (Mitchill), in Lake St Clair, Michigan, USA reveals a new
sublineage of the North American genotype. J. Fish Dis., 29, 611–619
Enzmann P.J. & Konrad M. (1985). Inapparent infections of brown trout with VHS-
virus. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol., 5, 81–83
Ehtisham M., Firdous W., Iram W., Prabhjot K. & Sheeba N. (2016). Polymerase
Chain Reaction (PCR): Back to Basics. DOI Number: 10.5958/2320-5962
120
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada Press. Briggs. T.,
dan Chandler, A.M., 1995,Biochemistry. Third edition.Spinger Verlag.New
York
Fathi, M., Dickson, C., Dickson, M., Leschen, W., Baily, J., Muir, F., Ulrich, K., &
Weidmann, M. (2017). Identification of Tilapia Lake Virus in Egypt in Nile
tilapia affected by ‘summer mortality’ syndrome. Aquaculture Vol. 472, 430-
432
Fenner, F.J.,Gibbs, E.P.J., Murphy, F.A., Rott, R., Studdert, M.J., White, D.O.,
1993. Veterinary Virology, 2d ed. Academic Press, 429-442.
Ferguson, H. W., Kabuusu, R., Beltran, S., Reyes, E., Lince, J. A., & del Pozo, J.
(2014). Syncytial hepatitis of farmed tilapia, Oreochromis niloticus (L.): A
case report. Journal of Fish Diseases, 37(6), 583–589.
https://doi.org/10.1111/jfd.12142
Fitriatin, E dan A. Manan. 2015. Pemeriksaan Viral Nervous Necrosis (VNN) Pada
Ikan Dengan Metode Polymerase. Chain Reaction (PCR). Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan Vol. 7 No. 2, November 2015.
Flegel T.W. (1997). Major viral diseases of the black tiger prawn (Penaeus
monodon) in Thailand. World J. Microbiol. Biotechnol., 13, 433–442.
Frerichs G.N., Tweedie A., Starkey W.G. & Richards R.H. (2000). Temperature,
pH, and electrolyte sensitivity, and heat, UV and disinfectant inactivation of
sea bass (Dicentrarchus labrax) neuropathy nodavirus. Aquaculture, 185,
13–24
Furusawa R., Okinaka Y., Uematsu K. & Nakai T. (2007). Screening of freshwater
fish species for their susceptibility to a betanodavirus. Dis. Aquat. Org., 77,
119–125
Gomez D.K., Sato J., Mushiake K., Isshiki T., Okinaka Y. & Nakai T. (2004). PCR-
based detection of betanodaviruses from cultured and wild marine fish with
no clinical signs. J. Fish Dis., 27, 603–608
Groocock G.H., Getchell R.G., Wooster G.A., Britt K.L., Batts W.N., Winton J.R.,
Casey R.N., Casey J.W. & Bowser P.R. (2007). Detection of viral
hemorrhagic septicemia in round gobies in New York State (USA) waters
of Lake Ontario and the St. Lawrence River. Dis. Aquat. Org., 76, 187–192
Gibson-Kueh S., Ngoh-Lim G.H., Netto P., Kurita J., Nakajima K. & Ng M.L. (2004).
A systematic iridoviral disease in mullet, Mugil cephalus L. and tiger
grouper, Epinephelus fuscoguttatus Forsskal: a first report and study. J.
Fish Dis., 27, 693–699.
Gupta, D. R., Avila, C. S. R., Win, J., Soares, D. M., Ryder, L. S., Croll, D.,
Bhattacharjee, P., Hossain, M. S., Mahmud, N. U., Mehebub, M.S., Surovy,
M. Z., Rahman, M. M., Talbot, N. J., Kamoun, S., and Islam, M. T. 2019.
Cautionary notes on use of the MoT3 diagnostic assay for Magnaporthe
121
oryzae wheat and rice blast isolates. Phytopathology 109:504-508. Link,
ISI, Google Scholar
Hawley L.M. & Garver K.A. (2008). Stability of viral hemorrhagic septicemia virus
(VHSV) in freshwater and seawater at various temperatures. Dis. Aquat.
Org., 82, 171–178
Hedrick R.P., Batts W.N., Yun S., Traxler G.S., Kaufman J. & Winton J.R. (2003).
Host and geographic range extensions of the North American strain of viral
hemorrhagic septicemia virus. Dis. Aquat. Org., 55, 211–220
He J.G., Deng M.S, Weng P., Li Z., Zhou S.Y., Long Q.X., Wang X.Z., & Chang
S.M. (2001). Complete genome analysis of the mandarin fish infectious
spleen and kidney necrosis iridovirus. Virology, 291, 126–139.
Henryon M., Jokumsen A., Berg P., Lund I., Pedersen P.B., Olesen N.J. &
Slierendrecht W.J. (2002). Genetic variation for growth rate, feed
conversion efficiency, and disease resistance exists within a farmed
population of rainbow trout. Aquaculture, 209, 59–76
Inouye K., Yamano K., Maeno Y., Nakajima K., Matsuoka M., Wada Y. & Sorimachi
M. (1992). Iridovirus infection of cultured red sea bream, Pagrus major. Fish
Pathol., 27, 19–27
Isshiki T., Nishizawa T., Kobayashi T., Nagano T. & Miyazaki T. (2001). An
outbreak of VHSV (viral hemorrhagic septicemia virus) infection in farmed
Japanese flounder Paralichthys olivaceus in Japan. Dis. Aquat. Org., 47,
87–99
Iwamoto T., Mise K., Mori K., Arimoto M., Nakai T. & Okuno T. (2001).
Establishment of an infectious RNA transcription system for striped jack
nervous necrosis virus, the type species of the betanodavirus. J. Gen.
Virol., 82, 2653–2662
Iwamoto T., Nakai T., Mori K., Arimoto M. & Furusawa I. (2000). Cloning of the fish
cell line SSN-1 for piscine nodaviruses. Dis. Aquat. Org., 43, 81–89
Iwamoto T., Okinaka Y., Mise K., Mori K., Arimoto K., Okuno T. & Nakai T. (2004).
Identification of host-specificity determinants in betanodaviruses by using
reassortants between striped jack nervous necrosis virus and sevenband
grouper nervous necrosis virus. J. Virol., 78, 1256–1262.
122
Jeong J.B., Jun J.L., Yoo M.H., Kim M.S., Komisar J.L. & Jeong H.D. (2003).
Characterization of the DNA nucleotide sequences in the genome of red
sea bream iridoviruses isolated in Korea. Aquaculture, 220, 119–133
Jeong J.B., Kim H.Y., Kim H.K., Chung J.-K., Komisar J.L. & Jeong H.D. (2006).
Molecular comparison of iridoviruses isolated from marine fish cultured in
Korea and imported from China. Aquaculture, 255, 105–116.
Johansen R., Amundsen M., Dannevig B.H. & Sommer A.I. (2003). Acute and
persistent experimental nodavirus infection in spotted wolffish Anarhichas
minor. Dis. Aquat. Org., 57, 35–41
Johansen R., Ranheim T., Hansen M.K., Taksdal T. & Totland G.K. (2002).
Pathological changes in juvenile Atlantic halibut Hippoglossus hipoglossus
persistently infected with nodavirus. Dis. Aquat. Org., 50, 161–169
Johansen R., Rove S., Svendsen N.A.K., Modahl I. & Dannevig B. (2004). A
sequential study of pathological findigs in Atlantic halibut, Hippoglossus
hippoglossus(L), throughout one year after an acute outbreak of viral
encephalopathy and retinopathy. J. Fish Dis., 27, 327–341
Jung S., Miyazaki T., Miyata M., Danayadol Y. & Tanaka S. (1997). Pathogenicity
of iridovirus from Japan and Thailand for the red sea bream Pagrus major
in Japan, and histopathology of experimentally infected fish. Fisheries Sci.,
63, 735–740.
Jung S.J. & Oh M.J. (2000). Iridovirus-like infection associated with high mortalities
of striped beakperch, Oplegnathus fasciatus (Temminck et Schlegel), in
southern coastal areas of the Korean peninsula. J. Fish Dis.,23, 223–226.
Kawakami H. & Nakajima K. (2002). Cultured fish species affected by red sea
bream iridoviral disease from 1996 to 2000. Fish Pathol., 37, 45–47.
Kim Y.J., Jung S.J., Choi T.J., Kim H.R., Rajendran K.V. & Oh M.J. (2002). PCR
amplification and sequence analysis of irido-like virus infecting fish in
Korea. J. Fish Dis., 25, 121–124.
Kocan R., Bradley M., Elder N., Meyers T.R., Batts W.N. & Winton J.R. (1997).
North American strain of viral hemorrhagic septicemia virus is highly
pathogenic for laboratory-reared pacific herring. J. Aquat. Anim. Health, 9,
279–290
Kocan R.M., Hershberger P.K., Elder N.E. & Winton J.R. (2001). Survival of the
North American strain of viral hemorrhagic septicemia virus (VHSV) in
filtered seawater and seawater containing ovarian fluid, crude oil and
serum-enriched culture medium. Dis. Aquat. Org., 44, 75–78. 27.
123
LAPATRA S.E. (1996). The use of serological techniques for virus
surveillance and certification of finfish. Ann. Rev. Fish Dis., 6, 15–28
Kurita J., Nakajima K., Hirono I. & Aoki T. (2002). Complete genome sequencing
of red sea bream iridovirus (RSIV). Fisheries Sci., 68 (suppl. II), 1113–
1115.
Kurita J., Ngoh-Lim G.H., Gibson-Kueh S., De La Pena L., Chuah T.T.,
Palamisamy V., Sano M., Oseko N., Maeno Y. & Nakajima K. (2004).
Phylogenetic analysis of red sea bream iridovirus-like viruses in Southeast
Asia. In: 7th Asian Fisheries Forum 04 Abstracts, Penang, Malaysia, 381.
Lightner, D.V., C.R. Pantoja, B.T. Poulos, K.F.J. Tang, R.M. Redman, T. Pasos-
de-Andrade and J.R. Bonami. 2004. Infectious myonecrosis. New disease
in pasific white shrimp. Global Aquaculture Avocate. 85 p.
Lightner, V. 2010. In The Court Of Appeals Of Ohio Third Appellate District Hardin
County. Appeal from Hardin County Common Pleas Court Trial Court No.
20082125 CRI.
Lo C.F., Ho C.H., Chen C.H., Liu K.F., Chiu Y.L., Yeh P.Y., Peng S.E., Hsu H.C.,
Liu H.C., Chang C.F., Su M.S., Wang C.H. & Kou G.H. (1997). Detection
and tissue tropism of white spot syndrome baculovirus (WSBV) in Captured
brooders of Penaeus monodon with a special emphasis on reproductive
organs. Dis. Aquat. Org., 30, 53–72.
Lo C.F. & Kou G.H. (1998). Virus-associated white spot syndrome of shrimp in
Taiwan: a review. Fish Pathol., 33, 365–371.
