Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

NELSON TEXTBOOK OF PERDIATRICS


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian 
Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh: 
Ahmad Juliandi Firdaus  121810001
Aisyah Ramadhan 121810020
Desy Dwi Lestari 121810028
Edo Mahdi Saputra 121810031
Fitria Febriyanti A. 121810037
Mawar Indah Sari 121810013
M. Nuh Baihaqi M. 121810050
Nada Agustina N. 121810052
Rheima Nizar N. 121810061
Uftifah Aulina Selvira 121810070
 
Pembimbing: 
dr. Irman Permana, Sp. A(K)., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK 


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI 
RSUD WALED KABUPATEN CIREBON
CIREBON 
2022
i

LEMBAR PENGESAHAN KEPANITERAAN


ILMU KESEHATAN ANAK

REFERAT
NELSON TEXTBOOK OF PERDIATRICS

Referat ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Waled Cirebon

Disusun oleh: 
Ahmad Juliandi Firdaus  121810001
Aisyah Ramadhan 121810020
Desy Dwi Lestari 121810028
Edo Mahdi Saputra 121810031
Fitria Febriyanti A. 121810028
Mawar Indah Sari 121810013
M. Nuh Baihaqi M. 121810050
Nada Agustina N. 121810052
Rheima Nizar N. 121810061
Uftifah Aulina Selvira 121810070

Cirebon, Juni 2022

Pembimbing, 

dr. Irman Permana, Sp. A(K)., M.Kes

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Nelson
Textbook of Pediatrics”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu tugas Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Umum Daerah Waled Cirebon. Kami menyadari sangatlah sulit bagi
kami untuk menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak sejak penyusunan sampai dengan terselesaikannya laporan kasus ini.
Bersama ini saya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan sarana
dan prasarana kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik.
2. dr. Irman Permana, Sp.A(K), M.Kes. selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing kami dalam
penyusunan referat ini.
3. Orang tua beserta keluarga yang senantiasa memberikan do’a, dukungan
moral maupun material.
4. Serta pihak lain yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu atas
bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga referat ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Cirebon,   Juni 2022

Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.......................................................................................i
Kata Pengantar...............................................................................................ii
Daftar Isi..........................................................................................................iii
Pendahuluan....................................................................................................1
Penyakit kuning dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir
..........................................................................................................................4
Ikterus Fisiologis Pada Neonatus
..........................................................................................................................13
Hiperbilirubinemia Patologis
..........................................................................................................................16
Ikterus yang berhubungan dengan Menyusui
..........................................................................................................................17
Kolestasis Neonatal.........................................................................................18
Atresia Kongenital Saluran Empedu............................................................18
Kernikterus.....................................................................................................19
Pengobatan Hiperbilirubinemia....................................................................28

iii
1

Nama: Nada Agustina Nurinayah


NPM: 121810052
Pendahuluan
Menurut Data dari Kemenkes RI penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari
di Indonesia adalah gangguan pernafasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%,
hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab tingginya
AKB di Indonesia, 6,6% di antaranya akibat dari ikterus yang berpotensi menjadi
ensolopati bilirubin. Walaupun ikterus neonatorum urutan ke 2 dari penyebab
kematian neonatal 0-6 hari di Indonesia, tapi ikterus merupakan masalah yang
sering muncul pada masa neonatal dan dampak yang timbul seperti kejang-kejang
bisa dihindarkan dengan pengawasan yang ketat pada masa neonatal.
Menurut SDKI 2017 Angka kematian bayi (AKB) yaitu 24 per 1000
kelahiran hidup. Sedangkan target SDGs adalah mengakhiri angka kematian bayi
dan balita dengan cara menurunkan angka kematian balita 25 per 1000 kelahiran.
Berdasarkan data Riskesdas, 2015 angka hiperbilirubin pada bayi baru lahir di
Indonesia sebesar 51,47%.6 Ikterus neonatorum sendiri dapat diklasifikasi sebagai
ikterus fisiologis dan ikterus patologis. Akan tetapi, ikterus pada bayi baru lahir
dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang patologis.
Prevalensi kematian bayi disumbangkan pada masa bayi baru lahir sebanyak
57% (usia dibawah 1 bulan). penyebab kematian yang terbanyak disebabkan oleh
bayi berat lahir rendah, asfiksia, trauma lahir, ikterus neonatorum, infeksi lain dan
kelainan kongenital. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap
tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami ikterus
neonatorum dan hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Angka kematian bayi
di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012
sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup. Kematian neonatus terbanyak di Indonesia di
sebabkan oleh asfiksia (37%), bayi berat lahir rendah (BBLR) dan prematuritas
(34%), sepsis (12%), hipotermi(7%), ikterus neonatorum (6%), postmatur (3%),
dan kelainan kongenital (1%) per 1000 kelahiran hidup.
BBLR menjadi salah satu penyebab ikterus neonatorum. Konsentrasi
bilirubin serum meningkat 10 mg% pada bayi dengan BBLR dan 12 mg% saat
bayi cukup bulan. Kenaikan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam. Ikterus
2

yang diikuti terjadinya hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-


PD, dan sepsis. Prevalensi bayi BBLR dapat diperkirakan 15% dari kelahiran di
dunia dengan batasan 3,30%–3,80%. Mayoritas bayi BBLR terjadi di negara
berkembang dengan keterbatasan sosial ekonomi, negara berkembang lebih
banyak mengalami BBLR dengan angka kejadian 16%.
Upaya dalam meningkatkan kesehatan anak bertujuan untuk mempersiapkan
generasi yang berkualitas dan untuk menurunkan angka kematian anak yakni
meliputi Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan
Angka Kematian Balita (AKABA). Berdasarkan hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKN sebesar 19 per 1000 kelahiran
hidup dan AKB sebesar 22,23 per 1000 kelahiran hidup, yang artinya sudah
mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) sebesar 23 per kelahiran
hidup. Akan tetapi, AKB di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN seperti, Singapura mencapai 3 per 1000 kelahiran
hidup, Brunei Darussalam mencapai 8 per 1000 kelahiran hidup, dan Malaysia
mencapai 10 per 1000 kelahiran hidup. Data tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia perlu melanjutkan program untuk mencapai target Sustainable
Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 sebesar 12 per kelahiran hidup.
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua ketiga atau
setelah 48 jam pertama kehidupan bayi dan tidak mempunyai dasar patologis,
kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi kren ikterus. Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar
patologis (timbulnya dalam waktu 24 jam hingga 48 jam pertama kehidupan bayi)
atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia
disertai demam yang dapat 18 menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian, sehingga setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan
perhatian. Beberapa kasus hiperbilirubinemia yang tidak teratasi dapat
menyebabkan komplikasi. Jika kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa
menyebabkan kerusakan otak keadaan ini disebut kren ikterus, yang memiliki efek
jangka panjang yaitu keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (pengontrolan
otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli, dan mata tidak dapat digerakkan keatas.
3

Ikterus neonatorum merupakan indikasi klinis pada neonatus yang ditandai


dengan pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat dari akumulasi produksi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih dalam jaringan. Ikterus neonatorum
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu inkompatibilitas darah ABO,
defisiensi enzim G6PD, keterlambatan pasase mekonium, kurangnya asupan ASI,
dan asfiksia. Berdasarkan, faktor risiko ikterus dibedakan menjadi 3 faktor yaitu,
faktor maternal meliputi Ras, komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO
dan Rh), penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, dan ASI. Faktor
perinatal meliputi trauma lahir (sefalhematom, ekimosis), dan infeksi (bakteri,
virus, protozoa). Faktor neonatal meliputi prematuritas, faktor genetik,
polisitemia, obat-obatan, rendahnya asupan ASI, hipoglikemia, dan
hipoalbuminemia. Faktor lain yaitu BBLR dan asfiksia. Bayi berat lahir rendah
dapat berisiko terjadinya ikterus neonatorum. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa BBLR lebih mudah mengalami ikterus dibandingkan dengan bayi yang
memiliki berat badan lahir normal. Kematangan pada organ bayi BBLR belum
maksimal dibandingkan dengan bayi yang memiliki berat badan lahir normal.
Proses pengeluaran bilirubin melalui organ hepar yang belum matang
menyebabkan terjadinya ikterus pada bayi. Sehingga terjadi penumpukan bilirubin
dan menyebabkan warna kuning pada permukaan kulit.
Daftar Pustaka

1. Kemenkes R. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016 (Ketua: Budijanto).


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017.
2. Marlina L, Fitrihadi E. Gambaran karakteristik ibu dengan kejadian ikterus
pada neonatus di rsud wates kulon progo. 2017;
3. Organization WH. Health in 2015: from MDGs, Millennium Development
Goals to SDGs, Sustainable Development Goals. Geneva: World Health
Organization; 2015.
4. Devi, D. S., & Vijaykumar, B. (2017). Risk factors for neonatal
hyperbilirubinemia : a case control study. International Journal of
Reproduction, Contraception, Obstetetric, Gynecology, 6(1), 198–202.
4

