Idoc - Pub - General Anestesi Pada Struma Nodusa Non Toksis Asa I
Idoc - Pub - General Anestesi Pada Struma Nodusa Non Toksis Asa I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. YS
Umur : 24 tahun
Alamat : Metro
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Masuk : 18 Juni 2014
1
Riwayat Sosio Ekonomi :
Pasien seorang ibu tumah tangga dengan dua orang anak.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- GCS : E4V5 M6 = 15
- Vital sign
Tekanan darah : 110/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8 o C
- Gizi : Baik
- BB/TB : 50 kg/155 cm
Status Generalis
- Kepala
Rambut : Hitam, rambut sulit dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), palpebra
edema (-/-)
Telinga : Simetris, serumen (-/-), othorea (-/-)
Hidung : Septum tidak deviasi, sekret (-/-), pernafasan cuping
hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Airway : Jalan nafas bersih (+), Mallampati I, Tiromental distance
> 6cm, buka mulut >3 jari, gigi palsu (-)
- Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : ditemukan pembesaran pada lobus dextra dengan
bentuk irreguler, ukuran diameter 3 cm, konsistensi
kenyal, ikut bergerak saat menelan.
2
JVP : 5 cm H20
Trakhea : di tengah
- Toraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil hemitoraks kanan = hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
- Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Extremitas
Superior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baik
Inferior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baik.
D. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
- Leukosit : 6.200/ul
- Eritrosit : 4.530.000/ul
- Hemoglobin : 12,7g/dL
- Hematokrit : 38,7%
- CT/BT : 13'/3'
- GDS : 98 mg/dL
3
- SGOT/SGPT : 25 U/l / 30 U/l
- Ureum : 18 mg/dl
- Kreatinin : 0,67 mg/dl
Hormon
- T3 total : 0,6 ng/ml
- T4 total : 8,6 ug/dl
- TSH : uIU/ml
EKG : dalam batas normal
Patologi Anatomi : FNAB (tanggal : 10 Juni 2014)
- Makroskopis : Benjolan leher depan diameter 2 cm kistik
- Mikroskopis : Sediaan sitologi tumor leher depan mengandung
kelompokkan sel epitel folikel dan koloid cair
- Kesimpulan : Struma adenomatosa (benign thyroid lesion)
E. Assesment
Diagnosis : Struma Nodosa Non Toksik
F. Planning
Dilakukan pembedahan pada struma (strumektomi)
Persiapan : Puasa 8 jam pre op
IVFD RL 30 tetes/menit
ASA I
Teknik Anestesi : General anestesi (Intubasi)
Premedikasi : Sulfas Atropin 0,25 mg
Fentanyl 50 ug
Induksi : Propofol 120 mg
Pemeliharaan : O2 2,5 l/m + N2O 2,5 l/m + Sevofluran 2 vol%
Pasca Anestesi Umum
- Aldrete Score : Aktivitas : Gerakan 4 ekstremitas (2)
Respirasi : Nafas dalam/batuk (2)
Sirkulasi : Tekanan darah + 20 % pre op
Kesadaran : Sadar penuh (2)
Warna kulit : Merah muda, SaO2 + 95% (2)
- Instruksi Pasca operasi : Posisi : Supine, kepala ekstensi
4
Infus : RL 20 tetes/menit
Pengawasan : tekanan darah, nadi, respirasi
Analgetik : Ketorolac IV
Diet : puasa s.d bising usus normal
Lain-lain : awasi perdarahan
G. Follow Up
Tanggal/Waktu Subjective Objective Assesment Planning
19 Juni 2014/ Benjolan dileher A : clear SNNT Strumektomi dextra
08.00 WIB kanan sejak 2 B : vesikuler ASA I General Anestesi
(Pre op) tahun SMRS, (+/+), 20x/m (Intubasi)
nyeri (-), deman C : TD : 110/80
(-) mmHg, nadi : 80
R/ hipertensi (-), x/m, BJ I/II
DM (-), asma (-), reguler
hemofili (-), D : GCS:
anestesi E4M6V5
sebelumnya (-) Kesadaran :
kompos mentis
19 Juni 2014/ TD: 120/90 Guyur IVFD RL 500 cc
10.00 WIB mmHg dilanjutkan dengan IVFD
Nadi : 80 x/m RL 500 cc 20 tetes/menit
RR : 20 x/m Premedikasi : Sulfas
Atropin 0,25 mg
Fentanyl 50 ug
Induksi : Propofol 120 mg
Intubasi dengan ETT no
6.5
19 Juni 2014/ Dilakukan Pemeliharaan : O2 2,5 l/m
10.05 WIB - monitoring + N2O 2,5 l/m +
11.00 tanda-tanda vital Sevofluran 2 vol%
tiap 5 menit Obat :
Ketorolac 30 mg
5
Tramadol
Sulfas atropin 0,25 mg +
neostigmin 0,5 mg
19 Juni 2014 Aldrete Score Pindah Ruangan
11.00 WIB 10
(Post Op)
20 Juni 2014 Nyeri di bagian TD : 130/80 Post op. - IVFD RL + Ketorolac
leher (bekas mmHg strumektom 30 mg 20 tetes/menit
operasi) Nadi : 80 x/m i dextra - Ceftriaxon 2x1 gram IV
RR : 20 x/m - Ranitidin 2x50 mg IV
T : 36,7oC
21 Juni 2014 Nyeri di bagian TD : 120/70 Post op. - IVFD RL + Ketorolac
leher (bekas mmHg strumektom 30 mg 20 tetes/menit
operasi) Nadi : 76 x/m i dextra - Ceftriaxon 2x1 gram IV
RR : 20 x/m - Ranitidin 2x50 mg IV
T : 36,6oC
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah pegunungan karena
defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah dengan substitusi iodium. Di luar daerah
endemik, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya
umumnya multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yang
terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma
multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme
atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi
multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.
Karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa gangguan.
Definisi
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap membesar bila
kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari
tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi
sistem vena serta pembentukan vena kolateral. Pada struma gondok endemik, Perez membagi
klasifikasi menjadi:
• Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
• Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
• Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
• Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
7
• Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
• Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala ditegakkan.
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon tiroksin, maka bisa
dibagi menjadi:
- Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada penderita
ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin berlebihan.
- Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
- Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
- Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi:
- nodul dingin (cold nodule)
- nodul hangat (warm nodule)
- nodul panas (hot nodule)
Berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi:
- nodul lunak
- nodul kistik
- nodul keras
8
- nodul sangat keras
Etiologi
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak diketahui, namun
sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala tiroiditis ringan; oleh karena itu, diduga
tiroiditis ini menyebabkan hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan
sekresi TSH (thyroid stimulating hormone) dan pertumbuhan yang progresif dari bagian
kelenjar yang tidak meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa kelenjar ini
biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun bagian yang lain rusak
akibat tiroiditis.
Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar tiroidnya timbul kelainan
pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk pembentukan hormon tiroid. Di antara kelainan-
kelainan yang dapat dijumpai adalah:
1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium dipompakan ke dalam sel
jumlahnya tidak adekuat.
2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi menjadi iodium.
3. Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul tiroglobulin, sehingga
bentuk akhir dari hormon tiroid tidak terbentuk.
4. Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari tirosin teriodinasi,
yang tidak mengalami penggandengan untuk membentuk hormon tiroid, sehingga
menyebabkan defisiensi iodium.
Akhirnya, ada beberapa makanan yang mengandung substansi goitrogenik yakni makanan
yang mengandung sejenis propiltiourasil yang mempunyai aktifitas antitiroid sehingga juga
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid akibat rangsangan TSH. Beberapa bahan
goitrogenik ditemukan pada beberapa varietas lobak dan kubis.
Diagnosis
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma
9
dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.
Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra
lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi
dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk
menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala penderita sedikit fleksi
sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan tiroid lebih mudah
dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di
tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta
mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea dan pole
bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan yang lunak dan ikut
bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan
susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan
yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita),
maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu
dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan diletakkan di permukaan
anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
- lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
- ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea
- pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak2.
10
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid jinak
dan nodul ganas yang memiliki karakteristik:
Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodull dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalamii degenerasi kistik dan kemudian
menjadi lunak.
Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama.
Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan, walaupun nodul
ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis dan
enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda infiltrasi atau metastase ke jaringan
sekitar.
20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas, tetapi
nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas terutama yang
tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif.
Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
atau perubahan suara menjadi serak.
Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido mastoidea
karena desakan pembesaran nodul (Berry’s sign)
11
- nodul >4cm atau sebagian kistik
- keluhan penekana termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.
Nodul jinak
- riwayat keluarga: nodul jinak
- struma difusa atau multinodosa
- besarnya tetap
- FNAB: jinak
- kista simpleks
- nodul hangat atau panas
- mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.
Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit tiroid terbagi atas:
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay
(RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma
darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu
untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau
0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di
mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali
normal.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga,
foto rontgen leher [posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas
12
sehubungan dengan intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik
tersebut sampai memelukan CT-scan leher.
USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
- Dapat menentukan jumlah nodul
- Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
- Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
- Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap
iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
- Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dilakukan, pemeriksaan
USG sangat membantu mengetahui adanya pembesaran tiroid.
- Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah
- Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
13
Tiroiditis subakut
Tiroiditis Hashimoto
Curiga (indeterminate)
Neoplasma sel folikuler
Neoplasma Hurthle
Temuan kecurigaan keganasan tai tidak pasti
Ganas (positif)
Karsinoma tiroid papiler
Karsinoma tiroid meduler
Karsinoma tiroid anaplastik.
Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi diperlukan
untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan.
Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis
untuk memastika n proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari
nodul tiroid dengan parafin block.
Penanganan
Pilihan terapi nodul tiroid:
- Terapi supresi dengan hormon levotirosin
- Pembedahan
- Iodium radioaktif
- Suntikan etanol
- US Guided Laser Therapy
- Observasi, bila yakin nodul tidak ganas.
Indikasi operasi pada struma adalah:
- struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
- struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
- struma dengan gangguan tekanan
- kosmetik.
Kontraindikassi operasi pada struma:
- struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
14
- struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum
terkontrol
- struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan
jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
- struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase
luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila
dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.
B. General Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr
pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan
dari pasien.
15
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-crystal
Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi molekul –
molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi
dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya
menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak
vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang.
Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat
fisik obat itu sendiri.
16
sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah,
obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena
dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan anestesi
telah dilakukan dengan sebaik – baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan
anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul pada waktu
pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa
hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari
sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode
induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan
miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak
tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar ,
hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.
17
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena
ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE 5
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi anestesia dengan
tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, menghilangkan rasa
khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan mencegah muntah, menekan
refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi saliva dan saluran napas. Obat –
obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
- Gol. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan
muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah 10 – 15 menit.
- Gol. Hipnotik – sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital). Diberikan untuk sedasi dan mengurangi
kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis
dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak 3 – 5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah
masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap
pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.
- Gol. Analgetik narkotik
18
Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang operasi.
Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian penggunaan morfin ialah pulih
pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada pasien asma, mual dan muntah
pasca bedah ada.
Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Pethidin juga berguna
mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.
- Gol. Transquilizer 6
Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian dosis rendah
bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 0,2
mg/kgBB IM.
19
- Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah.
- Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya
tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.
20
Prosedur :
- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi) 8
- Premedikasi + / -
sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
- Induksi
- Pemeliharaan
Teknik Intubasi
- Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
- Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
- Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
21
- Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi → mulut membuka
- Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
- Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat
epiglotis ( pada bilah lurus )
- Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
- Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
- Masukan ET melalui rima glottis Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan
atau alat bantu napas ( alat resusitasi )
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :
22
- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
23
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air menjadi
larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi anestesi
umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang.
Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan napas. Dosis
5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
2. Anestetik inhalasi
a) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam bentuk
cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar ± 50
atmosfir. N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O
dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% . gas ini sering digunakan pada
partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit
hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi
untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara
intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan
Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam
kombinasi dengan zat lain
b) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan tidak
mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi dengan
perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut
dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian
obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic halotan
lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman
waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4
volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c) Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi mirip
dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam sehingga
membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena penderita
menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium
24
induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O
dan O2. isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul
aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap
ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan
pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1
mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan
volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam
dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran.
Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal
Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan intracranial.
d) Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk
induksi inhalasi.
25
- Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
- Tidak berespons, 0
Aktivitas
- Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
- Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
- Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
26
BAB III
ANALISA KASUS
1. Apakah pemilihan general anestesi dengan teknik intubasi pada pembedahan struma
sudah tepat?
Sudah tepat, karena general anestesi bertujuan agar pasien tidak sadar, merasa rileks,
nyaman, tidak merasakan nyeri saat pembedahan berlangsung. Pembedahan struma
dilakukan di bagian leher dan menghabiskan waktu yang cukup lama, sehingga
diperkirakan akan ada kesulian untuk mempertahankan airway pasien. Untuk itu dipilih
general anestesi dengan teknik intubasi.
