Anda di halaman 1dari 98

Daftar Isi

1
I. Pemeriksaan Fisik Jantung

SUBJECTIVE DATA

No. EXAMINER ASK RATIONALE


1. Chest pain. Apakah anda merasakan nyeri atau Angina adalah gejala penyakit janting yang
sesak di bagian dada? pentiing. Angina terjadi ketika suply darah
Kapan terjadinya? Berapa lama? Sudah pernah ke otot jantung tidak adekuat sehingga tidak
merasa nyeri yang sama sebelumnya? Seberapa dapat memenuhi kebutuhan metabolisme
sering otot jantung.
Dimana lokasi nyeri? Apakah nyeri menyebar atau Karakteristik nyeri angina adalah dada
nyeri terjadi di tempat lain? terasa diremas-remas oleh kepalan tangan
Gambarkan karakter nyerinya? yang sangat keras.
Apakah nyeri timbul saat beraktivitas atau saat Untuk membedakan tanda gejala terkait
anda merasa marah atau setelah makan? jantung atau tidak.
Apakah ada tanda gejala terkait: berkeringat, kulit
kebiruan, denyut jantung terasa berhenti sesaat,
napas pendek, mual atau muntah, dada berdetak
kencang?
Apakah nyeri bertambah ketika anda menggerakan
tangan, bernafas atau tidur terlentang?
Apakah nyeri berkurang ketika anda istirahat atau
setelah minum nitrogliserin? Berapa tablet?
2. Dyspnea. Apakah nafas anda memendek? Dyspnea on Exertion (DOE) adalah gejala
Akitivitas seperti apa dan seberapa lama yang sesak napas yang terjadi setelah melakukan
menyebabkan napas anda menjadi pendek? aktivitas, misalnya setelah naik tangga 2
Apakah napas pendek datang tanpa dapat anda kali.
duga? Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Datangnya secara konstan atau hilang timbul? terjadi pada gagal jantung. Berbaring dapat
Apakah terpengaruh oleh posisi berbaring? meningkatkan volume darah intrathoracic
Apakah membangunkan anda saat malah hari? sehingga jantung yang sudah lemah tidak
Apakah hal ini mengganggu aktivitas anda dapat mengakomodir hal tersebut. Pasien
sehari-hari? akan terbangun setiap 2 jam sekali dengan
persepsi membutuhkan udara segar.
3. Orthopnea. Berapa bantal yang anda butuhkan Orthopnea mengasumsikan bahwa pasien
ketika tidur atau berbaring? membutuhkan psosisi yang lebih tegak
untuk bernapas saat beraring. Catat berapa
bantal yang dibutuhkan.
4. Batuk. Apakah anda batuk? Hemoptosisi sering terjadi pada penyakit
Sudah berapa lama anda batuk? paru, namun dpat juga terjadi pada mitral
Pakah anda batuk berhari-hari atau hanya pada jam stenosis.
tertentu?
Apakah batuknya kering, serak atau berdahak?
Apakah anda mengeluarkan dahak? Seperti apa
warnanya? Bau? Apakah terdapat darah?
5. Fatigue. Apakah anda merasa cepat lelah? Kelelahan akibat penurunan cardiac output
memburuk saat malam hari. Kelelahan
karena kecemasan atau depresi biasanya
Kapan anda merasa lelah? Tiba-tiba atau bertahap? terjadi sepanjang hari atau memburuk di
Apakah terdapat perubahan pada tingkat energi pagi hari.
anda?
Apakah kelelahan anda terjadi sepanjang hari atau
pada waktu-waktu tertentu?
6. Cyanosis atau pucat. Pernahkan anda melihat Cyanosis atau pucat terjadi akibat infark
kulit muka anda berubah menjadi biru atau miokardium atau penurunan cardiac output
keabu-abuan? yang menyebabkan turunnya perfusi
jaringan.
7. Edema. Apakah terjadi bengkak di tangan atau Edema yang terjadi pada gagal jantung
kaki? akan memburuk saat malam hari, dan akan
Kapan anda pertama kali menyadari terjadi membaik setelah mengangkat kaki atau
bengkak? istirahat di malam hari.
Apakah ada perubahan? Edema akibat penyakit jantung biasanya
Kapan bengkak terjadi? Apakah anda merasa terjadi billateral. Jika terjadi pada salah satu
sepatu anda sesak saat sore hari? kaki saja kemungkinan disebabkan oleh
Seberapa parah bengkaknya terjadi? Apakah gangguan vena lokal.
terjadi di kedua tangan atau kaki anda?
Apakah bengkak hilang saat anda istirahat,
mengangkat kaki anda, atau setelah tidur di malam
hari?
Apakah terait dengan gejala lain seperti sesak
napas? Jika iya, pakah sesak napas terjadi sebelum
atau sesudah bengkak?
8. Nocturia. Apakah anda terbangun di malam hari Nocturia terjadi akibat posisi recumbent
karena ingin buang air kecil yang sangat dikarenakan posisi ini meningkatkan
mendesak? reabsorpsi cairan dan ekskresi. Hal ini
terjadi pada pasien dengan gagal jantung
yang berkativitas di siang hari.
9. Riwayat penyakit kardiovaskuler pada
keluarga. Apakah ada keluarga yang mengalami
hipertensi, obesitas, diabetes, CAD, kematian
mendadak di usia muda?
10. Gaya hidup (risiko penyakit jantung). Faktor risiko CAD termasuk kadar
Tolong sebutkan menu anda sehari-hari? Berapa kolesterol yang tingg, BP tinggi, kadar gula
berat badan anda biasanya? Apakah ada darah tinggi diatas 130 mg/dl, obesitas,
perubahan? merokok, kurang olah raga,
Apakah anda merokok? Sejak usia berapa? Berapa postmenopausal women.
batang sehari? Apakah anda mencoba berhenti?
Kapan?
Apakah anda minum alkohol? Berapa banyak
sehari? Kapan terakhir anda minum alkohol?
Apakah anda berolahraga rutin setiap hari atau
setiap minggu? Jenis olahraga apa yg anda
lakukan? Apakah olahraga ringan, sedang atau
berat?
Apakah anda minum obat antihipertensi, beta
blockers, ca channel blockers, diuretic, aspirin,
atau obat-obatan yang lain?
OBJECTIVE DATA
A. NECK VESSEL
Pengkajian pembuluh darah di daerah leher (arteri carotis dan vena jugularis)
merupakan pemeriksaan kardiovaskuler yang cukup penting. Kedua pembuluh darah
ini mencerminkan efisiensi fungsi kardiovaskular.

1. Memeriksa Denyut Arteri Carotis


Raba setiap arteri carotis di otot sternomastoid di leher. Lakukan palpasi
dengan lembut, hindari penekanan berlebihan karena akan menyebabkan
vagal stimulation yang dapat menyebabkan penurunan denyut nadi,
khususnya pada lansia. Lakukan palpasi arteri karotis kanan dan kiri satu
peratu, hindari pemeriksaan pada dua arteri karotis dalam waktu yang sama
karena akan mengganggu sirkulasi darah di otak. Rasakan permukaan arteri
dan amplitudonya. Permukaan arteri karotis normalnya lembut dan kekuatan
denyutannya 2+.
Derajat kekuatan denyutan nadi:
3+, meningkat
2+, normal
1+, lemah
0, tidak ada
Auskultasi arteri karotis untuk mengetahui apakah ada bruit. Suara bruit
berupa suara tiupan dan desahan yang mengindikasikan adanya turbulensi
pada aliran darah. Normalnya tidak terdapat bruit. Lakukan auskultasi pada 3
tempat yaitu 1) sudut rahang bawah, 2) area midcervical, 3) dasar leher.
Instruksikan pasien untuk menarik napas, kemudian tahan. Hal ini bertujuan
agar bunyi napas tidak mengganggu auskultasi arteri carotis.

2. Vena Jugular
Posisikan pasien berbaring dengan sudut 30-45 derajat tanpa
menggunakan bantal untuk melakukan inspeksi pada vena jugularis.
Miringkan kepala pasien menjauhi pemeriksa. Distensi vena jugularis
eksterna dapat dilihat di atas otot sternomastoid dan denyutan vena
jugularis internal di sternal notch (cekungan antara klavikula diatas
manubrium sternum).
Vena jugularis dapat juga digunakan untuk mengukur tekanan vena sentral
atau CVP. Caranya adalah dengan memposisikan pasien berbaring sekitar
30-45 derajat. Miringkan kepala pasien ke arah menjauhi pemeriksa.
Letakkan penggaris secara vertikal di atas sudut Louis, kemudian tarik
garis lurus antara ujung atas dengyutan nadi dengan penggaris.
Normalnya denyutan vena jugularsi berada kurang dari atau sama dengan
2 cm diatas sudut Louis. Untuk membedakan vena jugularis dengan arteri
karotis, pemeriksa dapat melakukan hepatojugular reflux. Caranya adalah
dengan memposisikan pasien supine dengan nyaman. Perintahkan pasien
untuk relaks dan membuka mulutnya. Letakkan tangan kanan di Right
Upper Quadrant dan tangan kiri di bagian pinggang bawah. Dengan
lembut tekan perut, kemudian perhatikan apakah vena membesar atau
tidak. Vena jugularis akan membesar dengan adanya hepatojugular refluk
ini.

B. PREKORDIUM
1. INSPEKSI
Inspeksi dilakukan untuk melihat apical impulse. Denyutan ini dihasilkan
oleh ventrikel kiri yang berdenyut melawan dinding dada selama periode
systole. Anda dapat menggunakan penlight untuk membantu saat
pemeriksaan. Apical impulse dapat terlihat seperti gerakan dada yang
berdenyut kecil. Saat pemeriksaan apical impulse dapat terlihat dapat pula
tidak terlihat. Ketika apical impulse terlihat, normalnya berada di sekitar
intercosta ke 4 atau 5 midklavikula. Sangat mudah dilihat pada anak-anak
atau orang dengan dinding dada yang tipis.
Temuan abnormal:
Ketika terjadi ventrikel hipertrophy, terjadi peningkatan kerja otot jantung
sehingga dorongan ventrikel terhadap dinding dada akan lebih kuat dan besar.
Apical impulse akan terlihat ke arah lebih distal dari posisi normal.
2. PALPASI
Palpasi dilakukan untuk melakukan pemeriksaan Punctum maximum (apical
impulse), disebut apical impulse karena mewakili denyutan apex jantung.
Tentukan lokasi punctum maximum dengan satu jari, perintahkan pasien
untuk mengembuskan napas kemudian tahan (hal ini membantu
pemeriksaan). Pemeriksa juga dapat memiringkan pasien ke arah kiri pasien
dan periksa pergeseran punctum maximum. Punctum maximum teraba pada
sebagian besar orang dewasa dan tidak teraba pada orang yang obesitas atau
dinding dadanya tebal. Pada orang yang yang sedang cemas, demam,
hypertiroid dan anemia, punctum maximumnya akan meningkat pada
amplitudo dan durasinya.
Yang perlu di catat saat pemeriksaan palpasai prekordium adalah:
a. Lokasi: punctum maximum harus teraba hanya di 1 intercosta (ke 4 atau
ke 5), berada di garis midcalvicula.
b. Ukuran: normalnya 1x2 cm
c. Amplitudo: normanya pendek dan ketukannya lembut
d. Durasi: normalnya pendek, terjadi hanya ½ sistole.

Setelah memeriksa punctum maximum,


gunakan telapak tangan, lakukan palpasi pada
daerah apex untuk menemukan apakah
terdapat denyutan lain. Normalnya tidak ada
denyutan lain selain punctum maximum.

Denyutan abnormal pada prekordium


a. Thrill pada base jantung
Thirll adalah denyutan jantung yang teraba seperti getaran. Thrill pada
intercosta dua dan tiga bagian kanan terjadi karena stenosis aorta yang
parah dan hipertensi sistemik. Jika thrill terjadi pada intercosta dua dan
tiga bagian kiri terjadi karena stenosis pulmonic dan hipertensi pulmonal.
b. Denyutan di parasternum kiri
Denyutan yang keras pada bagian kiri terjadi karena hipertophy ventrikel
kanan, seperti pada pumonic valve disease, hipertensi pulmonal, dan
penyakit paru kronis. Pemeriksa akan merasakan denyutan kuat yang
panjang selama sistole pada bagian bawah parasternum kiri. Hal ini
disebabkan oleh ventrikel kiri yang berotasi secara posterior akibat
pembesaran ventirkel kanan.
c. Denyutan di apeks
Ketika terjadi dilatasi dan hipertrophy ventrikel kiri. Apical impulse akan
teraba lebih lateral dan lebih lebar. Hal ini disebabkan karena volume
overload. Hal ini terjadi pada mitral regurgitation, aortic regurgitation dan
left-to-right shunt. Apical impulse dapat meningkat durasi dan
kekuatannya tanpa disertai perubahan posisi terjadi pada left ventricular
hipertrophy tanpa adanya dilatasi. Hal ini disebabkan oleh pressure
overload. Dapat ditemukan pada stenosis aorta dan hipertensi sistemik.

3. PERKUSI
Perkusi pada prekordium di lakukan untuk menentukan batas-batas jantung
(ukuran jantung). Namun pemeriksaan ini lebih efektif dilakukan dengan
EKG dan foto rontgen dada. Pemeriksaan ini juga tidak terlalu efektif pada
wanita karena terdapat payudara dan pada orang gemuk dengan dinding dada
yang tebal (berotot).
4. AUSKULTASI
Auskultasi dilakukan untuk mendengarkan bunyi jantung yang dihasilkan
oleh katup-katup jantung. Untuk melakukan auskultasi, terlebih dahulu
pemeriksa menentukan lokasi auskultasi.
Area katup jantung:
Katup aorta : intercosta 2 parasternal kanan
Katup pulmo : intercosta 2 parasternal kiri
Katup trikuspid : intercosta 5 parasternal kiri
Katup mitral : intercosta 5 midclavikula kiri
Gunakan diafragma stetoskop untuk menentukan bunyi jantung. Saat
mendengarkan bunyi jantung, fokuslah pada kecepatan dan ritmenya,
identifikasi bunyi S1 dan s2, kaji jarak S1 dan S2, dengarkan apakah terdapat
bunyi jantung tambahan.
Yang perlu diperhatikan saat auskultasi jantung:
1. Catat kecepatan dan ritmenya.
Kecepatan normal antara 50-90 denyut per menit. Ritmenya harus teratur,
walaupun sinus aritmia normal ditemukan pada dewasa muda dan anak kecil.
Pada sinus aritmia, ritmenya bervariasi tergantung pada ritme pernapsan,
biasanya meningkat saat puncak inspirasi dan menurun saat ekspirasi. Jika
ditemukan irama irreguler, catat apakah irama irreguler tersebut memiliki
pola atau tidak beraturan.

2. Identifikasi S1 dan S2.


Bunyi S1 dihasilkan oleh penutupan katup AV. S1 menandakan awal dari
systole. S1 terdengar disemua lapang prekordium, namun paling keras
terdengar di apeks jantung. S2 dihasilkan oleh penutupan katup semilunar. S2
terdengar keras di base jantung.
3. Pemisahan bunyi jantung S2
Pemisahan bunyi jantung S2 adalah fenomena yang normal terjadi, hal ini
dipengaruhi oleh akhir inspirasi pada beberapa orang. Penutupan katup aorta
dan pulmonic lebih tepat dikatan hampir sinkron daripada bersamaan.
Inspirasi menyebabkan perbedaan waktu penutupan kedua katup semilunar.
Saat inspirasi katup aorta menutup lebih cepat 0.06 detik sebelum katup
pulmonic menutup. Pemeriksa akan mendengar bunyi T-DUP. Selama
ekspirasi penutupan kedua katup semilunar kembali sinkron.
4. Fokuslah pada systole kemudian diastole, setelah itu dengarkan apakah
terdapat bunyi jantung tambahan.

Abnormal findings Heart sound:


1. Murmur
Murmur adalah bunyi tiupan, desahan yang terjadi karena adanya
turbulensi aliran darah di jantung atau pembuluh darah besar. Murmur
dapat disebabkan oleh :Aortic stenosis, pulmonic stenosis, mitral
regurgitation, tricuspid regurgitation, mitral stenosis, tricuspid stenosis,
aortic regurgitation, pumonic regurgitation.
2. Bunyi jantung S3
S3 adalah bunyi pengisian ventrikuler. S3 terjadi selama awal diastole,
setelah bunyi S2. S3 mungkin saja normal (fisiologis) atau abnormal
(patologis). S3 fisiologis sering terdengar pada anak-anak atau dewasa
muda. Pada orang dewasa S3 selalu abnormal. S3 patologis disebut
sebagai ventrikular gallop. Keadaan ini berhubungan dengan penyakit
miokardial, heart failure yang menyebabkan ventrikel gagal memompakan
semua darah selama periode sistole.
3. Bunyi Jantung S4
S4 adalah bunyi gallop yang terdengar saat kontraksi atrium. S4 biasanya
terdengar ketika terjadi pembesaran atau hipertrofi ventrikel sehingga
ventrikel mengalami tahanan saat pengisian. Keadaan ini dapat
berhubungan dengan CAD, hipertensi, atau stenosis katup aorta.
PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG

Nama Mahasiswa :
NIM :
No Aspek yang dievaluasi Tingkat
0 1 2
1 Tahap Preinteraksi
1. Cek catatan perawatan klien
2. Cuci tangan
3. Siapkan alat - alat dan lingkungan
2 Tahap Orientasi
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
2. Jelaskan tujuan tindakan, prosedur, dan lamanya
tindakan pada klien/ keluarga
3 Meminta pasien membuka pakaiannya, memulai dengan cara
yang baik
4 Inpeksi ictus cordis
5 Palpasi punctum maximum
6 Perkusi dada anterior : lakukan secara sistematis untuk
menentukkan batas-batas jantung
7 Lakukan auskultasi jantung secara sistematis (4 lokasi katup, s1
dan s2, identifikasi jika ada bunyi jantung tambahan)
8 Beritahu pasien pemeriksaan sudah selesai dan sampaikan
hasilnya
9 Tahap Terminasi
1. Evaluasi hasil kegiatan
2. Lakukan kontrak yang akan datang
3. Cuci tangan
10 Dokumentasi
Total nilai

Keterangan :
0. Tidak dilakukan sama sekali Purwokerto,
1. Dilakukan tetapi tidak sempurna Evaluator,
2. Dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas lulus: 75 % ……………………


I. PEMERIKSAAN FISIK VASKULER

A. Pengantar
Sirkulasi darah terjadi melalui satu lengkungan arteri dan vena yang
kontinu serta terbagi menjadi sirkulasi pulmonal dan sistemik. Sirkulasi
pulmonal menghantarkan darah dari jantung ke paru, di mana darah
dioksigenasi dan kemudian dikembalikan ke jantung. Sirkulasi sistemik, atau
sistem vaskular perifer, meliputi arteri, arteriol, vena, venula, dan kapiler,
dimana sistem ini membawa darah dari jantung ke seluruh organ dan jaringan
lain dan kemudian membawa darah kembali ke jantung. Untuk menemukan
masalah pada pemebuluh darah tersebut perlu dilakukan dengan pemeriksaan
fisik vaskular.