Nama: Rheima Nizar


NPM: 121810061

Penyakit kuning dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir


Hiperbilirubinemia merupakan kasus terbanyak dan menjadi masalah
umum yang terjadi pada neonatus. Ikterus pada neonatus diamati selama minggu
pertama setelah kelahiran pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi
prematur. Warna kuning pada neonatus dihasilkan dari akumulasi pigmen
bilirubin tak terkonjugasi, nonpolar yang larut dalam lemak di kulit. Bilirubin tak
terkonjugasi merupakan produk akhir katabolisme protein-heme dari serangkaian
reaksi enzimatik oleh hemeoksigenase biliverdin reduktase dan zat pereduksi
nonenzimatik dalam sel retikuloendotelial yang sebagian disebabkan oleh deposisi
pigmen dari bilirubin terkonjugasi yang merupakan produk akhir dari bilirubin
indirek.
Bilirubin tak terkonjugasi yang telah mengalami konjugasi dalam
mikrosom sel hati dibantu oleh enzim uridine diphosphoglucuronic acid (UDP)-
glucuronyl transferase akan membentuk glukuronida bilirubin polar yang larut
dalam air (yang dapat bereaksi langsung). Meskipun bilirubin memiliki peran
fisiologis sebagai antioksidan, peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dapat
berpotensi neurotoksik pada neonatus. Meskipun bentuk bilirubin terkonjugasi
tidak bersifat neurotoksik, namun hiperbilirubinemia pada neonatus dapat
menyebabkan gangguan hati yang berpotensi serius atau penyakit sistemik pada
neonatus.
Etiologi
Selama periode neonatal metabolisme bilirubin berada dalam transisi dari
tahap janin, dimana plasenta adalah rute utama eliminasi bilirubin tak terkonjugasi
yang larut dalam lemak. Pada orang dewasa bentuk terkonjugasi akan larut dalam
air yang diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem bilier dan saluran cerna.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat menyebabkan dan meningkatkan
beberapa faktor berikut:

a) Meningkatkan bilirubin yang dimetabolisme oleh hati (anemia hemolitik,


polisitemia, memar atau perdarahan internal, masa hidup sel darah merah
5

yang lebih pendek (eritrosist imatur), peningkatan sirkulasi enterohepatik


dan infeksi)
b) Merusak atau mengurangi aktivitas enzim transferase atau enzim terkait
lainnya (defisiensi genetik, hipoksia, infeksi, defisiensi tiroid)
c) Memblokir enzim transferase (obat-obatan dan zat lain yang
membutuhkan konjugasi asam glukuronat)
d) Menyebabkan tidak adanya atau penurunan jumlah enzim serta
pengurangan bilirubin uptake oleh sel-sel hati (cacat genetik dan
prematuritas).
Polimorfisme gen dalam uridine difosfat glucuronosyltransferase isoenzyme
1A1 (UGT1A1) hati dan pembawa zat terlarut pengangkut anion organik 1B1
(SLCO1B1) sendiri atau dalam kombinasi mempengaruhi kejadian
hiperbilirubinemia neonatal. Efek toksik dari peningkatan konsentrasi serum
bilirubin tak terkonjugasi meningkat oleh faktor-faktor yang mengurangi retensi
bilirubin dalam sirkulasi (hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat
pengikatannya pada albumin oleh pengikatan obat yang kompetitif seperti
sulfsoxazole dan moxalactam, asidosis, dan peningkatan konsentrasi asam lemak
bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia).
Efek neurotoksik secara langsung berhubungan tidak hanya berhubungan
dengan permeabilitas sawar darah-otak dan membran sel saraf tetapi juga
kerentanan saraf terhadap cedera, yang semuanya dipengaruhi oleh asfiksia,
prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi. Keterlambatan pengeluaran meconium
pada jalan lahir yang mengandung 1 mg bilirubin/dL dapat menyebabkan ikterus
melalui resirkulasi enterohepatik setelah dekonjugasi oleh glukuronidase usus.
Obat-obatan seperti oksitosin (pada ibu) dan bahan kimia yang digunakan di
kamar bayi seperti deterjen fenolik juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi.
6

Gambar 102-6 Tingkat produksi bilirubin pada neonatus adalah 6-8 mg/kg/24 jam
(berbeda dengan 3-4 mg/kg/24 jam pada orang dewasa). Bilirubin yang tidak larut dalam
air akan terikat pada albumin. Pada plasma-hepatosit, membran hati (bilitranslocase)
mengangkut bilirubin ke protein pengikat sitosol (ligandin atau protein Y) sekarang
dikenal sebagai glutathione Stransferase yang mencegah penyerapan kembali ke plasma.
Bilirubin akan diubah menjadi bilirubin monoglucuronide (BMG). Neonatus
mengeluarkan lebih banyak BMG daripada orang dewasa. Sedangkan pada janin, BMG
tak larut lemak akan terkonjugasi dan bilirubin diglukuronida (BDG) harus didekonjugasi
oleh enzim beta-glukuronidase jaringan untuk memfasilitasi transfer plasenta dari
bilirubin tak terkonjugasi yang larut dalam lemak melintasi membran lipid plasenta.
Setelah lahir, pencernaan atau susu yang mengandung glukoronidase berkontribusi pada
resirkulasi enterohepatik bilirubin dan kemungkinan akan menyebabkan berkembangnya
hiperbilirubinemia.
7

Nama : Fitria Febriyanti Abdussalam


NPM: 121810037

Manifestasi Klinis
Ikterus biasanya muncul selama periode neonatus awal, tergantung pada
etiologi. sedangkan ikterus akibat pengendapan bilirubin indirek di kulit
cenderung tampak kuning cerah atau jingga, ikterus tipe obstruktif (bilirubin
direk) biasanya tampak kuning kehijauan atau keruh. Ikterus biasanya menjadi
lebih jelas dalam perkembangan cephalocaudal, mulai dari wajah, lalul ke perut,
dan kemudian kaki, dikarenakan kadar serum yang meningkat. Tekanan dermal
dapat menunjukkan perkembangan anatomis ikterus (wajah, kira-kira 5 mg/dL;
perut, 15 mg/dL; telapak kaki 20 mg/dL), tetapi pemeriksaan klinis tidak dapat
memperkirakan kadar serum secara tepat. Teknik noninvasif untuk pengukuran
bilirubin transkutan yang berkorelasi dengan kadar serum dapat digunakan untuk
skrining bayi, tetapi penentuan kadar bilirubin serum diindikasikan pada pasien
dengan peningkatan pengukuran bilirubin transkutaneus, ikterus yang progresif,
atau risiko hemolisis atau sepsis. Bayi dengan hiperbilirubinemia berat dapat
mengalami kelesuan, nafsu makan yang buruk, dan apabila tidak dilakukan
pengobatan, dapat berkembang menjadi ensefalopati bilirubin akut (kernikterus)
(lihat Bab 123.4).
Diagnosis Banding
Perbedaan antara ikterus fisiologis dan patologis berhubungan dengan
waktu, laju kenaikan, dan luasnya hiperbilirubinemia, karena beberapa penyebab
ikterus fisiologis yang sama (misalnya, massa sel darah merah yang besar,
penurunan kapasitas konjugasi bilirubin, peningkatan sirkulasi enterohepatik) juga
dapat terjadi pada ikterus patologis. Evaluasi harus ditentukan berdasarkan faktor
risiko, gambaran klinis, dan tingkat keparahan hiperbilirubinemia (Tabel 123.2
sampai 123.4).
8

Tabel 123.2 Faktor Risiko untuk Hiperbilirubinemia Berat


Faktor Risiko Mayor
Level TSB atau TcB di zona yang berisiko tinggi (lihat gambar 123.10)
Ikterus diamati dalam 24 jam pertama
Ketidakcocokan golongan darah dengan tes antiglobulin direk positif, penyakit
hemolitik lain yang diketahui (defisiensi G6PD), peningkatan konsentrasi CO tidal
Usia kehamilan 35-36 minggu
Saudara sebelumnya menerima fototerapi
Chepalohematoma atau memar yang signifikan
ASI eksklusif, terutama jika menyusui tidak berjalan dengan baik dan penurunan
berat badan berlebihan
Ras Asia Timur
Faktor Risiko Minor
Tingkat TSB atau TcB di zona risiko menengah
Usia Kehamilan 37-38 minggu
Ikterus telah diamati sebelumnya
Riwayat saudara sebelumnya dengan ikterus
Bayi makrosomik dari ibu diabetes
Usia ibu ≥ 25 tahun
Laki-laki
Risiko Rendah
Level TSB atau TcB di zona risiko rendah
Usia kehamilan ≥ 41 minggu
Pemberian susu botol eksklusif
Ras kulit hitam
Keluar dari rumah sakit setelah 72 jam

Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama setelah lahir harus dianggap
patologis dan memerlukan perhatian segera. Kemungkinan diagnosis akan
mencakup eritroblastosis fetalis, perdarahan yang tidak tampak, sepsis atau infeksi
kongenital, termasuk sifilis, cytomegalovirus (CMV), rubella, dan toksoplasmosis.
Hemolisis ditunjukkan oleh peningkatan dalam konsentrasi bilirubin serum (>0,5
mg/dL/jam), anemia, pucat, retikulositosis, hepatosplenomegali, dan riwayat
keluarga yang mengalami hal serupa. Proporsi yang biasanya tinggi dari bilirubin
yang bereaksi langsung dapat menjadi ciri ikterus pada bayi yang telah menerima
9

transfusi intrauterin untuk eritroblastosis fetalis. Ikterus yang pertama kali muncul
pada hari kedua dan hari ketiga biasanya fisiologis tetapi dapat memungkinkan
terjadi bentuk yang lebih parah. Familian nonhemolitik ikterus (sindrom Crigler-
Najjar) dan ikterus dini terlihat pada hari kedua atau ketiga. Ikterus dapat muncul
setelah hari ketiga dan dalam minggu pertama menunjukkan sepsis bakteri atau
infeksi saluran kemih; juga dapat disebabkan oleh infeksi lain, terutama sifilis,
toksoplasmosis, CMV, dan enterovirus. Ikterus sekunder akibat ekimosis ekstensif
atau ekstravasasi darah dapat terjadi pada hari pertama atau sesudahnya, terutama
pada bayi prematur. Polisitemia juga dapat menyebabkan ikterus dini.
Terdapat diagnosis banding yang panjang untuk ikterus yang pertama kali
dikenali setelah minggu pertama kehidupan, termasuk kejadian ikterus pada
pemberian ASI, septikemia, atresia kongenital atau kekurangan saluran empedu,
hepatitis, galaktosemia, hipotiroidisme, CF, dan krisis anemia hemolitik
kongenital yang terkait dengan morfologi sel darah merah, dan defisiensi enzim
(Gambar 123.9). Diagnosis banding untuk ikterus persisten selama bulan pertama
kehidupan meliputi kolestasis terkait hiperalimentasi, hepatitis, penyakit inklusi
sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familian, atresia
kongenital saluran empedu, galaktosemia, dan IBS (Inspissated Bile Syndrome)
setelah penyakit hemolitik pada bayi baru lahir. Pada ikterus fisiologis jarang
terjadi ikterus yang memanjang selama beberapa minggu, seperti pada bayi
dengan hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Terlepas dari kehamilan atau waktu munculnya ikterus, pasien dengan
hiperbilirubinemia yang signifikan dan yang memiliki gejala atau tanda,
memerlukan evaluasi diagnostik lengkap, yang meliputi penentuan fraksi bilirubin
direk dan indirek, hemoglobin, jumlah retikulosit, golongan darah, tes Coombs,
dan pemeriksaan apusan darah tepi. Hiperbilirubinemia indirek, retikulositosis,
dan apusan dengan destruksi sel darah merah menunjukkan hemolisis (lihat Tabel
123.3). Dengan tidak adanya ketidakcocokan golongan darah, hemolisis yang
diinduksi secara non-imunologi harus dipertimbangkan. Jika hitung retikulosit,
hasil tes Coombs, dan nilai bilirubin direk normal, hiperbilirubinemia tidak
langsung fisiologis atau patologis mungkin ada. Jika terjadi hiperbilirubinemia,
kemungkinan diagnostik termasuk: hepatitis, kelainan saluran empedu bawaan
10

(atresia bilier, kekurangan saluran empedu, penyakit bilier), kolestasis, kesalahan


metabolisme bawaan, CF, bawaan hemosiderosis, dan sepsis.
Tabel 123.3 Evaluasi Neonatus dengan Ikterus yang Signifikan
Kemungkinan
Tes Laboratorium Awal
  Diagnosis
Ikterus hari ke 1 Hemolisis CBC, apusan
TORCH/sepsis Bilirubin total dan direk
Sindrom gagal hepatik Golongan darah dan tes
Perdarahan internal Coombs
Ikterus yang Hemolisis seperti di atas
membutuhkan TORCH/sepsis
fototerapi
Hiperbilirubinemi TORCH/sepsis
Enzim hepatik, INR, pada bayi
a
baru lahir skrining penyakit
direk/terkonjugasi Atresia Bilier
metabolik, glukosa darah,
Penyebab kolestasis
amonia darah dan laktat, urin
lainnya
dan darah rutin, CMV dan
Sindrom gagal hepatik
HSV PCR
   
11

Nama: M. Nuh Baihaqi Mulyana


NPM: 121810050

Diagnosis Nature of Van Den Jaundice Puncak Konsentrasi Akumulasi Comments


Bergh Reaksi Bilirubin Tingkat Bilirubin
( mg/dL/hari)
Puncak Menurun mg/dL Umur dalam
hari

Fisiologi Ikterus : Biasanya berhubungan


dengan tingkat
kematangan

Cukup bulan Tidak langsung 2-3 hari 4-5 hari 10-12 2-3 <5

Prematur Tidak langsung 3-4 hari 7-9 hari 15 6-8 <5

Hiperbilirubinemia yang Metabolisme faktor :


disebabkan oleh factor hipoksia, gangguan
metabolisme : pernafasan, kurangnya
karbohidrat

Cukup bulan Tidak langsung 2-3 hari Variabel >12 1 minggu <5 Pengaruh hormonal,
cretinism, hormon,
sindrom gilbert

Prematur Tidak langsung 3-4 hari Variabel >15 1 minggu <5 Faktor genetik : sindro
12

Cigler Najjar dan


sindrom gilbert

Keadaan hemolitik dan Tidak langsung Kemungkinan 1 – Variabel Tidak Variable Biasanya >5 Eritoblastosis, : Rh,
hematoma 24 jam terbatas ABO, hemolitik
kongenital : spherocytic,
nonspherocytic.

Obat : vitamin K,
perdarahan tertutup-
hematoma.

Campuran hemolitik dan Langsung dan tidak Kemungkinan 1-24 Variabel Tidak Variabel Biasanya >5 Infeksi : sepsis bakterial,
faktor hepatotoxic langsung jam terbatas hepatitis, toxoplasmosis,
penyakit sitomegalik
inklusi, rubella, sipilis.

Obat : vitamin K

Kerusakan hepatoseluler Langsung dan tidak Biasanya 2-3 hari, Variabel Tidak Variabel Variabel, bisa juga Atresia biliaris,
langsung kemungkinan terbatas >5 kekurangan saluran
hingga 2 minggu empedu, kolestasis,
galactosemia ; hepatitis,
infeksi

Tabel 1.1 Berbagai Jenis Diagnosis Penyakit Kuning Pada Neonatus


13

Ikterus Fisiologis Pada Neonatus


Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek pada tali pusat serum adalah 1-3
mg/dL dan meningkat dengan kecepatan <5 mg/dL/24 jam; jadi, penyakit kuning
menjadi terlihat pada hari ke-2 atau ke-3, biasanya memuncak antara hari ke-2 dan
ke-4 hari pada 5-6 mg/dL dan menurun menjadi <2 mg/dL antara hari ke-5 dan
ke-7 setelah lahir. Penyakit kuning yang terkait dengan perubahan ini disebut
fisiologis dan diyakini sebagai hasil dari peningkatan produksi bilirubin dari
pemecahan sel darah merah janin dikombinasikan dengan keterbatasan sementara
dalam konjugasi bilirubin oleh hati neonatus yang imatur.
Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan memiliki kadar bilirubin tidak
langsung >13 mg/dL, dan <3% memiliki kadar >15 mg/dL. Faktor risiko
peningkatan bilirubin tidak langsung termasuk usia ibu, ras (Cina, Jepang, Korea,
penduduk asli Amerika), diabetes ibu, prematuritas, obat-obatan (vitamin K3 ,
novobiocin), ketinggian, polisitemia, jenis kelamin laki-laki, trisomi 21, memar
kulit, ekstravasasi darah (cephalohematoma), induksi oksitosin, menyusui,
penurunan berat badan (dehidrasi) atau kekurangan kalori), keterlambatan buang
air besar, dan riwayat keluarga, atau saudara kandung yang menderita ikterus
fisiologis. Pada bayi tanpa ini variabel, kadar bilirubin tidak langsung jarang naik
>12 mg/dL, sedangkan bayi dengan beberapa faktor risiko lebih cenderung
memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi. Sebuah kombinasi menyusui, aktivitas
varian-glucuronosyltransferase (1A1), dan perubahan gen transporter-2 anion
organik meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Memprediksi neonatus mana
yang berisiko berlebihan ikterus fisiologis dapat didasarkan pada kadar bilirubin
spesifik jam dalam 24 jam pertama sampai 72 jam kehidupan. Pengukuran
transkutan dari bilirubin adalah berkorelasi linier dengan kadar serum dan dapat
digunakan untuk skrining. tidak langsung kadar bilirubin pada bayi cukup bulan
menurun ke tingkat dewasa (1 mg / dL) sebesar 10-14 hari-hari kehidupan.
Hiperbilirubinemia indirek persisten setelah 2 minggu menunjukkan hemolisis,
defisiensi glukuronil transferase herediter, ikterus ASI, hipotiroidisme, atau
obstruksi usus. Penyakit kuning yang berhubungan dengan pilorus Stenosis
mungkin akibat kekurangan kalori, defisiensi relatif
14

UDP-glucuronyltransferase, atau peningkatan sirkulasi enterohepatik bilirubin


dari ileus. Pada bayi prematur, peningkatan bilirubin serum cenderung sama atau
agak lebih lambat tetapi durasinya lebih lama daripada bayi cukup bulan. Kadar
puncak 8-12 mg/dL biasanya tidak sampai hari ke-4 sampai 7, dan penyakit
kuning jarang diamati setelah hari ke-10, sesuai dengan pematangan mekanisme
metabolisme dan ekskresi bilirubin.
Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau prematur dapat ditegakkan
hanya dengan menyingkirkan penyebab ikterus yang diketahui berdasarkan
riwayat penyakit, temuan klinis, dan data laboratorium. Secara umum, pencarian
untuk menentukan penyebab penyakit kuning harus dilakukan jika (1) muncul di
24-36 jam pertama setelah lahir, (2) serum bilirubin meningkat lebih cepat dari 5
mg/dL/24 jam, (3) bilirubin serum >12 mg/dL pada bayi cukup bulan (terutama
pada tidak adanya faktor risiko) atau 10-14 mg/dL pada bayi prematur, (4) ikterus
menetap setelah 10-14 hari setelah lahir, atau (5) fraksi bilirubin langsung >2
mg/dL pada kapan pun.
15

Nama: Edo Mahdi Saputra


NPM: 121810031

Peningaktan bilirubin direk Peningkatan bilirubin indirek

Sepsis
Infeksi intrauterin
Toxoplasmosis Tes Coombs positif Tes Coombs negatif
Cytomegalovirus
Rubella
Herpes
Isoimmunisasi
Sifilis
Rh Hemoglobin
Kelainan saluran empedu
ABO
Kelainan dari metabolisme empedu
Golongan darah
Penyakit hemolisis kronik
lainnya Normal atau rendah Tinggi (polisitemia)
Atresia billier
Hepatitis giant cell
Kista koledokus Transfusi kembar
Fibrosis kistik Hitung Retikulosit Transfusi Maternal-
Galaktosemia fetal
Defisiensi Alfa1-antitrypsin Tunda penjepitan tali
Tyrosinemia Meningkat pusat
kolestasis hiperalimentasi Kecil masa
kehamilan
Morfologi sel darah merah

Karakteristik Non spesifik Normal


Hiperbilirubinemia
berkelanjutan
Spherositosis Defisiensi G6PD Perdarahan tertutup
Elliptositosis Defisiensi PK Peningkatan sirkulasi enterohepatik,
Stomatositosis Defisiensi enzim lainnya obstuksi pencernaan, buang air besar yang
Pyknositosis Koagulasi intravascular tertunda atau jarang
Sell Fragmen diseminata Intake kalori inadekuat Sindrom Gilbert
Asfiksia neonatal Sindrom Down
Hipotiroidisme
Sindrom Crigler-Najjar
Menyusui
16

Hiperbilirubinemia Patologis
Ikterus dan hiperbilirubinemia yang mendasarinya dianggap patologis jika
waktu kemunculan, durasi, atau pola sangat bervariasi dari ikterus fisiologis, atau
jika perjalanan penyakitnya sesuai dengan ikterus fisiologis tetapi ada alasan lain
untuk mencurigai bahwa bayi berada pada risiko khusus untuk: neurotoksisitas.
Mungkin tidak mungkin untuk menentukan penyebab pasti dari suatu peningkatan
abnormal bilirubin tak terkonjugasi, tetapi banyak bayi dengan temuan ini
memiliki faktor risiko terkait seperti ras Asia, prematuritas, menyusui, dan
penurunan berat badan. Seringkali, istilah penyakit kuning fisiologis dan
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir digunakan pada bayi yang masalah
utamanya adalah: mungkin kekurangan atau tidak aktifnya bilirubin glukuronil
transferase (Gilbert sindrom) dari kurangnya ekskresi bilirubin (lihat Tabel
123,2 ). Kombinasi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) defisiensi dan mutasi
daerah promotor UDP-glucuronyl transferase-1 menghasilkan hiperbilirubinemia
tidak langsung tanpa adanya tanda-tanda hemolisis. Hiperbilirubinemia
nonfisiologis juga dapat disebabkan oleh mutasi dalam gen untuk bilirubin UDP-
glucuronyl transferase.

Gambar 123.10 Penetapan risiko bayi baru lahir cukup bulan dan bayi cukup bulan
berdasarkan nilai bilirubin serum spesifik perjam. Zona berisiko tinggi dibagi lagi dengan
95 jalur persentil. Zona risiko menengah dibagi menjadi risiko atas dan bawah zona
17

dengan jalur persentil ke-75. Zona berisiko rendah telah dipilih dan ditentukan secara
statistik oleh trek persentil ke-40.

Nama: Uftifah Aulinna Selvira


NPM: 121810070

Faktor risiko tersering yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia adalah


peningkatan bilirubin yang menginduksi disfungsi neurologis, seringkali terjadi
dengan tingginya kadar bilirubin tak terkonjugasi. Perkembangan kernikterus
(ensefalopati bilirubin) bergantung pada kadar dari bilirubin tak terkonjugasi,
lamanya paparan terhadap peningkatan bilirubin, penyebab penyakit kuning, dan
keadaan bayi yang membaik. Kerusakan neurologis seperti kernikterus dapat
terjadi saat kadar bilirubin rendah seperti pada bayi prematur dan adanya asfiksia,
pedarahan intraventikular, hemolisis, atau obat yang menggantikan bilirubin yang
berasal dari albumin. Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang berbahaya bayi berat
badan lahir sangat rendah belum bisa dijelaskan.
Ikterus yang berhubungan dengan Menyusui
Peningkatan kadar serum bilirubin tak terkonjugasi secara signifikan
(ikterus yang berhubungan dengan ASI) terjadi sekitar 2% dari bayi cukup bulan
setelah disusui selama 7 hari dengan konsentrasi maksimal lebih dari 10-30 mg/dl,
selama 2-3 minggu. Jika menyusui tetap dilanjutkan, bilirubin secara bertahap
akan menurun, tetapi akan bertahan selama 3-10 minggu dalam kadar rendah. Jika
menyusui dihentikan, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat,
mencapai kadar normal dalam beberapa hari. Jika menyusui dilanjutkan, bilirubin
jarang kembali menjadi tinggi. Fototerapi juga mungkin bermanfaat. Meskipun
jarang, kernikterus juga dapat terjadi pada pasien dengan ikterus ASI. Etiologi
ikerus ASI tidak sepenuhnya jelas, meskipun β-glukoronidase yang
mengakibatkan dekonjugasi bilirubin, peningkatan sirkulasi etrohepatik dan factor
lain yang mungkin mengganggu konjugasi bilirubin (misalnya pregnanediol, asam
lemak bebas) telah terlibat.
Ikterus lanjut yang berhubungan dengan menyusui harus dibedakan
dengan hyperbilirubinemia tak terkonjugasi awitan dini atau yang dikenal dengan
iketerus menyusui, terjadi pada 1 minggu pertama setelah lahir pada bayi yang
18

diberi ASI, yang normalnya mempunyai kadar bilirubin lebih tinggi dari bayi
yang diberikan susu formula. Asupan susu yang lebih rendah sebelum produksi
ASI dapat mengakibatkan dehidrasi, yang menyebabkan hemokonsentrasi
bilirubin dan buang air besar yang sedikit, yang akhirnya akan meeningkatkan
sirkulasi enterohepatic bilirubin. Sebagai tambahan, “water glucose” diberikan
pada bayi yang disusui karena pada bayi tersebut memiliki kadar bilirubin yang
lebih tinggi, sebagian lagi karena terjadinya pengurangan ASI dengan kalori yang
lebih tinggi dan tidak menyusui dengan dukungan laktasi yang berkelanjutan
dapat mengurangi terjadinya ikterus pada menyusui dini. Selain itu, tambahan
dengan susu formula atau ASI jika asupannya tidak mencukupi, penurunan berat
badan secara berlebihan atau bayi tampak mengalami dehidrasi.
Kolestasis Neonatal
Lihat bagian 383.1.

