Anda di halaman 1dari 3

NAMA : NABBILA AINA MASRUROH

PRODI : D4 AKUPUNKTUR

NIM : P27240022088

Tugas Resume Agama

1. Pengertian iman dan taqwa

Iman adalah kepercayaan yang dipercayai oleh seseorang yang berkenaan dengan
agama, keyakinan maupun kepercayaan kepada Tuhan, nabi, kitab dan sebagainya. Dalam
ajaran agama Islam, iman berarti kepercayaan, keyakinan kepada Allah, nabi-nabi-NYA serta
kitab yaitu Al-Quran dan lain sebagainya.

 Pengertian Iman secara Bahasa dan Istilah

Menurut bahasa Arab, kata iman berakar pada kata amana – yu;minu – imana yang
secara harfiah atau etimologis dapat diartikan sebagai percaya dan yakin. Secara bahasa, iman
dapat diartikan sebagai tashdiq atau membenarkan yang maknanya hampir sama secara
istilah.

Secara istilah, menurut buku Ensiklopedi iman yang ditulis oleh Syaikh Abdul Majid
Az-Zandani, iman dapat diartikan sesuai dengan makna linguistiknya yaitu tashdiq atau
mempercayai. Iman secara istilah, maknawi atau terminologis merupakan percaya dengan
yakin akan keberadaan Allah, Malaikat Allah, Kitab-kitab – NYA, para Rasul – NYA,
akhirat, hingga qadha dan qadar yang telah terangkum dalam rukun iman menurut ajaran
agama Islam.

 Pengertian Takwa Menurut Bahasa dan Istilah

Menurut bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari
siksaan Allah SWT, yaitu dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).

Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara, yakni
menjaga diri agar selamat dunia dan akhirat. Kata Waqa juga bermakna melindungi sesuatu,
yakni melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.

Pengertian takwa menurut istilah kita dapatkan di banyak literatur, termasuk Al-
Quran, Hadits, dan pendapat sahabat serta para ulama. Semua pengertian takwa itu mengarah
pada satu konsep: yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi larangannya, dan
menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau murka Allah SWT.
2. Argumentasi tentang cara manusia meyakini dan mengimani Tuhan

Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam
rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain,
maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang.
Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidakbenaran ini
akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, serta qada dan qadar-Nya. Dan pada akhirnya
akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai
cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut
mengaku beragama Islam.

Ada dua cara beriman kepada Allah SWT:

1. Bersifat Ijmali

Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita
mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur'an sebagai sumber
ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT.
Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha
Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.

2. Bersifat Tafshili

Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah
mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT
memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah
adanya "Asmaul Husna" yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta
menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung di
dalamnya. Selain itu kita juga harus menaati semua perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya.

3. Hubungan antara iman dan taqwa

Iman dan taqwa adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Iman merupakan
kendaraan bagi seseorang untuk mencapai taqwa. Tanpa iman tak mungkin seseorang akan
mencapai taqwa. Taqwa adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan segala perintah
Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya. Bagaimana mungkin perintah dan larangan Tuhan
akan dijalankan sementara ia tak memiliki iman. Oleh karena itulah, inti iman pada dasarnya
bukan saja terletak di lisan dan diyakini di hati saja, melainkan di implementasikan dalam
perbuatan.

4. Esensi dan urgensi Visi Illahi untuk membangun dunia yang damai

Agar manusia dapat membangun kehidupan yang damai, aman, penuh kasih, dan
sejahtera, maka dibutuhkan pemaknaan tentang kesejatian hidup dan kehidupan yang lebih
holistik, komprehensif, dan empatik. Ketiga hal itu tidak akan mungkin dicapai kecuali oleh
mereka yang memiliki kesadaran dan kecerdasan spiritual, karena kesadaran ini merupakan
visi Ilahi yang dikaruniakan kepada orang-orang pilihan-Nya. Dalam bahasan kali ini,
kita akan membahas cara manusia dalam membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan
sehingga manusia dapat menggapai visi Ilahi dalam membangun kehidupannya.

Dalam perspektif Islam, manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna.


Kesempurnaan manusia ditandai dengan kesiapannya untuk berbakti kepada Tuhan. Ketika
manusia masih menjaga dan memelihara fithrah-nya itu, manusia hidup dekat dengan Tuhan.
Dengan kata lain, manusia lebih bisa mendengar dan mengikuti tuntunan hati nurani, karena
nuansa spiritualitasnya begitu maksimal. Namun, karena godaan materi, yang dalam kisah
Adam disimbolkan dengan syajarah al-khuldi (pohon keabadian), maka manusia sedikit demi
sedikit mulai kehilangan nuansa spiritual dan kehilangan superioritas roh sebagai penggerak
kehidupan manusia dalam koridor visi Ilahi.

Dalam perspektif tasawuf, kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh dari Tuhan


(diibaratkan dalam kisah Adam sebagai ketergelinciran manusia dari Surga yang luhur dan
suci ke dunia yang rendah dan penuh problematika). Ketika manusia makin jauh dari Tuhan,
maka ia semakin jauh dari kebenaran dan kebaikan Tuhan.

Manusia adalah makhluk yang menyimpan kontradiksi di dalam dirinya. Di satu sisi,
manusia adalah makhluk spiritual yang cenderung kepada kebajikan dan
kebenaran. Namun di sisi lain, keberadaan unsur materi dan ragawi dalam dirinya memaksan
ya untuk tunduk pada tuntutan kesenangan jasmaniah. Sering kali terjadi konflik internal
dalam diri manusia, antara dorongan spiritual dan material sehingga dalam khazanah Islam
dikenal paling tidak ada tiga tipologi jiwa manusia, yaitu: an-nafs al-ammārah bissū` (jiwa
yang selalu tergerak melakukan keburukan), an-nafs allawwāmah (jiwa yang selalu mencela
diri), dan an-nafs almuthma`innah (jiwa yang tenang).

Agar manusia dapat tetap konsisten dalam kebaikan dan kebenaran Tuhan, maka
manusia dituntut untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan. Manusia tidak akan
mampu membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan apabila hidupnya lebih didominasi
oleh kepentingan ragawi dan bendawi. Oleh karena itu, sisi spiritualitas harus memainkan
peran utama dalam kehidupan manusia sehingga ia mampu merasakan kehadiran Tuhan
dalam setiap gerak dan sikapnya. Apabila manusia telah mampu mengasah spiritualitasnya
sehingga ia dapat merasakan kehadiran Tuhan, maka ia akan dapat melihat segala sesuatu
dengan visi Tuhan (Ilahi).

Visi Ilahi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh umat manusia sehingga setiap tindak
tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan kepada Tuhan
sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta pelayanan kepada sesama
ciptaan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai