Abstrak
Struktur tanah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kestabilan tanah. Dalam beberapa
kasus, rendahnya kestabilan tanah dapat mengarah pada kegagalan struktur. Metode alternatif
dalam penguatan struktur tanah ialah biogrouting atau biosementasi yakni penguatan struktur
tanah dengan bantuan mikroba. Bakteri yang berperan dalam proses ini menghasilkan enzim urease
yang berfungsi memecah urea menjadi karbonat dan mengendapkan kalsium menjadi kalsium
karbonat. Untuk menunjang penelitian mengenaibiogrouting ini maka dibutuhkan informasi
mengenai karakteristik tanah, maka dariitu dilakukan beberapa pengujian untuk mengetahui
karakteristik sifat tanah tersebut. Penelitian dilakukan melalui tahapan preparasi sampel tanah, uji
pH tanah, dan pengukuran kadar karbonat dalam tanah.Preparasi sampel dilakukan dengan proses
homogenisasi. Kemudian dilakukan uji pH tanah pada dua pelarut yaitu perendaman aqudes dan
KCl 1 M. Tahap akhir dilakukan pengukuran kadar karbonat dengan metode titrimetri (titrasi asam-
basa). Tanah yang digunakan terdiri dari 4 jenis yaitu tanah teras, tanah pasir, tanah kapur, dan
tanah latosol. Hasil uji pH (pelarutan akuades) pada tanah teras, tanah pasir, tanah kapur, dan
tanah latosol secara berurutan ialah 6,35; 6,38; 7,96; dan 5,35. Berdasarkan hasil pengukuran pH
pada masing-masing sampel tanah dapat diketahui bahwa karbonat hanya terkandung pada sampel
tanah kapur karena memiliki pH sebesar 7,96-8,95. Hasil uji kadar karbonat pada tanah kapur
diketahui sebesar 11, 41%. Semakin tinggi kandungan karbonat dalam tanah maka proses
biogrouting semakin baik. Hal ini sesuai dengan karakteristik karbonat pada tingkat mikroskopik
ialah perekat butir, cappings, dan Pedofeatures coating lain.
1. PENDAHULUAN
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan
lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibatnya Indonesia rawan terhadap bencana letusan
gunungapi dan gempabumi. Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan
gunungapi. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur.Tanah
pelapukan yang berada di atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga
terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika
perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana
tanah longsor. Longsoran didefinsikan sebagai proses yang menghasilkan pergerakan kebawah maupun
kesamping dari lereng alam maupun buatan yang memiliki kandungan material tanah, batu, tanah timbunan
buatan atau gabungan dari tanah dan batu. Secara teknis dapat dikatakan longsoran terjadi jika kondisi lereng
yang stabil berubah menjadi tidak stabil. Ketidak stabilan terjadi karena gaya pendorong pada lereng lebih besar
dari gaya penahan. Gaya pendorong diakibatkan oleh oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban yang
membebani tanah diatasnya serta berat jenis tanah batuan. Sedangkan penyebab gaya penahan adalah kekuatan
batuan dan kepadatan tanah (Ilyas, 2011).
Struktur tanah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kestabilan tanah. Dalam beberapa kasus,
rendahnya kestabilan tanah dapat mengarah pada kegagalan struktur. Metode konvensional yang biasa dilakukan
dalam upaya perbaikan struktur tanah adalah dengan grouting. Grouting adalah salah satu metode perbaikan
struktur tanah yang dilakukan dengan cara menginjeksikan cairan bertekanan tinggi yang terdiri dari campuran
semen dan bahan kimia ke dalam tanah sehingga kestabilan tanah dapat terjaga. Namun metode ini memiliki
beberapa kekurangan salah satunya ialah tidak ramah lingkungan. Maka dari itu ilmuwan-ilmuwan
mengembangkan metode alternatif lain yaitu penguatan struktur tanah dengan bantuan mikroba yang dinamakan
biogrouting atau biosementasi. Bakteri yang berperan dalam proses ini menghasilkan enzim urease yang
berfungsi memecah urea menjadi karbonat dan mengendapkan kalsium menjadi kalsium karbonat. Aplikasi
182
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018
bakteri laut sebagai material grout telah banyak dilakukan. Keterbatasan faktor abiotik, seperti pH dan suhu
menyebabkan kurang optimalnya proses biogrouting (Ainiyah dkk, 2014).