Gambar 123.11 Distribusi kadar maksimal bilirubin selama minggu pertama kehidupan
pada bayi kulit putih yang diberi ASI dan susu formula dengan berat >2,500 g.
Atresia Kongenital Saluran Empedu
Lihat bagian 383.1.
Ikterus menetap selama >2 minggu atau disertai dengan feses alkoholik
dan urin berwarna gelap kemungkinan merupakan atresia bilier. Semua bayi
dengan ciri tersebut memerlukan evaluasi diagnostic segera, termasuk
pemeriksaan bilirubin terkonjugasi.
123.4 Kernikterus
Kernikterus atau ensefalopati bilirubin, adalah suatu sindrom neurologis
yang disebabkan oleh bilirubin tak terkonjugasi (indirek) yang mengendap pada
19

ganglias basal dan nucleus batang otak. Pathogenesis dari kerinketerus bersifat
multifaktoral dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin tak terkonjugasi,
pengikat albumin dan kadar bilirubin tak terikat, melewati sawar darah-otak, dan
kerentanan saraf terhadap cedera. Gangguan pada sawar-darah otak karena
penyakit, asfiksia dan faktor lain serta perubahan maturasi pada permeabilitas
sawar darah otak yang mempengaruhi resiko.
Kadar darah lebih dari bilirubin yangbereaksi secara tidak langsung atau
bilirubin bebas akan menjadi racun bagi bayi tidak dapat diprediksi. Sebagian
besar, tidak diketahui bagaimana caranya, kernicterus hanya terjadi ada bayi
dengan bilirubin >20 mg/dL, 90% diantaranya sebelumnya sehat, terutama bayi
cukup bulan dan bayi yang hamper cukup bulan. Lamanya paparan saat kadar
bilirubin tinggi dibutuhkan untuk menghasilkan efek toksik tidak diketahui;
semakin imatur bayi, semakin besar kerentanannya terhadap kernicterus. Bagian
123.3 menjelaskan tentang fatktor apa saja yang memungkinkan bilirubin dapat
melewati sawar darah otak dan masuk ke sel otak.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari kernicterus biasanya timbul 2-5 hari setelah lahir
pada bayi cukup bulan dan lebih lambat yaitu hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi
hyperbilirubinemia mungkin akan menyebabkan ensefalopati setiap saat selama
masa neonatus. Tanda awalnya mungkin tidak terlihat dan tidak bisa dibedakan
dari sepsis, asfiksia, hipoglikemia, perdarahan intracranial, dan penyakit akut
lainnya pada neonatus. Lesu, nafsu makan yang buruk, dan kehilangan reflek
Moro timbul sebagai tanda awal. Kemudian, bayi akan tampak sakit parah dan
lemah, dengan reflek tendon yang mulai terganggu dan gangguan pernapasan.
Opistotonos atau hiperekstensi kepala dan punggung dengan ubun-ubun yang
menonjol, kedutan atau kejang pada wajah atau anggota tubuh lain, tangisan
melengking juga dapat timbul. Pada kasus yang lain, kejang dan spasme mungkin
ada, bayi yang terkena mengalami kekakuan pada tangan dengan tangan dalam
keadaan terkepal. Rigiditas jarang terjadi pada fase ini.
Banyak bayi yang berkembang menjadi tanda neurologis berat akhirnya
meninggal, yang selamat biasanya akan mengalami kerusakan parah tetapi
mungkin akan pulih dan selama 2-3 bulan hanya sedikit yang menunjukkan
20

kelainan. Kemudian, pada satu tahun pertama, opistotonos, rigiditas otot, gerakan
tidak teratur dan kejang cenderung berkurang. Pada tahun kedua, opistotonos dan
dan kejang mereda, tetapi gerakan involunter, kekakuan otot, atau pada beberapa
bayi hipotonia terus meningkat. Pada usia 3 tahun, sindrom neurologis lengkap
sering terlihat, koreoatetosis bilateral dengan kejang otot yang tidak disadari atau
involunter, tanda ekstrapiramidal, kejang, defisiensi mental, gangguan bicara,
gangguan pendengaran frekuensi tinggi, juling dan gerakan mata ke atas yang
rusak. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, dan ataksia terjadi pada beberapa bayi.
pada bayi yang terkena dampak menengah, sindrom ini dapat dicirikan hanya oleh
inkoordinasi neuromuskular ringan sampai sedang, tuli parsial, atau "disfungsi
otak minimal", terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama, masalah ini mungkin
tidak terlihat sampai anak masuk sekolah.

Tabel 123.5 Gambaran Klinis Kernikterus

Kondisi Akut

Fase 1 (minggu pertama 1-2 hari) reflek hisap lemah, stupor, hipotonia, kejang

Fase 2 (diperengahan minggu pertama) hipertonia otot ekstensor, opistotonos,


retrokolis, demam

Fase 3 (setelah minggu pertama) hipertonia

Kondisi Kronis

Setahun pertama, hipotonia, aktifnya refleks tendon dalam, refleks tonic pada leher,
terlambatnya keterampilan motoric

Setelah satu tahun pertama, gangguan Gerakan (koreoatetosis, balismus, tremor), mata
menatap keatas, tuli sensorineural.
21

Nama: Desy Dwi Lestari


NPM: 121810028

Insiden dan Prognosis


Berdasarkan kriteria patologis, kernikterus berkembang pada 30% bayi
(semua usia kehamilan) dengan penyakit hemolitik yang tidak diobati dan kadar
bilirubin >25-30 mg/dL. Insiden pada otopsi yang dilakukan pada bayi prematur
hiperbilirubinemia adalah sebanyak 2-16% dan berhubungan dengan faktor risiko
yang dibahas dalam Bab 123.3. Perkiraan yang dapat diandalkan dari frekuensi
sindrom klinis tidak tersedia karena spektrum manifestasi yang luas. Tanda-tanda
neurologis yang jelas membawa prognosis yang buruk, >75% bayi meninggal, dan
80% dari korban yang selamat memiliki koreoatetosis bilateral dengan spasme
otot involunter, keterlambatan perkembangan, tuli, dan quadriplegia spastik yang
umum.
Pencegahan
Meskipun kernincterus telah dianggap sebagai penyakit di masa lalu, ada
laporan efek neurotoksik bilirubin pada bayi cukup bulan dan bayi cukup bulan
yang dipulangkan sebagai bayi baru lahir yang sehat. para ahli merekomendasikan
skrining universal untuk hiperbilirubinemia dalam 24-48 jam pertama setelah lahir
untuk mendeteksi bayi yang berisiko tinggi untuk ikterus parah dan disfungsi
neurologis yang diinduksi bilirubin.
Pencegahan yang efektif memerlukan kewaspadaan berkelanjutan dan
pendekatan berbasis sistem yang praktis untuk membedakan bayi dengan ikterus
neonatus jinak dari bayi yang dalam perjalanannya mungkin kurang dapat
diprediksi dan berpotensi berbahaya. Protokol menggunakan nomogram jam
spesifik bilirubin (lihat Gbr.102-8), pemeriksaan fisik, dan faktor risiko klinis
telah berhasil mengidentifikasi pasien yang berisiko hiperbilirubinemia. American
Academy of Pediatrics telah mengidentifikasi penyebab kernikterus yang
berpotensi dapat dicegah, sebagai berikut: (1) Pemulangan dini (<48 jam) tanpa
tindak lanjut dini (dalam 48 jam setelah pulang), masalah ini terutama penting
pada bayi cukup bulan (35-37 minggu kehamilan), (2) kegagalan untuk
memeriksa kadar bilirubin pada bayi yang diketahui mengalami ikterus dalam 24
22

jam pertama, (3) kegagalan untuk mengenali adanya faktor risiko


hiperbilirubinemia, (4) meremehkan keparahan ikterus berdasarkan penilaian
klinis (visual), (5) kurangnya perhatian tentang adanya ikterus, (6) keterlambatan
dalam mengukur kadar bilirubin serum meskipun terdapat ikterus yang nyata atau
keterlambatan dalam memulai fototerapi dengan adanya peningkatan kadar
bilirubin, dan ( 7) kegagalan untuk menanggapi kekhawatiran orang tua tentang
penyakit kuning, makan yang buruk, atau lesu.
Pendekatan berikut direkomendasikan lebih lanjut: (1) setiap bayi yang
mengalami ikterus sebelum 24 jam memerlukan pengukuran kadar bilirubin
serum total dan langsung dan, jika meningkat, evaluasi kemungkinan penyakit
hemolitik dan (2) tindak lanjut harus diberikan dalam 2-3 hari pemulangan untuk
semua neonatus yang dipulangkan lebih awal dari 48 jam setelah lahir. tindak
lanjut dini sangat penting untuk bayi di bawah usia kehamilan 38 minggu. waktu
tindak lanjut tergantung pada usia saat keluar dari rumah sakit dan adanya faktor
risiko. Dalam beberapa kasus, tindak lanjut dalam 24 jam diperlukan. Tindak
lanjut pasca pemulangan sangat penting untuk pengenalan awal masalah yang
terkait dengan hiperbilirubinemia dan perkembangan penyakit. Komunikasi orang
tua berkaitan dengan kekhawatiran tentang warna kulit bayi dan aktivitas perilaku
harus ditangani lebih awal dan sering, termasuk pendidikan tentang potensi risiko
dan neurotoksisitas. promosi laktasi yang berkelanjutan, pendidikan, dukungan,
dan layanan tindak lanjut sangat penting selama periode neonatal. Ibu harus
disarankan untuk menyusui bayinya setiap 2-3 jam dan menghindari suplementasi
rutin dengan air atau air glukosa untuk memastikan hidrasi dan asupan kalori yang
memadai.
23