López-Vázquez C., Raynard R.S., Bain N., Snow M., Bandín I.&Dopazo C.P.
(2006). Genotyping of marine viral haemorrhagic septicaemia virus isolated
from the Flemish Cap by nucleotide sequence analysis and restriction
fragment length polymorphism patterns. Dis. Aquat. Org. 73, 23–31
Lorenzen N., Olesen N.J. & Vestergård Jørgensen P.E. (1988). Production and
characterization of monoclonal antibodies to four Egtved virus structural
proteins. Dis. Aquat. Org., 4, 35–42
124
Lumsden J.S., Morrison B., Yason C., Russell S., Young K., Yazdanpanah A.,
Huber P., Al-Hussinee L., Stone D. & Way K. (2007). Mortality event in
freshwater drum Aplodinotus grunniens from Lake Ontario, Canada,
associated with viral haemorrhagic septicemia virus, Type IV. Dis. Aquat.
Org., 76, 99–111
Meier W. & Jørgensen P.E.V. (1980). Isolation of VHS virus from pike fry (Esox
lucius) with hemorrhagic symptoms. In: Fish Diseases, Third COPRAQ
Session, Ahne W., ed. Springer-Verlag, Berlin, Germany and New York,
USA, 8–17
Meyers T.R., Short S. & Lipson K. (1999). Isolation of the North American strain of
viral hemorrhagic septicemia virus (VHSV) associated with epizootic
mortality in two new host species of Alaskan marine fish. Dis. Aquat. Org.,
38, 81–86
Meyers T.R. & Winton J.R. (1995). Viral hemorrhagic septicemia virus in North
America. Ann. Rev. Fish Dis., 5, 3–24
Mori K., Mangyoku T., Iwamoto T., Arimoto M., Tanaka S. & Nakai T. (2003).
Serological relationships among genotypic variants of betanodavirus. Dis.
Aquat. Org., 57, 19–26
Mori K., Mushiake K. & Arimoto M. (1998). Control measures for viral nervous
necrosis in striped jack. Fish Pathol., 33, 443–444
Mori K., Nakai T., Muroga K., Arimoto M., Mushiake K. and I. Furusawa, 1992.
Properties of a new virus belonging to Nodaviridae found in larval striped
jack (Pseudocaranx dentex ) with nervous necrosis. Virology, 187:368-371.
Mori K., Sugaya T., Nishioca T., Gomez D.K., Fujinamy Y., Oka M., Arimoto M.,
Okinaka Y. & Nakai T. (2005). Detection of Betanodaviruses from feed fish
used in marine aquaculture. In: 12th International Conference Diseases of
Fish and Shellfish, European Association of Fish Pathologists.
Copenhagen (Denmark), 11–16 September 2005. Abstract O-142
Maeda M., Itami T., Mizuki E., Tanaka R., Yoshizu Y., Doi K., Yasunaga-Aoki C.,
Takahashi Y. & Kawarabata T. (2000). Red swamp crawfish (Procambarus
clarkii): an alternative experimental host in the study of white spot
Syndrome virus. Acta Virol., 44, 371–374.
Miyata M., Matsuno K., Jung S.J., Danayadol Y. & Miyazaki T. (1997). Genetic
similarity of iridoviruses from Japan and Thailand. J. Fish Dis., 20, 127–
134.
Momoyama K., Hiraoka M., Nakano H., Koube H., Inouye K. & Oseko N. (1994).
Mass mortalities of cultured Kuruma shrimp, Penaeus japonicus, in Japan
in 1993: Histopathological study. Fish Pathol., 29, 141–148.
125
Mulado. 2003. Seputar Teknologi rekayasa Genetika.Bogor : Pustaka Wirausaha
Muda dan USESE Fundation
Murali S., Wu M.F., Guo I.C, Chen S.C. Yang H.W & Chang C.Y. (2002). Molecular
characterization and pathogenicity of a grouper iridovirus (GIV) isolated
from yellow grouper, Epinephelus awoara (Temminck & Schlegel). J. Fish
Dis., 25, 91–100.
Mushiake K., Nishizawa T., Nakai T., Furusawa I. & Muroga K. (1994). Control of
VNN in striped jack: Selection of spawners based on the detection of
SJNNV gene by polymerase chain reaction (PCR). Fish Pathol., 29, 177–
182
Naim S, Brown JK, Nibert ML. 2014. Genetic diversification of penaeid shrimp
infectious myonecrosis virus between Indonesia and Brazil. Virus Research
189: 97-105.
Nakano H., Hiraoka M., Sameshima M., Kimura T. & Momoyama K. (1998).
Inactivation of penaeid rod-shaped DNA virus (PRDV), the causative agent
of penaeid acute viraemia (PAV), by chemical and physical treatments.
Fish Pathol., 33, 65–71.
Nakajima K., Maeno Y., Yokoyama K., Kaji C. & Manabe S. (1998). Antigen
analysis of red sea bream iridovirus and comparison with other fish
iridoviruses. Fish Pathol., 33, 73–78.
Nishizawa T., Furuhashi M., Nagai T., Nakai T. & Muroga K. (1997). Genomic
classification of fish nodaviruses by molecular phylogenetic analysis of the
coat protein gene. Appl. Environ. Microbiol., 63, 1633–1636
Nishizawa T., Iida H., Takano R., Isshiki T., Nakajima K. & Muroga K. (2002).
