Anda di halaman 1dari 7

ALLAH YANG TIDAK PERNAH

KEHILANGAN KENDALI

Nats : Yohanes 19:31-37


Penulis : Gideon Otto Biantong
Tujuan : Mengingatkan jemaat bahwa dalam keadaan yang bagaimana pun
Allah tetap memegang kendali dari setiap situasi sehingga mereka
tidak perlu terlalu takut dan kuatir.

Pendahuluan
Apakah arti peristiwa penyaliban Yesus itu?
 Seandainya pertanyaan itu kita tanyakan kepada seorang Romawi yang hadir
pada saat penyaliban Yesus, mungkin jawabnya adalah “Teterrimum et credulis
simum”, yang artinya adalah “kematian yang paling mengerikan dan menakutkan
yang dapat dibayangkan oleh seorang manusia”. Mengapa? Karena kematian itu
hanya diperuntukan bagi kriminal besar yang tak terampuni.
 Senadainya kita bertanya kepada seorang Yunani yang hadir pada waktu
peristiwa itu terjadi, mungkin jawabannya adalah “Percaya kepada seorang
pemimpin yang tersalib merupakan suatu kebodohan (moros)”.
 Jika pertanyaan yang sama kita ajukan kepada seorang Yahudi, barangkali kita
akan mendapat jawaban, “Itu hal yang memalukan (It is a scandal)”. Mengapa?
Karena dalam pangangan orang Yahudi Allah tidak akan membiarkan orang yang
diurapi-Nya mati di salib. Penyaliban Yesus hanya merupakan bukti bahwa Ia
adalah seorang penipu ulung dan pada akhirnya Ia mendapat ganjaran yang
setimpal.
 Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada murid-murid Yesus yang sebagian besar
lari tercerai-berai mungkin mereka akan menjawab, “Kami tidak pernah
menyangka bahwa pada akhirnya Guru yang kami ikuti, Pribadi yang penuh
kuasa itu, mati tak berdaya. Ia begitu lemah dan apa yang kami impikan telah
sirna”.
Lalu, jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Saudara apakah pendapat Saudara?
Saudara, pengertian tentang makna kematian Yesus di salib tergantung dari
pemahaman kita melihat apa yang diungkapkan Alkitab bagi kita, dan pengertian ini

1
dapt menjadi kekuatan yang tak terhingga di dalam hidup kita. Saat ini kita mau
melihat arti peristiwa penyaliban Yesus dari sudut pandang Injil Yohanes. Bagi
penulis Injil Yohanes, peristiwa penyaliban Yesus bukan menunjukkan kelemahan
atau kegagalan Yesus. Sebaliknya, hal itu menunjukkan kemenangan dan kemuliaan
Yesus. Di tengah-tengah penderitaan dan kematian-Nya, di saat mata manusia
melihat-Nya sebagai korban yang tidak berdaya, Yesus menunjukkan bahwa
diri-Nya adalah Mesias yang memegang kendali dan tidak pernah sedetik pun
kehilangan kendali atas setiap situasi yang terjadi.
Mari kita amati kisah penyaliban Yesus dengan pergi kembali ke taman
Getsemani.

Pengkhianatan dan penangkapan (18: 1-11)


Malam itu, di taman Getsemani Yudas mewujudkan pengkhianatannya. Ia datang
bersama dengan sepasukan prajurit dan penjaga-penjaga Bait Allah untuk menangkap
Yesus. Tetapi dalam kisah ini jelas kita melihat siapakah yang memegang kendali.
Alkitab melukiskan bahwa Yesus tahu apa yang akan terjadi dengan diri-Nya; Ia
mengabil prakarasa bertanya kepada mereka, “Siapakah yang kamu cari?”; Ia
mengaku bahwa Dialah yang mereka cari dan mereka mundur dan rebah ke tanah; Ia
memerintahkan mereka utnuk membiarkan murid-murid-Nya pergi; Ia
memerintahkan Petrus untuk menyarungkan pedangnya bahkan di Injil yang lain
diceritakan bahwa Yesus memulihkan kembali telinga Malkus yang telah putus.
Di taman Getsemani, kehendak dan kuasa manusia sedikit saja peranannya.
Kendali situasi bukan pada prajurit, bukan pada Yudas dan bukan pula pada Petrus
melainkan terletak pada Yesus yang akan mereka korbankan.