B. Pengkajian Arteri dan Vena


1. Arteri Di Lengan
Setelah meluas melalui rongga dada/toraks, arteri subklavia menjadi arteri
aksilaris. Arteri aksilaris kemudian menyebrangi aksila dan menjadi arteri
brakhialis, yang terletak di dalam lekukan/sulkus bisep-trisep pada lengan
atas. Arteri brakhialis mengalirkan sebagian besar darah menuju lengan.
Pada fosa kubiti (yaitu lipatan siku), arteri brakhialis bercabang menjadi
arteri radialis dan arteri, yang meluas ke lengan bawah dan, selanjutnya
bercabang menjadi arkus palmaris yang mengalirkan darah ke telapak
tangan.

2. Arteri Di Tungkai

Setelah melewati daerah pelvis, arteri iliaka selanjutnya menjadi arteri


femoralis, yang bergerak turun di sebelah anterior paha. Arteri femoralis
mengalirkan darah ke kulit dan otot paha dalam. Pada bagian bawah paha,
arteri femoralis menyilang di posterior dan menjadi arteri poplitea. Di
bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi arteri tibialis anterior dan
tibialis posterior. Arteri tibialis bergerak turun di sebelah depan dari kaki
bagian bawah menuju bagian dorsal/punggung telapak kaki dan menjadi
arteri dorsalis pedis. Arteritibialis posterior bergerak turun menyusuri betis
dari kaki bagian bawah dan bercabang menjadi arteri plantaris di dalam
telapak kaki bagian bawah.
3. Vena di lengan
Arkus vena palmaris meluas dari tangan menuju lengan bawah, dimana
vena-vena ini menjadi vena radialis dan vena ulnaris. Saat vena ulnaris dan
radialis mencapai fosa kubiti (yaitu lipatan siku), vena-vena ini bergabung
untuk membentuk vena brakhialis. Saat vena brakhialis meluas melalui
lengan atas, vena ini bergabung dengan vena superfisialis lenan untuk
membentuk vena aksilaris, yang berjalan melalui aksila dan menjadi vena
subklavia di dalam rongga toraks. Vena subklavia membawa arau dari
lengan dan area toraks/dada menuju vena kava superior.

4. Vena di tungkai
Darah yang meninggalkan kapiler-kapiler di setiap jari kaki bergabung
membentuk jaringan vena plantaris. Jaringan plantar mengalirkan darah
menuju vena dalam kaki (yaitu vena tibialis anterior, tibialis posterior,
poplitea, dan femoralis). Vena safena magna dan safena parva superfisial
mengalirkan darah di telapak kaki dari arkus vena dorsalis menuju vena
poplitea dan femoralis.
Tanda dan gejala gangguan arteri perifer:
1. Nyeri otot kaki dan rasa kencang yang biasanya terjadi saat beraktivitas dan
reda dengan beristirahat.
2. Baal atau nyeri pada jari‐jari kaki, telapak kaki, dan kaki bagian bawah
3. Atrofi otot kaki.
4. Suhu permukaan kulit yang dingin.
5. Kuku jari kaki menebal dan mengeras
6. Edema perifer
7. Kelemahan otot kaki atau nyeri yang biasanya terjadi saat beraktivitas dan
reda dengan beristirahat.

Tanda dan gejala trombosis vena dalam:


1. Pembengkakan kaki unilateral
2. Nyeri atau rasa sakit
3. Perubahan warna kulit (yaitu., eritema, pucat, atau sianosis]
4. Palpasi adanya obstruksi seperti sumbatan dari gabus

Pemeriksaan Fisik vaskular

Pemeriksaan fisik sistem vaskular perifer meliputi inspeksi, auskultasi, dan


palpasi. Satu prinsip dasar dari penilaian vaskular perifer adalah perbandingan
satu sisi dengan sisi yang lain harus dilakukan selama inspeksi dan palpasi
ekstremitas.

Teknik
A. Langkah I (Inspeksi kulit lengan dan kaki)
Nilai hal-hal berikut:
1. Warna (catat ada/tidaknya sianosis, eritema, atau pucat)
2. Pertumbuhan rambut (catat area yang mengalami penurunan pertumbuhan
rambu yang disebabkan oleh berkurangnya sirkulasi).
3. Atrofi otot
4. Edema (catat/tidaknya adanya pembengkakan atau kulit yang mengkilat
dan kencang
5. Adanya varises
6. Ulserasi (catat ada/tidaknya luka terbuka)
7. Kuku (catat ada/tidaknya kuku yang menebal dan keras)

B. Langkah II (Palpasi lengan)


1. Palpasi denyut arteri radialis dan brakhial (catat laju, irama, tekanan, dan
simetrisitas denyut pada kedua lengan)
2. Derajat/tingkatan kekuatan (amplitude) denyut menggunakan skala dari 0
sampai 4:
⮚ 4+ Penuh

⮚ 3+ Meningkat

⮚ 2+ Normal
⮚ 1+ Lemah/Menurun

⮚ 0 tidak ada
Kekuatan harus secara bilateral sama besar.
HAL-HAL ABNORMAL
Denyut yang penuh atau meningkat terjadi pada status hiperkinetik (misal saat
olah raga, cemas/ansietas, demam tinggi, anemia, dan hipertiroidisme). Denyut
yang lemah terjadi pada penyakit arteri perifer atau syok.

Gb. Palpasi arteri radialis Gb. Palpasi arteri brachialis

C. Langkah III (palpasi isian ulang kapiler/capillary refill time)


1. Bentangkan tangan individu sejajar dengan tinggi jantungnya.
2. Tekan/remas dasar kuku setiap jari.
3. Lepaskan, dan catat lama/durasi kembalinya warna kuku.
4. Warna seharusnya kembali ke normal dalam 1 sampai 2 detik. Kondisi
tertentu (yaitu ruangan yang sejuk, menurunnya suhu tubuh, anemia) dapat
memperpanjang waktu ini.

HAL-HAL YANG ABNORMAL


Waktu kembalinya warna lebih dari 2 detik menandakan adanya vasokonstriksi,
menurunnya aliran darah, atau menurunnya kardiak output (gagal jantung).

D. Langkah IV (Palpasi Kaki)


1. Periksa suhu kulit dengan menggunakan punggung tangan sepanjang kaki
turun hingga telapak kaki, bandingkan titik-titik pada tiap kaki secara
simetris.
2. Kulit seharusnya hangat dan sama suhunya pada kedua kaki (bilateral).
3. Gunakan jari-jari, palpasi denyut pada kedua kaki di arteri femoralis,
poplitea, dorsalis pedis, dan arteri tibialis posterior.
4. Nilai laju denyut, irama, kekuatan, dan simetrisitas pada setiap kaki.
5. Golongkan dalam derajat kekuatan denyut menggunakan skala 0 sampai 4
dan bandingkan pada masing-masing kaki:
4+ Penuh
3+ Meningkat
2+ Normal
1+ Lemah/Menurun
0 tidak ada
PERHATIAN: Skala denyut adalah pemeriksaan subjektif.

HAL-HAL YANG ABNORMAL: PAD dapat menyebabkan denyut yang


berkurang atau lemah yang terjadi bilateral. TVD dapat menyebabkan denyut
yang lemah atau tidak adanya denyut pada kaki yang terkena jika dibandingkan
dengan kaki yang sehat.

Gb. Palpasi arteri femoralis Gb. Palpasi arteri poplitea Palpasi arteri dorsalis
pedis

E. Langkah V (Palpasi edema perifer)


1. Tekan dengan menggunakan dua jari tangan di atas tibia (tulang kering)
atau di puncak kaki selama paling tidak 5 detik lalu lepaskan.
2. Kulit seharusnya balik kembali dan tidak meninggalkan indentasi
(lekukan). Bila terdapat edema pitting, klasifikasikan dalam tingkatan
skala 1 sampai 4.
● 4+ Pitting yang sangat dalam, indentasi menetap dalam jangka
waktu lama, terdapat pembengkakan yang bermakna.
● 3+ Pitting yang dalam, indentasi menetap dalam jangka waktu
yang pendek,
● pembengkakan yang terlihat.
● 2+ Pitting sedang, indentasi menghilang dengan cepat, tidak
tampak pembengkakan.
● 1 + Pitting ringan, sedikit indentasi, tidak tampak pembengkakan.
PERHATIAN: Skala edema adalah pemeriksaan subjektif.
HAL-HAL YANG ABNORMAL: Edema pitting dapat terjadi akibat
beberapa sebab berbeda (misal PAD, TVD, gagal jantung kongestif, gagal
ginjal). Bila terdapat edema pitting, evaluasi tanda dan gejala yang lain
untuk menentukan penyebab.

F. Pemeriksaan Allen Test


Allen test berguna untuk memastikan patensi arteri ulnaris sebelum
pengambilan darah arteri radialis.
Langkah Allen test:
1. Anjurkan pasien untuk mengepal dan kemudian membuka kepalanny
berulang
kali
2. Anjurkan mengepal lagi dengan erat, kemudian tekan dengan ibu jari
pada arteri radialis dan ulnaris

3. Selanjutnya, minta pasien untuk membuka kepalan, tangan menjadi rileks,


posisi sedikit menekuk, telapak tangan terlihat pucat.

4. Lepaskan tekanan pada arteri ulnaris, jika ulnaris paten dalam waktu 3-5
detik telapak tangan menjadi merah kembali (pucat hilang).

5. Patensi arteri radialis dapat duji dengan mengulang tes dengan


melepaskan tekanan arteri radialis dan tetap menekan arteri ulnaris.
G. Pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI)
ABI adalah prosedur non invasif untuk menilai aliran darah arteri ekstremitas
bawah dengan membandingkan tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan
tekanan sistolik di lengan.
Peralatan yang diperlukan: Dopler dengan probe 8 MHz, sphigmo
manometer, stetoskop dengan mansetnya, jelly.

Langkah pemeriksaan ABI:


1. Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
2. Atur pasien pada posisi supinasi, anjurkan pasien beristirahat pada posisi
tersebut selama 10-20 menit sebelum prosedur pemeriksaan dilakukan.
3. Pasang manset tekanan darah pada lengan pasien, dan palpasi arteri
radialis, kemudian pasang dopler atau stetoskop di pulsasi arteri brachilis
4. Lakukan pengukuran tekanan darah di lengan, catat nilai sistoliknya
5. Lakukan pengukuran tekanan darah di kaki dengan memasang manset
pada kaki tepat di atas maleolus, cari pulsasi denyut arteri posterior tibia
atau dorsalis pedis.
6. Letakkan dopler pada area pulsasi tersebut, dan lakukan pngukuran
tekanan darah, catat nilai sistoliknya.
7. Bandingkan nilai sistolik di kaki dengan nilai sistolik di lengan
8. Interpretasikan hasil:
1,0 : Normal
≤ 0,9 : Mild ischemia
0.6–0.8 : Borderline perfusion
0.50–0.75 : Severe ischemia
≤ 0.49 : Critical ischemia, rest pain, or gangrene
> 1.0 : Unreliable.
CHEKLIST PEMERIKSAAN FISIK VASKULAR

Nama Mahasiswa :
NIM :
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
PRAINTERAKSI
1 Cek dokumentasi klien
2 Cuci tangan
3 Siapkan peralatan
ORIENTASI
1 Beri salam dan panggil pasien dengan nama kesukaannya.
Perkenalkan nama perawat jika merupakan pertemuan
pertama.
2 Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya kegiatan
KERJA
1 Berikan kesempatan kepada klien untuk bertanya
2 Tanyakan keluhan yang dirasakan
3 Dekatkan peralatan
4 Jaga privasi klien
5 Atur posisi supine
Pemeriksaan vaskular ekstremitas atas dan bawah
6 Lakukan inspeksi kulit lengan dan kaki ( bagaimana warna,
pertumbuhan rambut, varises, edema, pucat, atropi otot,
ulserasi)
7 Lakukan palpasi denyut arteri brakhialis dan radialis (catat
laju, irama, tekanan, dan simetrisitas denyut pada kedua
lengan)
8 Lakukan palpasi isian ulang kapiler/capillary refill time
9 Lakukan palpasi kaki (periksa suhu kedua kaki, palpasi
denyut arteri femoralis, poplitea, dorsalis pedis, tibia
posterior: nilai laju denyut, irama, kekuatan, dan
simetrisitas pada setiap kaki
10 Lakukan pemeriksaan edema perifer
Pemeriksaan Allen Test
11 Anjurkan pasien untuk mengepal dan kemudian membuka
kepalanny berulang kali.
12 Anjurkan mengepal lagi dengan erat, kemudian tekan
dengan ibu jari pada arteri radialis dan ulnaris
13 Selanjutnya, minta pasien untuk membuka kepalan, tangan
menjadi rileks, posisi sedikit menekuk, telapak tangan
terlihat pucat
14 Lepaskan tekanan pada arteri ulnaris, jika ulnaris paten
dalam waktu 3-5 detik telapak tangan menjadi merah
kembali (pucat hilang)
15 Patensi arteri radialis dapat duji dengan mengulang tes
dengan melepaskan tekanan arteri radialis dan tetap
menekan arteri ulnaris.
Pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI)
16 Lakukan pemeriksaan sistolik pada lengan
17 Lakukan pemeriksaan sistolik ankle
18 Bandingan nilai sistolik ankle dengan sistolik lengan dan
interpretasikan
TERMINASI
1 Evaluasi perasaan klien
2 Menyimpulkan hasil kegiatan
3 Berikan reinforcement
4 Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
5 Cuci tangan
DOKUMENTASI
1 Catat kondisi dan respon pasien sebelum, selama, dan
sesudah tindakan
Catatan :
....................................................................................................................................
............
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Batas Lulus 75% dari total nilai kegiatan
II. ELEKTROKARDIOGRAM

I. PENGERTIAN

EKG adalah suatu gambaran secara grafis mengenai aktivitas elektris dari
serabut otot jantung. Perekaman dengan EKG merupakan suatu metode pemeriksaan
yang sederhana dan tidak invasif.
Einthoven adalah pelopor dengan memperkenalkan galvanometer string pada
tahun 1903. Galvanometer senar ini adalah suatu instrumen yang sangat peka sekali
yang dapat mencatat perbedaan kecil dari tegangan, yaitu beberapa milivolt.
Perbedaan ini terjadi karena depolarisasi dan repolarisasi dari otot jantung. Perbedaan
tegangan ini disebarkan keseluruh permukaan tubuh yang kemudian melalui elektroda
dan kabel yang dipasang pada permukaan tubuh itu dialirkan ke alat EKG dan
muncullah gelombang EKG sebagai pencerminan aktivitas otot jantung tadi.
Sejak ditemukannya alat EKG ini terjadi kemajuan pesat dan sangat luar biasa
dalam pendiagnosaan dan terapi dalam penyakit jantung. Akan tetapi EKG hanyalah
alat untuk membantu perekaman saja, keadaan klinis dari pasien beserta keluhannya
(anamnesis) tetap merupakan pegangan yang lebih penting, karena itu sebuah hasil
EKG harus selalu dinilai dalam hubungannya dengan keluhan dan keadaan klinis
penderita.

II. DEPOLARISASI DAN REPOLARISASI

Otot jantung terbentuk dari serabut-serabut otot. Tiap serabut dikelilingi oleh
selaput sel, yang tersusun dari zat-zat lemak dan zat-zat putih telur. Selaput sel ini
merupakan suatu perbatasan "elektris", antara bagian dalam dan bagian luar dari sel.
Depolarisasi sel (serabut) otot
Dalam keadaan istirahat, cairan intraseluler sebuah sel, bermuatan negatif
terhadap cairan jaringan di sekitarnya (cairan ekstraseluler). Bagian dalam sel yang
sudah didepolarisasi itu, dalam waktu singkat bermuatan positif terhadap sekitarnya.
Depolarisasi ini dapat terjadi, oleh karena selaput sel menjadi mudah dilalui oleh ion
natrium; perpindahan ion natrium inilah yang menyebabkan terjadinya depolarisasi.
Di antara elektroda-mikro yang dipasang di dalam sel, dan elektroda ekstraseluler,
terdapat perbedaan tegangan sebesar -100 mV : yaitu yang disebut potensial-membran
(potensial-selaputsel)
Sebuah sel otot dalam keadaan istirahat, tetap mempunyai perbedaan tegangan
dari -100 mV. Karena perbedaan tegangan inilah sebuah otot akan mengalami proses
Depolarissasi (Fase aktif) yang kemudian diikuti oleh repolarisasi (Fase istirahat).
Oleh karena beberapa bagian serabut otot (otot jantung), lebih dulu didepolarisasi
daripada bagian-bagian lainnya, terjadilah perbedaan tegangan dalam arah
memanjang dari serabut, dengan akibat terjadinya perpindahan ion. Bila seandainya
semua serabut otot miokard, didepolarisasi secara serentak dan seluruhnya, tentu tidak
akan terjadi perpindahan ion, dengan akibat tidak ada perbedaan tegangan yang dapat
direkam.
Pada saat otot Jantung mengalami depolarisasi maka ketika dilihat dengan alat
pengukur potensial Membran (galvanometer) akan mengakibatkan pergerakan
gelombang kearah atas, yang kemudian diikuti oleh proses repolarisasi digambarkan
dengan penurunan gelombang.
Arus ion terjadi pada bidang pemisah, antara serabut otot yang belum, dan
yang sudah didepolarisasi. Arus ini bekerja sebagai depolarisator pada bagian, di
mana selaput sel masih dalam keadaan istirahat, dan dengan demikian garis depan
depolarisasi terus berpindah. Serabut otot jantung secara bersama-sama (sebagian dari
jantung), disebut sebagai garis depan eksitasi.
III. SISTEM KONDUKSI JANTUNG