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube)
kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway
(operasi di bagian leher dan kepala).
2. Apakah persiapan operasi yang dilakukan pada pasien ini sudah tepat?
Sudah tepat. Pada pasien ini dilakukan kunjungan pre operatif (anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang), dilakukan penilaian kebugaran fisik pasien
serta edukasi puasa 8 jam sebelum operasi untuk mencegah terjadinya regurgitasi isi
lambung.
Persiapan operasi dimulai saat kunjungan pre operatif. Tunjuannya untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Tindakan yang dilakukan saat kunjungan pre operatif meliputi anamnesis
(apakah pasien pernah di anastesi sebelumnya, alergi, penyakit seperti hipertensi,
diabetes mellitus, asma, hemofili, kebiasaan seperti merokok, minum alkohol dan
sebagainya), pemeriksaan fisik (penggunaan gigi palsu, pemeriksaan mulut, lidah,
hidung atau hal lain yang penting untuk mengetahui apakah ada hal yang menyulitkan
proses intubasi), pemeriksaan penunjang (laboratorium, rontgen, ekg). Selain itu perlu
juga menilai kebugaran fisik pasien dengan mengklasifikasikan pasien dalam status yang
dibuat oleh ASA.
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam saluran nafas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
27
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman
bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat, air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
3. Apakah premedikasi, induksi dan rumatan anestesi yang dilakukan pada pasien ini sudah
tepat?
Sudah tepat.
Pada pasien ini dilakukan premedikasi dengan :
- Sulfas atropin 0,25 mg
Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan muntah,
melemaskan tonus otot polos organ – organ dan menurunkan spasme gastrointestinal.
- Fentanyl 50 ug
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgetik cukup.
4. Apakah monitoring yang dilakukan pada pasien selama operasi sudah tepat?
28
Kurang tepat. Pada pasien ini dilakukan monitoring pada sistem kardiovaskuler,
respirasi, blokade neuromuskular, dan sistem saraf, namun tidak dilakukan monitoring
pada sistem ginjal. Monitoring ginjal bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau
distensi vesika urinaria padan pembedahan yang berlangsung lama.
Anestesia bertujuan menghasilkan blokade terhadap rangsang nyeri, blokade terhadap
memori atau kesadaran dan blokade terhadap otot lurik. Untuk meniadakan atau
mengurangi efek samping dari obat atau tindakan anestesia diperlukan monitoring untuk
mengetahui apakah ketiga hal diatas cukup adekuat, kelebihan dosis atau malah perlu
ditambah.
Pasien meninggal dunia bukan karena kelebihan dosis analgetik atau relaksan, tetapi
karena gangguan pada jantungnya, kekurangan oksiden pada otaknya, adanya
perdarahan, transfusi dengan darah yang salah, hipoventilasi dan sebagainya.
Tujuan monitoring untuk membantu anestetis mendapatkan informasi fungsi organ
vital selama peri anestesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara
elektronik membantu anestetis mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus.
Monitoring kardiovaskular
- nadi
- tekanan darah
- banyaknya perdarahan
Monitoring respirasi
- tanpa alat (gerakan dada-perut, warna mukosa bibir, kuku, ujung jari)
- stetoskop (dengar suara nafas)
- Oksimetri denyut
- Kapnometri
Monitoring suhu badan (pembedahan yang lama pada bayi dan anak)
Monitoring ginjal (0,5-1 ml/kgBB/jam)
Monitoring blokade neuromuskular (relaksasi-kontraksi tonus otot)
Monitoring sistem saraf
5. Apakah instruksi yang dilakukan pada pasien post general anestesi ini sudah tepat?
Sudah tepat.
Pada pasien ini diberikan instruksi :
Posisi: Supine, kepala ekstensi. Untuk mempertahankan airway
29
Infus : RL 20 tetes/menit. Untuk mencukupi kebutuhan cairan tubuh (50ml.kgBB/hari)
Pengawasan : tekanan darah, nadi, respirasi. Untuk mengantisipasi kemungkinan
gangguan pada organ-organ vital
Analgetik : Ketorolac IV. untuk mengatasi nyeri post operatif
Diet : puasa s.d bising usus normal, diet bertahap. Menghindari komplikasi pada saluran
cerna
Lain-lain : awasi perdarahan. Mencegah komplikasi post operatif.
30
DAFTAR PUSTAKA
Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi FK
UI. Jakarta
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC; 2007.
Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009.
Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc, 1995.
31