Anda di halaman 1dari 4

GEREJA DAN METAVERSE

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Era sekarang adalah era virtual dimana hampir setiap bidang kehidupan terhubung
dengan internet. Semua kalangan mengakui bahwa kehidupan manusia mulai bangun
di pagi hari dan sampai kembali tidur di malam hari selalu terhubung dengan
internet.Yang lebih fenomenal saat ini umat Tuhan sudah diperhadapkan dengan
teknologi baru yang bernama metaverse. Metaverse adalah suatu konsep alam semesta
dalam dunia 3D, yang menghubungkan beberapa ruang virtual yang berbeda secara
online. Metaverse memungkinkan pengguna untuk bekerja, bertemu, bermain game,
dan bersosialisasi bersama secara online di ruang 3D. Bagi sebagian gereja, telah
melaksanakan kegiatan ibadah secara virtual dengan memanfaatkan platform media
sosial yang ada seperti youtube, instagram, facebook, dan beberapa aplikasi media
sosial lainnya. Lebih menakjubkan lagi, platform media telah mensosialisasikan
kehidupan manusia pada level virtual reality tanpa memerlukan interaksi fisik
sehingga memungkinkan setiap orang yang memiliki koneksi internet, berpotensi
terhubung dengan semua orang di seluruh belahan dunia ini.

Gereja yang hidup adalah gereja yang bermisi, Realitas konteks gereja selalu berubah
dan gereja hidup dalam perubahan itu. Kemajuan di bidang teknologi tak luput dari
area dimana gereja juga harus berurusan dan mengambil peran sebagai garam dan
terang. Dalam situasi seperti saat ini, gereja kembali diuji untuk tetap menjalankan
fungsinya. Dari waktu ke waktu, oleh topangan rahmat Tuhan, gereja telah
menunjukkan keteguhan eksistensi kontekstualisasinya sebagai perwujudan tugas dan
panggilan: persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Gagasan tentang gereja metaverse
adalah sebuah tawaran kehidupan menggereja pada masa kini. Dunia virtual reality
meskipun di satu sisi memiliki potensi untuk disalahgunakan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu; namun disisi lain dapat menjadi peluang di mana
gereja memiliki cara pandang baru dalam memandang realitas Allah yang transenden.
Ketimbang melihat realitas pemanfaatannya dengan segala ancamannya, sudah
waktunya gereja memberikan manfaat baru bagi pembangunan komunikasi,
komunitas dan pemuridan.

Belakangan kata Metaverse memang hangat diperbincangkan, namun sesungguhnya


ia bukanlah istilah yang baru. Jika kita menelusuri sejarahnya, kita akan mengenal
istilah ini dari sebuah novel cyberpunk karya Neal Stephenson berjudul Snow Crash
yang dirilis tahun 1992, bersama dengan karya William Gibson, Neuromancer, yang
menggambarkan ruang data realitas virtual yang disebut matriks, Secara etimologis,
kata Metaverse berasal dari dua kata, ‘meta’ yang berarti melampaui, dan ‘verse’
berarti semesta. Zuckerberg, Founder dan CEO meta, mengatakan, “Kami telah
beralih dari desktop web ke seluler; dari foto ke video. Tapi ini bukan akhir dari
segalanya.” Ia melanjutkan, “Platform” berikutnya akan lebih imersif, Internet yang
diwujudkan di mana Anda berada dalam pengalaman, tidak hanya melihatnya, Kami
menyebutnya metaverse, dan itu akan menyentuh setiap produk yang kami buat.
Tidak heran, melihat produk yang ada saat ini, sejumlah ahli dan pengamat meyakini
bahwa Metaverse yang sesungguhnya baru akan bisa dinikmati dalam satu hingga dua
dekade ke depan.

Salah satu pertanyaan yang dapat menjadi diskusi sekaligus refleksi akan gereja di
dunia digital adalah, “apakah mungkin bagi orang untuk berjumpa dengan Allah di
dunia digital?” Ini adalah pertanyaan yang sangat penting dalam rangka membentuk
kembali arah misi masa depan gereja.