Genetic relatedness among Japanese, American and European isolates of
viral haemorrhagic septicaemia virus (VHSV) based on partial G and P
genes. Dis. Aquat. Org., 48, 143–148
Nishizawa T., Mori K., Nakai T., Furusawa I. & MUROGA K. (1994). Polymerase
chain reaction (PCR) amplification of RNA of striped jack nervous necrosis
virus (SJNNV). Dis. Aquat. Org., 18, 103–107
Nishizawa T., Muroga K. & Arimoto M. (1996). Failure of the polymerase chain
reaction (PCR) method to detect jack nervous necrosis virus (SJNNV) in
striped jack Pseudocaranx dentex selected as spawners. J. Aquat. Anim.
Health, 8, 332–334
Nishizawa T., Savas H., Isidan H., Üstündag C., Iwamoto H. & Yoshimizu M.
(2006). Genotyping and pathogenicity of viral hemorrhagic septicemia virus
126
from free-living turbot (Psetta maxima) in a Turkish coastal area of the
Black Sea. Appl. Environ. Microbiol., 72, 2373–2378
OIE. 2003. Manual for Diagnostic test Aquatic animals. Office International des
epizootis.Suyanto, Paris
Oseko N., Chuah T.T., Palamisamy V., Maeno Y. & Kurita J. (2004). Iridovirus
isolated from diseased sea bass Lates calcarifer and red drum Sciaenops
ocellatus causing mass mortality in Malaysia. In: 7th Asian Fisheries Forum
04 Abstracts, Penang, Malaysia, 127.
Olesen N.J. & Vestergård Jørgensen P.E. (1982). Can and do herons serve as
vectors for Egtved virus? Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol., 2, 48
Paperna I., Vilenkin M., & De Matos A.P.A. (2001). Iridovirus infections in farm-
reared tropical ornamental fish. Dis. Aquat. Org., 48, 17–25.
Parry L. & Dixon P.F. (1997). Stability of nine viral haemorrhagic septicaemia virus
(VHSV) isolates in seawater. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol., 17, 31–36
P. Joko Subagyo. 2011. Metode Penelitian dalm Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Qin Q.W., Lam T.J., Shen H., Chang S.F., Ngoh G.H. & Chen C.L. (2001). Electron
microscopic observations of a marine fish iridovirus isolated from brown-
spotted grouper, Epinephelus tauvina. J. Virol. Methods, 98, 17–24.
Rahajanto, D. 2006. Profil Stasiun Karantina Ikan Kelas I Tanjung Perak Surabaya.
Pusat Karantina Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Surabaya. 16
Hal.
Ross K., Mccarthy U., Huntly P.J., Wood B.P., Stuart D., Rough E.I., Smail D.A. &
Bruno D.W. (1994). An outbreak of viral haemorrhagic septicaemia (VHS)
in turbot (Scophthalmus maximus) in Scotland. Bull. Eur. Assoc. Fish
Pathol., 14, 213–214
127
Rufiati, Indah. 2008. Laporan Pratikum Manajemen Akuakultur Tawar.
Sanderson M.J., Ian S., Ian P. and Martin D.B. (2014). Fluorescence Microscopy.
Cold Spring Harb Protoc. doi: 10.1101/pdb.top071795
Sano M., Nakai T. & Fijan N. (2011). Viral diseases and agents of warmwater
fish.In: Fish Diseases and Disorders, Vol. 3: Viral, Bacterial and Fungal
Infections, 2nd edition. Woo P.T.K & Bruno D.W., eds. CABI, London, UK,
166–244
Saparinto, C. 2012. Panduan Lengkap Bisnis dan Budi Daya Lele Unggul.
Yogyakarta: Lily Publisher.
Sarig, S. (1971) Diseases of warm water fishes. TFH Publ., Neptune City, New
Jersey, USA.
Schlegel Hans G,. 1994. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Edisi
keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Schneemann A., Ball L.A., Delsert C., Johnson J.E. & Nishizawa T. (2005). Family
Nodaviridae.In: Virus Taxonomy, Eighth Report of the International
Committee on Taxonomy of Viruses. Fauquet C.M., Mayo M.A., Maniloff J.,
Desselberger U. & Ball L.A., eds. Elsevier Academic Press, London, UK,
865–872
Schlotfeldt H.-J., Ahne W., Jørgensen P.E.V. & Glende W. (1991). Occurrence of
viral haemorrhagic septicaemia in turbot (Scophthalmus maximus) – a
natural outbreak. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol., 11, 105– 107
Schlotfeldt H.J. & Ahne W. (1988). Epizootics in brown trout (Salmo trutta fario)
caused by VHSV-F1.J. Appl. Ichthyol., 4, 147–148
Schütze H., Mundt E. & Mettenleiter T.C. (1999). Complete genomic sequence of
viral hemorrhagic septicemia virus, a fish rhabdovirus. Virus Genes, 19,
59–65.
Shi C.Y., Wang Y.G, Yang S.L, Huang J. & Wang Q.Y. (2004). The first report of
an iridovirus-like agent infection in farmed turbot, Scophthalmus maximus,
in China. Aquaculture, 236, 11–25.
Skall H.F., Olesen N.J. & Mellergaard S. (2005). Prevalence of viral haemorrhagic
septicaemia virus in Danish marine fishes and its occurrence in new host
species. Dis. Aquat. Org., 66, 145–151
128
Smail D.A. (1999). Viral haemorrhagic septicaemia. In: Fish Diseases and
Disorders, Volume 3: Viral, Bacterial and Fungal Infections, Woo P.T.K. &
Bruno D.W., eds, 123–147
Snow M., Bain N., Black J., Taupin V., Cunningham C.O., King J.A., Skall H.F. &
Raynard R.S. (2004). Genetic population structure of marine viral
haemorrhagic septicaemia virus (VHSV). Dis. Aquat. Org., 61, 11–21
Snow M., Cunningham C.O., Melvin W.T. & Kurath G. (1999). Analysis of the
nucleoprotein gene identifies distinct lineages of viral haemorrhagic
septicaemia virus within the European marine environment. Virus Res., 63,
35–44
Song W.J., Qin Q.W., Qiu J., Huang C.H., Wang F. & Hew C.L. (2004). Functional
genomic analysis of Singapore grouper iridovirus: Complete sequence
determination and proteomic analysis. J. Virol., 78, 12576–12590.
