Anda di halaman 1dari 9

DUPLIEK atas REPLIK

Perkara Perdata pada Pengadilan Negeri Palopo Register Nomor : 05/Pdt.G/2021/PN.Plp, antara
:

SUGENG dkk, sebagai Para Tergugat Dalam Konvensi dan sebagai Para Penggugat Dalam
Rekonvensi

m e l a w a n

I N A R dkk. sebagai Para Penggugat Dalam Konvensi dan sebagai Para Tergugat Dalam
Rekonvensi

Palopo, 14 Juli 2021.-

Kepada Yang Mulia

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palopo


Perkara Perdata No. 5/Pdt.G/2021/PN.Plp
di-
P a l o p o .-

Dengan hormat

Sehubungan dengan Repliek dan Jawaban atas Rekonvensi yang telah disampaikan oleh Para Penggugat
Konvensi/Para Tergugat Dalam Rekonvensi pada sidang yang lalu, dalam hal ini kami selaku Kuasa
Hukum Para Tergugat Konvensi/Para Penggugat Dalam Rekonvensi, setelah membaca dan mempelajari
Repliek Dalam Konvensi dan Jawaban Dalam Rekonvensi, maka ditemukan beberapa hal yang masih
memerlukan penjelasan sekaligus memberikan tanggapan yang akan diuraikan secara singkat sebagai
berikut :

Bahwa Para Tergugat Dalam Konvensi/Penggugat Dalam Rekonvensi, berketetapan pada Jawaban
Dalam Konvensi ataupun dalil-dalil dan argumentasi Dalam Rekonvensi, dan menolak secara tegas dalil-
dalil yang dikemukakan Para Penggugat Dalam Konvensi, maupun dalil-dalil Para Tergugat Dalam
Rekonvensi, kecuali terhadap hal-hal yang diakui secara tegas. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan
beberapa tangapan, baik Dalam Eksepsi, Dalam Konvensi maupun Dalam Rekonvensi sbb :

I. DALAM EKSEPSI

1. a. Dalam tanggapan Para Penggugat Konvensi huruf A angka 1 huruf a mendalilkan bahwa Drs.
H. RUKKA alias Drs. H. AKHMAD NUR selaku pemilik/dirut PT. ANUR “Dan ketika pembayaran
tanah dianggap selesai maka disertifikatkanlah tanah tersebut sebagai satu kesatuan bidang
tanah yang aan dipasarkan bersama rumah diatasnya”.

Jika benar tanah “yang sudah dibebaskan” telah disertifikatkan, lalu mengapa obyek sengketa
(termasuk obyek sengketa Dalam Rekonvensi) tidak pula ikut disertifikatkan, pada hal dalilnya
tanah tersebut merupakan satu kesatuan bidang tanah ??? Paling tidak kalau dipisahkan akan
lebih efisien dan menghemat biaya jika disertifikatkan sekalian. Ini logika sederhana dan
awam.

Pernyataan diatas justru melemahkan dan bahkan mematahkan dalil dalam posita gugatan
Konvensi. Selanjutnya mengenai brosur termasuk peta, namanya saja iklan ya dibuat
semaunyalah dan itu bukan bukti kepemilikan. Dan sekali lagi buktikan bahwa terhadap obyek
sengketa telah di”selesaikan” pembebasannya kepada yang berhak. Mari kita buktikan !!!

1
Dengan demikian dalil Para Tergugat Dalam Konvensi/Eksepsi tentang “error in persona”
semakin kokoh dan tidak terbantahkan.