Karbonat dalam tanah dilarutkan oleh air, mengubahnya menjadi bikarbonat yang akan terbawa larut
dalam tanah dan kemudian diendapkan, menghasilkan penimbunan karbonat. Hal ini biasanya terkandung dari
kalsit. Translokasi karbonat dikendalikan oleh kesetimbangan reaksi antara karbonat (mengendap) dan
bikarbonat (larut) menurut rumus berikut ini (Dorronsoro et.all, 2006):
dekarbonatisasi --------------------------------------------->
<------------------------------------------------ karbonatisasi
Parameter-parameter yang mempengaruhi reaksi tersebut ialah air, CO2, pH, temperatur, dan garam-garam. Pada
tingkat mikroskopik beberapa karakteristik karbonat antara lain:
Perekat butir: sebagai hasil pemekatan, larutan tanah meningkat konsentrasinya dalam menics antara
butir, dan karbonat mengendap membentuk perekat
Cappings : membentuk capping merupakan coating di atas butir atau agregat
Pedofeatures coating lain : dalam beberapa kasus kehadiran karbonat menutup pedofeatures yang lain
(misal, coating lempung)
Berdasarkanuraian di atasmakapentingdilakukannyapenelitianuntukmengetahuikarakteristiktanah guna
meningkatkan proses biogroutingmelaluibeberapapengujian. Salah satu kandungan tanah yang mempengaruhi
proses biogrouting yaitu kadar karbonat. Semakin tinggi kadar karbonat dalam tanah maka proses biogrouting
akan semakin efektif.
1.2 Biogrouting
Untuk mencegah dan mengatasi beberapa bencana alam di Indonesia, maka dapat dilakukan teknik
biogrouting untuk menguatkan struktur tanah. Menurut Dwiyanto (2005), grouting adalah penyuntikan bahan
semi kental (slurry material) ke dalam tanah atau batuan melalui lubang bor dengan tujuan menutup
diskonstruksi terbuka, rongga-rongga dan lubang pada lapisan yang dituju untuk meningkatkan kekuatan tanah.
183
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018
Secarasingkatnya, proses reaksi presipitasi kalsium karbonat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
Molekul-molekul kimia ini akan berdifusi menembus dinding sel bakteri yang bermuatan positif dan memasuki
solusi (cairan kental) di sekeliling bakteri. Selanjutnya, reaksi yang spontan akan terjadi dengan adanya air,
yaitu ammonia yang dikoneversi menjadi ammonium (NH4+) dan karbon dioksida akan menyeimbangkan reaksi
kimia menjadi asam karbonat, ion karbonat dan ion bikarbonat, sesuai dengan pH lingkungannya. Kenaikan pH
lingkungan disebabka nkarena ion hidroksil (OH-) yang terbentuk dari produksi NH4+ yang melebihi
ketersediaan Ca2+ di solusi (cairan kental) untuk presipitasi kalsit (CaCO3). Sel bakteri yang bermuatan negative
akan tertarik menuju permukaan partikel tanah karena konsentrasi nutrient yang lebih tinggi pada permukaan
sel. Selain juga karena karakteristik fisiko kimia dari sel bakteri maupun partikel tanah itu sendiri (Tronics,
2011).
Di sisi lain, berbagai mineral termasuk kalsium karbonat, kalsium fosfat, kalsium oksalat, silikat, dan
oksida besi diendapkan di alam oleh organisme hidup (Mann, 1993). Biomineral ini mempunyai potensi untuk
dijadikan bahan rekayasa karena memberikan kekuatan yang memadai dan dampak pencemaran lingkungan
yang rendah. Untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan dan biaya di masa depan, metode grout baru
yang memanfaatkan kalsium karbonat yang diendapkan oleh sel bakteri telah diteliti baru-baru ini. Hal semacam
ini disebut "biogrout," produk biomineralisasi yang memiliki potensi untuk menjadi bahan grout alternatif yang
lebih baik. Bahan grout harus memiliki perilaku self-leveling selain kekuatan tekan yang tinggi dan penyusutan
rendah, mudah disuntikkan, dan memiliki daya tahan yang baik (Bras, dkk., 2013), hal inidapat diwujudkan
dengan biogrouting. Teknologi biogrouting mirip dengan grouting kimia di mana kedalaman penetrasi
tergantung pada ukuran bakteri yang digunakan, di samping kondisi optimal untuk aktivitas bakteri seperti pH,
salinitas, potensi oksidasi-reduksi, konsentrasi nutrisi, dan kandungan air (Achal, dkk., 2009).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di (Balitan, 2005) melalui tahapan preparasi sampel tanah, uji pH tanah, dan
pengukuran kadar karbonat dalam tanah tersebut. Tanah yang digunakan terdiri dari 4 jenis yaitu tanah
terasering, tanah pasir, tanah kapur, dan tanah latosol. Preparasi sampel diawali dengan pensortiran,
pengayakan, dan pengeringan. Kemudian uji pH tanah dilakukan pada dua pelarut yaitu perendaman aqudes dan
KCl 1 M. Tahap akhir dilakukan pengukuran kadar karbonat dengan metode titrasi kembali oleh piper, tanah
diberi larutan asam berlebih, kelebihan asam dititar dengan larutan basa baku menggunakan PP sebagai
indikator. Kadar karbonat yang diperoleh setara dengan kalsium karbonat (CaCO 3).