Usia kehamilan 35-37 minggu + faktor


resiko hyperbilirubinemia lainnya

TcB/TSB sebelum pulang

Tetapkan zona risiko bilirubin

Menengah
Tinggi tinggi Menengah
rendah Rendah

Evaluasi untuk Evaluasi untuk


Jika pulang
fototerapi TSB pada fototerapi Jika pulang <72 <72 jam,
4-8 jam TSB/TcB pada 4- jam, Tindak lanjut Tindak lanjut
24 jam dalam 2 hari dalam 2 hari
pertimbangkan
TSB/TcB saat
Tindak lanjut
24

Usia kehamilan 35-37 minggu, tidak ada faktor


resiko hyperbilirubinemia
Atau
Usia kehamilan ≥38 minggu + faktor resiko
hyperbilirubinemia lainnya

TcB/TSB sebelum pulang

Tetapkan zona risiko bilirubin

Menengah
Tinggi tinggi Menengah
rendah Rendah

Evaluasi untuk Evaluasi untuk Jika pulang <72


fototerapi TSB pada fototerapi jam, Tindak Jika pulang <72
4-24 jam TSB/TcB selama lanjut selama 2 jam, Tindak lanjut
24 jaam hari selama 2-3 hari
25

Usia kehamilan ≥38 minggu + tidak ada faktor resiko


hyperbilirubinemia

TcB/TSB sebelum pulang

Tetapkan zona risiko bilirubin

Tinggi Menengah tinggi


Menengah rendah Rendah

Evaluasi untuk fototerapi Tindak lanjut dalam 2 Jika pulang <72 jam,
TSB pada 4-24 jam hari pertimbangkan Tindak lanjut dalam 2- Jika pulang <72 jam, waktu
TcB/TSB saat tindak 3 hari Tindak lanjut sesuai dengan
lanjut usia saat pulang atau
masalah selain penyakit
kuning (misalnya
menyususi)
26

Nama: Aisyah Ramadhan


NPM: 121810020

Pendekatan berikut direkomendasikan lebih lanjut: (1) setiap bayi yang


mengalami ikterus sebelum 24 jam memerlukan pengukuran kadar bilirubin
serum total dan langsung dan, jika meningkat, evaluasi kemungkinan penyakit
hemolitik, dan (2) tindak lanjut harus disediakan. dalam waktu 2-3 hari setelah
keluar dari semua neonatus yang dipulangkan lebih awal dari 48 jam setelah lahir.
Tindak lanjut dini sangat penting untuk bayi <38 minggu kehamilan. Waktu
tindak lanjut tergantung pada usia saat keluar dan adanya faktor risiko. Dalam
beberapa kasus, tindak lanjut dalam 24 jam diperlukan. Tindak lanjut pasca
pulang sangat penting untuk pengenalan awal masalah yang berkaitan dengan
hiperbilirubinemia dan perkembangan penyakit. Komunikasi orang tua berkaitan
dengan kekhawatiran tentang warna kulit bayi dan aktivitas perilaku harus
ditangani lebih awal dan sering, termasuk pendidikan tentang potensi risiko dan
neurotoksisitas. Promosi laktasi, pendidikan, dukungan, dan layanan tindak lanjut
sangat penting selama periode neonatal. Ibu harus disarankan untuk menyusui
bayinya setiap 2-3 jam dan menghindari suplementasi rutin dengan air atau air
glukosa untuk memastikan hidrasi dan asupan kalori yang memadai.
Pengobatan Hiperbilirubinemia
Terlepas dari penyebabnya, tujuan terapi adalah untuk mencegah
neurotoksisitas terkait dengan bilirubin yang bereaksi tidak langsung tanpa
menyebabkan kerusakan yang tidak semestinya. Fototerapi dan, jika tidak
berhasil, transfusi tukar tetap menjadi modalitas pengobatan utama yang
digunakan untuk menjaga bilirubin serum total maksimal di bawah tingkat
patologis. (Tabel 123.6 dan Gambar. 123.13 dan 123.14). Risiko cedera pada
sistem saraf pusat akibat bilirubin harus diseimbangkan dengan potensi risiko
pengobatan. Ada kurangnya konsensus mengenai tingkat bilirubin yang tepat
untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam
untuk mendapatkan hasil yang maksimal, fototerapi harus dimulai pada kadar
bilirubin di bawah yang diindikasikan untuk transfusi tukar. Ketika diidentifikasi,
penyebab medis yang mendasari peningkatan bilirubin dan faktor fisiologis yang
27

berkontribusi terhadap kerentanan saraf harus diobati, dengan antibiotik untuk


septikemia dan koreksi asidosis (Tabel 123.7).
Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia tidak langsung berkurang dengan
paparan cahaya intensitas tinggi dalam spektrum yang terlihat. Bilirubin menyerap
cahaya secara maksimal pada rentang biru (420-470 nm). Cahaya putih spektrum
luas, biru, dan spektrum sempit (super) khusus telah efektif dalam mengurangi
kadar bilirubin. Bilirubin di kulit menyerap energi cahaya, menyebabkan beberapa
reaksi fotokimia. Salah satu produk utama dari fototerapi adalah hasil dari reaksi
fotoisomerisasi reversibel yang mengubah 4Z,15Z-bilirubin asli yang tidak
terkonjugasi menjadi isomer konfigurasi tak terkonjugasi, 4Z,15E-bilirubin, yang
kemudian dapat diekskresikan dalam empedu tanpa konjugasi. Produk utama
lainnya dari fototerapi adalah lumirubin, yang merupakan struktur isomer
irreversible dari bilirubin konjugasi yang dapat di eksresikan melalui ginjal dalam
bentuk bilirubin tidak terkonjugasi.
Efek terapeutik fototerapi tergantung pada energi cahaya yang dipancarkan
dalam rentang panjang gelombang efektif, jarak antara lampu dan bayi, dan luas
permukaan kulit yang terpapar, serta laju hemolisis dan metabolisme in vivo dan
ekskresi bilirubin. Unit fototerapi komersial yang tersedia sangat bervariasi dalam
keluaran spektral dan intensitas pancaran yang dipancarkan; oleh karena itu watt
dapat diukur secara akurat hanya pada permukaan kulit pasien. Kulit gelap tidak
mengurangi khasiat fototerapi. Fototerapi intensif maksimal harus digunakan
ketika kadar bilirubin tidak langsung mendekati yang dicatat dalam Gambar
123.13 dan Tabel 123.7. Terapi tersebut termasuk menggunakan tabung fluoresen
"biru khusus", menempatkan lampu dalam jarak 15-20 cm (6-8 inci) dari bayi, dan
meletakkan selimut fototerapi serat optik di bawah punggung bayi untuk
meningkatkan luas permukaan yang terbuka.
28

Tabel 123.6

Komplikasi termasuk asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia,


hipoalbuminemia, meningitis, perdarahan intraventrikular, hemolisis,
hipoglikemia, atau tanda-tanda kernikterus. Fototerapi biasanya dimulai pada 50-
70% dari tingkat tidak langsung maksimal. Jika nilai sangat melebihi tingkat ini,
jika fototerapi tidak berhasil dalam mengurangi tingkat bilirubin maksimal, atau
jika tanda-tanda kernikterus terbukti, transfusi tukar diindikasikan.
Penggunaan fototerapi telah menurunkan kebutuhan transfusi tukar pada
bayi cukup bulan dan prematur dengan ikterus hemolitik dan nonhemolitik. Bila
ada indikasi untuk transfusi tukar, fototerapi tidak boleh digunakan sebagai
pengganti; namun, fototerapi dapat mengurangi kebutuhan transfusi tukar
berulang pada bayi dengan hemolisis. Fototerapi konvensional diterapkan secara
terus menerus, dan bayi sering dimiringkan untuk paparan area permukaan kulit
yang maksimal. Ini harus dihentikan segera setelah konsentrasi bilirubin tidak
terkonjugasi
29

 Gunakan bilirubin total, jangan kurangi reaksi langsung atau bilirubin


terkonjugasi
 Faktor risiko = penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi
yang signifikan, ketidakstabilan suhu, sepsis, asidosis, atau bilirubin <3,0 g/dL
(jika diukur)
 Untuk bayi sehat 35-37 6/7 minggu dapat menyesuaikan tingkat TSB untuk
intervensi di sekitar garis risiko sedang. Ini adalah pilihan untuk melakukan
intervensi pada tingkat TSB yang lebih rendah atau bayi yang mendekati 35
minggu dan pada tingkat TSB yang lebih tinggi bagi mereka yang mendekati 37
6/7 minggu.
 Ini adalah pilihan untuk memberikan fototerapi konvensional di rumah sakit atau
di rumah pada tingkat TSB 2-3 mg/dL (35-50 mmol/L) di bawah yang
ditunjukkan, tetapi fototerapi di rumah tidak boleh digunakan pada bayi dengan
faktor risiko.