b. Bahwa terkait kondisi Drs. H. Rukka dan kesepakatan pengikatan jual beli dengan memberi
kuasa kepada Muh. Said, maka apapun pertemuan, persetujuan, pernyataan yang dibuat oleh
siapapun berkaitan dengan obyek sengketa, tanpa keterlibatan secara langsung penguasa
atau pengelola tanah (bezitter) adalah tidak sah, termasuk jual beli yang “seperti membeli
rokok”. Bukankah Muh. Said selaku Kuasa dan “pengawas” proyek perumahan Graha Jannah
(apalagi Drs. H. Rukka) yang telah bergelut didunia biznis property tidak mengetahui bahwa
jual beli atas tanah diatur dengan peraturan tersendiri, tidak sama dengan “membeli rokok”,
tapi toh dilakukan jual beli tanah secara dibawah tangan tanpa mengecek dan konfirmasi
batas-batasnya sebagaimana dalil gugatan Para Penggugat Konvensi angka 5 yang
menyatakan :
“Bahwa pada tahun 2020, suami Penggugat I almarhum Drs H. RUPPA alias Drs. H. AKHMAD
NUR yang berdomisili di Makassar melalui kuasa dan orang kepercayaannya yang bernama
MUH. SAID menjual tanah kapling sebagaimana luas dan batas-batasnya sebagaimana
dimaksud angka 3 diatas . . . dst”. Bukankah ketika menjual tanah tersebut belum memiliki
sertifikat ??? jadi tidak ada hak menjualnya sebelum menjadi pemilik sah menurut hukum,
jadi tidak sama dengan membeli rokok. Perumpamaan “membeli rokok” agar disimak dengan
nalar sehat, apalagi jika menggunakan nalar hukum.

Sementara itu Tergugat I Dalam Konvensi sejak tahun 2016 telah memiliki sertifikat, apapun
alasannya dan bagaimanapun keadaannya Tergugat I Dalam Konvensi harus dianggap sebagai
pemilik yang sah, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya secara hukum, maka menjual dan atau
“bermaksud” menguasai tanah yang telah bersertifikat tanpa alasan sah menurut hukum
adalah perbuatan penyerobotan atau tindak pidana. Akan diproses tersendiri usai perkara ini.

c. Selanjutnya pada huruf c, Para Penggugat Konvensi berdalih mengingat Penggugat I Dalam
Konvensi hanylah ibu rumah tangga yang tidak tahu urusan suaminya dulu, maka
disepakatilah kedua pihak bersama-sama yang akan maju bertindak sebagai Penggugat.

Dalil ini semakin “menguatkan” dalil eksepsi Para Tergugat Konvensi bahwa Penggugat II
Dalam Konvensi “belum” atau tidak memiliki legal standing untuk menggugat Para Tergugat
Konvensi.

Bukankah “kepemilikan” Tergugat I atas obyek sengketa telah memilik bukti terkuat dan
terpenuh berupa Sertifikat Hak Milik No. 00971/Kel. Songka sejak tahun 2016, sementara
Penggugat II Konvensi, nanti merasa mempunyai hubungan hukum dengan obyek sengketa
setelah September 2020 dan bahkan Penggugat II Konvensi telah mengecek kebenarannya
pada Kantor Badan Pertanahan Kota Palopo. Itu artinya obyek sengketa telah menjadi milik
Tergugat I Dalam Konvensi baru kemudian Penggugat II Dalam Konvensi “membeli”nya dari
Penggugat I Dalam Konvensi, terlepas dari “kebenaran” materil dari sertifikat tersebut, jika
masih berpikiran sehat, seyogyanya jangan membeli tanah yang dijual bukan oleh pemilik sah,
demikian pula sebaliknya, jangan menjual tanah jika bukan milikmu.

Dalam hal ini Penggugat II dan bahkan Penggugat I Dalam Konvensi belum berstatus “pemilik”
atas obyek sengketa, lantas bagaimana mungkin bukan pemilik “menjual” bahkan milik orang
lain, begitu pula pembeli, membeli dari bukan pemilik yang sah. Jika bukan pemilik apa
hubungan hukumnya dengan Para Tergugat Konvensi yang justru pemilik sah atas obyek
sengketa. ???

2
Oleh karena sertifikat (bukti otentik) lebih dahulu keberadaannya daripada jual-beli antara
Penggugat I dan Penggugat II Dalam Konvensi secara diatas kertas, maka jelas tidak ada
hubungan hukum antara Penggugat II Dalam Konvensi dengan Para Tergugat Dalam Konvensi,
seyogyanya Penggugat II Konvnsi menuntut atau menggugat prestasi kepada Penggugat I
Dalam Konvensi, dan mengapa menjual tanah yang telah bersertifikat atas nama orang lain
(Tergugat I Konvensi). Dan hal sederhana dan umum seperti ini seyogyanya difahami oleh
seorang Polisi, bukankah Polisi penegak hukum ??? Jika pun kemudian polisinya atau
Penggugat II Dalam Konvensi adalah orang Songka asli dari kakek, nenek buyut, bahkan tujuh
turunan sekalipun, itu tidak lalu berarti obyek sengketa adalah miliknya. Maaf jika merasa
tersinggung berkaitan dengan ungkapan bahwa pada dasarnya orang Songka mengetahui
penguasa/pengelola tanah sekitar obyek sengketa hanya dikenal BETTA TO BITTURI, To
Mangngambari dan Ambe Sati, hal ini hanya berkaitan lokasi sekitaran obyek sengketa,
khususnya bagian sebelah Timur jalan raya poros Palopo – Makassar. Entahlah, ditempat lain
mungkin saja berpuluh-puluh hektar tanah milik nenek/kakek buyut Penggugat II Konvensi,
namun yang pasti BUKAN TANAH SENGKETA, baik Dalam Konvensi maupun Dalam
Rekonvensi. Tentu saja akan dibuktikan dipersidangan.

d. Berkaitan dengan bantahan/jawaban Eksepsi pada huruf d, kiranya sudah terjawab secara
jelas dan tuntas pada tanggapan huruf a, b, dan c diatas sehingga kiranya tidak perlu lagi
diulangi. Pastinya secara keseluruhan Jawaban/Bantahan Dalam Eksepsi oleh Para Penggugat
Dalam Konvbensi ditolak seluruhnya kecuali hal-hal yang diakui secara tegas.
Bahwa Bantahan/Jawaban atau Dupliek sebagaimana telah diuraikan diatas Dalam Eksepsi
adalah juga Tanggapan/Jawaban Dalam Rekonvensi dan merupakan satu kesatuan tidak
terpisahkan, sehingga beberapa hal yeng telah terjawab juga tidak perlu diulangi lagi.

Akan halnya Jawaban Eksepsi oleh Para Penggugat Dalam Konvensi yang berkaitan dengan
eksepsi “plurium litis consortium” dan eksepsi mengenai gugatan “obscuur libel”, meskipun
secara jelas dan tegas telah terkandung didalam tanggapan atau penjelasan diatas, namun perlu
kejelasan agar tidak terjadi gagal paham.

2. Mengenai “plurium litis consortium”

Bahwa sangat benar jika dalam hal gugat nigugat, Penggugatlah yang menentukan siapa yang
akan ditarik sebagai Tergugat dalam suatu perkara perdata, namun tentu saja tidak “sembarang”
orang atau pihak yang bisa ditarik, kecuali yang mempunyai hubungan hukum dengan obyek
perkara, hal ini juga berkaitan dengan kepastian hukum dan terutama eksekusi, selain itu pihak
yang tidak mempunyai hubungan hukum, akan direpotkan dengan hal-hal yang tidak penting.
Jadi tidak juga semua kuasa harus ditarik, ataupun tidak harus Pengacara harus pula ditarik
sebagai pihak, hal ini tergantung kasus posisi, jadi bersifat kasuistis, bukan dengan cara asal
tarik. Mari kita menyimak penjelasn dibawah ini :

Jual beli tanah (mengutip dalil posita Gugatan Konvensi angka 5 halaman 3) antara lain
menyatakan : atas kuasa Drs. H. RUPPA, MUH. SAID menjual tanah kapling, .. ,dst.

Merujuk pada ketentuan pasal 1792 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan : . . . kuasa
untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Itu artinya Penerima Kuasa
dikuasakan untuk melaksanakan atau melakukan “pengurusan” dan bukan melakukan
“pengalihan hak” mengingat tanah tidak dapat dijual-belikan seperti barang-barang lainnya
karena ada aturannya tersendiri (tidak seperti beli rokok). Oleh karena pengertian pasal tersebut
bersifat umum (melaksanakan), maka diperjelaslah dengan ketentuan pasal 1796 yang
menegaskan bahwa : “Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya melipui tindakan-
tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindah tangankan barang atau meletakkan
hypotik diatasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang
hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kat-
kata yang tegas”.
3

Kuasa yang diberikan kepada MUH. SAID (kalaupun itu benar) bersifat umum atau hanya untuk
pengurusan, bukan pengalihan hak (itupun jika memiliki hak), kemudian tanah yang dijual MUH.
SAID atas kuasa Drs. H. RUPPA kepada Penggugat II Konvensi, tidak sesuai luasnya menurut Para
Penggugat Konvensi, maka seharusnya kepada MUH. SAID dilakukan gugatan untuk memenuhi
prestasinya dengan menyer ahkan tanah sesuai luas ( hal ini juga mustahil karena dalam kuasa
tidak tercantum luas dan batas ), nah kuasa seperti ini yang patut digugat, bukan semua
Penerima Kuasa atau Pengacara.