Uji pH Tanah
Sampel tanah masing-masing ditimbang 10 g sebanyak dua kali, masing-masing dimasukan ke dalam
botol kocok, ditambahkan 50 mL air bebas ion ke botol yang satu (pH H 2O) dan 50 mL KCl 1 M ke dalam botol
lainnya (pH KCl 1 M). Kocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Suspensi tanah diukur dengan pH
meter yang telah dikalibrasi sebelumnya dengan larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0.
184
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018
Cara Kerja
Ditimbang masing-masing contoh tanah dan 0,500 gram serbuk CaCO3 (sebagai contoh standar) ke
dalam botol kocok. Ditambahkan 100 ml HCl 0,2 N dan dikocok dengan tangan. Tutup botol dipasang
longgar (keluar CO2 ) dan dibiarkan semalam. Esok harinya, tutup botol dikencangkan dan dikocok
selama 2 jam dengan mesin kocok. Disaring larutan untuk mendapatkan larutan jernih. Ekstrak jernih
dipipet 10 ml ke dalam erlenmeyer 100 ml. Ditambahkan sekitar 25 ml bebas ion dan 3 tetes indikator
PP, lalu dititar dengan NaOH 0,1 N hingga berwarna merah muda. Hasil penitaran dicatat dan dilakukan
juga penitaran pada standar CaCO3 dan blanko.
Dari hasil pengamatan diatas umumnya pH sampel dalam pelarut KCl lebih rendah jika dibandingkan
dengan pelarut H2O (akuades) tapi berbeda dengan hasil pengukuran tanah kapur. Pengukuran pH dengan
larutan pengekstrak KCl akan memberikan nilai lebih rendah 0,5-1,5 satuan pH dibanding jika menggunakan
H2O (akuades), teori tersebut sesuai dengan pengukuran yang telah dilakukan.Ini terjadi dikarenakan garam KCl
akan melepaskan H+ dari kompleks serapan sehingga tanah akan lebih masam (Karamina, 2017). Ditinjau dari
kondisi tanah pH tertentu, cenderung dikaitkan dan dihubungkanantara tanah dengan pH 8 dan diatasnya
biasanya didominasi oleh hidrolisa karbonat. Maka diketahui bahwa karbonat terkandung pada tanah kapur
karna memiliki pH dengan kisaran 7,96-8,95.
Karbonat dalam tanah dilarutkan oleh air, mengubahnya menjadi bikarbonat yang akan terbawa larut
dalam tanah dan kemudian diendapkan, menghasilkan penimbunan karbonat. Hal ini biasanya terkandung dari
kalsit. Translokasi karbonat dikendalikan oleh kesetimbangan reaksi antara karbonat (mengendap) dan
bikarbonat (larut) menurut rumus berikut ini:
185
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018
dekarbonatisasi --------------------------------------------->
<------------------------------------------------ karbonatisasi
Parameter-parameter yang mempengaruhi reaksi tersebut ialah air, CO2, pH, temperatur, dan garam-
garam.