Hal yang sama terkait pengetahuan yang terus maju mengikuti zamannya, secara
khusus dalam kehidupan bergereja, Pengakuan Gereja Toraja mengatakan “ Ilmu
Pengetahuan adalah anugerah Allah yang dapat membawa manusia kepada usaha
pembangunan untuk perbaikan dan pengembangan kehidupan bagi kemuliaan Allah.
Anugerah Allah itu menuntut tanggung jawab yang besar karena kecenderungan
manusia menyalahgunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan diri,
kelompok, dan golongan masing-masing, merusakkan alam, saling membinasakan
dan bahkan menyangkal Allah.
Dari beberapa kajian terkait kebaktian/ibadah online, terlihat bahwa ada
elemen-elemen pada layanan ibadah online (seperti pengumuman, persembahan,
pemberitaan Firman Tuhan atau mendengarkan pujian) biasanya mudah untuk
dilakukan secara online (live streaming), tetapi bagian-bagian ibadah dari gereja yang
mengandung unsur relasional/interaksi (seperti mendoakan seseorang, mendengarkan
koor, memberi respon saat Firman Tuhan disampaikan, Bertemu setelah kebaktian dan
kehadiran secara fisik) seringkali merupakan hal yang biasa diabaikan dalam ibadah
gereja metaverse. Dari semua bentuk pelayanan yang dilakukan gereja, Perjamuan
kudus mempunyai tempat yang berbeda dan merupakan bagian paling kontroversial
dari penyelenggaraan ibadah secara virtual.

Dari uraian diatas, penulis melihat sebuah hal yang menarik, yakni bagaimana
menelaah secara teologis dalam sakramen Perjamuan kudus dan tradisi gereja, Di era
revolusi industri 4.0 ini, apakah mungkin untuk melakukan sakramen Perjamuan
kudus dalam dunia virtual. Hal ini juga membantu kita memahami hakikat gereja
sebagai gereja yang bermisi dan hidup dalam perubahan bergerak ke arah keutuhan
tubuh Kristus.

Hal ini menarik perhatian saya ketika sebuah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk
direfleksikan dalam terang pemahaman Allah yang Transenden. Tentu Anugerah
Allah melalui Ilmu pengetahuan dapat membawa manusia kepada usaha
pembangunan untuk perbaikan dan pengembangan kehidupan bagi kemuliaan Allah,
Di tengah gempuran perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang
semakin cepat dan di tengah persaingan digital di era revolusi industri 4.0 ini. Oleh
karena itu tulisan ini berjudul: Gereja dan Metaverse; dengan subjudul ;

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang hendak diteliti oleh
penulis adalah Perjamuan Kudus sebagai Sakramen dan tradisi gereja dapat dilakukan dalam
dunia Metaverse

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah
untuk menelaah secara teologis dalam sakramen Perjamuan kudus dan tradisi gereja, Di era
revolusi industri 4.0 ini, apakah mungkin untuk melakukan sakramen Perjamuan kudus dalam
dunia metaverse, Hal ini membantu kita memahami hakikat gereja sebagai yang bermisi dan
hidup dalam perubahan bergerak ke arah keutuhan tubuh Kristus.

1.4. Metode Penelitian


Kajian terhadap rumusan masalah di atas akan menggunakan metodologi kualitatif
deskriptif dengan mengunakan metode library research untuk memperoleh data yang
diperlukan dan dianggap relevan dengan masalah yang hendak yang dikaji.

1.5. Signifikansi Penulisan


Gereja yang hidup adalah gereja yang bermisi, realitas konteks gereja selalu berubah
dan gereja hidup dalam perubahan itu. Kemajuan di bidang teknologi tak luput dari area
dimana gereja juga harus berurusan dan mengambil peran sebagai garam dan terang.
Sehingga penulis harus memberi batasan yakni hanya pada bagian-bagian yang dianggap
relevan dengan tulisan ini. Gagasan tentang gereja metaverse adalah sebuah tawaran
kehidupan menggereja pada masa kini. Dunia virtual reality meskipun di satu sisi memiliki
potensi untuk disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu; namun disisi lain
dapat menjadi peluang di mana gereja memiliki cara pandang baru dalam memandang realitas
Allah yang transenden.

1.5.1. Signifikansi Akademik


Tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi yang memadai Fakultas Teologi UKI
Toraja guna pengembangan pengetahuan khususnya mengenai Gereja dan Metaverse
sehingga menjadi bahan pembinaan bagi warga gereja.

1.5.2. Signifikansi Praksis


Tulisan ini kiranya dapat menjadi sarana pengembangan diri bagi penulis terkait
pengetahuan mengenai Perjamuan kudus sebagai Sakramen dan tradisi gereja dapat dilakukan
dalam dunia metaverse, serta mampu membangun pemahaman mengenai realitas konteks
gereja selalu berubah dan hidup dalam perubahan itu. Pemahaman inipun diharapkan dapat

Anda mungkin juga menyukai