Oleh karena pihak yang melakukan wanprestasi seharusnya ditarik sebagai pihak dalam perkara
dan oleh karena hal ini tidak dilakukan maka terjadilah “plurium litis consortium” dan
konsekwensinya adalah gugatan harusnya niet ontvankelijk verklaard.

3. Mengenai Gugatan”Obscuur libel”

Bahwa berkaitan dengan Gugatan yang kabur atau obscuur libel, kiranya sudah sangat cukup
jelas dan gamblang dikemukakan pada uraian diatas dimana dalil-dalil yang dikemukakan
sebelumnya juga adalah merupakan bagian satu kesatuan tak terpisahkan dengan tanggapan
dan penjelasan pada bagian ini, sehingga tidak perlu lagi diulangi.

Bahwa persoalan pokok dari suatu gugatan adalah fundamentum petendi atau posita gugatan,
yaitu dasar hukum dan hubungan hukum, dimana hal ini tidak jelas bahkan rada ngawur. Hal ini
telah cukup jelas dikemukakan sebelumnya dan pada bagian ini sekalian menjadi alasan untuk
menyatakan gugatan obscuur libel

Menurut Yahya Harahap, salah satu unsur dari Fundamentum Petendi adalah dasar hukum yang
menegaskan dan menjelaskan hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat dan
hubungan hukum antara Penggugat dengan objek gugatan.

Menurut Yahya Harahap teori mengenai perumusan posita gugatan, adalah :

1) Pertama, disebut substantierings theorie yang mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup
hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus
menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab
timbulnya peristiwa hukum tersebut

2) Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie) yang menjelaskan bahwa peristiwa


atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan
hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar tuntutan. Namun tidak perlu
dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum, karena hal itu dapat diajukan
berikutnya dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori di atas digabung, tidak
dipisah secara kaku dan sempit. Penggabungan dua teori itu dalam perumusan gugatan untuk
menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang kabur atau obscuur libel.

Dengan menyimak kembali pendapat Yahya Harahap tersebut, maka ketika membaca gugatan
atau posita gugatan Penggugat Konvensi, kesimpulan yang tepat dan benar adalah menyatakan
gugatan sangat kabur, sehingga cukup beralasan untuk dinyatakan tidak dapat diterima.

4
II. DALAM POKOK PERKARA

1. Mengenai Riwayat Tanah

a. Bahwa telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalil-dalil Dalam Eksepsi, Konvensi dan
Rekonvensi adalah merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan pada bagian manapun Riwayat
tanah diuraikan adalah merupakan penjelasan dari keseluruhan bagian, eksepsi, konvensi
maupun rekonvensi, penempatannya mau dimana, itu urusan Para Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekonvensi. Mengenai hal-hal yang tidak ditanggapai dalam Gugatan
Konvensi, bukan berarti diakui karena secara tegas sudah dinyatakan bahwa seluruh dalil
gugatan Penggugat Konvensi dinyatakan ditolak, kecuali hal-hal yang diakui secara tegas.
Penyangkalan tentu akan diikuti dan didukung dengan pembuktian nantinya, Mari kita sama
membuktikan.

Bahwa sebagaimana pendapat Yahya Harahap yang dikutip diatas selain substabtierings theory
yang termuat dalam posita, maka dalam suatu gugatan diperlukan penjelasan fakta-fakta
hukum yang mendahului peristiwa-peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya peristiwa
hukum tersebut. Kemudian peristiwa atau kejadian hukum yang telah dikemukakan tersebut
dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar
tuntutan, sedangkan terjadinya hubungan hukum bisa nanti dalam proses pembuktian
dipersidangan. Nah ! inilah alasan mengapa perlu terlebih dahulu mengemukakan riwayat tanah,
termasuk sket lokasi yang tentu saja dibuat sendiri atas dasar pemikiran/pengamatan lokasi
untuk memberi gambaran agar lebih mudah dipahami. Untuk diketahui “sket” adalah
merupakan “gambaran umum” /menggambar dengan cepat( menurut KKBI), maka dengan
demikian pembuatannya tentulah berdasarkan hasil pikiran sendiri, yang pasti mendekati
kebenaran atau faktanya. Kalau mau persisnya atau secara detail yang berwenang membuatnya
adalah pihak BPN.