Di dalam miokard terdapat dua jenis sel otot jantung. Otot jantung dalam arti
kata yang sebenarnya, dan otot jantung yang sudah didiferensiasi menjadi sel yang
dapat membentuk rangsangan: yaitu sel simpul sinus dan sel penghantar rangsangan.
Yang terakhir ini, adalah sel AV-junction (yaitu simpul AV dengan serabut aferen,
serabut yang menembus, dan berkas His), sel cabang berkas, dan sel serabut Purkinje.
Kesemua sel hantaran ini juga mempunyai kemampuan untuk membentuk rangsangan
secara mandiri. Kemampuan ini antara lain timbul, bila terjadi suatu blok (rintangan),
maupun bila sel hantaran tertentu tidak berfungsi, karena menderita kerusakan.
Makin jauh kita berada dari simpul sinus, maka depolarisasi spontan sel
hantaran ini, akan menjadi makin lebih lambat. Dalam keadaan normal, simpul sinus
memimpin depolarisasi. Depolarisasi ini, bergerak maju sebagai garis depan yang
berupa lingkaran konsentris, melalui kedua atria. Simpul AV kemudian mengambil
alih rangsangan, dan melalui berkas His, serta kedua cabangnya, depolarisasi tersebut
akhirnya sampai pada ventrikel.
Depolarisasi dari dinding ventrikel terjadi dari dalam keluar, jadi dari
endokard ke epikard. Hantaran yang terjadi pada sisi endokard, melalui jaringan
hantaran yang spesifik tersebut, adalah kurang lebih sepuluh kali lebih cepat daripada
gerakan garis depan aktivasi, di dalam otot jantung. Dengan begitu, depolarisasi dari
kedua ventrikel, dapat dibayangkan sebagai sejumlah besar panah dalam satu bidang
frontal yang menunjukkan ke mana arah gerakan maju depolarisasi itu. Jumlah panah
yang banyak itu, dapat dikurangi menjadi tiga buah vektor atau potensial, yang sudah
dipadukan, dengan arah dan besar yang spesifik mereka masing-masing.
Depolarisasi dimulai pada sisi kiri septum ventrikulorum, dan kemudian pada
sisi kanannya. Di samping itu, daerah sisi kiri septum ventrikulorum yang diaktifkan,
adalah lebih besar daripada daerah sisi yang kanan. Secara singkat dapat digambarkan
arah sistem konduksi jantung sebagai berikut:
a. Sel-sel pacemaker sebagai sumber bioelektrik jantung. Pada keadaan normal sel
pacemaker dominan berada di nodus/titik SA.
b. Sel-sel konduksi (jaringan neuromuskuler yang membentuk traktus internodal
atrium, berkas his atau serabut purkinye) sebagai kawat penghantar arus
bioelektrik.
c. Sel-sel miokardium yang berfungsi untuk kontraksi.
IV. DASAR-DASAR EKG

EKG adalah suatu gambaran grafis dari perbedaan potensial antara dua titik
pada permukaan tubuh. Dengan ini terjadi kurva, yang terdiri dari berbagai puncak.
Puncak yang menuju ke atas disebut positif, dan yang menuju ke bawah disebut
negatif .
Puncak P disebabkan karena depolarisasi atrium. Q, R dan S membentuk
bersama-sama kompleks QRS, dan ini adalah hasil dari depolarisasi ventrikel. Setelah
kompleks QRS, menyusul puncak T, yang merupakan ungkapan dari repolarisasi
ventrikel.
Bahwa repolarisasi dari atrium sering tidak jelas terlihat pada EKG adalah
disebabkan karena gelombang repolarisasi ini kira-kira terjadi bersamaan dengan
depolarisasi ventrikel (QRS), sehingga hilang ke dalamnya.
Pemberian nama dari puncak-puncak dalam kompleks QRS, adalah sebagai
berikut. Gelombang pertama, bila negatif, dinamakan Q. Defleksi positif pertama
adalah R. Defleksi positif kedua disebut R' (R aksen). Defleksi negatif pertama
sesudah R disebut S, suatu defleksi negatif sesudah R' disebut S'. Huruf kecil q, r dan
s, dan berturut-turut r' dan s', digunakan bila defleksinya adalah kecil. Lihat gambar di
bawah ini:
V. BENTUK GELOMBANG EKG

1. Gelombang EKG ( EKG wave) dan interval


a. P wave/ gelombang P : Depolarisasi atrium kanan dan kiri
b. QRS complex/ kompleks QRS : Depolarisasi ventrikel kanan dan kiri
c. ST-T wave : Repolarisasi ventrikel
d. U wave/ gelombang U : asal gelombang ini tidak jelas, tetapi mungkin
representasi dari “afterdepolarizations” di ventrikel.
e. PR interval/ Interval PR : interval waktu dari onset depolarisasi atrium sampai
onset depolarisasi ventrikel.
f. QRS duration/ durasi QRS : durasi depolarisasi otot ventrikel.
g. QT interval/ interval QT : durasi dari depolarisai dan repolarisasi ventrikel
h. RR interval/ interval RR: durasi dari siklus ventrikel jantung( indicator kecepatan
ventrikel)
i. PP interval : durasi dari siklus atrial

2. Orientasi spasial 12 lead EKG


Penting untuk di ingat bahwa EKG 12 lead menyediakan informasi spasial tentang
aktivitas listrik jantung dalam sedikitnya 3 daerah ortogonal (RA = right arm; LA
= left arm, LF = left foot).
Setiap lead standar representasi orientasi ruang, sebagai mana ditunjukkan di bawah
ini:
a. Bipolar limb leads (frontal plane):
o Lead I: RA (-) to LA (+) (Right Left, or lateral)
o Lead II: RA (-) to LF (+) (Superior Inferior)
o Lead III: LA (-) to LF (+) (Superior Inferior)
b. Augmented unipolar limb leads (frontal plane):
o Lead aVR: RA (+) to [LA & LF] (-) (Rightward)
o Lead aVL: LA (+) to [RA & LF] (-) (Leftward)
o Lead aVF: LF (+) to [RA & LA] (-) (Inferior)
c. Unipolar (+) chest leads (horizontal plane):
o Leads V1, V2, V3: (Posterior Anterior)
o Leads V4, V5, V6:(Right Left, or lateral)

VI. KERTAS EKG

Kecepatan gerak dari kertas elektrokardiografis, adalah 25 mm per-detik.


Kecepatan gerak yang lebih tinggi, misalnya 50 mm per detik, tidak menguntungkan
untuk penilaian EKG, oleh .karena itu biasanya tidak digunakan.
Alat EKG telah ditera sedemikian rupa, hingga defleksi dari pena yang mencatat pada
kertas, setinggi 10 mm, ialah sesuai dengan perbedaan tegangan sebesar I mV. Pada
voltase yang lebih, misalnya pada hipertrofi dari ventrikel kiri, kadang-kadang kita
menggunakan teraan separuhnya (jadi I mV adalah sesuai dengan 5 mm).
Apabila kompleks EKG terlalu besar, maka standarisasi amplitudo dapat dirubah
menjadi 2 (artinya 2 cm mewakili 1 mV).

VII. SADAPAN EKG

Oleh Einthoven telah diperkenalkan tiga sadapan standar, yaitu :


a. I lengan kanan - lengan kiri,
b. II lengan kanan - kaki kiri,
c. III lengan kiri - kaki kiri
Elektroda yang dipasang pada kaki kanan, adalah untuk menghubungkan
penderita dengan tanah. Seperti sudah dijelaskan, EKG adalah suatu rekaman grafts,
dari perbedaan potensial, antara dua titik pada permukaan tubuh.
Pada sadapan I, diukur perbedaan potensial antara lengan kanan dan lengan
kiri, pada sadapan II dan III, berturut-turut antara lengan kanan - kaki kiri, dan lengan
kiri - kaki kiri .
Wilson memperkenalkan elektrokardiografi unipolar. Di sini diukur antara
terminal sentral (CT) dan suatu titik pada permukaan tubuh (satu pool = satu kutub).
CT diperoleh dengan cara menghubungkan ketiga ekstremitas dengan pertolongan
suatu saklar-hambatan tertentu, melalui mana kita dapat memperoleh satu titik,
dengan potensial yang konstan, yang mempunyai nilai mendekati nol.
Elektroda yang menjelajah (explore) (unipoler) diletakkan pada pundak kanan
(VR), pada pundak kiri (VL), dan pada kaki kiri atau pinggul (VF).
Dengan cara memutuskan hubungan antara CT dan ekstremitas yang bersangkutan,
kita akan memperoleh hasil yang diperkuat (augmented = a), berturut-turut aVR, aVL
dan aVF.
Dalam keadaan yang sebenarnya, elektroda tidak diletakkan pada pundak
dan/atau pinggul, tetapi berturut-turut pada pergelangan tangan dan pergelangan kaki;
sebab, pergelangan tangan atau pergelangan kaki, adalah sarna saja seperti pundak
atau pinggul, karena lengan atau tungkai bawah yang terletak di antaranya, adalah
merupakan "sambungan kawat elektroda".
Terdapat enam sadapan unipoler pada dinding toraks yang diketahui. Dengan
cara ini, kita mengukur perbedaan potensial antara titik CT dan elektroda yang
menjelajah, pada dinding toraks. Elektroda dipasang pada enam tempat yang
berbeda-beda pada dinding toraks:
⮚ VI ; sela interkostal keempat kanan, bersebelahan dengan sternum,

⮚ V2 : sela interkostal keempat kiri, bersebelahan dengan sternum,

⮚ V3 : diantara V2 dan V4,

⮚ V4 : pada garis medioklavikuler dalam sela interkostal lima,

⮚ V5 : di antara V 4 dan V 6,

⮚ V6 ; pada garis aksiler tengah, sebelah kiri horisontal dari V4.

Bentuk (construction) teoretis dari EKG

SADAPAN BIPOLER I, II DAN III


Elektrokardiogram dapat juga merupakan perpaduan dari ketiga vektor dalam
bidang frontal. Untuk itu digunakan suatu segitiga sama sisi. Segitiga ini adalah
ciptaan Einthoven sebagai bentuk khayal untuk menggambarkan keterkaitan antara
sadapan I, II dan III.
Jantung dianggap sebagai titik khayal, yang terletak di tengah-tengah segitiga.
Aktivasi otot jantung secara elektris, menyebabkan terjadinya vektor yang tergambar
sebagai panah dalam segitiga. Karena proyeksi dari ketiga vektor tersebut pada
sisi-sisi segitiga, maka dapat dihitung bagaimana wujud dari sadapan I, II dan III itu.
Alat EKG sudah disambungkan sedemikian rupa, sehingga apabila pundak kiri
menjadi positif, maka defleksi pada sadapan I mengarah ke atas. Begitu pula, apabila
kaki kiri menjadi positif, maka defleksi pada sadapan II dan III juga mengarah ke atas.

SADAPAN UNIPOLER
Telah dikenal sembilan sadapan unipoler: aVR, aVL, aVF, dan VI s.d V6.
Sadapan VI s.d V6 adalah unipoler, sadapan aVR, aVL dan aVF telah diperkuat
secara artifisial (buatan), dan karena itu sebenarnya tidak lagi unipoler, tetapi
walaupun demikian, mereka dapat dianggap sebagai unipoler. Vektor yang mengarah
pada elektroda yang menjelajah, direkam positif (keatas), dan sebaliknya vektor yang
menjauhi elektroda yang menjelajah, direkam negatif (kebawah).
Sadapan aVR. Sadapan ini memperlihatkan terutama suatu defleksi yang negatif.
Vektor kedua mengarah menjauhi elektroda, vektor ketiga mengarah menuju ke
elektroda. Dengan begitu terjadi pertama-tama suatu defleksi negatif yang besar
(gelombang Q), diikuti oleh gelombang positif yang keci1 (puncak r) : terdapatlah
suatu kompleks Qr.
Sadapan aVL. Vektor pertama direkam negatif, yang kedua dapat terekam positif yang
cukup kuat, apabila sumbu elektrisnya mengarah ke horisontal, atau bahkan bila
mengarah ke kiri atas. Kita melihat suatu kompleks Qr.
Sadapan aVF. Vektor pertama, boleh dikatakan berdiri tegak lurus pada sumbu
vertikal, sehingga dengan demikian vektor tersebut tidak akan mewujudkan dirinya
dalam konfigurasi aVF. Vektor kedua, tergantung dari kedudukan sumbu elektrisnya,
akan menyebabkan puncak R (pada sumbu.vertikal), atau suatu gelombang S (pada
sumbu horisontal). Vektor ketiga, berperan pada pembentukan gelombang S. Suatu
kompleks Rs.
Sadapan V1. Vektor pertarna direkarn positif, yang kedua negatif, yang ketiga
kadang-kadang masih agak positif. Terdapat suatu kompleks rS, kadang-kadang
lompleks rSr'.
Sadapan V6. Vektor pertarna direkarn negatif, kedua positif, ketiga negatif. Terdapat
suatu kompleks qRs.
Dengan menyusuri dinding toraks dari kanan ke kiri, dari V I ke V 6, maka
elektroda yang menjelajah memperoleh vektor-vektor yang Iebih besar, berasal dari
ventrikel kiri. Pada saat rangsangan melewati septum vertrikulorum, yaitu pada
daerah transisi, R menjadi lebih besar daripada S. R pada V5, sering lebih besar
daripada R pada V6. Sebab, elektroda pada V6 terietak lebih jauh dari jantung,
lebih-lebih lagi karena terdapat banyak jaringan paru-paru (merupakan hantaran yang
buruk), yang terletak di antara jantung dan elektroda.

VIII. METODA INTERPRETASI EKG

Metoda ini disarankan ketika membaca semua Lead EKG dari 12 lead standar. Seperti
pemeriksaan fisik, sangat dianjurkan mengikuti urutan langkah-langkah untuk
menghindari kelainan jantung yang terlewat ketika membaca EKG, yang mungkin
mempunyai arti klinis penting. Enam bagian utama yang harus dipertimbangkan
adalah:

1. Pengukuran
2. Analisis irama
3. Analisis konduksi jantung
4. Deskripsi bentuk gelombang
5. Interpretasi ekg
6. Pembandingan dengan hasil perekaman EKG terdahulu

1. Pengukuran
Biasanya dibuat pada Lead frontal

o Heart Rate (HR) : (nyatakan atrium dan ventrikel bila keduanya mempunyai
frekuensi yang berbeda)
o Interval PR : dari awal gelombang P hingga awal kompleks QRS
o Durasi QRS kompleks : (width of most representative QRS)
o Interval QT : dari awal kompleks QRS hingga akhir gelombang T
o Aksis QRS kompleks pada Lead Frontal

  First find the isoelectric lead if there is one; i.e., the lead with equal forces in
the positive and negative direction. Often this is the lead with the smallest
QRS.
  The QRS axis is perpendicular to that lead's orientation (see above diagram).
  Since there are two perpendiculars to each isoelectric lead, chose the
perpendicular that best fits the direction of the other ECG leads.
  If there is no isoelectric lead, there are usually two leads that are nearly
isoelectric, and these are always 30o apart. Find the perpendiculars for each
lead and chose an approximate QRS axis within the 30o range.
  Occasionally each of the 6 frontal plane leads is small and/or isoelectric. The
axis cannot be determined and is called indeterminate. This is a normal
variant
Contoh axis normal:
Lead aVF is the isoelectric lead.
The two perpendiculars to aVF are 0 o
and 180 o.
Lead I is positive (i.e., oriented to the
left).
Therefore, the axis has to be 0 o.

Kelainan axis:
1. LAD ( Left Axis Deviation)

Lead aVR is the smallest and isoelectric


lead.
The two perpendiculars are -60 o and
+120 o.
Leads II and III are mostly negative (i.e.,
moving away from the + left leg)
The axis, therefore, is -60 o.

2. RAD ( Right Axis Deviation)

Lead aVR is closest to being isoelectric


(slightly more positive than negative)
The two perpendiculars are -60 o and +120 o.
Lead I is mostly negative; lead III is mostly
positive.
Therefore the axis is close to +120 o. Because
aVR is slightly more positive, the axis is
slightly beyond +120 o (i.e., closer to the
positive right arm for aVR).
2. Analisis irama
o Irama dasar (seperti: "normal sinus rhythm", "atrial fibrillation", dan lain-lain)
o Identifikasi irama tambahan bila ada (seperti: "PVC's", "PAC's", dan lain-lain)
o Pertimbangkan asal irama, dari atrium, AV junction, ventrikel.

3. Analisis konduksi
Konduksi normal berarti konduksi SA node, AV node, interventrikular.
o Identifikasi abnormalitas konduksi berikut ini:
▪ SA block: 2nd degree (type I vs. type II)

▪ AV block: 1st, 2nd (type I vs. type II), and 3rd degree

▪ IV block: bundle branch, fascicular, and nonspecific blocks

▪ Exit blocks: blocks just distal to ectopic pacemaker site

4. Diskripsi bentuk gelombang


Analisis secara hati-hati kelainan bentuk gelombang EKG yang mungkin pada
semua lead standar: gelombang P (P-wave), QRS complex, ST segment, T wave,
U wave.
o P wave : apakah terlalu lebar, terlalu tinggi, bentuk yang aneh, ektopik, dan
lain-lain.
o QRS complex : carilah gelombang Q patologis
o ST segment : carilah elevasi, depresi segmen ST abnormal
o T wave : carilah Inverted T wave abnormal
o U wave : carilah prominent atau inverted U waves

5. Interpretasi EKG
Ini merupakan kesimpulan dari analisis di atas. Interpretasikanlah sebagai
"Normal", or "Abnormal". Biasanya istilah "borderline" digunakan bila ditemukan
kelainan yang tidak signifikan. Cantumkan semua abnormalitas yang ditemukan,
seperti:
o Miocard Infark (MI) inferior, kemungkinan akut
o Old anteroseptal MI
o Left anterior fascicular block (LAFB)
o Left ventricular hypertrophy (LVH)
o Nonspecific ST-T wave abnormalities
o Abnormalitas irama yang lain, seperti:
Left Anterior Fascicular Block (LAFB)-KH
Frank G.Yanowitz, M.D.
HR=72bpm; PR=0.16s; QRS=0.09s; QT=0.36s; QRS
axis = -70o (left axis deviation). Normal sinus rhythm;
normal SA and AV conduction; rS in leads II, III,
aVF.
Interpretation: Abnormal ECG: 1)Left anterior
fascicular block

6. Pembandingan dengan hasil perekaman EKG terdahulu


bila ada hasil rekaman EKG terdahulu penderita, EKG sekarang sebaiknya
dibandingkan untuk melihat apakah ada perubahan yang signifikan. Perubahan ini
mungkin mempunyai dampak penting dalam pengambilah keputusan klinis.

Karakteristik ekg normal


Penting diingat bahwa ada variasi normal yang luas pada lead standar. Perlu
pengalaman . Berikut karakteristik EKG normal, (meskipun tidak absolute):
Topiks :
1. Pengukuran
2. Irama
3. Konduksi jantung
4. Deskripsi bentuk gelombang
1. Pengukuran
Heart Rate: 60 - 90 x per menit

Because ECG paper moves at a standardized


25mm/sec, the vertical lines can be used to measure
time. There is a 0.20 sec between 2 of the large
lines. Therefore, if you count the number of heart
beats (QRS complexes) in between 30 large boxes (6
seconds) and multiply by 10, you have beats per
minute. Conveniently, ECG paper usually has
special markings every 3 seconds so you don't have
to count 30 large boxes.
There is, however, an easier and quicker way to
estimate the heart rate. As seen in the diagram
below, when QRS complexes are 1 box apart the rate
is 300 bpm. 2 boxes apart...150 bpm, etc. So if you
memorize these simple numbers you can estimate
the heart rate at a glance!

