Anda di halaman 1dari 4

Fatwa Waris

Secara bahasa, fatwa adalah jawab (pendapat, keputusan) yang diberikan


oleh mufti tentang suatu masalah sebagaimana yang diterangkan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring.
 
Secara istilah, fatwa adalah jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum
dari seorang mujtahid atau fakih atas permintaan seseorang yang sifatnya tidak
mengikat sebagaimana diterangkan Abdul Azis Dahlan, et.al dalam Ensiklopedi
Hukum Islam (hal. 326).

Dari definisi di atas yang dimaksud fatwa waris adalah jawaban atas masalah hukum
waris. Jawaban yang dimaksud berisi tentang siapa ahli waris, siapa ahli waris yang
berhak mewarisi harta waris, berapa harta waris dan berapa bagian untuk masing-
masing ahli waris.
 
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”): 
 
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris,
dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris
 
Praktik Fatwa Waris
UU 3/2006 telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk dapat
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara waris bagi orang Islam,
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf b UU 3/2006.
 
Mengapa masyarakat Islam sampai sekarang masih mempraktikkan fatwa waris melalui
Pengadilan Agama? Karena ada lembaga-lembaga tertentu yang masih meminta
penetapan ahli waris sebagai syarat.
 
Misalnya, ada tanah yang mau dijual, diwakafkan atau lainnya, padahal pemiliknya
sudah meninggal dunia, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, Notaris, atau Pejabat
Pembuat Akta Tanah dapat menentukan siapa saja yang berhak untuk berbuat hukum
atas tanah tersebut untuk mewakafkan, menjual dan lainnya berdasarkan fatwa waris
dari pengadilan.[1]
 
Dalam menyelesaikan persoalan waris ada beberapa model penyelesaian, yaitu:

1. dengan cara damai (musyawarah) di mana para pihak dapat meminta fatwa;


2. dengan cara mengajukan gugatan (apabila ada sengketa).
 
Model penyelesaian melalui fatwa Pengadilan Agama, pada prinsipnya, berarti antara
para pihak tidak ada sengketa dan biasanya pembagian waris diselesaikan dengan
jalan musyawarah.
 
Karena tidak ada sengketa, maka penyelesaiannya melalui jalur permohonan, sehingga
produk hukumnya adalah penetapan. Setelah mendapatkan fatwa, para pihak itu sendiri
yang akan menjalankan (membagi) harta secara sukarela.
 
Syarat Permohonan Fatwa Waris
Dari Persyaratan Permohonan Penetapan Ahli Waris yang kami akses dari laman
Pengadilan Agama Bandung, syarat bagi pemohon adalah:

a. semua ahli waris menjadi pemohon;


b. apabila ada ahli waris yang belum cakap berbuat hukum, maka diwakili oleh
walinya;
c. apabila ada pihak yang berhalangan hadir, dapat diwakili oleh ahli waris lain
dengan memberikan surat kuasa.

 
Selain itu, menurut hemat kami, hal yang patut diperhatikan adalah:

a. mengajukan permohonan dalam bentuk surat permohonan yang ditandatangani


oleh pemohon atau kuasanya, dengan disertai alasan-alasan (dalil) apa yang
menjadi dasar (kepentingan) surat permohonan itu diajukan;
b. diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
pemohon;
c. membayar panjar biaya perkara.

 
Sementara, syarat materiilnya, antara lain, bukti surat, seperti fotokopi KTP dan KK
para ahli waris, surat kematian pewaris, surat keterangan kepemilikan harta waris.
 
Selain itu, dalam hukum acara perdata juga dapat mendatangkan bukti saksi, yaitu
orang yang mengetahui dan mengenal pewaris dan ahli waris.
 
Dari penjelasan di atas, kami akan menjawab pertanyaan Anda, sebagai berikut:
 
Pembatalan Fatwa Waris
Pada prinsipnya, fatwa waris itu adalah produk hukum yang sifatnya tidak mengikat.
Bahkan pihak yang meminta fatwa itu sendiri dapat tidak menggunakan (mengabaikan)
fatwa.
 
Sifat tidak mengikat fatwa ditegaskan kembali oleh Hasbi Ash Shiddieqy, dalam
buku Peradilan & Hukum Acara Islam (hal. 87).
 
Apabila fatwa itu lahir dari lembaga peradilan, maka bentuknya adalah penetapan,
bukan putusan pengadilan.
 
Sehingga, apabila ada pihak yang tidak mau menjalankan isi fatwa dari pengadilan,
maka pengadilan tidak bisa memaksa.
 
Berbeda dengan putusan pengadilan, apabila ada pihak yang tidak mau menjalankan
isi putusan secara sukarela, maka pihak yang dirugikan dapat meminta bantuan
pengadilan (negara). Pengadilan dapat memaksa pihak yang tidak menaati untuk
menjalankan putusan.
 
Menjawab pertanyaan Anda, terkait apakah penetapan pengadilan tentang fatwa waris
dapat dibatalkan, produk hukum pengadilan dapat diperiksa oleh pengadilan tingkat
atasnya untuk dibatalkan sebagaimana diterangkan Sudikno
Mertokusumo dalam Hukum Acara Perdata Indonesia (hal. 234).
 
Maka pihak yang tidak terima dengan penetapan pengadilan dapat melakukan upaya
hukum.
 
Bentuk upaya hukumnya ada dua kemungkinan, yaitu:

a. upaya hukum kasasi, karena upaya hukum terhadap penetapan, seperti


penetapan berupa fatwa waris, adalah kasasi, kecuali ditentukan lain;
b. mengajukan pembatalan melalui gugatan. Apabila ada kesalahan terhadap
prosedur atau tidak terpenuhinya syarat lahirnya produk hukum pengadilan
(penetapan fatwa waris), maka dapat mengajukan pembatalan melalui gugatan.

 
Upaya yang Dapat Dilakukan
Apabila Anda keberatan atas fatwa waris tersebut, maka dapat melakukan dua hal,
yaitu:
 

a. Kasasi

Upaya hukum terhadap penetapan pengadilan adalah mengajukan kasasi terhadap


penetapan itu.
 
Hal ini merujuk pada Pasal 43 ayat (1 ) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung dan penjelasannya yang menerangkan bahwa
permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon telah menggunakan upaya
hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
 
M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan. Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 43) menerangkan
bahwa penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan tidak dapat diajukan banding,
sehingga upaya hukum yang dapat ditempuh adalah kasasi.
 

b. Gugatan

M. Yahya Harahap lebih lanjut menerangkan bahwa, apabila ada pihak yang merasa
dirugikan atas isi penetapan yang mengabulkan permohonan dan pihak yang merasa
dirugikan baru mengetahui setelah pengadilan menjatuhkan penetapan tersebut yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan perdata biasa (hal. 44).
 
Anda kemudian akan bertindak sebagai penggugat dan pemohon penetapan fatwa
waris itu ditarik sebagai tergugat. Hal yang menjadi dasar diajukan gugatan adalah
adanya hubungan hukum yang terjalin antara penggugat dengan permasalahan yang
berkaitan dengan syarat diajukan pemohon fatwa waris.

Anda mungkin juga menyukai