Lain halnya dengan pemasangan patok sebagaimana yang dilakukan Penggugat II Konvensi.
Memasang patok dengan seenaknya tanpa izin atau sepengetahuan pemilik sah atas tanah
bersebelahan, paling tidak harus konfirmasi dengan batas sebelahnya dan persyaratan lainnya
sebagaimana diatur dalam Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997, jo PP No. 24 Tahun 1997, sehingga pemasangan patok batas tidak dapat dilakukan sendiri
tanpa melibatkan pihal lain yang berkepntingan terutama instansi yang berwenang.

Bahwa uraian singkat diatas kiranya menjawab Tanggapan atas Riwayat Tanah Para Penggugat
Konvensi pada huruf a, b dan c Dalam Pokok Perkara.

b. Bahwa mengenai lokasi tanah pemberian BATTE TO BITTURI yang menjadi obyek sengketa
dalam perkara a quo yang oleh Para Penggugat Konvensi/Para Tergugat Rekonvensi dinyatakan “
To Bitturi memang pernah memberikan tanah lokasi rumah kepada BADDU LAHABE yng terletak
di Lorong To Loro, bukan terletak diatas tanah sengketa”. Pernyataan ini seratus porsen
mengada-ada dan merupakan suatu kebohongan besar, karena yang benar adalah lokasi tanah
yang diberikan To Bitturi kepada NABIA ketika lokasi rumah Baddu Lahabe suami NABIA yang
terletak diatas tanah milik OPU TO SULAEMANA akan digunakan sendiri pemiliknya, adalah
lokasi yang terletak diatas tanah obyek sengketa, kemudian rumah panggung milik BADDU
LAHAB diangkat secara beramai-ramai oleh warga setempat (gotong royong) dari lokasi pertama
diatas tanah Opu To Sulaemana berpindah ke lokasi tanah pemberian BETTA TO BITURI yang
saat ini menjadi obyek sengketa, baik Dalam Konvensi maupun Dalam Rekonvensi. Tentu saja
peristiwa ini banyak yang mengetahuinya, apa lagi rumah yang diangkat/dipindahkan bukan
rumah-rumahan melainkan rumah betulan yang cukup besar dan dapat dilihat tanpa perlu
menggunakan kaca mata minus atau plus, hal ini akan dibuktikan pada waktunya nanti.

5
Jika kemudian Penggugat Konvensi menyatakan bahwa lokasi yang diberikan To Bitturi kepada
BADDU LAHABU terletak di Lorong To Loro dibelakang rumah Penggugat II. Hal itu hanya
karangan Penggugat II saja, jikapun itu ada atau terdapat lokasi yang diberikan To Bitturi kepada
BADDU LAHABU di Lorong To Loro, mungkin saja ada dan jika memang ada silahkan Penggugat II
mengambil dan memilikinya. Lagian ketika itu lokasi yang diberikan To Bitturi pada dasarnya
bukan kepada BADDU LAHABU melainkan kepada NABIA yang masih merupakan keponakannya,
sehingga jika kemudian menjadi hak milik maka masuk sebagai harta bawaan NABIA.

Akan halnya keterangan Ambena Isa alias SABINA, semuanya masih abu-abu apalagi
keterangannya kepada Penggugat II, bukan keterangan yang patut dan layak dijadikan kesaksian
menurut hukum bahkan tidak jelas entah kapan keterangan SABINA tersebut mengingat yang
bersangkutan telah meninggal dunia setelah terbitnya Sertifikat No. 00971/Kel. Songka atas
nama SUGENG (Tergugat I Dalam Konvensi), paling tidak meninggalnya SABINA beberapa tahun
yang lalu ketika BELUM ADA sengketa antara Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi.

2. Tentang Fakta hukum dan Tanggapan lainnya

a. Bahwa terkait ukuran tepat dari tanah yang dibeli dari TO MANGNGAMBARI, adalah merupakan
fakta bahwa luasan tanah tersebut tidak diukur secara detail sebagaimana dilakukan
masyarakat pada umumnya ketika itu, paling hanya menunjuk batas atau memperkirakan
luasan lokasi, yang pasti tidak ada keberatan atau klaim pihak lain. Lalu mengapa sekarang
Penggugat Konvensi baru mengajukan keberatan atau mempersoalkan terhadap lahan yang
bukan haknya ??? Mengapa harus menghitung luasan tanah orang lain, lalu mencari sisa untuk
memilikinya ???

Menanggapi lebih jauh pernyataan-pernyataan Para Penggugat Konvensi yang sudah ngalor
ngidul kesana kemari, akan berpotensi menimbulkan fitnah dan kebohongan dan untuk
menghindari kemungkinan timbulnya dosa yang tidak disadari, maka maka hal-hal yang tidak
berkaitan secara langsung dengan obyek sengketa berikut para pihak dalam perkara ini,
dikesampingkan dan tidak penting.

b. Bahwa satu hal yang perlu ditanggapi pada huruf f bagian MENGENAI POKOK PERKARA, adalah
bahwa SUGENG atau Tergugat I Dalam Konvensi “tidak pernah meminta tanda tangan MUH.
SAID” berkaitan dengan batas tanah sebelah selatan, jangankan meminta tanda tangan, bahkan
menghubunginya dalam urusan tersebut sama sekali tidak penah, nah, itu ada lagi kebohongan.
Urusan SEGENG dengan MUH. SAID semata-mata hanya berkaitan dengan pengurusan
pembelian unit perumahan Graha Jannah ketika itu, bukan urusan batas tanah. Dan khusus bagi
Tergugat I (SUGENG) ketika itu tidak tahu menahu kepemilikan dari obyek sengketa Dalam
Rekonvensi karena pihak NABIA atau BASRI hanya mengoper lokasi tanah yang sekarang
bersertifikat dan dalam proses pengurusan sertifikatnya BASRI bersaudara yang hampir
semuanya tidak dapat membaca secara lancar (buta aksara) termasuk NABIA, sudah tidak
berada di Songka karena sudah pada merantau dan sulit dihubungi.

Terkait Penyangkalan bahwa ada tawaran dari pak Lurah agar dijual saja dan Tergugat III
Konvensi mendapat 15 %, itu adalah fakta dan bagaimana mungkin Penggugat Konvensi
menyangkalinya sementara pak Lurah sendiri tidak mengomentari dan menyerahkan pada
putusan Majelis Hakim, bahkan kemudian pak Lurah memberikan uang sebesar Rp. 2.000.000.-
(Dua juta rupiah) kepada Tergugat III Konvensi, entah untuk apa, namun dikatakan dari pa Yudi,
sementara Tergugat III menerima saja namun tidak menganggapnya sebagai hasil penjualan
tanah (kok harga tanah Cuma 2 juta ???), hanya karena kebutuhan ekonomi yang mendesak
maka diambil saja, hitung-hitung biaya transport dari dan ke Kalimantan.

6
Mengenai Riwayat Tanah telah cukup jelas dikemukakan alasan pemuatannya secara teori
maupun praktek, dan Para Tergugat Konvensi juga tidak meminta Para Penggugat Konvensi agar
menelannya mentah-mentah, masak dulu sampai mateng, baru ditelan, kalau masih mentah
jangan ditelan dulu. Seperti misalnya pemberian tanah To Bitturi yang berlokasi di Lorong To
Loro bukan diatas lokasi obyek sengketa, itu fiksi besar dan bukan fakta, jangan ditelan, tapi
lokasi yang diberikan To Bitturi kepada NABIA yang terletak diatas obyek sengketa itu adalah
FAKTA, namun mau ditelan atau tidak, terserah, sebab yang menentukan nanti adalah
pembuktian.

III. DUPLIEK atas REPLIEK DALAM KONVENSI

Bahwa untuk mempersingkat tanggapan atas Repliek Para Penggugat Dalam Konvensi, terutama
menghindari fitnah dan kebohongan yng bahkan sudah merembet pada hal-hal yang diluar pokok
atau materi perkara, maka uraian selanjutnya penekannya pada fakta-fakta hukum yang terkait
dengan obyek sengketa dan dalil yang nantinya memerlukan pembuktian, bukan hanya sekedar
menyatakan bualan besar ketika tak mampu lagi menangkis dalil bantahan Para Tergugat Konvensi.

Bahwa dalil, tanggapan dan uraian diatas, adalah juga dalil dan tanggapan secara keseluruhan, baik
Dalam Eksepsi, Pokok Perkara/Konvensi, maupun Dalam Rekonvensi dan sudah cukup jelas dan
tuntas menjawab dan bahkan mematahkan dalil gugatan Para Penggugat Konvensi. Untuk itu
seyogyanya Para Penggugat Konvensi mengungkapkan fakta hukum atau alasa hak yang dimiliki atas
obyek sengketa, bukan mencari-cari kesalahan Para Tergugat Konvensi dengan mengungkap ketidak
benaran. Dalam hal ini buktikan bahwa obyek sengketa telah benar dibebaskan untuk keperluan
perumahan atau belakangan didalilkan lagi untuk pembangunan Ruko, kepada siapa dibayarkan
ganti ruginya dan dimana batas-batasnya, karena harus demikian jika berkaitan dengan pengalihan
hak atas tanah, bukan dengan cara membuat kesepakatan atau surat jual beli atau penyerahan
tanah atas tanah orang lain yang sudah bersertifikat, hal ini sudah diuraikan sebelumnya. Jadi tidak
perlu lagi pengulangan.

Jika tindakan pembebasan lahan tersebut telah berjalan sesuai prosedur pengalihan hak terutama
asal mula tanah dan kepada siapa diberikan ganti rugi dll dan tidak hanya dibuat-buat atau fiktif,
maka apapun dalil Para Tergugat Konvensi tidak akan mempan, sebaliknya apabila dalil yang
dikemukakan dalam gugatan hanya fiksi dan bualan semata, maaf saja, disarankan untuk tidak lagi
menyusahkan orang lain. Sebab meskipun kita brdebat, apalagi berdebat kusir, berpuluh-puluh
halaman, jika tidak bisa membukikannya menurut hukum, sama halnya dengan bulan besar dan
menyusahkan orang lain.

Bahwa mengingat tanggapan Para Penggugat Konvensi pada bagian selanjutnya hanya berupa
“pengulangan” semata, maka kiranya tidak perlu lagi ditanggapi karena kesemuanya telah terjawab
dengan lugas dan sempurna pada Jawaban maupun pada Dupliek Para Tergugat Konvensi seperti
telah dikemukakan diatas. Dan sekali lagi hal-hal yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya
Dupliek Dalam Konvensi ini adalah merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, baik Dalam Eksepsi,
Dalam Konvensi, maupun Dalam Rekonvensi,pada akhirnya diserahkan sepenuhnya pada penilaian
Yang Mulia Majelis Hakim dalam Perkara a quo untuk mempertimbangkan secara bijak dan adil
untuk kemudian memberi putusan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan,
berimbang dan berkeadilan.

7
IV. DALAM REKONVENSI (Repliek)

Bahwa sebagaimana halnya alasan yang dikemukakan diatas, Jawaban atau Tanggapan Para
Tergugat Rekonvensi atas Gugatan Rekonvensi, akan ditanggapi atau dijawab dengan tetap
menggunakan alasan, argumentasi dan dalil yang telah dikemukakan sebelumnya pada Eksepsi,
Jawaban atas Gugatan Konvensi dan dalil dalam Gugatan Rekonvensi, mengingat peristiwa atau
fakta hukum tersebut tetap seperti itu dan tidak bisa berubah-ubah, apalagi dengan cara menyerang
pihak lawan dengan mengarang kejadian fiktif, atau menghitung-hitung luasan tanah milik sah pihak
lawan, lalu mencari sisa dan mungkin berniat memilinya.