PR Interval : 0.12 - 0.20 sec


QRS Duration : 0.06 - 0.10 sec
QT Interval (QTc < 0.40 sec)
o Bazett's Formula : QTc = (QT)/SqRoot RR (in seconds)
o Poor Man's Guide to upper limits of QT: For HR = 70 bpm, QT<0.40 sec;
for every 10 bpm increase above 70 subtract 0.02 sec, and for every 10
bpm decrease below 70 add 0.02 sec. For
example:
QT < 0.38 @ 80 bpm
QT < 0.42 @ 60 bpm
Frontal Plane QRS Axis: +90 o to -30 o (in the adult)

2. Rhythm/ Irama:
Normal sinus rhythm, Gelombang P di lead I dan II harus upright (positive), jika
irama berasal dari sinus node.

3. Konduksi:
Normal Sino-atrial (SA), Atrio-ventricular (AV), and Intraventricular (IV.
Conduction, bila kedua PR interval dan QRS duration berada dalam range di atas.
4. Diskripsi bentuk gelombang:
EKG normal ditunjukkan di bawah ini, bandingkan dengan diskripsi selanjutnya.

o P Wave
Penting diingat bahwa P wave merupakan representasi aktifitas atrium dekstra
dan sinistra, dan sering terlihat notch atau biphasic P waves
▪ P duration < 0.12 sec

▪ P amplitude < 2.5 mm

▪ Frontal plane P wave axis: 0o to +75o

▪ May see notched P waves in frontal plane

o QRS Complex
Merupakan representasi aktivitas depolarisasi ventrikel dekstra dan sinistra.
▪ QRS duration < 0.10 sec

▪ QRS amplitude berbeda pada tiap lead, pada tiap individu. Dua determinan
dari tegangan QRSadalah:
- Ukuran ventrikel, semakin besar ventrikel, semakin besar tegangan.
- Jarak electrode dari ventrikel, semakin dekat, semakin besar tegangan.

o Frontal plane leads:


● Range QRS axis normal (+90 o to -30 o ); ini berarti QRS komplex
positive (upright) di leadsII dan I.
● Normal q-waves reflect normal septal activation (beginning on the LV
septum); they are narrow (<0.04s duration) and small (<25% the amplitude
of the R wave). They are often seen in leads I and aVL when the QRS axis is
to the left of +60o, and in leads II, III, aVF when the QRS axis is to the right
of +60o. Septal q waves should not be confused with the pathologic Q
waves of myocardial infarction.

o Precordial leads: (see Normal ECG)

Normal ECG

Frank G. Yanowitz, M.D., copyright 1997


- Small r-waves begin in V1 or V2 and progress in size to V5. The R-V6 is usually
smaller than R-V5.
- In reverse, the s-waves begin in V6 or V5 and progress in size to V2. S-V1 is
usually smaller than S-V2.
- The usual transition from S>R in the right precordial leads to R>S in the left
precordial leads is V3 or V4.
- Small "septal" q-waves may be seen in leads V5 and V6.

o ST Segment dan T wave


In a sense, the term "ST segment" is a misnomer, because a discrete ST
segment distinct from the T wave is usually absent. More often the ST-T wave
is a smooth, continuous waveform beginning with the J-point (end of QRS),
slowly rising to the peak of the T and followed by a rapid descent to the
isoelectric baseline or the onset of the U wave. This gives rise to an
asymmetrical T wave. In some normal individuals, particularly women, the T
wave is symmetrical and a distinct, horizontal ST segment is present.
The normal T wave is usually in the same direction as the QRS except in the
right precordial leads. In the normal ECG the T wave is always upright in
leads I, II, V3-6, and always inverted in lead aVR.

● Normal ST segment elevation: this occurs in leads with large S waves (e.g.,
V1-3), and the normal configuration is concave upward. ST segment elevation
with concave upward appearance may also be seen in other leads; this is often
called early repolarization, although it's a term with little physiologic meaning
(see example of "early repolarization" in leads V4-6):

● Convex or straight upward ST segment elevation (e.g., leads II, III, aVF) is
abnormal and suggests transmural injury or infarction:
● ST segment depression is always an abnormal finding, although often
nonspecific (see ECG below):

● ST segment depression is often characterized as "upsloping", "horizontal", or


"downsloping".

o The normal U Wave: (the most neglected of the ECG waveforms)


▪ U wave amplitude is usually < 1/3 T wave amplitude in same lead

▪ U wave direction is the same as T wave direction in that lead

▪ U waves are more prominent at slow heart rates and usually best seen in
the right precordial leads.
▪ Origin of the U wave is thought to be related to afterdepolarizations
which interrupt or follow repolarization.

Laporan Hasil Rekaman


pengukuran
Heart Rate (HR) 60 - 90 x per : Kali per menit
menit
Interval PR 0.12 - 0.20 sec : Detik
Durasi QRS kompleks 0.06 - : Detik
0.10 sec
Interval QT (QTc < 0.40 sec) : Detik
Aksis QRS kompleks : º
P wave
: Detik
▪ P duration < 0.12 sec
: Detik
▪ P amplitude < 2.5 mm : º
:
▪ Frontal plane P wave
axis: 0o to +75o
▪ May see notched P
waves in frontal plane
ST segment Isoelektrik
Elevasi
Depresi
"upsloping",
"horizontal",
"downsloping
"
T wave
U wave

Irama:
o Irama dasar :
o Irama tambahan bila :
o Asal irama :
Abnormalitas konduksi :
Interpretasi :

IX. TEKNIK PEREKAMAN EKG

Tehnik perekaman EKG merupakan hal yang kecil namun penting dalam membuat
gambaran EKG yang baik. Perlu diketahui bahwa hanya gambaran yang baik yang
dapat memberikan intepretasi yang tepat.

a. Persiapan penderita
Pasien yang akan diperiksa harus berada dalam keadaan santai, diam dan berbaring
terlentang, karena dalam posisi ini keadaan jantung dalam keadaan yang sebenarnya.
Badan yang kotor atau penuh minyak harus dibersihkan terlebih dahulu. Sebaiknya
klien tidak dalam keadaan terlalu lapar atau terlalu kenyang.

b. Ruangan atau tempat pemeriksaan


Kamar EKG harus sejuk, tenang dan nyaman. Tidak boleh berdekatan dengan alat-alat
X-ray, mesin bermotor atau mesin bertegangan listrik tinggi. Selama perekaman
berlangsung, benda-benda listrik seperti radio, Televisi, pemanas ruangan, AC dan
sebagainya yang ada di dalam kamar harus dimatikan. Tempat tidur untuk pasien
sebaiknya terbuat dari kayu atau bahan non-konduktor dan tempat tidur tersebut tidak
boleh bersentuhan dengan dinding yang mengandung kabel yang beraliran listrik.

c. Instrumen EKG
Mesin EKG harus diletakkan pada meja yang kokoh. Kabel listrik mesin EKG tidak
boleh melewati badan penderita atau dibawah tempat tidur penderita karena hal-hal
tersebut akan menimbulkan Acinterverence.

d. Prosedur perekaman
Pertama-tama mengatur standarisasi 1 mV untuk semua sandapan, dengan demikian
apabila nantinya voltase dirubah karena gelombang yang terekam terlalu besar atau
terlalu kecil, maka voltase EKG yang sebenarnya masih dapat diketahui. Kemudian
mengatur centering agar baseline berada di tengah-tengah kertas EKG. Harus
diperhatikan pula apakah semua elektroda sudah berada tepat pada tempatnya.
Pembubuhan jelly pada semua elektroda harus merata. Apabila ada elektroda yang
terlalu benyak dibubuhi jelly sedangkan yang lain terlalu sedikit, maka perbedaan
resistensi antara elektroda ini akan mengakibatkan konfigurasi EKG yang terekam
berlainan dengan yang sebenarnya. Kabel merah /R pada tangan kanan; kabel kuning
/L pada tangan kiri; kabel hijau/Fpada kaki kiri; kabel hitam / N pada kaki kanan;
kabel merah/C1 pada SIC IV linea sternalis dextra; kabel kuning/C2 pada SIC IV
linea sternalis sinistra; kabel hijau/C3pada SIC V linea mid axillaris sinistra; kabel
coklat /C4 pada pertengahan elektrode C2 dan C3; kabel hitam/C5 pada setinggi C4,
linea axillaris anterior sinistra; kabel violet/C6 pada setinggi C4, linea axillaris lateral
sinistra.
CHECKLIST PENILAIAN EKG

NAMA :…………………………
NIM :…………………………
NILAI
ASPEK YANG DINILAI 1 2 3

Tahap Prainteraksi
1. Lakukan verifikasi order
2. Cuci tangan
3. Siapkan alat:
a. Mesin EKG lengkap
b. Ground
c. Handskun
d. Jelly EKG
e. Tissue
f. Kapas
g. Alkohol 70%
h. Bengkok
i. Gunting
j. Buku Catatan Perawat

Tahap orientasi
1. Memberi salam
2. Memperkenalkan nama diri
3. Jelaskan tujuan prosedur
4. Menjelaskan tentang kerahasiaan
Tahap kerja
1. Memberi kesempatan pada klien untuk bertanya sebelum kegiatan
2. Menanyakan keluhan saat ini
3. Memulai kegiatan dengan baik, jelaskan pada pasien untuk tetap
tenang selama pemeriksaan.
4. Pasien tidur terlentang
5. Baju/Pakaian atas dibuka
6. Bersihkan tempat yang akan dipasang elektroda dengan kapas
alcohol.
7. Bila tempat yang dipasang elektroda berambut sebaiknya dicukur
dulu.
8. Oleskan Jelly EKG di tempat yang akan dilakukan perekaman.
9. Sambungkan kabel secara benar:
a. Warna kuning pada tangan kiri
b. Warna merah pada tangan kanan
c. Hijau pada kaki kiri
d. Hitam pada kaki kanan
10. Tempatkan elektroda dengan baik dan benar (sadapan ekstremitas
maupun sadapan prekordial)
11. Untuk sadapan dada tempatkan di sela iga (Interkostae)
⮚ VI: sela interkostal keempat kanan, bersebelahan dengan sternum,
⮚ V2: sela interkostal keempat kiri, bersebelahan dengan sternum,

⮚ V3 : diantara V2 dan V4,

⮚ V4 : pada garis medioklavikuler dalam sela interkostal kelima,

⮚ V5 : di antara V 4 dan V 6,

⮚ V6 ; pada garis aksiler tengah, sebelah kiri horisontal dari V 4.


12. Perhatikan sambungan kabel dan elektroda, jangan sampai terbalik.
13. Berikan ground/arde yang baik.
14. Memulai perekaman EKG 12 Lead.
15. Setelah selesai potong kertas EKG yang telah ada rekamannya.
16. Lepaskan kembali elektroda yang terpasang
17. Bersihkan sisa jelly dengan menggunakan tissue.
18. Membantu mengenakan baju pasien.
19. Membereskan alat-alat EKG

Tahap Terminasi
1. Menanyakan pada klien tentang apa yang dirasakan.
2. Menyampaikan hasil pemeriksaan dengan bahasa yang dimengerti
klien.
3. Melakukan kontrak berikutnya
4. Memberikan reinforcement
5. Mengakhiri kegiatan dengan memberi salam
Dokumentasi:
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan keperawatan
2. Mencatat di kertas EKG nama dan identitas klien serta tanggal
perekaman

Keterangan:
1. Tidak dilakukan sama sekali
2. Dilakukan tetapi tidak sempurna
3. Dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas lulus: 75 %


III. PEMERIKSAAN FISIK PERNAFASAN

Sebelum melakukan pemeriksaan fisik thorax, alangkah baiknya perawat


mempersiapkan alat, pasien dan tempat pemeriksaan. Alat yang diperlukan dalam
pemeriksaan fisik thorax adalah stethoscope, penggaris kecil (dalam cm),
puplen/spidol, alcohol wipe. Siapkan ruangan yang hangat dan tertutup untuk menjaga
privasi pasien. Mintalah pasien untuk duduk tegak. Intruksikan kepada pasien
laki-laki untuk melepas baju atasan dan untuk pasien perempuan mintalah untuk
melepas baju atasan dan tutup bagian yang tidak perlu diperiksa (jika diperiksa pada
bagian posterior thorax maka bagian anterior harus ditutup). Lakukan inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi pada bagian posterior dan lateral thorax kemudian
ulangi hal tersebut untuk bagian anterior. Sebelum melakukan pemeriksaan cucilah
tangan dengan sabun kemudian hangatkan. Bersihkan bagian diafragma stethoscope
dengan alcohol wipe.

PULMONARY
1. INSPEKSI
a. Bentuk dada
Bagian posterior procesus spinosus harus ada dalam satu bidang lurus, bentuk
dinding dada simetris dan elips, lengkungan costae sekitar 45o dari tulang
spinal, letak skapula simetris di masing-masing hemithorax. Pada bagian
anterior perhatikan bentuk dinding dada dan kesimetrisan jarak intercostae.
Diameter anteroposterior (AP) dibandingkan dengan diameter transversal
normalnya adalah 1:2 atau 5:7.
● Normal  : diameter Anterior Posterior – transversal = 1:2
● Pigeont Chest (Pectus Carinatum): sternum menonjol kedepan, diameter
Anterior Posterior  >  transversal (riketsia, sindrom marfan, kifoskoliosis)
● Barrel Chest / dada tong : Anterior Posterior : transversal = 1:1
(emfisema)
● Funnel Chest (Pectus excavatum) : anterior Posterior mengecil, sternum
menonjol ke dalam (riketsia dan sindrom marfan)
b. Kualitas respirasi
Penggunaan otot intercostae, kedalaman dan frekuensi pernapasan.

c. Warna dan kondisi kulit


Catat jika ada sianosis, kemerahan, tonjolan ataupun lesi.
2. PALPASI
a. Symmetric Expansion
Bagian posterior: untuk mengetahui apakah ekspansi dada simetris, tempatkan
kedua tangan di posterior dinding dada dengan ibu jari setinggi T9 atau T10.
Dorong ibu jari ke arah medial, sehingga mengumpulkan kulit dibagian
tengah antara ibu jari. Mintalah pasien untuk bernapas dalam, catat
kesimetrisan. Bagian anterior: tempatkan tangan pada bagian depan dada,
dengan ibu jari mengarah ke procesus xipoideus. Ekspansi dada yang tidak
simetris terjadi pada atelektasis, pneumonia lobaris, efusi pleura, trauma
torax: fraktur iga, pneumothorax.
b. Tactile Fremitus
Tactile/vocal fremitus adalah vibrasi yang dapat dirasakan di dinding dada
oleh tangan pemeriksa saat pasien bersuara. Gunakan palmar base atau ulnar
edge untuk menyentuh dinding dada. Mintalah pasien mengucapkan
“tujuh-tujuh”. Mulai palpasi dari bagian apeks paru dan dari satu sisi ke sisi
yang lain. Tactile fremitus harus simetris antara hemithorax, tetapi bervariasi
pada tiap individu. Faktor yang mempengaruhi tactile fremitus adalah lokasi
dinding dada yang dekat dengan bronkus, ketebalan dinding dada dan rendah
tinginya suara atau intesitas suara.
c. Dengan menggunakan jari-jari identifikasi kelainan: massa, krepitasi,nyeri
sentuh/nyeri tekan, lesi, temperatur.

3. PERKUSI
a. Lapang Paru
Pemeriksaan perkusi digunakan untuk mengetahui bunyi normal perkusi paru
dan lapang paru. Perkusi dilakukan di intercostae dari sisi ke sisi hemothorax.
Perkusi di mulai dari apeks ke basal. Perkusi tidak dilakukan di skapula dan
costae. Suara perkusi normal adalah resonan.
b. Diaphragmatic Excursion
Untuk menentukan batas basal paru saat inspirasi dan ekspirasi. Normalnya
sekitar 3-5 cm, meskipun terkadang ditemukan 7-8 cm pada orang sehat. Cara
pemeriksaannya, perintahkan pasien “hembuskan napas dan tahan”, kemudian
perkusi dindiing dada dari scapular sampai suara berubah dari resonan ke
pekak/dull, kemudian tandai titik tersebut. Selanjutnya perintahkan pasien
“ambil napas dalam dan tahan”, perkusi dari bagian yang telah ditandai
sampai suara perkusi berubah dari resonan ke dull, kemudian tandai bagian
tersebut. Tidak adanya Diaphragmatic Excursion menandakan efusi pleura
atau atelectasis di bagian bawah paru.

4. AUSKULTASI
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui bunyi napas. Pada pemeriksaan
asukultasi paru posterior, persilahkan pasien untuk duduk santai agak condong ke
depan dan kedua tangan menyilang di pangkuannya. Untuk asukultasi anterior
persilahkan pasien duduk tegak, kedua tangan berada di samping paha.
Perintahkan pasien untuk bernapas lebih dalam dari biasanya, tetapi hentikan jika
pasien merasa pusing. Terdapat 4 jenis suara napas normal yang dapat terdengar
di lapang paru yaitu:
PEMERIKSAAN FISIK PARU

Nama Mahasiswa :
NIM :
No Aspek yang dievaluasi Tingkat
0 1 2
1 Tahap Preinteraksi
4. Cek catatan perawatan klien
5. Cuci tangan
6. Siapkan alat - alat dan lingkungan
2 Tahap Orientasi
3. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
4. Jelaskan tujuan tindakan, prosedur, dan lamanya tindakan pada
klien/ keluarga
Tahap Keraja
3 Meminta pasien membuka pakaiannya, memulai dengan cara yang baik
4 Pemeriksaan dada posterior : minta klien duduk tegak di atas ranjang
dengan tangan diletakan di dada atau diletakkan menyilang di atas
pangkuan klien
5 Melakukan inspeksi. Mintalah pasien untuk bernafas seperti biasa. Laporan
: postur tubuh, bentuk dada, kualitas respirasi dan kondisi kulit.
6 Palpasi dada posterior: Hangatkan kedua tangan, taruh kedua telapak
tangan pada dada posterior. Laporan : apakah simetris?
7 Mengukur fremitus taktil dengan cara menginstruksikan klien
mengucapkan “tujuh-tujuh”
8 Melakukan pemeriksaan palpasi secara sistematis ; apakah sakit saat
ditekan ? apakah ada massa/krepitasi?
9 Perkusi dada posterior : melakukan perkusi secara sistematis, bandingkan
bagian kiri, kanan, atas dan bawah
10 Melakukan pemeriksaan diafragmatic excursion
11 Auskultasi dada posterior : mintalah pasien bernafas dalam untuk
mengetahui suara nafas. Lakukan secara sistematis
12 Pemeriksaan dada anterior : minta klien duduk tegak di atas ranjang dengan
tangan diletakan disamping tubuh klien
13 Melakukan inspeksi. Mintalah pasien untuk bernafas seperti biasa. Laporan
: postur tubuh, bentuk dada, kualitas respirasi dan kondisi kulit.
14 Palpasi dada anterior : tempatkan kedua telapak tangan pada dinding dada
kanan dan kiri. Minta pasien bernafas dalam. Apakah simetris?
15 Melakukan pemeriksaan palpasi secara sistematis ; apakah sakit saat
ditekan ? apakah ada massa/krepitasi?
16 Perkusi dada anterior : melakukan perkusi secara sistematis, bandingkan
bagian kiri, kanan, atas dan bawah
17 Auskultasi dada anterior : mintalah pasien bernafas dalam untuk
mengetahui suara nafas. Lakukan secara sistematis.
18 Tahap Terminasi
4. Evaluasi hasil kegiatan
5. Lakukan kontrak yang akan datang
6. Cuci tangan
19 Dokumentasi
Total nilai
Keterangan :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. Purwokerto,
2. Dilakukan tetapi tidak sempurna Evaluator,
3. Dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas lulus: 75 %


IV. NEBULIZER

A. Pendahuuan
Pengertian
Nebulizer adalah suatu alat untuk memberikan obat kepada pasien dengan
gangguan respirasi dengan cara inhalasi. Obat diberikan dengan cara mengubah
bentuk obat dari cair menjadi aerosol/ kabut kemudian dihirup pasien. Pemberian
obat dengan cara inhalasi seperti ini lebih efektif dibandingkan dengan pemberian
obat secara oral/ diminum.

B. Jenis Nebulizer
1. Ultrasonic nebuliser
Nebulizer ini mampu menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi
dari piezo-electric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah
menjadi aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan
suara bising dan secara terus menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol
sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan
lebih besar.
2. Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak negara karena relatif lebih murah.
Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan
dalam silinder dialirkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan
negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol.
Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau
sungkup/masker.

C. Indikasi
Indikasi dilakukannya terapi inhalasi menggunakan nebulizer antara lain:
1. Bronchospasms
2. Asma
3. Pneumonia
4. Atelectasis
D. Perhatian
Penggunaan nebulizer sebagai terapi inhalasi harus memperhatikan beberapa
pasien/klien dengan kriteria sebagai berikut:
1. Pasien dengan tekanan darah tidak stabil
2. Pasien yang tidak sadar
3. Pasien dengan nadi tinggi
4. Pasien dengan gangguan jantung
E. Komplikasi
Penggunaan nebulizer untuk terapi inhalasi dapat menimbulkan berbagai macam
komplikasi akibat pemakaiannya, antara lain sebagai berikut:
1. Palpitasi
2. Tremor
3. Sakit kepala
4. Mual
5. Takikadia

F. Alat dan bahan


1. Alat nebulizer/ kompresor
2. Tabung oksigen
3. Selang udara
4. Sungkup/ masker
5. Obat ( misal ventolin, salbutamol dll )
6. NaCl 0,9%

G. Prosedur
1. Dekatkan alat nebulizer/kompresor dengan pasien ( jangan diletakkan dilantai
).
2. Tuangkan obat yang akan diberikan dan NaCl 0,9% kedalam masker/sungkup
sesuai dosis yang dianjurkan.
3. Sambungkan/ hubungkan selang dengan sungkup/ masker dan alat nebulizer.
4. Sambungkan kabel alat nebulizer/kompresor ke sumber listrik lalu dihidupkan
untuk mengecek alat berfungsi dengan baik atau tidak. ( tanda alat berfungsi
dengan baik dari sungkup/masker muncul kabut putih pertanda obat telah
berubah dari bentuk cair menjadi aerosol). Lalu matikan.
5. Pasangkan sungkup/ masker ke pasien.
6. Posisikan tubuh pasien semi fowler.
7. Hidupkan alat nebulizer/kompresor.
8. Anjurkan pasien untuk bernafas seperti biasa dan beri tahu kepada petugas
apabila merasa pusing, mual atau merasa tidak nyaman.
9. Lakukan terapi sampai obat habis dengan tanda sudah tidak keluar “kabut”
putih.
10. Dampingi pasien untuk kemungkinan terjadi efek samping dari terapi.
CHECKLIST NEBULIZER

Nama mahasiswa :
Nomor mahasiswa :
NILAI
No KOMPONEN
0 1 2
1 Tahap Pre Interaksi
a. Mengumpulkan data pasien dan membaca rekam medik
klilen
b. Cuci tangan
c. Persiapan Alat :
- Alat nebulizer/ kompresor
- Masker/sungkup
- Selang udara
- Obat sesuai indikasi
- NaCl 0,9%
2 Tahap Orientasi
a. Beri salam, panggil pasien dengan namanya
b. Beri penjelasan mengenai tujuan, prosedur, lama tindakan.
3 Tahap Kerja
a. Beri kesempatan pasien untuk bertanya
b. Tanyakan keluhan pasien
c. Pertahankan privasi pasien (pasang tirai)
d. Dekatkan alat ke pasien
e. Memulai dengan cara yang baik
● Posisikan pasien pada posisi yang nyaman
● Tuangkan obat yang akan diberikan dan NaCl 0,9%
kedalam masker/sungkup sesuai dosis yang dianjurkan.
● Sambungkan selang udara dengan sungkup/ masker dan alat
nebulizer/kompesor.
● Sambungkan kabel alat nebulizer/kompresor ke sumber
listrik lalu dihidupkan untuk mengecek alat berfungsi
dengan baik atau tidak. ( tanda alat berfungsi dengan baik
dari sungkup/masker muncul kabut putih pertanda obat
telah berubah dari bentuk cair menjadi aerosol). Lalu
matikan alat nebulizer/kompresor.
● Pasangkan sungkup/ masker ke pasien.
● Posisikan tubuh pasien semi fowler.
● Hidupkan alat nebulizer/kompresor.
● Anjurkan pasien untuk bernafas seperti biasa dan beri tahu
kepada petugas apabila merasa pusing, mual atau merasa
tidak nyaman.
● Dampingi pasien untuk kemungkinan terjadi efek samping
dari terapi.
4 Tahap Terminasi
a. Evaluasi perasaan pasien
b. Menyimpulkan hasil kegiatan
c. Lakukan kontrak untuk kegiatan sebelumnya (kegiatan,
tempat, waktu)
d. Akhiri kegiatan dengan cara yang baik
a. Rapikan alat setelah dipakai
b. Perawat mencuci tangan
5 Dokumentasi
- Mendokumentasikan tindakan

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Batas Lulus 75% dari total nilai kegiatan
V. PERAWATAN WATER SEAL DRAINAGE (WSD)

LEARNING OBJECTIVE
Mahasiswa mampu memasang botol WSD :
1. Mahasiswa mampu mengganti botol WSD jika penuh
2. Mahasiswa mampu melakukan penyedotan (suction) cairan pada botol WSD

TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme pernapasan normal bekerja dengan prinsip tekanan negative.


Tekanan di dalam rongga paru lebih rendah dari pada tekanan pada atmosfer, yang
akan mendorong udara masuk ke dalam paru selama inspirasi. Ketika rongga dada
terbuka, untuk beberapa alasan, akan menyebabkan paru kehilangan tekanan negative
yang berakibat pada kolapsnya paru. Pengumpulan udara, cairan atau substansi lain di
dalam rongga paru dapat mengganggu fungsi kardiopulmonal dan bahkan
menyebabkan paru kolaps. Substansi patologik yang terkumpul dalam rongga pleura
dapat berupa fibrin, bekuan darah, cairan(cairan serous, darah, pus) dan gas.
Tindakan pembedahan pada dada hampir selalu menyebabkan pneumotoraks.
Udara dan cairan yang terkumpul dalam rongga intrapleura dapat membatasi ekspansi
paru dan mengurangi pertukaran gas. Setelah tindakan operasi, perlu mengevakuasi
dan mempertahankan tekanan negative dalam ruangan pleura. Dengan demikian
selama dan segera setelah pembedahan toraks, kateter dada diletakkan secara strategis
pada ruangan pleura, dijahit pada kulit dan dihubungkan dengan alat drainase untuk
mengeluarkan sisa udara atau cairan dari ruangan pleura maupun mediastinum.
WSD merupakan pipa khusus yang dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan
trokar atau klem penjepit bedah.

Pada trauma toraks WSD dapat berarti:


1. Diagnostik : menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,
sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita
jatuh dalam shok.
2. Terapi : Mengeluarkan darah,cairan atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanic of breathing", dapat
kembali seperti yang seharusnya.
3. Preventive : Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanic of breathing" tetap baik.

Penyulit pemasangan WSD adalah perdarahan dan infeksi atau super infeksi. Oleh
karena itu pada pemasangan WSD harus diperhatikan anatomi pembuluh darah
interkostalis dan harus diperhatikan sterilitas.

Indikasi pemasangan WSD :


1. Hematotoraks
2. Pneumotoraks

Indikasi pemasangan WSD pada pneumotoraks karena trauma tajam atau


trauma tembus toraks :
1. sesak nafas atau gangguan nafas
2. bila gambaran udara pada foto toraks lebih dari seperempat rongga torak
sebelah luar
3. bila ada pneumotorak bilateral
4. bila ada tension pneumotorak setelah dipunksi
5. bila ada haemotoraks setelah dipunksi
6. bila pneumotoraks yang tadinya konservatif pada pemantauan selanjutnya ada
perburukan

Macam-macam WSD :
1. Single Bottle Water Seal System
Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien dihubungkan ke dalam satu botol
yang memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi tidak
mengijinkan udara maupun cairan kembali ke dalam rongga dada. Secara
fungsional, drainase tergantung pada gaya gravitasi dan mekanisme pernafasan,
oleh karena itu botol harus diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah cairan di dalam
botol meningkat, udara dan cairan akan menjadi lebih sulit keluar dari rongga
dada, dengan demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya.
Sistem satu botol digunakan pada kasus pneumothoraks sederhana sehingga
hanya membutuhkan gaya gravitasi saja untuk mengeluarkan isi pleura. Water seal
dan penampung drainage digabung pada satu botol dengan menggunakan katup
udara. Katup udara digunakan untuk mencegah penambahan tekanan dalam botol
yang dapat menghambat pengeluaran cairan atau udara dari rongga pleura. Karena
hanya menggunakan satu botol yang perlu diingat adalah penambahan isi cairan
botol dapat mengurangi daya hisap botol sehingga cairan atau udara pada rongga
intrapleura tidak dapat dikeluarkan.

2. Two Bottle System


System ini terdiri dari botol water-seal ditambah botol penampung
cairan. Drainase sama dengan system satu botol, kecuali ketika cairan pleura
terkumpul, underwater seal system tidak terpengaruh oleh volume drainase.
Sistem dua botol menggunakan dua botol yang masing-masing berfungsi
sebagai water seal dan penampung. Botol pertama adalah penampung drainage
yang berhubungan langsung dengan klien dan botol kedua berfungsi sebagai
water seal yang dapat mencegan peningkatan tekanan dalam penampung
sehingga drainage dada dapat dikeluarkan secara optimal. Dengan sistem ini
jumlah drainage dapat diukur secara tepat.
3. Three Bottle System
Pada system ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk mengontrol
jumlah cairan suction yang digunakan. Sistem tiga botol menggunakan 3 botol
yang masing-masing berfungsi sebagai penampung, "water seal" dan pengatur;
yang mengatur tekanan penghisap. Jika drainage yang ingin, dikeluarkan
cukup banyak biasanya digunakan mesin penghisap (suction) dengan tekanan
sebesar 20 cmH20 untuk mempermudah pengeluaran. Karena dengan mesin
penghisap dapat diatur tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan isi
pleura. Botol pertama berfungsi sebagai tempat penampungan keluaran dari
paru-paru dan tidak mempengaruhi botol "water seal". Udara dapat keluar dari
rongga intrapelura akibat tekanan dalam bbtol pertama yang merupakan
sumber-vacuum. Botol kedua berfungsi sebagai "water seal" yang mencegah
udara memasuki rongga pleura. Botol ketiga merupakan pengatur hisapan.
Botol tersebut merupakan botol tertutup yang mempunyai katup atmosferik
atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mongendalikan
mesin penghisap yang digunakan.

Tempat insersi slang WSD :


▪ untuk pengeluaran udara dilakukan pada intercostals 2-3 garis midclavicula

▪ untuk pengeluaran cairan dilakukan pada intercostals 7-8-9 mid aksilaris


line/dorsal axillar line

System drainase selang dada


System Keuntungan Kerugian
Satu botol Penyususnan Saat drainase dada mengisi botol, lebih banyak
sederhana kekuatan diperlukan untuk memungkinkan udara dan
Mudah untuk cairan pleura keluar dari dada masuk ke botol.
pasien yang dapat Campuran darah darinase dan udara menimbulkan
berjalan campuran busa dalam botol yang membatasi garis
pengukuran drainase.
Untuk terjadinya aliran, tekanan pleural harus lebih
tinggi dari tekanan botol.
Dua botol Mempertahankan Menambah area mati pada system drainase yang
water seal pada mempunyai potensial untuk masuk ke dalam area
tingkat konstan. pleural
Memungkinkan Untuk terjadinya aliran, tekanan pleural harus lebih
observasi dan tinggi dari tekanan botol
pengukuran Mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udara
crainase yang lebih pada adanya kebocoran pleural
baik
Tiga botol System paling Lebih kompleks, lebih banyak kesempatan untuk
aman untuk terjadinya kesalahan dalam perakitan dan
mengatur pemeliharaan
penghisapan
Unit water Plastic dan tidak Mahal
seal mudah pecah Kehilangan water seal dan keakuratan pengukuran
-sekali seperti botol drainase bila unit terbalik
pakai
Flutter Ideal untuk Mahal
valve transport karena Katup berkipas tidak memberikan informasi visual
segel air pada tekanan intrapleural karena tak ada fluktuasi air
dipertahankan bila pada ruang water seal
unit terbalik
Kurang satu ruang
untuk mengisis
Tak ada masalah
dengan penguapan
air
Penurunan kadar
kebisingan
Screw Sama dengan Sama dengan diatas
valve diatas Katup sempit membatasi jumlah volume yang dapat
diatasinya, tidak efisien untuk kebocoran udara
pleural besar
Calibrated Sama dengan Mahal
spring diatas
mechanism Mampu mengatasi
volume besar

Alat yang diperlukan:


1. Sarung tangan steril
2. Doek steril
3. Spuit 5 cc steril
4. Pisau bedah steril
5. K\em arteri lurus 15-17 cm steril
6. "Naald voerder" (needle holder = klem pemegang jarum) dan jarum jahit kulit
steril.
7. Benang sutera steril untuk jaihatn kulit 4 x 25 cm
8. "Slang untuk "Drain" yang steril. Untuk orang dewasa minimal I.D. 8 mm dan
untuk anak-anak 6 mm.

Teknik pemasangan :
1. Bila mungkin penderita dalam posisi duduk. Bila tidak mungkin setengah duduk,
bila tidak mungkin dapat juga penderita tiduran dengan sedikit miring ke sisi
yang sehat.
2. Ditentukan tempat untuk pemasangan WSD. Bila kanan sela iga (s.i) VII atau
VIII, kalau kiri di s.i VIII atau IX linea aksilaris posterior atau kira-kira sama
tinggi dengan sela iga dari angulus inferius skapulae. Bila di dada bagian depan
dipilih s.i II di garis midklavikuler kanan atau kiri.
3. Ditentukan kira-kira tebal dinding toraks.
4. Secara steril diberi tanda pada slang WSD dari lobang terakhir slang WSD tebal
dinding toraks (misalnya dengan ikatan benang).
5. Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptik.
6. Tutup dengan duk steril
7. Daerah tempat masuk slang WSD dan sekitarnya dianestesi setempat secara
infiltrate dan "block".
8. Insisi kulit subkutis dan otot dada ditengah s.i.
9. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura.
10. Dengan klem arteri lurus lobang diperlebar secara tumpul.
11. Slang WSD diklem dengan arteri klem dan didorong masuk ke rongga pleura
(sedikit dengan tekanan).
12. Fiksasi slang WSD sesuai dengan tanda pada slang WSD.
13. Daerah luka dibersihkan dan diberi zalf steril agar kedap udara.
14. Slang WSD disambung dengan botol SD steril.
15. Bila mungkin dengan continous suction dengan tekanan -24 sampai -32 cmH20.
Perawatan WSD
A. Perawatan luka WSD
1. Verband diganti 3 hari sekali
2. Diberi zalf steril
B. Perawatan "slang" dan botol WSD
1. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari diukur berapa cail yang keluar
kalau ada dicatat.
2. Cairan di botol WSD adalah cairan antiseptik.
3. Setiap hendak mengganti botol dicatat berapa pertambahan cairan
4. Setiap hendak mengganti dicatat unduiasi ada atau tidak
5. Setiap hendak mengganti dicatat adanya gelembung udara dariWSD.
6. Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuh dalam
rongga pleura yaitu meng "klem" slang atau dilipatdandih dengan karet.
7. Setiap penggantian botol atau slang harus memperhatikan sterilils botol dan
slang harus tetap steril.
8. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja dii sendiri, dengan
memakai sarung tangan.
C. Paru
1. Dengan WSD diharapkan paru mengembang
2. Kontrol pengembangan paru dengan pemeriksaan fisik dan radiologik.
3. Latihan nafas ekpirasi dan inspirasi yang dalam.
4. Latihan batuk yang efisien.
5. Pemberian antibiotika
6. Expectorant: cukup obat batuk hitam (OBH).

Dinyatakan berhasil, bila:


1. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik atau radiologik.
2. Darah cairan tidak keluar dari WSD.
3. Tidak ada pus dari slang WSD (tidak ada empyema).