Dalam penelitian ini digunakan metode titrasi kembali dalam penentuan kadar karbonat di dalam tanah. Tanah
diberi larutan asam berlebih, kelebihan asam dititar dengan larutan basa baku menggunakan PP sebagai
indikator. Kadar kapur dinyatakan sebagai setara kalsium karbonat (CaCO3). Penetapan karbonat hanya
dilakukan pada tanah kapur.Penentuan kadar kapur dalam tanah setara kalsium karbonat dapat diketahui dengan
perhitungan sebagai berikut:
Setara CaCO3 (%) = (ml blanko–ml contoh) x N NaOH x 50 x 100ml/10 ml x 100/mg contoh x fk
= (4,5 – 0,1) x 0,1 x 50 x 10 x 100/500 x 1,0372
= 4,4 x 0,1 x 50 x 10 x 0,5 x 1,0372
= 11,4092 %
Keterangan:
ml blanko = ml NaOH 0,1 N yang digunakanuntuktitrasiblanko
ml contoh = ml NaOH 0,1 N yang digunakanuntuktitrasicontoh
50 = beratsetaraCaCO3
100 = konversike %
fk = faktorkoreksikadar air
Kadar kapur dalam sampel tanah 3 sebesar 11,4092 % yang mana relative tinggi. Hal ini disebabkan
karena sampel tanah kapur berasal dari bahan kapur dan mineral alkali. Sampel tersebut bertekstur lempung
stukturnya menggumpal banyak mengandung konkresi kapur batuan,kapurnapal dan dolomite.
Semakin tinggi kandungan karbonat dalam tanah maka proses biogrouting akan semakin baik. Hal ini
sesuai dengan karakter karbonat (Dorronsoro et.al, 2006) antara lain:
186
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018
1. Perekat butir : Sebagai hasil pemekatan, larutan tanah meningkat konsentrasinya dalam meniscs antara
butir, dan karbonat mengendap, membentuk perekat
2. Capping : Kadang-kadang karbonat membentuk capping, adalah coating diatas butir atau agregat.
3. Pedofeatures coating lain: Dalam beberapa kasus kehadiran karbonat menutup pedofeatures yang lain
(misal, coating lempung) adalah bukti asal pedogenik).
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa tanah teras, tanah pasir, dan tanah latosol memiliki pH
masam sedangkan tanah kapur memiliki pH basa. Hal ini menunjukkan bahwa karbonat hanya terkandung
dalam tanah kapur. Kadar karbonat dalam tanah kapur sebesar 11,41%. Semakin tinggi kandungan karbonat
dalam tanah maka proses biogrouting semakin baik, hal ini sesuai dengan karakter karbonat antara lain perekat
butir, capping, dan psedofeatures coating.
187
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018
DAFTAR PUSTAKA
Achal, V., Mukherjee, A., Basu, P. C., &Reddy, M. S. 2009. Strain improvement of Sporosarcina pasteurii for
enhanced urease and calcite produc-tion. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology, 36(7), 981-
988
Tronics, A. 2011. StudiAwalPemanfaatan Teknik Biogrouting Pada Tanah Pasiruntuk Proses Sementasi.
Fakultas Teknik: UI. Depok
Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Departemen
Tanah.
Bras, A., Gião, R., Lúcio, V., and Chastre, C. 2013. Development of an injectable grout for concrete repair and
strengthening. Cem. Concr. Comp. 37, 185–195
C. DorronsoroFdez, G. Stoops, J. Aguilar, C.Dorronsoro-Diaz, J. Fernández, M. Diez, B. Dorronsor0. 2006.
Carbonate in Soil. Curso de Edafologia. Universidad de Granada. Webpage:http://edafologia.ugr.es [06
september 2018]
Dwiyanto, J.S. 2005. Hand Out Geotehnik. Bandung: DepartemenPekerjaanUmum.
Karamina, H. ∙ W. Fikrinda ∙ A.T. 2017. Murti Kompleksitas pengaruh temperatur dan kelembaban tanah
terhadap nilai pH tanah di perkebunan jambu biji varietas kristal (Psidium guajava l.) Bumiaji, Kota Batu.
Jurnal Kultivasi Vol. 16 (3)
Mann, S.1993. Molecular tectonics in biomineralization and biomimetic materials chemistry. Nature 365, 499–
505. doi: 10.1038/365499a0
Ainiyah, S, Prasetyo, E N, Lisdiyanti, P dan Koentjoro, M P. 2014. BIOGROUTING: Produksi Urease Dari
BakteriLaut (Oceanobacillus sp.) Pengendap karbonat. Jurnal Sains dan Semi Pomits Vol. 3 (2). LIPI,
Cibinong.
Ilyas, T. 2011. Tanah Longsor (landslide). Bahan ajar MPKT-B
188