Pengadilan Yesus dan Petrus (18:12-27)


Kisah tentang pengadilan Yesus di hadapan para imam disajikan berganti-ganti
dengan kisah tentang penyangkalan Petrus. Pemeriksaan Yesus di hadapan Imam
Besar amat singkat dan pembelaan Yesus amat tegas mengatakan kebenaran. Ia tidak
pernah ragu dan tidak sedikit pun kelihatan gentar, bahkan ketika Ia ditampar oleh
seorang penjaga karena Ia berbicara dengan begitu berani kepada Imam Besar, Ia
berkata dengan agungnya kepada orang yang menampar-Nya itu, “Jikalau kata-Ku itu
salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalah kata-Ku itu benar, mengapakah engkau
menampar Aku?”

2
Sementara Yesus sedang diadili oleh Imam Besar, Petrus yang ada di luar
sedang diintrograsi oleh seorang perempuan penjaga pintu dan kawan-kawannya.
Sementara Yesus menjawab setiap pertanyaan dengan ketegasan dan keberanian,
Petrus menjawab pertanyaan perempuan dan kawan-kawannya dengan ketakuatan dan
dusta. Petrus semakin terdesak dan pada akhirnya suara ayam berkokoklah yang
menyadarkan Petrus bahwa ia telah menyangkal Tuhannya sebanyak tiga kali.
Sebenarnya, Petruslah yang berada dalam pengadilan. Ketika Yesus tidak berhasil
dipersalahkan, Petrus yang kedapatan bersalah.
Umat manusia diwakili oleh para pemimpin agama dan Petrus yang malang.
Mereka berusaha untuk mengadili Tuhan mereka dengan kebenaran yang semu. Para
pemimpin agama tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Yesus telah
menaklukkan kesombongan murid-Nya Petrus, si batu karang, dan mematahkan
semua tuduhan para pemimpin agama. Ia mengendalikan mereka.

Yesus dan Pilatus (18:28-19:26)


Dalam bagian ini, kita menyaksikan bentrokkan dua gelombang kehidupan dan
pemikiran manusia, yakni: poliitk dan agama. Pengadilan Yesus oleh Pilatus
dikisahkan dalam 8 adegan silih berganti yang melibatkan Pilatus dan orang banyak,
kemudian Pilatus dengan Yesus.
Sementara Pilatus berdialog dengan orang banyak di luar gedung pengadilan
dan kemudian berdialog dengan Yesus di dalam gedung pengadilan, ia semakin
terdesak dengan tuntutan orang banyak. Keinginannya untuk membebaskan Yesus
karena ia tidak mendapati kesalahan apapun dalam diri Yesus ditentang oleh orang
banyak.
Kegelisahan Pilatus dalam menyelesaikan masalah ini dan ketakutannya pada
orang banyak mendorong ia bertanya kepada Yesus, “Darimana asal-Mu?” Kontras
dengan keadaan Pilatus yang gelisah, Yesus tetap tenang dan Ia tidak tergoyahkan
dalam segala situasi yang datang kepada diri-Nya. Ia tidak menjawab pertanyaan
Pilatus.
Pilatus yang ketakutan mengacam Yesus dengan kewibawaan semunya dan
berkata, “Tidakkah Engkau mau berbicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu,
bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk
menyalibkan Engkau?” (ay.10). Namun Yesus menjawab dengan tegasnya, “Engkau
tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan

3
kepadamu dari atas …” (ay.11). Yesus mengingatkan Pilatus bahwa sumber kuasa
yang ada padanya itu bukan miliknya; kuasa itu datangnya dari atas; dan kini ia
berhadapan dengan Dia yang menjadi sumber kekuasaan itu.
Alkitab mengatakan, sejak itu Pilatus berusaha untuk membebaskan Yesus,
tetapi orang banyak mulai pempolitisir masalah ini untuk menekan Pilatus dengan
berkata, “Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap
orang yang menganggap dirinya sebagi raja, ia melawan Kaisar.” Orang banyak
mengetahui kelemahan dan ketakutan Pilatus dan membuat “nasib”gubernur Roma itu
berada di dalam cengkeraman tangan mereka. Akhirnya, Pilatus ditaklukkan.
Pilatus mewakili manusia yang kesetiaannya ditentukan akhirnya pada
kesejahateraan pribadi. Pada pengadilan Yesus oleh Pilatus yang teradili bukan Yesus
tetapi Pilatus dan orang banyak. Yesus tetap teguh dalam kebenaran. Ia tidak goyah
walaupun keputusan kematian harus menjadi bagian-Nya. Ia sendiri yang
menentukan nasib-Nya itu.