Mengangkat WSD
1. Disediakan alat-alat untuk mengangkat jahitan kulit yang steril.
2. Kain kasa steril
3. Zalf steril
4. Teknik:
- angkat jahitan
- pasien disuruh nafas dalam
- pada waktu ekspirasi dalam dan menahannya, WSD diangkat dengan
menutup kain kasa steril yang ada zalf steril.
Dikatakan baik dan dapat dipulangkan:
1. Keadaan umum memungkinkan
2. Pada kontrol 1 -2 hari pasca pengangkatan WSD paru tetap mengembang
penuh
3. Tanda-tanda infeksi/empiema tidak ada

Pasca pemasangan WSD selalu dimintakan fisioterapi :


▪ Untuk batuk efektif dan penderita harus latihan membatuk-batukkan

▪ Untuk nafas dalam (inspirasi dan ekspirasi)

▪ Untuk nafas dada terutama bagian atas


CHECKLIST EVALUASI
PERAWATAN WSD
Nama :
NIM :
Nilai
Aspek Penilaian
0 1 2
A. Tahap Preinteraksi
1. Cek catatan perawatan klien dan validasi kebutuhan perawatan
selang dada
2. Cuci tangan
3. Siapkan alat - alat dan lingkungan klien
B. Tahap Orientasi
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
2. Jelaskan tujuan tindakan, prosedur, dan lamanya tindakan pada klien/
keluarga
C. Tahap Kerja
1. Menanyakan keluhan utama klien
2. Jaga privacy klien
3. Atur posisi tidur klien semi fowler dengan posisi kepala mengarah
berlawanan dengan letak selang dada
4. Letakkan alas perlak dan alasnya dibawah punggung pasien sesuai
dengan letak selang dada (kiri/kanan)
5. Periksa balutan luka pada insersi selang dada terhadap adanya
rembesan cairan , bunyi berdesis .
6. Periksa alat WSD atau Continuous Suction yang digunakan . Yakinkan
alat tersebut berfungsi dengan baik. SEGERA klem selang dada jika
alat tak berfungsi dengan baik. (rusak/ pecah/cairan dalam botol
tumpah)
7. Periksa selang dada terhadap kebocoran terutama pada daerah
konektor dan kemungkinan selang tertekuk /terpelintir. Cek produk
drainase (warna, jumlah dll)
8. Anjurkan klien untuk latihan tarik nafas panjang sebanyak 5 kali
9. Lakukan klem selang dada selama tindakan perawatan
10. Lepas balutan luka pada insersi selang dada, cek ulang adanya suara
berdesis, lakukan disinfeksi dengan kasa betadin di bagian insersi dan
selang dada sepanjang 8-10 cm, bersihkan dgn kassa kering kemudian
ditutup dengan kassa steril. Hati-hati terhadap benang jahitan jangan
sampai tertarik simpulnya.
11. Lakukan fiksasi selang dada dengan baik dan benar.
12. Buka klem selang dada dan yakinkan alat WSD berfungsi kembali
13. Ganti botol WSD dan cairan desinfektan jika diperlukan
14. Bereskan kembali alat-alat yang telah digunakan
15. Rapikan klien dan atur posisi tidur semi fowler yang nyaman bagi klien
dan anjurkan klien untuk tetap berlatih nafas dalam
D. Tahap Terminasi
1. Evaluasi hasil kegiatan
2. Lakukan kontrak yang akan datang
3. Cuci tangan
E. Dokumentasi
Total Nilai
Kritik dan saran:
....................................................................................................................
.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
.....................................
Keterangan: Purwokerto,
0 : Tidak dilakukan Pembimbing,
1 : Dilakukan tidak sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Batas lulus 75% dari total nilai

(.............................................)
VI. PERAWATAN TRAKEOSTOMI

PENGANTAR
Trakeostomi merupakan tindakan pembuatan lobang pada trakea. Hal ini dilakukan
dengan bebrapa tujuan antara lain: membebaskan jalan nafas atas; melindungi trakea
serta cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya sekresi bronkus;
mengobati keadaan/penyakit tertentu yang menyebabkan insufisiensi respirasi
(obstruksi sleep apneu, PPOK dengan retensi sekret); atau dalam rangka memfasilitasi
proses weaning pada pemasangan ventilator mekanik.

Insisi kulit pada trekeostomi dilakukan secara horisontal atau vertikal. Berdasarkan
letak insisi trakeostomi dibedakan menjadi 3 yaitu: trakeostomi tinggi (stoma diatas
istsmus tiroid); trakeostomi sedang (stoma setinggi istsmus tiroid); dan trakeostomi
rendah (stoma di bawah itsmus tiroid). Stoma biasanya dibuat pada cincin trakea
ke-2,3, atau 4. Stoma tidak pernah dibuat pada cincin trakea ke-1 untuk mencegah
terjadinya perikondritis tulang rawan krikoid , dan tidak boleh dibawah cincin ke-4
karena banyak terdapat pembuluh-pembuluh darah besar.

Perubahan-perubahan fisiologis akibat trakeostomi antara lain: ketidakmampuan


bicara; penurunan reflek batuk; dan hilangnya proses humadifikasi udara inspirasi.
Kondisi ini menyebabkan gagalnya silia pada mukosa bronkus untuk mengeluarkan
partikel-partikel tertentu dari paru. Selain itu, trakeostomi juga dapat menyebabkan
gangguan pergerakan glotis pada waktu menelan, sehingga penderita sering tersedak
karena aspirasi ludah ke dalam laring dan trakea.

Perawatan pasca trakeostomi memiliki pengaruh yang besar terhadap berhasil atau
tidaknya tindakan dan tujuan akhir trakeostomi. Bentuk perawatan itu sendiri meliputi
tindakan penghisapan lendir, pemeriksaan periodik kanul dalam, humadifikasi buatan,
perawatan luka operasi di stoma, pencegahan infeksi skunder, serta pemilihan cuff
yang high volume low pressure dengan tekanan 14-20 mmHg.

Secara khusus perawatan trakeostiomi memiliki beberapa tujuan: menjaga kepatenan


jalan nafas dengan menghilangkan mukus dari tube; mencegah infeksi; dan
memberikan dukungan psikologis pada pasien.

Terdapat 3 jenis Tracehestomy Tube (TT) yaitu: uncuffed, cuffed, dan fenestrated.
Pemilihan jenis TT tergantung pada kondisi pasien dan intruksi dokter.
● Uncuffed Tube
TT jenis ini dapat terbuat dari plastik atau metal, memungkinkan udara
mengalir bebas melalui larink, sehingga mengurangi kerusakan trakea.
● Cuffed Tube
TT yang terbuat dari bahan plastik ini bersifat disposibel. Antara cuff dan tube
tidak bisa dipisah sebab cuff melekat pada tube.

● Fenestrated Tube
Memungkinkan pasien berbicara melalui saluran nafas atas ketika pembukaan
eksternal ditutup, dan cuff dikempeskan. Jenis ini memungkinkan kanul dalam
dapat dilepas untuk dibersihkan. Akan tetapi jenis ini memungkinkan untuk
mudah membentuk sumbatan.

Apapun jenis TT yang digunakan, seharusnya tetap dilakukan perawatan dengan


teknik aseptik sampai luka stoma sembuh untuk mencegah infeksi
Keberadaan kanul dalam trakea akan direspon tubuh sebagai benda asing sehingga
merangsang pengeluaran sekret yang berlebihan. Berdasarkan hal tersebut maka
tindakan penghisapan lendir (suction) sangat diperlukan. Tindakan suction beberapa
jam pertama dilakukan setiap 15 menit, sedangkan untuk selanjutnya tergantung pada
banyaknya sekret dan kondisi penderita.
Sedangkan untuk mengatasi hilangnya fungsi humadifikasi saluran nafas atas, maka
dilakukan humadifikasi buatan sebagai penggantinya. Cara-cara humadifikasi
meliputi: (a) condensor humidifier (dipasang pada canul trakea, dan diganti setiap 3
jam); (b) melewatkan udara melalui reservoir yang dapat diseting kelembabannya;
dan (c) menempatkan kassa steril yang telah dibasahi dengan air steril di depan
lubang kanul.

TUJUAN
● Mempertahankan kepatenan jalan nafas
● Mempertahankan dan mencegah infeksi pada tempat trakeostomi
● Memberikan kesempatan untuk proses penyembuhan dan mencegah kerusakan
pada sekeliling trakeostomi
● Meningkatkan kenymanan klien

PENGKAJIAN
● Status respirasi meliputi kemudahan, kecepatan, irama, kedalaman pernafasan
dan suara paru
● Denyut nadi
● Karakteristik dan jumlah sekresi dari lokasi trakeostomi
● Keberadaan drainase pada pembalut atau tali trakeostomi
● Penampakan pada daerah insisi (catat adanya kemerahan, pembengkakan,
serta bau)

PERALATAN
1. Peralatan disposibel perawatan trakeostomi, meliputi: wadah cairan steril,
sikat pembersih steril/pipa pembersih, kasa steril bentuk kotak.
2. Handuk atau kain penutup untuk menjaga kebersihan linen.
3. Kateter suction steril beserta wadah cairan steril untuk pembilasan
4. Hidrogen peroksida (H2O2) dan Normal Salin (NS)
5. Sarung tangan steril (2 pasang)
6. Sarung tangan bersih (1 pasang)
7. Kantung kedap air
8. Perban tracheostomi (kasa 4-in x 4 in) steril
9. Tali katun trakeostomi tube
10. Gunting bersih

IMPLEMENTASI
1. Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan, mengapa harus dilakukan,
dan bagaimana ia bisa bekerjasama dalam tindakan tersebut. Gunakan bahasa
isyarat dalam menyatakan kesetujuan dan ketiddaksetujuan (misal: kedipan
mata, mengangkat jari, ketika merasa sakit)
2. Cuci tangan dan perhatikan prosedur pencegahan/pengontrol kontaminasi
3. Jaga / pertahankan privasi klien
4. Persiapkan pasien dan peralatan yang diperlukan
● Posisikan pasien secara semi-fowler’s untuk meningkatkan ekspansi paru
● Buka tracheostomy kit atau baki steril. Siapkan hidrogen peroksida dan
normal salin dalam tempat terpisah.
● Siapkan tempat yang steril
● Buka peralatan dan bahan yang diperlukan untuk tindakan suction dan
verban tracheostomy.
5. Lakukan suction pada TT
● Kenakan sarung tangan bersih pada tangan nondominan dan sarung tangan
steril pada tangan dominan (atau kenakan sarung tangan steril pada kedua
tangan)
● Lakukan suction pada sepanjang TT untuk mengeluarkan sekresi dan
yakinkan kepatenan jalan nafas.
o Berikan hiperoksigenasi sebelum dan sesudah dilakukan suction
selama 30 detik
o Lamanya suction tidak boleh lebih dari 10 detik
● Bilas keteter suction pada larutan steril, sebelum melakukan suction
berikutnya
6. Bersihkan tempat insisi dan sekeliling tube
● Lepaskan/ambil balutan/dressing tracheostomi yang telah kotor dengan
tangan nondominan/tidak steril.
● Gunakan kasa steril atau bahan steril lain (cotton buds) yang dibasahi
dengan normal salin untuk membersihkan daerah insisi. Pegang bahan
steril/kasa dengan tangan dominan. Gunakan hanya satu kali kemudian
dibuang 🡪 hal ini dilakukan untuk menghindari kontaminasi terhadap
area steril
● Gunakan hidrogen peroksida (biasanya dicampur dengan normal salin;
gunakan wadah terpisah jika diperlukan) untuk menghilangkan sekresi
yang mengeras. Setelah itu bilas dengan normal salin 🡪 hidrogen
peroksida dapat mengiritasi kulit dan menghambat penyembuhan jika
tidak dihilangkan/dibilas.
● Bersihkan pinggiran TT dengan cara yang sama

● Keringkan kulit pasien dengan menggunakan kasa kering.

7. Pasangkan balutan steril


● Gunakan kasa yang telas disiapkan untuk trakeostomi, buat dalam bentu V
seperti yang terlihat pada gambar berikut. Hindari memotong kasa 🡪 serat
katun atau fiber kasa dapat teraspirasi oleh klien, sehingga berpotensi
untuk menimbulkan abses trakea.
● Pasang balutan/kasa dibawah sayap trakeostomi seperti yang terlihat
dalam gambar
● Ketika memasang balutan/kasa pastikan bahwa TT tidak terganggu 🡪
pergerakan TT yang berlebihan dapat mengiritasi trakea.

8. Ganti
tali

trekeostomi
a. Metode 2 strip
● Buatlah dua potongan pita, yang satu panjangnya 25 cm sedangkan
yang lainnya 50 cm 🡪 pemotongan pita dimana yang satu lebih
panjang dibanding yang lain akan memungkinkan untuk
mempermudah pemasangan dan menghindari penekanan pada
belakang leher
● Buatlah lipatan pada salah satu ujung tiap-tiap pita, seperti akan
membuat tali laso.
● Biarkan pita yang lama, masukan pita yang baru ke dalam mata sayap
TT dari arah bawah. Kemudian masukan ujung pita lain pada lipatan
laso yang telah dibuat, tarik hingga memiliki kekencangan yang cukup
🡪 membiarkan pita yang lama pada tempatnya akan mencegah
keluarnya/copot TT.penggunaan cara ini menghindari penggunaan
simpul yang tidak terikat atau menyebabkan tekanan dan iritasi.
● Jika pita yang lama terlalu kotor atau terdapat kesulitan untuk
memasukan pita yang baru. Maka suruh asisten untuk mengenakan
sarung tangan steril supaya bisa menahan TT pada temaptnya saat
dilakukan penggantianpita.
● Ulangi proses yang sama pada pita/tali yang kedua.
● Minta klien untuk memfleksikan lehernya. Susupkan tali yang lebih
panjang kebawah leher klien, letakan dua jari diantara pita dan leher
klien, kemudian ikat kedua tali tersebut disamping leher klien 🡪 leher
fleksi memperluas lingkara leher sehingga memfasilitasi ketika terjadi
batuk. Meletakan dua jari dibawah pita mencegah ikatan yang terlalu
kuat, yang dapat mengganggu saat batuk, atau menekan vena jugular.

● Ikat ujung pita dengan simpul square.


Potong ujung sisa tali dengan ukuran 1-2 cm 🡪 simpul square
mencegah tali lepas atau simpul mengendor.
● Setelah tali yang bersih telah aman/kuat, lepaskan tali/pita lama yang
kotor.
b. Metode 1 strip
● Potong pita sebanyak 2 ½ kali kebutuhan (lingkar leher dari sayap TT satu
ke yang lainnya)
● Masukan salah satu kemata sayap TT kemudian kunci
● Kemudian kedua ujung pita dimasukan mengeilingi leher secara bersama.
Jaga pita tetap datar dan tidak terlipat.
● Masukan ujung salah satu pita melalui mata TT dari belakang ke depan
● Setelah klien memfleksikan leher ikat ujung kedua pita dibagian samping
leher klien. Agar tidak terlalu kencang tempatkan dua jari ketika
melakukan pengikatan.
9. Pita dan bantalan simpul
Letakan lipatan kasa dibawah simpul tali TT dan tambahkan tape/selotip diatas
simpul 🡪 hal ini akan mengurangi iritasi kulit dari simpul dan mnecegah
kekeliruan antara simpul dengan tali gaun klien.

10. Cek tingkat ketegangan pita


Cek kekencangan tali dan posisi TT secara rutin 🡪 pembengkakan leher dapat
menyebabkan tali terlalu kencang . sehingga mempengaruhi/mengganggu
sirkulais dan saat batuk. Tali dapat lepas, sehingga memungkinkan TT
terlepas juga dari stoma.
11. Dokumentasikan hal-hal yang diperlukan

EVALUASI
1. Lakukan tindakan lanjutan seperti menentukan karakteristik dan jumlah sekret,
drainase dari trakeostomi, penampakan daeran insisi trakeostomi, kecepatan
pernafasan dan denyut nadi. Termasuk dalam hal ini keluhan rasa
sakit/ketidaknyamanan pada tempat trakeostomi.
2. Hubungkan hal yang ditemukan dengan data sebelumnya jika ada
3. Laporkan kelainan yang signifikan pada dokter.
CHEKLIST PENILAIAN PERAWATAN TRAKEOSTOMI

Nama Mahasiswa :
NIM :
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
PRAINTERAKSI
1 Cek dokumentasi klien
2 Cuci tangan
3 Siapkan peralatan
ORIENTASI
1 Beri salam dan panggil pasien dengan nama kesukaannya.
Perkenalkan nama perawat jika merupakan pertemuan pertama.
2 Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya kegiatan
KERJA
1 Berikan kesempatan kepada klien untuk bertanya
2 Tanyakan keluhan yang dirasakan
3 Dekatkan peralatan
4 Jaga privasi klien
5 Pasang perlak dibawah leher pasien dan letakan bengkok
Posisikan pasien semi fowler
Buka peralatan trakeostomi termasuk menyiapkan cairan steril
Lakukan suction
Bersihkan lokasi insisi dan sayap TT
Lakukan dresing steril pada lokasi insisi TT
Ganti tali TT jika perlu
Letakan bantalan pada simpul tali TT
Cek ketegangan tali TT
19 Lepaskan sarung tangan, pasien dirapikan kembali
20 Bereskan alat-alat
TERMINASI
1 Evaluasi perasaan klien
2 Menyimpulkan hasil kegiatan
3 Berikan reinforcment
4 Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
5 Cuci tangan
DOKUMENTASI
1 Catat kondisi dan respon pasien sebelum, selama, dan sesudah
tindakan
Catatan :
..........................................................................................................................................
......