Sudaryatma, P.E. dan N.N. Eriawati. 2012. Histopatologis Insang Ikan Hias Air
Laut yang Terinfestasi Dactylogyrus sp. Jurnal Sain Veteriner.
Sulandari, S dan M.S.A. Zein. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang
Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.hal 72-87 Suprapto. H dan Kartika. Y.
2012. Pemantauan Virus Dengan Metode Pcr (Polymerase Chain
Reaction).
Tan C., Huang B., Chang S.F., Ngoh G.H., Munday B.L., Chen S.C. & Kwang J.
(2001). Determination of the complete nucleotide sequence of RNA1 and
RNA2 from greasy grouper (Epinephelus tauvina) nervous necrosis virus,
Singapore strain. J. Gen. Virol., 82, 647–653
Takano R., Nishizawa T., Arimoto M. & Muroga K. (2000). Isolation of viral
haemorrhagic septicaemia virus (VHSV) from wild Japanese flounder,
Paralichthys olivaceus. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol., 20, 186–192
Thiéry R., Cozien J., De Boisseson C., Kerbart-Boscher S. & Nevarez L. (2004).
Genomic classification of new betanodavirus isolates by phylogenetic
analysis of the coat protein gene suggest a low host-fish species specificity.
J. Gen. Virol., 85, 3079–3087
129
Knebelsberger T., Isabella S., Katharina M. J., Michael S., Yasunori K. & Hiroshi
F. (2010). On the origin of Acochlidia and other enigmatic euthyneuran
gastropods, with implications for the systematics of Heterobranchia. BMC
Evolutionary Biology., 10:323
Traxler G.S., Kieser D. & Richard J. (1999). Mass mortality of pilchard and herring
associated with viral hemorrhagic septicemia virus in British Columbia,
Canada. Fish Health Sect. Am. Fish Soc. Newslett., 27, 3–4
Tsai M.F., Kou G.H., Liu H.C., Liu K.F., Chang C.F., Peng S.E., Hsu H.C., Wang
C.H. & Lo C.F. (1999). Longterm presence of white spot syndrome virus
(WSSV) in a cultivated shrimp population without disease Outbreaks. Dis.
Aquat. Org., 38, 107–114.
Tsofack, J. E. K., Zamostiano, R. Watted, S., Berkowitz, E., Mishra, N., Briese, T.,
Lipkin, W.I., Kabuusu, R.M., Ferguson, H., del Pozo, J., Eldar, A., and
Bacharach, E. (2016) Detection of Tilapia Lake Virus (TiLV) in Clinical
Samples by Culturing and Nested RT-PCR. J. Clin. Microbiol.
JCM.01808-16; Accepted manuscript posted online 14 December 2016,
doi:10.1128/JCM.01808-16
Vidal O.M., Granja C.B., Aranguren F., Brock J.A. & Salazar M. (2001). A profound
effect of hyperthermia on Survival of Litopenaeus vannamei juveniles
infected with white spot syndrome virus. J. World Aquaculture Soc., 32,
364–372.
Vijayan K.K., Stalin RAJ V., Balasubramanian C.P., Alavandi S.V., Thillai Sekhar
V. & Santiago T.C. (2005). Polychaete worms – a vector for white spot
syndrome virus (WSSV). Dis. Aquat. Org., 63, 107–111.
Vlak J.M., Bonami J.R., Flegel T.W., Kou G.H., Lightner D.V., Lo C.F., Loh P.C. &
Walker P.J. (2004). Nimaviridae. In C. M. Fauquet, M. A. Mayo, J. Maniloff,
U. Desselberger, and L. A. Ball (ed.), VIIIth Report of the International
Committee on Taxonomy of Viruses. Elsevier Academic Press, San Diago,
CA.
Venegas C.A., Nonaka L., Mushiake K., Shimizu K., Nishizawa T. & Muroga K.
(1999). Pathogenicity of penaeid Rod-shaped DNA virus (PRDV) to kuruma
prawn in different developmental stages. Fish Pathol., 34, 19–23.
Wolf K. (1988). Viral hemorrhagic septicemia. In: Fish Viruses and Fish Viral
Diseases. Cornell University Press, Ithaca, New York, USA, 217–249
Wongteerasupaya C., Vickers J.E., Sriurairatana S., Nash G.L., Akarajamorn A.,
Boonsaeng V., Panyim S., Tassanakajon A., Withyachumnarnkul B. &
Flegel T.W. (1995). A non-occluded, systemic baculovirus that Occurs in
cells of ectodermal and mesodermal origin and causes high mortality in the
black tiger prawn Penaeus monodon. Dis. Aquat. Org., 21, 69–77.
130
Widowati, E.W. 2013. Desain Primer Sitokrom B (cyt b) Sebagai Salah Satu
Komponen PCR (polymerase chain reaction) Untuk Deteksi DNA Babi.
Laporan Penelitian Individual. Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yan D.C., Dong S.L., Huang J., Yu X.M., Feng M.Y. & Liu X.Y. (2004). white spot
syndrome virus (WSSV) Detected by PCR in rotifers and rotifer resting eggs
from shrimp pond sediments. Dis. Aquat. Org., 59, 69–73.
Yuasa K., Isti Koesharyani & Ketut Mahardika (2007). Effect of high water
temperature on betanodavirus infection of fingerling humpback grouper
Cromileptes altivelis. Fish Pathol., 42, 219–221
131
Lampiran 2. Denah Instalasi KIPM Puspa Agro
132
133
Lampiran 3. Bagan struktur organisasi Balai Karantina Ikan, Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya II
Struktur Organisasi
Kepala
Bendahara Penerimaan
134
Lampiran 4. Bagan struktur organisasi Instalasi Karantina Ikan Puspa Agro
Struktur Organisasi
Penanggung Jawab
Instalasi KIPM
135
Lampiran 5. Jenis Sampel, Organ Target Dan Hasil Uji
Maret
Parameter
Tanggal Jenis Sampel Organ Target Uji Hasil Uji
21 Red Shrimp Kaki Renang, Ekor WSSV -
Red Shrimp Kaki Renang, Ekor WSSV -
a. Benur Windu (Zoea)3 Seluruh Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
b. Benur Windu (Mysis)I Seluruh Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
22 Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
a. Bandeng Mata & Otak VNN -
Bandeng Mata & Otak VNN -
a. Nila Ginjal TiLV -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
a. Benur Vannamei (Bak
9) Seluruh Tubuh IMNV -
EHP -
AHPND -
b. Benur Vannamei (Bak
10) Seluruh Tubuh IMNV -
EHP -
AHPND +
c. Benur Vannamei (Bak
11) Seluruh Tubuh IMNV -
EHP -
AHPND +
d. Benur Vannamei (Bak
12) Seluruh Tubuh IMNV -
EHP -
AHPND +
23 a. Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
b. Bandeng Mata, Otak VNN -
24 Crab Shell Crab Shell PNI (Ayam) -
PNI (Sapi) -
PNI (Babi) -
136
a. Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
b. Filet Nila Jaringan Otot VNN -
TiLV -
Horse Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
25 Fr. Japanese Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Spanish Mackarel Ginjal RSIVD -
Fr. Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Pasific Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Frozen Pasific Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
28 Fr. Skipjack Mata & Otak VNN -
Ginjal RSIVD -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang, Ekor WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang, Ekor WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang, Ekor WSSV -
a. Benur Vannamei (B 1) Tubuh IMNV -
Tubuh EHP -
Tubuh AHPND -
b. Benur Vannamei (B 2) Tubuh IMNV -
Tubuh EHP -
Tubuh AHPND -
c. Benur Vannamei (B 3) Tubuh IMNV -
Tubuh EHP -
Tubuh AHPND -
29 Nila Ginjal TiLV -
30 Yellowfin Ginjal VHSV -
Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
a. Nila Merah Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
137
b. Filet Nila Jar. Otot VNN -
TiLV -
31 a. Kerapu Mata & Otak VNN -
Ginjal RSIVD -
b. Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
Fr. Horse Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Tepung Ikan Tepung PNI (Ayam) -
PNI
(Kambing) -
PNI (Sapi) -
PNI (Babi) -
April
Parameter
Tanggal Jenis Sampel Organ Target Uji Hasil Uji
1 Fr. Pasific Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Pasific Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Pasific Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Japanese mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Japanese Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
B. Bandeng Mata & Otak VNN -
A. Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
C. Bandeng Mata & Otak VNN -
A. Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
B. Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
2 Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
Fish Meal Fish Meal PNI (Ayam) -
(Kambing) -
(Sapi) -
(Babi) -
Salmon Fish Oil Salmon Fish Oil IHNV -
VHSV -
138
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
Atlantic Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Udang Jaringan Otot WSSV +
TSV -
IMNV -
AHPND -
Nila Ginjal & Insang TiLV -
Artemia Cyste WSSV -
6 Pasific Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Nila Ginjal & Insang TiLV -
7 Nila Ginjal & Insang TiLV -
Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal & Insang TiLV -
R. Shrimp Argentina Kaki Renang & Ekor WSSV -
R. Shrimp Argentina Kaki Renang & Ekor WSSV -
R. Shrimp Argentina Kaki Renang & Ekor WSSV -
R. Shrimp Argentina Kaki Renang & Ekor WSSV -
R. Shrimp Argentina Kaki Renang & Ekor WSSV -
Mackarel Ginjal VHSV -
RSIVD -
Mackarel Ginjal VHSV -
RSIVD -
8 mackarel Ginjal VHSV -
RSIVD -
Mackarel Ginjal VHSV -
RSIVD -
Benur Vaname Tubuh Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
a. Bandeng Mata & Otak VNN -
b. Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
9 Benur Windu Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
Bandeng Jar. Otot & Ginjal PNI (Babi) -
139
12 Ekstraksi DNA. W1 Template DNA WSSV +
W2 WSSV +
AP1 AHPND +
AP2 AHPND +
AP3 AHPND -
AP4 AHPND +
Ekstraksi RNA IM1 Template RNA IMNV -