Penyaliban Yesus (19:17-28)


Salib merupakan tindakan akhir dunia dalam kegelapan mengalahkan terang yang
tanpa diundang menerangi kawasan kemanusiaan. Yesus memikul salibnya sendiri ke
tempat penghukuman. Ia dipaku di antara 2 orang penjahat. Dan di atas kepala-Nya
terdapat pengumuman, “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi” yang ditulis dalam
3 bahasa, yakni Ibrani, Latin, Yunani yang mewakili bahasa seluruh dunia.
Para pemimpin agama gelisah karena hal tersebut. Mereka memohon agar
Pilatus mengubahnya, namun Pilatus menjawab, “Apa yang kutulis tetap tertulis.”
Pilatus tanpa sadar mengungkapkan makna sesungguhnya dari penyaliban itu. Anak
Manusia yang tersalib korban agama dan politik, korban kebencian manusia
sesungguhnya adalah Raja sejati dari umat manusia.
Benar-benar suatu paradoks bahwa tindakan manusia yang berusaha
membuktikan bahwa Yesus bukan Mesias yang berasal dari Allah dengan cara
menolak dan menyalibkan-Nya, malah merupakan tindakkan yang mengangkat ke
atas takhta-Nya. Di atas kayu salib, di tengah-tengah penderitaan dan kematian-Nya,
di tengah-tengah mata manusia yang memandang-Nya sebagai korbah yang tidak
berdaya, Yesus tetap Allah yang memegang kendali dan tidak pernah sedikit pun
kehilangan kendali-Nya atas setiap situasi yang terjadi. Ia membiarkan prajurit-
prajurit itu mengambil dan membagi-bagikan pakaian-Nya di antara mereka, dan

4
membuang undi atas jubah-Nya. Sehingga tergenapilah apa yang pernah dinubuatkan
Allah. Dari atas kayu salib Ia juga mengatur kehidupan Maria, ibu-Nya, dengan
menitipkan kehidupannya kepada murid yang dikasihi-Nya.
Dan akhirnya, Ia berkata, “Aku haus” sebagai penggenapan apa yang tertulis.
Dalam keadaan yang tidak berdaya dan tubuh yang terpantek paku, Ia menyelesaikan
semua hal yang harus diselesaikan. Sehingga Ia berkata, “Sudah selesai” lalu Ia
menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Tampaknya begitu tragis.
Yudas menyerahkan diri-Nya kepada orang-orang Yahudi; orang-orang Yahudi
menyerahkan diri-Nya kepada para pemimpin agama, para pemimpin agama
menyerahkan diri-Nya kepada pemerintah Romawi, dan pemerintah Romawi melalui
Pilatus menentukan nasib-Nya di kayu salib.
Nampaknya Ia tidak berdaya terombang-ambing oleh tangan kekuasaan orang
lain atas diri-Nya, namun sebenarnya tidak ada satu pribadi pun, satu kuasa pun yang
dapat menyentuh hidup-Nya jika Ia tidak mengizinkannya. Dan akhirnya, tidak ada
satu kuasa pun yang dapat mengabil nyawa-Nya. Ia yang menyerahkan nayawa-Nya
kepada Bapa di surga. Ia tetap memegang kendali atas segala situasi.

Lambung Yesus ditikam (19:31-37)


Bagaimana setelah kematian-Nya? Kisah ini dimulai dengan para pemimpin agama
Yahudi yang datang kepada Pilatus meminta agar mayat-mayat orang yang di salib itu
diturunkan karena hari itu adalah hari persiapan mereka memasuki Hari Sabat dan
juga hari Paskah. Orang-orang Yahudi sangat ketat dan serius dalam memelihara
aturan-aturan hari Sabat. Menurut Ul.21: 22-23, seorang penjahat yang dihukum mati
dengan digantung mayatnya tidak boleh dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu,
“tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga.” Oleh karena itu,
mereka meminta kaki orang itu dipatahkan supaya mereka cepat mati dan mayat
mereka diturunkan.
Sebenarnya, bagi pemerintah Romawi, mereka lebih senang korban dibiarkan
begitu saja untuk mati sendiri di kayu salib. Mungkin korban bisa tergantung berhari-
hari dalam keadaan tersiksa dalam terik matahari pada siang hari dan dingin pada
malam hari. Kehausan dan kesakitan karena infeksi yang mereka alami seringkali
membuat korban meronta-ronta dan berteriak-teriak kesakitan sampai korban mati,
lalu bangkai mereka akan dimakan burung-burung. Hal ini dipandanng baik oleh

5
pemerintah sebagai peringatan bagi para pelanggar hukum. Namun demikian
permintaan para pemimpin agama dipenuh oleh Pilatus.
Ayat 32 jelas memperlihatkan bahwa 2 orang penjahat itu masih hidup dan
mereka nampaknya masih akan hidup sampai hari Sabat tiba. Mereka tidak mungkin
dikubur sampai matahari terbenam. Oleh karena itu, mereka meminta agar para
prajurit mematahkan tulang kaki mereka dengan palu besi. Tindakkan seperti ini
sangat kejam. Seorang yang disalib seluruh beban tubuhnya bertumpu pada kekuatan
kedua kakinya, tetapi jika kedua kakinya dipatahkan dapat kita bayangkan betapa
sakitnya. Sekarang seluruh berat badan orang itu bergantung kepada kedua telapak
tangan yang terpaku, dengan konsekkuensi penekanan pada paru-paru mereka yang
akan menambah penderitaan mereka dan mempercepat kematian mereka. Tindakan
kejam ini dilakukan agar mereka tetap dapat menjaga kemurnian hari Sabat dan
Paskah mereka.
Dari sudut kedaulatan Allah. Muncul sebuah persoalan. Mazmur 34:21
menumbuatkan bahwa Allah akan melindungi orang benar, dalam hal ini Mesias,
sehingga segala tulangnya tidak satu pun yang patah. Jika tulang-tulang Yesus
mereka patahkan apakah itu berarti Allah gagal atau Yesus bukan Mesias yang
sesunggguhnya? Tetapi di luar dugaan bahwa Yesus mati begitu cepat dibanding
dengan orang biasa. Ia hanya berada 6 jam di kayu salib. Biasanya orang bisa
bertahan sampai dua tiga hari di kayu salib. Melihat bahwa Yesus sudah mati mereka
tidak mematahkan tulang-tulang-Nya, sehingga genaplah apa yang telah dikatakan
Allah, “Segala tulangnya tidak satu pun yang patah.” Inilah kuasa Allah.
Yohanes melihat hal ini juga sebagai penggenapan nubuat PL. Telah
ditetapkan dalam Ul.12:46, dan Bil.19:12 bahwa daging domba Paskah itu harus
dimakan dan tidak satu tulang pun boleh dipatahkan. Kematian Yesus menjelang
Paskah menggenapi hal ini. Bagi orang Israel Paskah mengingatkan mereka akan
tindakan Allah membebaskan mereka dari perbudakan bangsa Mesir. Bagi Yohanes,
kematian Yesus merupakan tindakan Allah yang telah memberi domba Paskah untuk
kelepasan dari perbudakan dosa.
Ayat 34, menunjukkan kepada kita adanya suatu tidakan yang terjadi di luar
rencana. Seorang prajurit melihat bahwa Yesus sudah mati, barangkali untuk
menyakinkan kematian-Nya, ia menusukkan tombaknya ke lambung Yesus sehingga
keluarlah air dan darah. Tindakan seorang tentara mematahkan tulang-tulang orang
yang tersalib itu biasa, tetapi tindakan seorang tentara menusukkan tombaknya ke

6
lambung orang yang tersalib itu tidak biasa dan ini bukan merupakan suatu perintah
atasan. Ini tindakan spontan yang didorong oleh pemikiran rasionalnya. Tetapi
tindakan ini justru menggenapi apa yang Allah katakan dalam Zakharia 12:10, “Dan
mereka akan memandang kepada dia yang telah mereka tikam.”
Yohanes dalam ayat 36 berkata, bahwa semua itu terjadi supaya genaplah apa
yang tertulis. Dilihat secara lahiriah, Yesus adalah korban yang tidak berdaya, mati
tanpa kuasa. Dalam diam, Dia membuktikan diri-Nya. Dalam diam, Dia menjalani
rencana-Nya. Dalam diam, Ia mengendalikan setiap situasi di sekitar-Nya.

Aplikasi
Seringkali dalam persoalan hidup yang berat dan buntu, kita kehilangan iman untuk
percaya bahwa Allah bukan hanya masih bekerja tetapi tetap memegang kendali
setiap situasi. Kita tidak mampu percaya bahwa burung kecil di udara tetap hidup
karena tangan Tuhan yang kuat masih menopang dan mengendalikan hidupnya.
Saudara, kita perlu kembali melihat Alkitab dan mempercayainya bahwa Allah tidak
pernah kehilangan kendali, juga atas hidup kita. Ia memegang hidup Saudara dan
saya, Ia berkuasa atas masa depan Saudara dan saya. Meskipun kita tidak tahu hari
esok kita, tapi yang kita tahu bahwa hari esok kita itu dipegang oleh tangan Allah
yang maha kuat, karena itu percayalah dan tenanglah.

Amin

Anda mungkin juga menyukai