Gambar 123.13 Pedoman untuk fototerapi pada bayi rawat inap 35 minggu kehamilan.
Catatan: Panduan ini didasarkan pada bukti terbatas, dan level yang ditampilkan adalah
perkiraan. Pedoman mengacu pada penggunaan fototerapi intensif, yang harus digunakan
ketika total bilirubin serum (TSB) melebihi garis yang ditunjukkan untuk setiap kategori.
Bayi ditetapkan sebagai "berisiko lebih tinggi" karena potensi efek negatif dari kondisi
yang tercantum pada pengikatan albumin bilirubin, sawar darah-otak, dan kerentanan sel-
sel otak terhadap kerusakan oleh bilirubin. "Fototerapi intensif" menyiratkan penyinaran
dalam spektrum biru-hijau (panjang gelombang sekitar 430-490 nm) minimal 30

W/cm2/nm (diukur pada kulit bayi langsung di bawah pusat unit fototerapi) dan dikirim
30

ke area permukaan kulit bayi sebanyak mungkin. Perhatikan bahwa radiasi yang diukur di
bawah pusat sumber cahaya jauh lebih besar daripada yang diukur di pinggiran.
Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer yang ditentukan oleh pabrikan sistem
fototerapi. Jika kadar TSB mendekati atau melebihi garis transfusi tukar (lihat Gambar
123.14), sisi keranjang bayi, inkubator, atau penghangat harus dilapisi dengan aluminium
foil atau bahan putih, untuk meningkatkan luas permukaan bayi yang terpapar dan
kemanjuran fototerapi. Kehadiran hemolisis sangat disarankan jika TSB tidak menurun
atau terus meningkat pada bayi yang menerima fototerapi intensif. Bayi yang menerima
fototerapi dan memiliki peningkatan nilai bilirubin reaksi langsung atau terkonjugasi
(ikterus kolestatik) mungkin secara tidak konsisten memiliki sindrom bayi perunggu.
G6PD, Glukosa-6-fosfat dehidrogenase. (Dari American Academy of Pediatrics
Subcommittee on Hyperbilirubinemia: Manajemen hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir usia kehamilan 35 minggu atau lebih, Pediatrics 114:297–316, 2004.)

Nama: Mawar Indah Sari


NPM: 121810013

 Garis putus-putus untuk 24 jam pertama menunjukkan ketidakpastian karena berbagai


keadaan klinis dan berbagai respons terhadap fototerapi.
 Transfusi tukar segera dianjurkan jika bayi menunjukkan tanda-tanda ensefalopati
bilirubin akut (hipertonia, melengkung, retrocollis, opistotonus, demam, tangisan
bernada tinggi) atau jika TSB ≥ 5 mg/dL (85 µmol/L) di atas garis ini.
 Faktor risiko = penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi yang
signifikan, ketidakstabilan suhu, sepsis, asidosis.
 Ukur albumin serum dan hitung rasio B/A.
31

 gunakan bilirubin total. tidak mengurangi reaksi langsung atau bilirubin terkonjugasi.
 jika bayi sehat dan 35-37 6/7 minggu (risiko menengah), dapat menyesuaikan tingkat
TSB untuk pertukaran berdasarkan usia kehamilan aktual.

Gambar 123.14 Pedoman transfusi tukar pada bayi rawat inap usia 35 minggu
kehamilan. Catatan: Level yang disarankan ini mewakili konsensus sebagian besar
komite tetapi didasarkan pada bukti yang terbatas, dan tingkat yang ditampilkan adalah
perkiraan. Selama rawat inap, transfusi tukar dianjurkan jika: bilirubin serum total (TSB)
naik ke tingkat ini meskipun fototerapi intensif. Pada bayi tersebut, jika tingkat TSB di
atas tingkat pertukaran, pengukuran TSB harus diulang setiap 2-3 jam; transfusi tukar
harus dipertimbangkan jika TSB tetap di atas tingkat yang ditunjukkan setelah fototerapi
intensif selama 6 jam. Rasio B:A (bilirubin:albumin) dapat digunakan secara bersamaan,
tetapi tidak sebagai pengganti, TSB sebagai faktor tambahan dalam menentukan
kebutuhan transfusi tukar. G6PD, Glukosa-6-fosfat dehydrogenase.
Tabel 123.7
Contoh Clinical Pathway untuk Manajemen Bayi Baru Lahir untuk Fototerapi atau
Pertukaran Transfusi

PENGOBATAN

Gunakan fototerapi intensif dan/atau transfusi tukar seperti yang ditunjukkan pada
Gambar. 123.13 dan 123.14 .

TES LABORATORIUM

TSB dan kadar bilirubin direk


Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi langsung (Coombs)
Serum albumin
Hitung sel darah lengkap dengan diferensial dan apusan untuk morfologi sel darah
merah
Hitung Jumlah retikulosit
Konsentrasi tidal CO akhir (jika tersedia)
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase jika disarankan oleh asal etnis atau geografis atau
jika respons yang buruk terhadap fototerapi
Urine untuk mengurangi zat
32

Jika riwayat dan/atau presentasi menunjukkan sepsis, lakukan kultur darah, kultur
urin, dan cairan serebrospinal untuk protein, glukosa, jumlah sel, dan kultur.

INTERVENSI

Jika TSB ≥25 mg/dL (428 mol/L) atau ≥20 mg/dL (342 mol/L) pada bayi yang
sakit atau bayi dengan usia kehamilan <38 minggu, hitung jenis dan crossmatch,
dan minta darah jika transfusi tukar diperlukan.
Pada bayi dengan penyakit hemolitik isoimun dan kadar TSB meningkat meskipun
telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3mg/dL (34-51 mol/L) tingkat
pertukaran (lihat Gambar 123.14), berikan globulin imun intravena 0,5-1 g/kg
lebih dari 2 jam dan ulangi dalam 12 jam jika perlu.
Jika penurunan berat badan bayi sejak lahir >12% atau ada bukti klinis atau
biokimia dehidrasi, rekomendasikan susu formula atau ASI perah. Jika asupan oral
dipertanyakan, berikan cairan intravena.

UNTUK BAYI YANG MENERIMA FOTOTERAPI INTENSIF:

Menyusui atau memberi susu botol (susu formula atau ASI) setiap 2-3 jam.
Jika TSB ≥25 mg/dL (428 mol/L), ulangi TSB dalam 2-3 jam.
Jika TSB 20-25 mg/dL (342-428 mol/L), ulangi dalam 3-4 jam. Jika TSB <20
mg/dL (342 mol/L), ulangi dalam 4-6 jam. Jika TSB terus turun, ulangi dalam 8-12
jam.
Jika TSB tidak menurun atau mendekati level untuk transfusi tukar, atau jika rasio
TSB/albumin melebihi kadar yang ditunjukkan pada Gambar. 123.14,
pertimbangkan transfusi tukar (lihat Gambar. 123.14 untuk transfusi tukar)
Ketika TSB <13-14 mg/dL (239 mol/L), hentikan fototerapi.
Tergantung pada penyebab hiperbilirubinemia, merupakan pilihan untuk mengukur
TSB 24 jam setelah keluar untuk memeriksa untuk rebound.

Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia tidak langsung berkurang dengan
paparan cahaya berintensitas tinggi dalam spektrum langsung. Bilirubin menyerap
cahaya secara maksimal di rentang biru (420-470 nm). Lampu biru spektrum luas
putih, biru, dan spektrum sempit (super) khusus efektif dalam mengurangi kadar
bilirubin. Bilirubin di kulit menyerap energi cahaya, menyebabkan beberapa
33

fotokimia reaksi. Salah satu produk utama dari fototerapi adalah hasil reversible
reaksi fotoisomerisasi mengubah 4Z,15Z bilirubin tak terkonjugasi toksik menjadi
isomer konfigurasi tak terkonjugasi, 4Z,15E-bilirubin, yang kemudian dapat
diekskresikan dalam empedu tanpa konjugasi. Produk utama lainnya dari
fototerapi adalah lumirubin, yang merupakan isomer struktural ireversibel yang
dikonversi dari bilirubin asli yang dapat diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk
tak terkonjugasi.
Efek terapeutik fototerapi tergantung pada energi cahaya yang dipancarkan
dalam gelombang efektif rentang panjang, jarak antara lampu dan bayi, dan luas
permukaan kulit yang terpapar, serta laju hemolisis dan metabolisme in vivo dan
ekskresi bilirubin. Tersedia unit fototerapi komersil yang sangat bervariasi dalam
keluaran spektral dan intensitas pancaran yang dipancarkan; oleh karena itu watt
dapat diukur secara akurat hanya pada permukaan kulit pasien. Kulit gelap tidak
mengurangi khasiat fototerapi. Fototerapi intensif maksimal harus digunakan
ketika kadar bilirubin tidak langsung mendekati yang dicatat pada Gambar.
123.13 dan Tabel 123.7. Terapi tersebut meliputi: menggunakan tabung neon
"biru khusus", menempatkan lampu dalam jarak 15-20 cm (6-8 inci) dari bayi, dan
meletakkan selimut fototerapi serat optik di bawah punggung bayi untuk
meningkatkan luas permukaan yang terbuka.
Penggunaan fototerapi dapat menurunkan kebutuhan transfusi tukar dalam
bayi aterm dan prematur dengan ikterus hemolitik dan nonhemolitik. Kapan
indikasi untuk transfusi tukar diperlukan, fototerapi tidak boleh digunakan sebagai
pengganti; namun, fototerapi dapat mengurangi kebutuhan untuk pengulangan
transfusi tukar pada bayi dengan hemolisis. Fototerapi konvensional dapat
diterapkan terus-menerus, dan bayi sering diputar untuk mendapatkan paparan
luas permukaan kulit yang maksimal. Hal ini harus dihentikan segera setelah
bilirubin tidak langsung konsentrasi telah berkurang ke tingkat yang dianggap
aman sehubungan dengan usia dan kondisi bayi. Kadar bilirubin serum dan
hematokrit harus dipantau setiap 4-8 jam pada bayi dengan penyakit hemolitik
dan mereka yang memiliki kadar bilirubin dekat kisaran toksik untuk bayi.
Lainnya, terutama neonatus yang lebih tua, dapat dipantau lebih jarang.
Pemantauan bilirubin serum harus dilanjutkan setidaknya 24 jam setelah
34

penghentian fototerapi pada pasien dengan penyakit hemolitik, karena kenaikan


tak terduga bilirubin dapat terjadi, dan membutuhkan penanganan lebih lanjut.
Warna kulit tidak dapat dijadikan patokan untuk mengevaluasi efektivitas
fototerapi; kulit bayi yang terkena cahaya mungkin tampak hampir tanpa ikterus
dengan adanya hiperbilirubinemia yang nyata. Meskipun tidak diperlukan untuk
semua bayi yang terkena, suplementasi cairan intravena ditambahkan ke
pemberian makanan oral mungkin bermanfaat pada pasien dehidrasi atau bayi
dengan tingkat bilirubin mendekati yang membutuhkan transfusi tukar.
Komplikasi yang terkait dengan fototerapi termasuk mencret, ruam makula
eritematosa, ruam purpura yang berhubungan dengan porfirinemia, kepanasan,
dehidrasi, hipotermia dari paparan, dan kondisi yang disebut "sindrom bayi
perunggu”, yang terjadi dengan adanya hiperbilirubinemia langsung. Fototerapi
dikontraindikasikan dengan adanya porfiria. Sebelum fototerapi dimulai, mata
bayi harus ditutup dan cukup tertutup untuk mencegah paparan cahaya dan
kerusakan kornea. Suhu tubuh harus dipantau, dan bayi harus dilindungi dari
kerusakan bohlam. Radiasi harus diukur secara langsung. Pada bayi dengan
penyakit hemolitik, perawatan harus diambil untuk memantau perkembangan
anemia, yang mungkin memerlukan transfusi.
Istilah sindrom bayi perunggu mengacu pada kulit coklat keabu-abuan yang
gelap perubahan warna kadang terlihat pada bayi yang menjalani fototerapi.
Hampir semua bayi yang diamati dengan sindrom ini memiliki peningkatan yang
signifikan dari bilirubin direk dan bukti lain dari penyakit hati obstruktif.
Perubahan warna dapat terjadi akibat modifikasi porfirin yang diinduksi cahaya,
yang sering hadir selama ikterus kolestatik dan dapat berlangsung selama
berbulan-bulan. Meskipun teradapat sindrom bayi perunggu, fototerapi dapat
dilanjutkan jika diperlukan. Anemia dapat terjadi meskipun terjadi penurunan
kadar bilirubin. Manifestasi klinis menunjukkan bahwa tidak ada efek biologis
jangka panjang yang merugikan dari fototerapi, minimal, atau tidak dikenali.

Nama: Ahmad Juliandi Firdaus


NPM: 121810001
35

Intravena Immune Globulin


Pemberian imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan pengobatan
tambahan untuk hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh penyakit hemolitik
isoimun. Anjuran penggunaanya digunakan ketika serum bilirubin mendekati
tingkat pertukaran meskipun intervensi maksimal, termasuk fototerapi. IVIG (0,5-
1,0 g/kg/dosis diulangi dalam 12 jam) dapat mengurangi kebutuhan pertukaran
transfusi pada ABO dan Rh penyakit hemolitik, dengan cara mengurangi
hemolisis.
Metaloporfirin
Kemungkinan dengan adanya terapi tambahan dengan menggunakan
metaloporfirin untuk hiperbilirubinemia. Metalloporphyrin Sn-mesoporphyrin
(SnMP) menawarkan sebagai pilihan penggunaan obat. Mekanisme yang
digunakan bersifat kompetitif dengan menghambat enzimatik dari konversi heme-
protein yang membatasi laju biliverdin (suatu metabolit dalam produksi senyawa
bilirubin tak terkonjugasi) oleh heme-oksigenase. Dosis tunggal intramuscular
pada hari pertama kehidupan itu dapat mengurangi kebutuhan untuk penggunaan
fototerapi. Terapi semacam itu mungkin bermanfaat untuk mengantisipasi
penyakit kuning, terutama pada pasien dengan ketidakcocokan ABO atau
defisiensi G6PD, atau ketika produk darah berlebihan, seperti: dengan kesaksisan
dari pasien jehovah’s. Komplikasi dari metaloporfirin meliputi eritema yang tidak
tetap jika bayi menerima fototerapi. Pemberian dari SnMP dapat mengurangi
kadar bilirubin dan mengurangi kebutuhan fototerapi dan durasi tinggal di rumah
sakit; Namun, masih belum jelas apakah pengobatan dengan metaloporfirin untuk
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi akan mengubah risiko terjadinya kernikterus
atau gangguan perkembangan saraf jangka panjang. Data tentang kefektifan,
toksisitas, dan manfaat jangka panjang masih dievaluasi.
Pertukaran Transfusi
Transfusi pertukaran volume ganda dilakukan jika fototerapi intensif
memiliki kegagalan untuk mengurangi kadar bilirubin ke kisaran yang aman dan
risiko kernicterus melebihi risiko prosedural. Potensi komplikasi dari pertukaran
transfusi yang kurang berarti dan termasuk asidosis metabolik, kelainan elektrolit,
hipoglikemia, hipokalsemia, trombositopenia, kelebihan volume, aritmia, NEC,
36

infeksi, penyakit graft-versus-host, dan kematian. Pengobatan ini dapat diterima


secara luas jika penggunaanya dilakukan secara berulang untuk menjaga kadar
bilirubin tidak langsung dalam kisaran yang aman.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi keputusan untuk melakukan
pertukaran transfuse ganda pada pasien. Munculnya gejala klinis seperti
kernikterus merupakan indikasi untuk transfusi tukar pada setiap tingkatan serum
bilirubin. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ASI fisiologis atau penyakit
kuning akibat ASI dapat mentolerir konsentrasi sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL
tanpa efek buruk yang nyata, sedangkan kernikterus dapat berkembang pada bayi
prematur yang sakit pada tingkatan yang jauh lebih rendah. Level yang dianggap
penting untuk bayi mungkin merupakan indikasi untuk transfusi tukar selama 1
atau Hari ke-2 setelah lahir, ketika kenaikan lebih lanjut diantisipasi, tetapi tidak
biasanya setelah hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau setelah hari ke-7 pada bayi
prematur, karena jatuh dekat dapat diantisipasi sebagai mekanisme konjugasi hati
menjadi lebih efektif.

Anda mungkin juga menyukai