Bahwa secara sederhana saja, Dalam Rekonvensi ini Penggugat Dalam Rekonvensi akan
membuktikan alas haknya dan asal mula tanah, pengusaaan secara terus menerus dan termasuk
penerbitan Sertifikat yang telah bersesuai hukum, bukankah perkara pedata kuncinya ada pada
“pembuktian” yang didukung dengan legalitas proseduril dalam hal lahirnya suiatu hak, sebab
apapun bukti yang diajukan jika terbitnya tidak melalui proseduril hukum yang telah ada, maka
sama halnya dengan kebohongan besar, bahkan berpotensi menjadi boomerang.

Bahwa oleh karenanya Repliek Dalam Rekonvensi telah terjawab dan semakin memperkokoh dalil
Dalam Rekonvensi yang untuk selanjutnya diserahkan penilaiannya kepada Yang Mulia Majelis
Hakim dalam perkara a quo.

V. KESIMPULAN/PENUTUP (Dalam Eksepsi, Konvensi dan Rekonvensi)

Bahwa berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka dengan segala kerendahan hati Para
Tergugat Dalam Konvensi, Penggugat Dalam Rekonvensi, menyerahkan sepenuhnya penilaian dan
mengkaji lebih jauh seksama dan obyektif kepada Yang Mulia Majelis Hakim dalam perkra a quo
untuk kemudian memberikan putuan sebaghai berikut :

I. DALAM EKSEPSI

- Menerima eksepsi Para Tergugat Konvensi seluruhnya;


- Menyatakan Gugatan Penggugat Konvensi tidak dapat diterima;
- Menghukum Para Tergugat unuk membayar segala biaya yang ti,bul dalam perkara ini.

II. DALAM POKOK PERKARA (DALAM KONVENSI)

1. Menolak gugatan Para Penggugat Dalam Konvensi untuk seluruhnya;


2. Menghukum Para Penggugat Dalam Konvensi untuk membayar biaya dalam perkara ini.

III. DALAM REKONVENSI

1. Menerima Gugatan Rekonvensi Para Penggugat Dalam Rekonvensi Tergugat Dalam


Konvensi seluruhnya;

2. Menyatakan bahwa Obyek Sengketa adalah milik Para Penggugat Dalam Rekonvensi
Tergugat Dalam Konvensi;

3. Menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor : 00971/Songka, Surat Ukur Nomor :
01407/Songka/2016 tanggal 05 Desember 2016, seluas 376 M2 atas nama SUGENG,
adalah sah dan berkekuatan huhum;

8
4. Menyatakan segala dokumen atau surat-surat yang berkaitan dengan Obyek Sengketa
selain menyatakan Obyek Gugatan adalah hak Para Penggugat Dalam Rekonvensi Para
Tergugat Dalam Konvensi, adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum;

5. Menghukum Para Tergugat Dalam Rekonvensi Penggugat Dalam Konvensi untuk segera
mengosongkan dan mengembalikan Obyek Sengketakepada Para Penggugat Dalam
Rekonvensi Para Tergugat Dalam Konvensi secara utuh dan sempurna sebagaimana
keadaan semula;

6. Menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik atas Tanah Nomor 00971/Songka, Surat Ukur
Nomor 01407/Songka/2016, tanggal 05 Desember 2016, seluas 376 M2 atas nama
SUGENG adalah sah dan berkekuatan hukum;

7. Menghukum Para Tergugat Dalam Rekonvensi Penggugat Dalam Konvensi secara


tanggung-renteng untuk membayar ganti rugi kepada Para Tergugat Dalam Konvensi
yang seluruhnya

8. Menghukum Para Tergugat Dalam Rekonvensi Penggugat Dalam Konvensi untuk


membayar uang paksa atau dwangsom sebesar Rp. 300.000.- ( Tiga Ratus Ribu Rupiah )
setiap harinya apabila lalai mengembalikan tanah sengketa kepada Para Penggugat
Dalam Rekonvensi terhitung mulai sejak putusan dapat dijalankan ( inkracht van gewizde
zaak );

9. Menghukum Para Tergugat Dalam Rekonvensi Penggugat Dalam Konvensi untuk


membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini.

10. Ex aequo et bono.-

Terima kasih .-

Hormat kami,

Kuasa Hukum Para Tergugat Dalam Konvensi,


Para Penggugat Dalam Rekonvensi,

ZULKIFLI. M, SH.-

Anda mungkin juga menyukai