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Batas Lulus 75% dari total nilai kegiatan
VIII. SUCTIONING (PENGHISAPAN)

Pengertian/ Definisi/ Deskripsi


Nasotracheal suctioning (NTS) untuk aspirasi tracheal adalah komponen dari terapi
hygiene bronkheal. Penghisapan naso tracheal dimaksudkan untuk membuang saliva,
secret pulmoner, darah, mutahan yang terkumpuldan segala macam benda asing dari
trachea dan area nasofaring yang tidak dapat dibuang dengan batuk spontan atau
prosedur kurang invasive yang lainnya

Tujuan:
NTS telah digunakan untuk menjaga kepatenan jalan napas sehingga menjamin
oksigenasi dan ventilasi yang adekuat dan menghindari intubasi yang secara sendiri
dimaksudkan untuk pembuangan sekret.. NTS mengarah pada insersi kateter
penghisap melalui saluran hidung dan faring ke dalam trakhea tanpa tube atau
trakheostomi (walaupun selang nasofaringeal mungkin digunakan) dengan maksud
untuk mengaspirasi sekresi yang terkumpul atau benda asing
Proses pembersihan dicapai dengan menerapkan tekanan subatmosfer terhadap kateter
yang fleksibel dan berlubang banyak pada waktu penarikan saja.
Tekanan subatmosfer untuk:
● BBL (Neonatus) : 60-80 mm Hg
● Bayi (Infants) : 80-100 mm Hg
● Anak (Children) : 100-120 mm Hg
● Dewasa (Adults) : 100-150 mm Hg .
Tekanan atmosfer negative tidak boleh lebih dari 150 mm Hg karena dapat
menyebabkan trauma, hipoksemia dan atelektasis.
Indikasi penghisapan
● Batuk tidak efektif
● Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran
● Mucus yang banyak dan kental
● Kerusakan fungsi pulmoner

Peralatan
1. Mesin penghisap portable/permanent
2. Kateter penghisap yang sesuai ukuran :
▪ Dewasa :12-18 French

▪ Anak-anak :14 French

▪ Bayi : 6-10 French


3. Pengaturan mesin suction
● Mesin permanent (menempel di dinding/biasanya di ruang ICU)
1. Dewasa: 120-150 mm Hg
2. Anak-anak: 80-120 mmHg
3. Bayi: 60-100 mm Hg
● Portable
1. Dewasa 7-15 mm Hg
2. Anak-anak: 5-10 mm Hg
3. Kateter penghisap dan perlengkapannya:
4. Sarung tangan steril
5. Baju schort dan kacamata google bila ada indikasi
6. Wadah untuk saline steril
7. Cairan (saline) steril dengan data mulai dibuka (jika >24 jam harus dibuang)
8. Wadah untuk peralatan yang sudah digunakan
9. Stetoskop
10. Oksigen dan set perlengkapannya
11. Sumber pengisapan (pasien/klien)
Persiapan
1. cek instruksi dokter dan rencana tindakan keperawatan
2. kumpulkan peralatan
3. pilih kateter yang ukurannya tidak lebih dari setengah diameter saluran napas.
Rasional: karena dapat menyumbat saluran napas
4. cuci tangan
5. Cakukan pemakaian sarung tangan bersih
6. kaji suara napas dan, denyut dan irama jantung
7. buka bungkus kateter, biarkan pembungkus dalamnya tetap ada, pasang bagian
ujung distal pada selang mesin
8. atur pengatur tekanan; normal range (-80 s.d – 120)
9. gunakan baju pengaman dan kacamata google. Rasional: untuk perlindungan
Prosedur
1. Jelaskan prosedur dan rasionalnya tanpa memandang tingkat kesadaran
2. tempatkan klien pada posisi semi fowler’s (atau gunakan posisi dorsal
recumbent dengan mengangkat kepala ke atas agar jalan napas terbuka)
3. nyalakan mesin penghisap
4. buang penutup dari botol larutan
5. berikan 100% oksigen selama 1-2 menit sebelum penghisapan jika pasien
tidak mampu bernapas dalam. Rasional: volume residual paru terbuang ketika
penghisapan, hal ini berakibat hipoksemia; hiperoksigenasi mencegah hal ini)
6. kenakan sarung tangan steril
7. gunakan tangan non dominant , tuangkan cairan saline steril ke dalam wadah
(tangan non dominant sekaran tidak steril lagi)
8. gunkan tangan dominant (steril), lumasi kateter steril dengan cairan normal
saline steril. Rasional: lubrikasi meminimalkan injury untu melemaskan
jaringan selama insersi kateter.
9. gunakan tangan dominant, masukkan kateter melalui rongga hidung, langsung
awalnya ke atas kemudian ke belakang – ingat memasukkan NGT – jangan
melakukan penghisapan. Rasional: penghisapan selama insersi mengurangi
oksigen pasien dan menghambat kemajuan selang
10. Lanjutkan mamajukan meskipun pasien batuk arau “bucks”. Rasional: batuk
distimulasi di carina.
11. Mulai penghisapan dengan menggunakan gerakan rotasi ketika kateter ditarik.
a. Siapkan penghisapan intermitter (tempatkan jempol non dominant di
atas katup atau konektor Y)
b. Secara intermitten bebaskan tekanan (pindahkan jempol dari katup
konektor Y)
12. Batasi penghisapan tidak lebih dari 10 detik. Rasional: mencegah pembuangan
oksigen berlebihan
13. biarkan klien untuk bernapas dalam antara periode penghisapan dan atau
berikan oksigen 100%
CHEKLIST SUCTION

Prosedur 0 1 2
Pra interaksi      
Baca status untuk: melihat kondisi awal terutama yang dapat      
memperburuk kondisi, usia untuk menentukan tekanan dan
nomor kateternya
Siapkan peralatan:      
Suction portable (cek kenormalan fungsinya)      
Set oksigenasi (tabung oksigen siap pakai)      
Normal saline steril dalam botol      
Kom steril untuk normal saline yang sudah dibuka      
Kom steril untuk tempat kateter yang sudah dibuka      
Kateter Y sesuai ukuran      
Stetoskop      
Orientasi      
Sapa pasien dengan ramah      
Cek pemahaman pasien      
Jelaskan kembali prosedur tanpa memandang tingkat      
kesadaran
Auskultasi buyi paru      
Kerja (Pelaksanaan)      
Dekatkan alat pada posisi seefektif mungkin      
Posisikan pasien semi fowler’s (atau gunakan posisi dorsal      
recumbent dengan mengangkat kepala ke atas agar jalan
napas terbuka)
Nyalakan mesin penghisap ***      
Buang penutup dari botol larutan      
Berikan 100% oksigen selama 1-2 menit sebelum      
penghisapan jika pasien tidak mampu bernapas dalam***
Kenakan sarung tangan steril ****      
Gunakan tangan non dominant, tuangkan cairan saline steril      
ke dalam wadah ****
Gunakan tangan dominant (steril), lumasi kateter steril      
dengan cairan normal saline steril ***
Gunakan tangan dominant, masukkan kateter melalui rongga      
hidung, langsung awalnya ke atas kemudian ke belakang –
ingat memasukkan NGT – jangan melakukan penghisapan
Lanjutkan memasukkan kateter      
Mulai penghisapan dengan menggunakan gerakan rotasi      
ketika menarik kateter sambil jempol menutup lubang
kateter Y
Amati perubahan raut muka, frekuensi napas dan irama      
jantung selama penghisapan
Batasi penghisapan tidak lebih dari 10 detik ****      
Biarkan klien untuk bernapas dalam antara periode      
penghisapan dan atau berikan oksigen 100% ***
Buang sarung tangan dan kateter yang sudah dipakai pada      
tempat yang telah ditentukan
Terminasi      
Tanyakan Respon/dengar dengan stetoskop      
Jelaskan hasil dari prosedur dan rencana untuk penghisapan      
selanjutnya
Rapikan alat      
Dokumentasi      
Catat pelaksanaan      
Catat hasil dan perkembangannya      

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Batas Lulus 75% dari total nilai kegiatan
IX. FISIOTERAPI DADA

Fisioterapi dada
Tindakan ini dimaksudkan untuk memudahkan pengeluaran sekret dari jalan nafas.
Adapun indikasinya adalah :
1. Pasien yang tidak dapat batuk misalnya pasien koma / reflek batuk yang hilang
2. Pasien dengan akumulasi sekret yang berlebihan
3. Pasien dengan pre dan post operasi dimana terjadi akumulasi sekret
Kontra indikasinya adalah :
1. Pasien dengan riwayat fraktur spontan
2. Pasien dengan operasi jantung terbuka
3. status asmatikus
4. tekanan intra kranial yang tinggi
5. Timbul sianosis / sesak nafas akibat tindakan tersebut

Hal – hal yang perlu dilakukan sebelum tindakan adalah :


1. Sebelumnya auskultasi dulu bunyi nafas untuk menentukan lokasi sekret.
Tandai lokasi tersebut bila perlu
2. Jelaskan pada pasien tindakan yang akan dilakukan dan jelaskan pula posisi
pasien untun setiap tahapan tindakan
3. Posisikan pasien untuk mengoptimal pengeluarkan sekret.
CHEKLIST FISIOTERAPI DADA
Nama mahasiswa :
NILAI
No KOMPONEN
0 1 2
1 Tahap Pre Interaksi
a. Mengumpulkan data pasien dan membaca rekam medik klilen
b. Cuci tangan
c. Persiapan Alat :
- Sputum pot berisi cairan desinfektan
- Kertas tissue
- 1 Bengkok
- K/p Oksigen dan perlengkapannya
- K/p penghisap lender
2 Tahap Orientasi
a. Beri salam, panggil pasien dengan namanya
b. Beri penjelasan mengenai tujuan, prosedur, lama tindakan.
3 Tahap Kerja
a. Beri kesempatan pasien untuk bertanya
b. Tanyakan keluhan pasien
c. Pertahankan privasi pasien (pasang tirai)
d. Dekatkan alat ke pasien
e. Memulai dengan cara yang baik
Clapping :
- Membantu pasien dalam posisi duduk / posisi tidur miring
kiri / kanan
- Melakukan clapping dengan cara kedua tangan perawat
menepuk punggung pasien secara bergantian sampai ada
rangsangan batuk. Bila sudah ada rang sangan batuk pasien
dianjurkan membatukan lendir dan mengeluarkannya, dan
ditampung dalam sputum pot
- Prosedur ini dilakukan beberapa kali sampai lendir bersih
dan pasien merasa lega.
- Merapihkan pakaian dan lingkungan pasien
- Mengembalikan alat – alat pada tempatnya
- Mencuci tangan
- Mendokumentasikan tindakan
Vibrasi :
- Mencuci tangan
- Melakukan clapping
- Melakukan vibrasi dengan cara menganjurkan pasien
menarik nafas dalam pada waktu mengeluarkan nafas,kedua
tangan perawat diletakan diatas bagian samping depan dari
cekungan iga , kemudian membuat getaran – getaran lembut
- Prosedur ini dilakukan beberapa kali sampai lendir bersih
dan pasien merasa lega
- Merapihkan pakaian dan lingkungan pasien
- Mengembalikan alat – alat pada tempatnya

Keterangan
- Setelah dilakukan 3 – 4 kali vibrasi pasien dianjurkan untuk
batuk dengan menggunakan otot abdominal, lendir
ditampung dalam sputum pot
- Perhatikan reaksi pasien
- Mengulangi clapping dan vribasi secara bergantian sesuai
kondisi pasien , biasanya 15 – 20 menit.
- Tindakan clapping dan vibrasi distop bila ada keluhan nyeri
dan sesak nafas, tiba –tiba sakit kepala dan hemaptoe
4 Tahap Terminasi
a. Evaluasi perasaan pasien
b. Menyimpulkan hasil kegiatan
c. Lakukan kontrak untuk kegiatan sebelumnya (kegiatan,
tempat, waktu)
d. Akhiri kegiatan dengan cara yang baik
c. Rapikan alat setelah dipakai
d. Perawat mencuci tangan
5 Dokumentasi
- Mendokumentasikan tindakan

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Batas Lulus 75% dari total nilai kegiatan
X. TERAPI OKSIGEN

Tujuan
Mahasiswa dapat melakukan pemberian terapi Oksigen dengan benar dan aman sesuai
kebutuhan pasien.

Tinjauan Teori
Terdapat 3 sistem untuk memberikan oksigen kepada pasien tanpa intubasi.
Untuk konsentrasi oksigen rendah, kanula hidung dapat memberikan oksigen antara
24% (IL/menit) sampai 36% (4 -5L/menit). Konsentrasi oksigen sedang (40-60%)
dicapai dengan pemberian lewat masker oksigen, sedangkan konsentrasi hingga 100%
hanya dapat dicapai dengan menggunakan stingkup muka reservoir.
Pada kegawatan napas trauma diberikan oksigen 6L/menit dengan sungkup
muka. Pada penderita kritis berikan 100% oksigen, meskipun secara umum terapi
oksigen memberikan manfaat yang bermakna pada bentuk hipoksik hipoksemia dan
anemi hipoksemia. Efek samping yang sering dikhawatirkan adalah keracunan
oksigen, tetapi hal tersebut terjadi setelah 24-48 jam terapi oksigen dengan fraksi
inspirasi oksigen (Fi02)>60%. Oleh karena itu sedapat mungkin setelah masa kritis,
terapi oksigen diturunkan bertahap sampai Fi02<60% dengan target untuk
mendapatkan minimal saturasi oksigen (Sa02) 90%.
Apabila tekanan oksigen arteri (pa02) tetap rendah (kurang dari 60 mmHg)
meskipun telah diberikan oksigen 50% berarti terdapat shunt yang bermakna dari
kolaps alveoli dan perlu dipertimbangkan pemberian inflasi paru dengan manuver
reekspansi paru atau intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanik. Pada kasus PPOM
maka Pa02 dipertahankan sekitar sedikit diatas 60 mmHg saja untuk menghindari
hilangnya rangsang respirasi.

Terapi O2 merupakan salah satu terapi pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi.


Tujuan pemberian terapi O2 adalah
1. Mengatasi keadaan hipoksemia
2. Menurunkan kerja pernafasan
3. Menurunkan beban kerja otot Jantung (miokard)
Indikasi pemberian terapi O2 adalah kerusakan 02 jaringan yang diikuti gangguan
metabolisme dan sebagai bentuk Hipoksemia, secara umum pada:
● Kadar oksigen arteri (Pa 02) menurun
● Kerja pernafasan meningkat ( laju nafas meningkat, nafas dalam, bemafas
dengan otot tambahan)
● Adanya peningkatan kerja otot jantung (miokard)

Indikasi klinisnya:
▪ Henti jantung paru
▪ Gagal nafas

▪ Gagal jantung atau ami

▪ Syok

▪ Meningkatnya kebutuhan o2 (luka bakar, infeksi berat, multiple trauma)

▪ Keracunan co

▪ Post operasi, dll


Metode & peralatan min. yang harus diperhatikan pada therapi O2:
● Mengatur % fraksi O2 (% FiO2)
● Mencegah akumulasi kelebihan CO2
● Resistensi minimal untuk pernafasan
● Efesiensi & ekonomis dalam penggunanan 02
● Diterima pasien Pa02 kurang dari 60 mmHg

Perkiraan konsentrasi oksigen pada alat masker semi rigid


Kecepatan % Fi02 yang pasti
aliran02

4 1/mnt 0,35

6 1/mnt 0,50

8 1/mnt 0,55

10 1/mnt 0,60

12 l/mnt 0,64

15 l/mnt 0,70

Tidak ada peralatan yang dapat memberi O2 100 %, walaupun O2 dengan kecepatan
> dari Peak Inspiratory flow rate (PIFR)

METODE PEMBERIAN OKSIGEN


I. Sistem Aliran Rendah
1. Kateter Nasal
Oksigen : Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan oksigen dengan konsentrasi
24-44 % tergantung pola ventilasi pasien.
Bahaya : Iritasi lambung, pengeringan mukosa hidung, kemungkinan distensi
lambung, epistaksis.
2. Kanula Nasal
Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan 02 dengan konsentrasi 24 - 44
% tergantung pada polaventilasi pasien. Bahaya : Iritasi hidung, pengeringan
mukosa hidung, nyeri sinus dan epitaksis
3. Sungkup muka sederhana
Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit menghasilkan 0 2 dengan konsentrasi 40 - 60
%. Bahaya : Aspirasi bila muntah, penumpukan C02 pada aliran 02 rendah,
Empisema subcutan kedalam jaringan mata pada aliran 02 tinggi dan nekrose,
apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
4. Sungkup muka" Rebreathing " dengan kantong 02
Oksigen : Aliran 8-12 l/menit menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 -
80%. Bahaya : Terjadi aspirasi bila muntah, empisema subkutan kedalam
jaringan mata pada aliran 02 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka
dipasang terlalu ketat.
5. Sungkup muka" Non Rebreathing" dengan kantong 02
Oksigen : Aliran 8-12 l/menit menghasilkan konsentrasi 02 90 %. Bahaya :
Sama dengan sungkup muka "Rebreathing".

II. SistemAliran tinggi


1. Sungkup muka venturi (venturi mask)
Oksigen : Aliran 4 -14 It / menit menghasilkan konsentrasi 02 30 - 55 %.
Bahaya : Terjadi aspirasi bila muntah dan nekrosis karena pemasangan sungkup
yang terialu ketat.
2. Sungkup muka Aerosol (Ambu Bag)
Oksigen : Aliran lebih dan 10 V menit menghasilkan konsentrasi 02 100 %.
Bahaya : Penumpukan air pada aspirasi bila muntah serta nekrosis karena
pemasangan sungkup muka yang terialu ketat.

BAHAYA TERAPI OKSIGEN


Keracunan 02 -> pada pemberian jangka lama dan berlebihan dapat dihindari dengan
pemantauan AGD dan Oksimetri
1. Nekrose C02 ( pemberian dengan Fi02 tinggi) pada pasien dependent on
Hypoxic drive misal kronik bronchitis, depresi pemafasan berat dengan
penurunan kesadaran . Jika terapi oksigen diyakini merusak C02, terapi 02
diturunkan perlahan-lahan karena secara tiba-tiba sangat berbahaya
2. Toxicitas paru, pada pemberian Fi02 tinggi ( mekanisme secara pasti tidak
diketahui). Terjadi penurunan secara progresif compliance paru karena
perdarahan interstisiil dan oedema intra alviolar
3. Retrolental fibroplasias. Pemberian dengan Fi02 tinggi pada bayi premature
pada bayi BB < 1200 gr. Kebutaan
4. Barotrauma ( Ruptur Alveoli dengan emfisema interstisiil dan mediastinum),
jika 02 diberikan langsung pada jalan nafas dengan alat cylinder Pressure atau
auflet dinding langsung.

PEMANTAUAN TERAPI O2
1. Wamakulit pasien. Pucat/ Pink / merah membara.
2. Analisa Gas Darah (AGD)
3. Oksimetri
4. Keadaan umum
CHEKLIST PEMBERIAN OKSIGEN
Nama :
No. Mhs :
N NILAI
ASPEK YANG DINILAI
O 0 1 2
1 Tahap Pre Interaksi
a. Mengumpulkan data pasien dan membaca rekam medik klilen
b. Cuci tangan
c. Persiapan Alat :
- Kanul Nasal/ Sungkup NRM dan RM
- Set alat oksigenasi
- Isi glass humidifier dengan air irigasi setinggi batas yang tertera
- Menghubungkan flow meter dengan tabung oksigen/ sentral
oksigen
- Cek fungsi flow meter dan humidifeir dengan memutar pengatur
konsentrasi 02,
- Amati ada tidaknya gelembung udara dalam glass flow meter
2 Tahap Orientasi
a. Beri salam, panggil pasien dengan namanya
b. Beri penjelasan mengenai tujuan, prosedur, lama tindakan.
3 Tahap Kerja :
a. Beri kesempatan pasien untuk bertanya
b. Tanyakan keluhan pasien
c. Pertahankan privasi pasien (pasang tirai)
d. Dekatkan alat ke pasien
e. Memulai dengan cara yang baik
Kateter Nasal/ Kanul Nasal
- Menghubungkan catheter nasal/ kanul nasal dengan flowmeter
- Alirkan oksigen sesuai indikasi
- Cek aliran kateter nasal/ kanul nasal dengan menggunakan
punggung tangan untuk mengetahui ada tidaknya aliran oksigen
- Olesi ujung kanul nasal dengan jeli sebelum dipakai ke pasien
- Pasang alat Kateter nasal/ kanul nasal pada klien
- Tanyakan pada klien apakah o2 telah mengalir sesuai yang
diinginkan
Simple Face Masks
- Menghubungkan Simple Face Masks dengan flowmeter
- Alirkan oksigen sesuai indikasi
- Cek aliran Simple Face Masks dengan mendengarkan pada telinga
untuk mengetahui ada tidaknya aliran oksigen
- Pasang alat Simple Face Masks pada klien
- Tanyakan pada klien apakah o2 telah mengalir sesuai yang
diinginkan
Sungkup muka kantong non rebreathing (NRM)
- Menghubungkan sungkup muka non rebreathing dengan flowmeter
- Alirkan oksigen ke Sungkup muka non rebreathing 8-12 L/mnt
- Cek aliran oksigen ke sungkup dengan cara menutup sungkup
dengan satu tangan dan amati aliran oksigen yang masuk ke dalam
kantong
- Pasang alat sungkup muka pada klien
- Tanyakan pada pasien apakah o2 telah mengalir sesuai yang
diharapkan
Sungkup muka Partial Rebreathing
- Menghubungkan sungkup muka partial rebreathing dengan flow
meter
- Alirkan oksigen ke sungkup muka partial rebreathing dengan aliran
udara 8-12 L / mnt/ sesuai indikasi
- Cek aliran oksigen ke sungkup dengan cara menutup sungkup
dengan satu tangan dan amati aliran oksigen yang masuk ke dalam
kantong
- Pasang alat sungkup muka partial rebreathing pada klien.
- Tanyakan pada klien apakah oksigen telah mengalir sesuai dengan
yang diinginkan klien
4 Terminasi
a. Evaluasi perasaan pasien
b. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya (kegiatan, tempat,
waktu) c. Akhiri kegiatan dengan cara yang baik
d. Rapikan alat setelah dipakai
e. Perawat mencuci tangan
5 Dokumentasi : respon pasien

Penilaian :
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
Lulus jika memenuhi 75% dari total nilai

DAFTAR PUSTAKA
Brunner, L. S. & Suddarth, D. S. (No year). The Lippincott manual of nursing
practice. 2nd edition. Pennsylvania. Lippincott.
Cummins, R.O. 1997. Advanced Cardiac Life Support. American Hearth Association.
USA.
Delp, MH. And Manning, RT. 1996. Major Diagnosis Fisik. EGC. Jakarta.
DeGowin, RL. And Brown, DD. 2000. Diagnostic Examination, 7th ed. Mc Graw-Hill
Co. New York.
Muhiman, M. 1989. Penatalaksanaan pasien di Intensive Care Unit. Bagian
Anestesiologi, FKUI. Jakarta. Daftar Pustaka.
Lanros, N. E. & Barber, J. M. (1997). Emergency nursing: With certification
preparation and review. Connecticut. Appleton & Lange.
Walton, R. L., Matory, W. E. & Trunkey, D. D. (1990). Perawatan luka dan penderita
perlukaan ganda. Edisi 2. Jakarta. EGC
XI. PEMASANGAN INFUS

Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan keterampilan pemasangan infus.
Tujuan pemberian terapi intra vena melalui infus yaitu :
1 Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,
vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara
adekuat melalui oral.
2. Memperbaiki keseimbangan asam-basa.
3. Memperbaiki volume komponen-komponen darah.
4. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh.
5. Memonitor tekanan vena sentral (CVP).
6. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan ketika diistirahatkan.