IM2 IMNV -
Ekstraksi DNA EHP1 Template DNA EHP +
EHP2 EHP +
13 Nila Ginjal TiLV -
a. Nila Ginjal TiLV -
Mata & Otak VNN -
b. Bandeng Mata & Otak VNN -
Nila Ginjal TiLV -
Mata & Otak VNN -
Yellow Fin Sole Ginjal VHSV -
Fish Oil Fish Oil IHNV -
VHSV -
14 a. Fiks. Ikan Nila Insang 01 TiLV -
b. Fiks Insang Ikan Mas Insang 02 KHV -
c. Fiks Insang Ikan Nila Insang 03 TiLV -
d. Fiks Insang Ikan Nila Insang 04 TiLV -
Insang & Pleopod
e. Fiks Kepala U. Vanamei 05 TSV -
YHV -
Insang, Pleopod &
f. Fiks U. Vanamei Ekor 06 TSV -
YHV -
g. Fiks Insang Ikan Nila Insang 07 TiLV -
h. Fiks Insang Ikan Nila Insang 08 TiLV -
i. Fiks Insang Ikan Nila Insang 09 TiLV -
Fiks. Insang Ikan Nila 10 Insang TiLV -
Fiks. Insang Ikan Nila 11 Insang TiLV -
Fiks. Insang Ikan Nila 12 Insang TiLV -
Insang & Kaki
Fiks. U. Vanamei 13 Renang WSSV -
Fiks. Insang Ikan Nila 14 Insang TiLV -
Fiks. Mata Kerapu 15 Mata VNN -
Fiks. Mata Kerapu 16 Mata VNN -
Fiks. Insang Ikan Nila 17 Insang TiLV -
Fiks. Insang Ikan Nila 18 Insang TiLV -
Insang & Kaki
Fiks. Udang Vanamei 19 Renang WSSV -
140
Insang & Kaki
Fiks. Udang Vanamei 20 Renang WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
15 Mackarel Insang RSIVD -
VHSV -
Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Ekstraksi U. Vanamei 1 Template CMNV -
Ekstraksi U. Vanamei 1 Template YHD -
Ekstraksi U. Vanamei 1 Template IMNV -
Ekstraksi U. Vanamei A Template IHHNV -
Ekstraksi U. Vanamei A Template TSV -
Ekstraksi U. Vanamei A Template EMS -
Ekstraksi U. Vanamei B Template EMS -
Ekstraksi U. Vanamei B Template CMNV -
Ekstraksi U. Vanamei B Template IMNV -
Ekstraksi Ikan Nila 3 Template TiLV -
Ekstraksi Ikan Koi 4 Template KHV -
Ekstraksi Ilan Nila 5 Template VNN -
16 Fr. Atlantic Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Atlantic Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
17 Nila Ginjal TiLV -
19 Air Tambak WSSV -
AHPND -
a. Udang Vanamei (B.10) Hepatopankreas EHP +
AHPND +
b. Udang Vanamei (B.11) Hepatopankreas EHP +
AHPND +
c. Udang Vanamei (B.12) Hepatopankreas EHP +
AHPND +
Salmon Oil Oil IHNV -
VHSV -
20 Chum Salmon Ginjal IHNV -
PNI
Crab Shell Crab Shell (Kambing) -
(Ayam) -
(Sapi) -
(Babi) -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
141
a. Ekstrak DNA Ekstrak DNA Megalo -
b. Ekstrak DNA Ekstrak DNA Megalo +
c. Ekstrak DNA Ekstrak DNA IHHNV +
EHP -
NHP -
DIV 1 -
d. Ekstrak RNA Ekstrak RNA YHV -
CMNV -
IMNV -
e. Ekstrak DNA Ekstrak DNA Megalo -
f. Ekstrak RNA Ekstrak RNA TiLV -
g. Ekstrak DNA Ekstrak DNA IHHNV -
EHP -
DIV 3 -
h. Ekstrak RNA Ekstrak RNA YHV -
CMNV -
i. Ekstrak RNA Ekstrak RNA TiLV -
VNN -
j. Ekstrak RNA Ekstrak RNA TiLV -
VNN -
k. Ekstrak DNA Ekstrak DNA AHPND -
l. Ekstrak DNA Ekstrak DNA AHPND -
m. Ekstrak RNA Ekstrak RNA SVCV -
n. Ekstrak RNA Ekstrak RNA SVCV -
a. Benur Windu (B1) Seluruh Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
b. Benur Windu (B15) Seluruh Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
21 Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Tepung Ikan Tepung Ikan PNI (Sapi) -
(Babi) -
Nila Mata, Otak, Ginjal VNN -
TiLV -
Salmon Fish Oil Salmon Fish Oil IHNV -
VHSV -
22 Japanese mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Nila Ginjal TiLV -
142
23 Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
25 Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
26 Atlantic Mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
a. Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
c. Bandeng Mata & Otak VNN -
a. Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
c. Bandeng Mata & Otak VNN -
Tuna Head Mata & Otak VNN -
RSIVD -
Mata, Otak, &
28 Nila Ginjal VNN -
TiLV -
mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Tepung Ikan Tepung Ikan PNI (Sapi) -
(Babi) -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
Fr. White Shrimp Head On
Shell On Kaki Renang WSSV -
Argentina Red Shrimp Kaki Renang WSSV -
29 Frozen mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. Alaska Pollock Ginjal VHSV -
30 Nila Mata, Otak & Ginjal TiLV -
VNN -
Mei
Parameter
Jenis Sampel Organ Target
Tanggal Uji Hasil Uji
10 Benur Windu Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
143
AHPND -
Salmon Fish Oil Oil IHNV -
VHSV -
Argentina Red Shrimp Kaki renang & Ekor WSSV -
11 a. Bandeng Mata & Otak VNN -
Mata, Otak, Insang
b. Nila & Ginjal VNN -
TiLV -
Nila Insang & Ginjal TiLV -
Mata, Otak, Insang
a. Nila & Ginjal VNN -
TiLV -
c. Bandeng Mata & Otak VNN -
Nila Mata & Otak VNN -
Insang & Ginjal TiLV -
Nila Mata & Otak VNN -
Insang & Ginjal TiLV -
a. Nila Mata & Otak VNN -
Insang & Ginjal TiLV -
c. Bandeng Mata & Otak VNN -
12 a. Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
b. Bandeng Mata & Otak VNN -
Salmon Fish Oil Oil IHNV -
VHSV -
13 Benur Windu Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
14 Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
Atlantic mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
16 Nila Ginjal TiLV -
17 Crude Salmon Oil Crude Salmon Oil IHNV -
VHSV -
Crude Salmon Oil Crude Salmon Oil IHNV -
VHSV -
18 a. Nila Ginjal & Insang TiLV -
Kepala Kerapu Mata & Otak VNN -
RSIVD -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
144
Pink Shrimp Jaringan Otot TSV -
AHPND -
19 Red Shrimp Kaki renang WSSV -
mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Crude Salmon Fish
Crude Salmon Fish Oil Oil IHNV -
VHSV -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
PNI
Fish Meal Fish Meal (Kambing) -
(Ayam) -
(Sapi) -
(Babi) -
mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
20 Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
21 Salmon Oil Oil VHSV -
IHNV -
Fr. mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Bandeng Mata & Otak VNN -
Fr. Antantic mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Fr. mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
23 Argentina Red Shrimp Kaki renang WSSV -
Atlantic mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
145
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
Udang Putih Jaringan Otot WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
24 mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Kerapu Mata, Otak & Ginjal VNN -
RSIVD -
25 Atlantic mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
26 Nila Ginjal TiLV -
a. Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
b. Bandeng Mata & Otak VNN -
mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Nila Ginjal TiLV -
Indian mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
27 Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
Alaska Pollock Ginjal VHSV -
28 Chum Salmon Jaringan Otot IHNV -
29 Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
30 Nila Mata, Otak & Ginjal VNN -
TiLV -
31 Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Salmon Oil Salmon Oil IHNV -
VHSV -
Nila Ginjal TiLV -
Mata, Otak, &
a. Nila Ginjal VNN -
TiLV -
146
b. Bandeng Mata & Otak VNN -
Insang, Hepato,
a. V. Vannamei B1 Kaki Renang WSSV +
AHPND +
b. V. Vannamei D3 Hepato AHPND +
Nila Ginjal TiLV -
Juni
Parameter Hasil
Jenis Sampel Organ Target
Tanggal Uji Uji
2 R. Shrimp Argentina Kaki Renang & Ekor WSSV -
Mata, Otak, &
3 Kerapu Ginjal VNN -
RSIVD -
4 Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Insang, & Kaki
Slipper Lobster Renang WSSV -
YHV -
a. Bandeng Mata & Otak VNN -
Mata, Otak, &
b. Nila Ginjal VNN -
TiLV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
7 Japanese mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Mata, Otak, &
Nila Ginjal VNN -
TiLV -
a. Benur Windu PL.3 Seluruh Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
b. Benur Windu M3 Seluruh Tubuh WSSV -
TSV -
IMNV -
AHPND -
Mata, Otak, &
Nila Ginjal VNN -
147
TiLV -
Crude Salmon Fish
Crude Salmon Fish Oil Oil IHNV -
VHSV -
Salmon Fish Oil Salmon Fish Oil IHNV -
VHSV -
Crude Salmon Fish
8 Crude Salmon Fish Oil Oil IHNV -
VHSV -
b. Bandeng Mata, Otak VNN -
Mata, Otak, &
c. Nila Ginjal VNN -
TiLV -
Tepung Ikan Tepung Ikan PNI (Sapi) -
(Babi) -
9 a. Japanese mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
a. Japanese mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Shrimp Wild Caught Raw Kaki Renang WSSV -
Salmon Oil Salmon Oil IHNV -
VHSV -
Benur Windu Seluruh Tubuh WSSV +
TSV -
IMNV -
AHPND -
11 Shrimp Kaki Renang & Ekor WSSV +
Shrimp Kaki Renang & Ekor WSSV +
Nila Mata, Otak VNN -
Ginjal TiLV -
a. Nila Mata & Otak VNN -
Ginjal TiLV -
b. Bandeng Mata & Otak VNN -
Yellowfin Sole Ginjal VHSV -
Fish Meal Tepung DNA Ayam -
DNA Babi -
DNA Sapi -
DNA Kambing -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
13 Kepala Kerapu Mata, Otak VNN -
Ginjal RSIVD -
Fish Meal Tepung DNA Ayam -
DNA Sapi -
148
DNA Babi -
DNA Kambing -
Tepung Ikan Tepung DNA Ayam -
DNA Babi -
DNA Sapi -
DNA Kambing -
Tepung Ikan Tepung DNA Ayam -
DNA Babi -
DNA Sapi -
DNA Kambing -
14 Skipjack Mata & Otak VNN -
Ginjal RSIVD -
a. Benur Windu (23 - Bak
3) Tubuh WSSV -
TSV -
b. Benur Windu (2M - Bak
1) Tubuh IMNV -
AHPND -
15 Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Udang Putih Kaki Renang & Usus WSSV +
TSV -
IMNV -
AHPND -
Mata, Otak, &
16 Nila Ginjal VNN -
TiLV -
Shrimp Wild Caught Kaki Renang WSSV -
mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
Pasific mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
17 Shrimp Raw Wild Caught Kaki Renang WSSV -
mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
18 mackarel Ginjal RSIVD -
VHSV -
149
KETERANGAN
VIRUS JUMLAH SAMPEL JUMLAH POSITIF
WSSV 52 8
RSIVD 74 0
VNN 84 0
VHSV 85 0
TiLV 84 0
150
1