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi


elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien.
Berbagai cairan mempunyai manfaat dan tujuan yang berbeda-beda. Terapi awal
pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis
Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk
resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada
pasien kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parenteral pada syok
hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid
cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain
mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit
efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan
edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah
larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan
dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia
dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan
Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan
insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat
dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat.
Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian. Total cairan
tubuh bervariasi menurut umur, berat badan dan jenis kelamin. Lemak tubuh juga
berpengaruh terhadap cairan, semakin banyak lemak, semakin kurang cairannya. Ada
dua bahan yang terlarut di dalam cairan tubuh yaitu elektrolit dan non-elektrolit.
Tempat insersi jarum infus
Secara umum ada beberapa tempat untuk insersi jarum infus pada pemasangan infus
yaitu:
a. Venapunctur perifer
1. vena mediana kubiti
2. vena sefalika
3. vena basilika
4. vena dorsalis pedis

b. Venapunctur central
1. vena femoralis
2. vena jugularis internal
3. vena subklavia.

Cara mengatur kecepatan tetesan


Pemberian cairan perinfus harus dihitung jumlah tetesan permenitnya untuk
mendapatkan kebutuhan yang dijadwalkan. Jumlah ml cairan yang masuk tiap jam
dapat digunakan rumus :

ml per jam = tetesan x faktor tetesan

Faktor tetesan dihitung dengan 60 dibagi jumlah tetesan yang bisa dikeluarkan oleh
infus set untuk mengeluarkan 1 ml. Misalnya, suatu infus set dapat mengeluarkan 1
ml cairan dalam 15 tetesan, berarti faktor tetesan (60:15) = 4. Jadi bila infus set
tersebut memberikan cairan dengan kecepatan 25 tetes per menit berarti akan
diberikan cairan sebanyak 25x4 = 100 ml perjam.

Tipe-tipe cairan:
1. Isotonik
Suatu cairan yang memiliki tekanan osmotik yang sama dengan yang ada didalam
plasma.

a. NaCI normal 0,9 %


b. Ringer laktat
c. Komponen -komponen darah (albumin 5 %, plasma)
d. Dextrose 5 % dalam air (D 5 W)
2. Hipotonik
Suatu larutan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih kecil daripada yang ada
didalam plasma darah. Pemberian cairan ini umumnya menyebabkan dilusi
konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk kedalam sel untuk
memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel-sel tersebut akan
membesar atau membengkak.
a. Dextrose 2,5 % dalam NaCI 0,45 %
b. NaCI 0,45%
c. NaCI 0,2 %
3. Hipertonik
Suatu larutan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih tinggi daripada yang ada
di dalam plasma darah. Pemberian cairan ini meningkatkan konsentrasi larutan
plasma dan mendorong air masuk kedalam sel untuk memperbaiki keseimbangan
osmotik, sel kemudian akan menyusut.
a. Dextrose 5 % dalam NaCI 0,9 %
b. Dextrose 5 % dalam NaCI 0,45 % ( hanya sedikit hipertonis karena dextrose
dengan cepat dimetabolisme dan hanya sementara mempengaruhi tekanan
osmotik).
c. Dextrose 10 % dalam air
d. Dextrose 20 % dalam air
e. NaCI 3% dan 5%
f. Larutan hiperalimentasi
g. Dextrose 5 % dalam ringer laktat
h. Albumin 25

Kegagalan pemberian infus


Beberapa keadaan yang mengakibatkan kegagalan dalam pemberian cairan
perinfus antara lain :
1. jarum infus tidak tepat masuk vena (ekstravasasi)
2. pipa infus tersumbat (karena jendalan darah atau terlipat)
3. pipa penyalur udara tak berfungsi
4. jarum infus atau vena terjepit karena posisi lengan fleksi
5. jarum infus bergeser atau menusuk ke luar vena

Komposisi Cairan
a. Larutan NaCl, berisi air dan elektrolit (Na+, Cl -),
b. Larutan Dextrose, berisi air atau garam dan kalori
c. Ringer laktat, berisi air dan elektrolit (Na+, K-, Cl -, Ca++, laktat)
d. Balans isotonik, isi bervariasi : air, elektrolit, kalori ( Na+, . K Mg
-
CI-.HCO3 .glukonat).
e. Whole blood (darah lengkap) dan komponen darah.
f. Plasma expanders, berisi albumin, dextran, fraksi protein plasma 5 % plasmanat),
hespan yang dapat meningkatkan tekanan osmotik, menarik cairan dari
interstisiall kedalam sirkulasi dan meningkatkan volume darah sementara.
g. Hiperalimentasi parenteral (cairan, elektrolit, asam amino, dan kalori).

Hal-hal yang harus diperhatikan dengan tipe-tipe infus tersebut:


1. D5W (Dektrose 5% in Water)
a. Digunakan untuk menggantikan air ( cairan hipotonik) yang hilang, memberikan
suplai kalori, juga dapat dibarengi dengan pemberian obat-obatan atau berfungsi
untuk mempertahankan vena dalam keadaan terbuka dengan infus tersebut.
b. Hati-hati terhadap terjadinya intoksikasi cairan (hiponatremia, sindroma
pelepasan hormon antidiuretik yang tidak semestinya). Jangan digunakan dalam
waktu yang bersamaan dengan pemberian transfusi ( darah atau komponen
darah).
2. NaCIO,9%
a. Digunakan untuk menggantikan garam ( cairan isotonik) yang hilang, diberikan
dengan komponen darah, atau untuk pasien dalam kondisi syok hemodinamik.
b. Hati-hati terhadap kelebihan volume isotonik ( misal: gagaljantung.gagalginjal).
3. Ringer laktat
Digunakan untuk menggantikan cairan isotonik yang hilang, elektrolit tertentu, dan
untuk mengatasi asidosis metabolik tingkat sedang.

Tipe - tipe pemberian terapi intravena:


a. IV push
IV push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum sunfik secara langsung
ke dalam saluran /jalan infus.
Indikasi
1. Pada keadaan emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan
pemberian obat langsung ke dalam intravena.
2. Untuk mendapat respon yang cepat terhadap pemberian obat ( furosemid,
digoksin).
3. Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus menerus
melalui infus (lidocain, xylocain).
4. Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi
kebutuhan akan injeksi intramuskuler.
5. Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul apabila beberapa obat
dicampur dalam satu botol.
6. Untuk memasukkan obat yang tidak dapat diberikan secara oral ( misal: pada
pasien koma) atau intramuskuler ( misal: pasien dengan gangguan koagulasi).
Hal-hal yang harus diperhatikan dan direkomendasikan
1. Sebelum pemberian obat:
a. Pastikan bahwa obat sesuai dengan standar medik.
b. Larutkan obat sesuai indikasi. Banyak obat yang dapat mengiritasi vena dan
memerlukan pengeceran yang sesuai.
c. Pastikan kecepatan pemberiannya dengan benar,
d. Jika akan memberikan obat melalui selang infus yang sama, akan lebih baik
jika dilakukan pembilasan teriebih dahulu dengan cairan fisiologis (Na Cl 0,9
%).
e. Kaji kondisi pasien dan toleransinya terhadap obat yang diberikan.
f. Kaji kepatenan jalan infus dengan mengetahut keberadaan dari aliran darah.
1. Perlahankan kecepatan infus.
2. Lakukan aspirasi dengan jarum suntik sebelum memasukkan obat.
3. Tekan selang infus secara perlahan.
g. Perhatikan waktu pemasangan infus. Ganti tempat pemasangan infus apabila
terdapat tanda-tanda komplikasi (misalnya: plebitis, ektravasasi, dll)
2. Perhatikan respon pasien terhadap obat.
a. Adakah efek samping mayor yang timbul (anaphilaksis, respiratory
distress, takhikardi, bradikardi, atau kejang)
b. Adakah efek samping minor yang timbul (mual, pucat, kulit kemerahan,
atau bingung)
c. Hentikan pengobatan dan konsultasikan ke dokter apabila terjadi hal-hal
tersebut.

b. Continous Infusion (infus berlanjut)


Continous Infusion dapat diberikan secara tradisional melalui cairan yang
digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena,
intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa
khusus yang ditanam maupun yang ekstemal.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan :
Keuntungan
1. Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan
akurat.
2. Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang
infus atau adanya penyubatan.
3. Mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan
aliran infus.
Kerugian
1. Memerlukan selang khusus.
2. Biaya lebih mahal.
3. Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi.

c. Infus sementara (intermittent infusions)


Infus sementara dapat diberikan melalui" heparin lock", "piggybag" untuk infus
yang kontinu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus.

Alat Dan Bahan


1. Infus set
2. Abocath
3. Cairan infus
4. Tornikuet/tensimeter
5. Kapas alkohol
6. Kasa steril
7. Betadin salep
8. plester, gunting,
9. spalk dan pembalut kalau perlu
10. tiang infus
11. perlak kecil dan alasnya

Prosedur pemasangan selang intravena :


1. Pertama lakukan verifikasi order yang ada untuk terapi IV.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien.
3. Pilih vena yang layak untuk dilakukan venipuncture.
a. Bagian belakang tangan - vena metakarpal. Jika memungkinkan jangan lakukan
pada vena digitalis.
1. Keuntungan dilakukannya venipuncture diisi ini adalah memungkinkan lengan
bergerak bebas.
2. Jika kemudian timbul masalah pada sisi ini, gunakan vena lain diatasnya.
b. Lengan bawah - vena basilica atau cephalica.
c. Siku bagian dalam - fossa antecubital - median basilic dan median cephalic
untuk infus jangka pendek.
d. Ekstermitas bawah.
1. Kaki - vena pleksus dorsum, arkus vena dorsalis, vena medikal marginalis.
2. Mata kaki - vena saphena magma.
e. Vena sentralis digunakan:
1. Jika obat dan infus hipertonik atau sangat mengiritasi, membutuhkan
kecepatan, dilusi volume yang tinggi untuk mencegah reaksi sistemik dan
kerusakan vena lokal ( misal: kemoterapi, hiperalimentasi).
2. Jika aliran darah perifer dikurangi atau jika pembuluh darah perifer tidak
dapat dimasuki ( misal pada pasien obersitas).
3. Jika diinginkan monitor CVP.
4. Jika diinginkan terapi cairan jangka sedang atau jangka panjang.

Cara memunculkan vena:


1. Palpasi daerah yang akan dipasang infus.
2. Anjurkan pasien untuk mengepalkan tangannya (jika yang akan digunakan lengan).
3. Pijattempat yang akan diinfus.
4. Gunakan torniket sedikitnya 5 -15 cm diatas tempatyang akan diinsersi,
kencangkan torniket.
5. Alternatif lain adalah dengan menggunakan tensimeter, pasang tensimeter sedikit
dibawah tekanan sistolik.
6. Raba vena tersebut, untuk meyakinkan keadaan vena
7. Biarkan ekstremitas tersebut selama beberapa menit.
8. Gunakan handuk hangat untuk melembabkan tempat yang akan diinsersi.

Komplikasi yang dapat timbul dari terapi IV:


1. Infiltrasi (ektravasasi)
2. Trombophlebitis
3. Bakteremia
4. Emboli udara
5. Perdarahan
6. Trombosis
7. Imbalance elektroli,
8. Hematom, dll.
KALKULASI MATEMATIKAL
CAIRAN PERENTERAL

A. Flow rate per jam

V (mL)
R (mL/jam) = -----------
T (jam)

B. Flow rate per menit

V (mL)
R (mL/menit) = ------------------------
T (jam x 60 menit)
C. Flow rate dalam drop atau tetes per menit

V (mL)
R (gtts/menit) = ------------------------ x C
T (jam x 60 menit)

R = rate (kecepatan atau jumlah cairan)


V = volume
T = time (waktu)
C = drop faktor calibration

Mikrodrip = 60 drop/mL
Makrodrip = 10, 15, 20 drop/mL.

Contoh 1.
Cairan infus D5W 1 L diberikan dalam waktu 24 jam. Drop faktor 10.
Hitung flow rate per jam, per menit, dan drop per menitnya.

Jawab;

1000 mL
R = ---------- = 41,7 ml/jam = 42 ml/jam
24 jam

1000 mL 1000 mL
R = ----------------------- = --------- = 0,69 ml/menit
24 jam x 60 menit 1440

1000 mL
R = ---------------------- X 10 = 6,94 tts/menit = 7 tts/menit.
24 jam x 60 menit

Contoh 2.
Pada jam 06.00 pagi , 1 L normal saline diberikan melalui infusion pump dengan flow
rate 70 mL/jam. Delapan jam kemudian flow rate dinaikkan menjadi 80 mL/jam. Pada
jam berapa cairan infus habis/harus diganti dengan yang baru?
Jawab;

(i) V = R x T = 70 mL/jam x 8 jam = 560 mL.


(ii) Volume (yang tersisa) = 1000 – 560 = 440 mL.
V 440 mL
(iii) T = --- = -------------- = 5 ½ jam
R 80 mL/jam

(iv) Total waktu yang telah terpakai = 8 jam + 5 ½ jam = 13 ½ jam


(v) Waktu dimana infus harus diganti/habis = jam 19.30 (malam).
PENILAIAN PEMASANGAN INFUS
NAMA :
NIM :
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Cek program terapi cairan/review keputusan pemberian terapi cairan
2 Menanyakan keluhan utama/memeriksa adanya tanda kegawatan
3 Cuci tangan
4 Siapkan alat - alat
5 Berikan salam, panggil klien dengan sopan
6 Jelaskan tujuan dan prosedur tindakannya
7 Berikan kesempatan klien bertanya sebelum kegiatan dilakukan
8 Letakkan pasien pada posisi semi fowler atau supine jika tidak
memungkinkan.
9 Bebaskan lengan pasien dari lengan baju/kemeja
10 Letakkan manset 5-15 cm diatas tempat tusukkan
11 Letakkan alas plastik dibawah lengan klien
12 Periksa label pasien sesuai dengan kebutuhan cairan yang akan
diberikan.
13 Hubungkan cairan infus dengan infus set dan gantungkan.
14 Alirkan cairan infus melalui selang infus sehingga tidak ada udara di
dalamnya.
15 Kencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan
kesterilan.
16 Kencangkan tournikuet/manset tensi meter (tekanan dibawah tekanan
sistolik).
17 Anjurkan pasien untuk mengepal dan membukanya beberapa kali,
palpasi dan pastikan tekanan yang akan ditusuk
18 Bersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alkohol, lalu
diulangi dengan menggunakan kapas betadin. Arah melingkar dari
dalam keluar lokasi tusukkan.*
19 Gunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena 5 cm dibawah
tusukkan.
20 Pegang jarum pada posisi 30 derajat pada vena yang akan ditusuk.
setelah pasti masuk lalu tusuk perlahan dengan pasli.
21 Rendahkan posisi jarum sejajar pada kulit dan tarik jarum sedikit lalu
teruskan plastik iv catheter kedalam vena
22 Tekan dengan jari ujung plastik iv catheter
23 Tarik jarum infus keluar*
24 Sambungkan plastik iv catheter dengan ujung infus.
25 Lepaskan manset
26 Buka klem infus sampai cairan mengalir lancar.
27 Oleskan dengan salep betadin diatas penusukkan, kemudian
ditutup dengan kassa steril
28 Fiksasi posisi plastik iv catheter dengan plester.
29 Atur tetesan infus sesuai ketentuan, pasang stiker yang sudah diberi
tanggal.
30 Evaluasi hasil kegiatan
31 Bereskan alat-alat
32 Cuci tangan
33 Dokumentasi
TOTAL SKORE
keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna
* =Critical point ( item yang harus dilakukan)
Batas lulus 75% , dengan tidak ada critical point yang bernilai = 0

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, L. S. & Suddarth, D. S. (No year). The Lippincott manual of nursing


practice. 2nd edition. Pennsylvania. Lippincott.
Cummins, R.O. 1997. Advanced Cardiac Life Support. American Hearth Association.
USA.
Delp, MH. And Manning, RT. 1996. Major Diagnosis Fisik. EGC. Jakarta.
DeGowin, RL. And Brown, DD. 2000. Diagnostic Examination, 7th ed. Mc Graw-Hill
Co. New York.
Muhiman, M. 1989. Penatalaksanaan pasien di Intensive Care Unit. Bagian
Anestesiologi, FKUI. Jakarta. Daftar Pustaka.
Lanros, N. E. & Barber, J. M. (1997). Emergency nursing: With certification
preparation and review. Connecticut. Appleton & Lange.
Walton, R. L., Matory, W. E. & Trunkey, D. D. (1990). Perawatan luka dan penderita
perlukaan ganda. Edisi 2. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai