0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan9 halaman
Dokumen tersebut merangkum materi pelatihan PPI Dasar hari ke-2 yang mencakup manajemen lingkungan rumah sakit, PPI untuk penyakit tuberkulosis, dan perlindungan kesehatan karyawan. Materi pelatihan meliputi aspek-aspek seperti pengendalian lingkungan fisik, sirkulasi udara, isolasi pasien TB, serta sarana perlindungan diri bagi petugas kesehatan seperti APD.
Dokumen tersebut merangkum materi pelatihan PPI Dasar hari ke-2 yang mencakup manajemen lingkungan rumah sakit, PPI untuk penyakit tuberkulosis, dan perlindungan kesehatan karyawan. Materi pelatihan meliputi aspek-aspek seperti pengendalian lingkungan fisik, sirkulasi udara, isolasi pasien TB, serta sarana perlindungan diri bagi petugas kesehatan seperti APD.
Dokumen tersebut merangkum materi pelatihan PPI Dasar hari ke-2 yang mencakup manajemen lingkungan rumah sakit, PPI untuk penyakit tuberkulosis, dan perlindungan kesehatan karyawan. Materi pelatihan meliputi aspek-aspek seperti pengendalian lingkungan fisik, sirkulasi udara, isolasi pasien TB, serta sarana perlindungan diri bagi petugas kesehatan seperti APD.
Disampaikan oleh Bapak Pramudya, S.Kep.Ners 1. Kebersihan lingkungan masuk sebagai standar PPI 5, sehingga hal ini menjadi perhatian pihak RS untuk menjaga mutu atau kualitas pelayanan. Upaya pengendalian lingkungan perlu untuk meminimalkan faktor lingkungan yang dapat berupa faktor fisik, biologi, sosial, dan psikologis). 2. Sarana bangunan atau konstruksi bangunan merupakan salah satu dari faktor fisik yang perlu dikondisikan. Macam sarana bangunan fasyankes yang menjadi perhatian berperan penting dalam manajemen lingkungan RS diantaranya dinding, langit-langit, lantai, pintu, jendela, dan atap. 3. Kegiatan penataan dan pengelolaan ruangan yang dapat diterapkan di RS diantaranya menyiapkan fasilitas kebersihan tangan yang berbentuk wastafel maupun handscrub, melakukan desinfeksi permukaan (surface) berkala, desinfeksi udara dengan bahan yang dibolehkan pada prosedur nasional. Disamping itu, perlu dilakukan kegiatan pembersihan rutin yang dilaksanakan oleh petuga cleaning services. Pembersihan tersebut dilakukan setiap pagi dan sore hari dan pembersihan kondisional dimana didapati kondisi kotor pada permukaan lantai dan adanya tumpahan infeksius maupun non infeksius. 4. Sarana prasarana ruangan di rumah sakit, seperti gorden tidak diperbolehkan menyentuh lantai, dan disyaratkan untuk gorden di RS terbuat dari bahan anti mikroba yang rutin dilakukan pencucian 1-3 bulan sekali. Hal ini juga perlu dimasukkan sebagai bagian monitoring PPI, khususnya dalam pengelolaan kebersihan fasilitas di ruangan pasien termasuk gorden. 5. Manajemen lingkungan di ruangan dengan risiko tinggi tidak jauh berbeda dengan ruangan standar lainnya di RS, hanya saja perlu memperhatikan aspek khusus yang menjadi hal wajib di ruangan berisiko tinggi, misal di ruang untuk transplatasi organ perlu memperhatikan sirkulasi udara yang baik dan meminimalkan adanya penularan penyakit dengan pemberian Sistem UCA. Untuk contoh lainnya, apabila di ruang berisiko tinggi lainnya seperti OK IBS maka dapat dilakukan minimalisir terjadinya infeksi HaIs dengan pemasangan kaca mati yang berperan penting jika ada suatu kondisi memberikan edukasi atau pendidikan yang memberikan peluang masuknya orang luar ke dalam area OK IBS, disamping itu juga tidak lepas adanya ruang anteroom sebagai penunjang sirkulasi udara di area OK IBS. 6. Pengaturan sirkulasi udara ruangan tidak terlepas dari jenis media pertukaran udara di ruangan tersebut. Di rumah sakit ada beberapa jenis sistem pertukaran udara, diantaranya ventilasi alamiah dan ventilasi mekanis. Ventilasi alamiah tidak disaranakan jika bukaan menghadap ke arah atas dan bawah, dan rata-rata di area RS sudah banyak yang mengganti media sirkulasi udaranya dengan sistem ventilasi mekanis, seperti AC dan exhaut fan. Keberdaan keduanya harus dipertimbangkan dari nilai ACH nya, untuk ventilasi mekanis ruangan rata-rata ACH minimal yang disyaratkan ialah 12. Sementara untuk ruang OK IBS ACH minimal 15 kali/jam. Alat untuk membantu menemtukan ACH ruangan disebut dengan Vancometer untuk menghitung sirkulasi udara ruang. 7. Penggunaan ventilasi jenis alamiah sangat efektif untuk digunakan pada pasien penderita TBC dengan arah bukaan ke samping, hal ini disebabkan karena kebutuhan ACH yang beragam. Serta sangat baik jika di ruangan pasien TBC tersebut terdapat skylight atau genteng kaca yang dapat meneruskan sinar matahari ke dalam ruangan. Hal ini disebabkan sinar matahari sangat efektif untuk menurunkan jumlah bakteri di ruangan tertutup, terutama untuk bakteri penyebab TBC. 8. Penggunaan ventilasi alamiah yang tidak memungkinkan di area RS, misal karena kondisional bangunan RS lama, dekat perkotaan yang padat, maka dapat mengkombinasikan dengan hybrid atau penggunaan yang efektif, misal dengan ventilasi mekanis. 9. Selain melihat kontruksi sarana bangunan, manajemen lingkungan juga terkait dengan bagian kesehatan lingkungan RS, yaitu penyediaan dan penyehatan air. Kebutuhan air bersih tentunya disesuaikan dengan tipe RS, namun yang lebih penting lagi ialah terkait kualitas air yang disediakan harus memenuhi baku mutu mikrobiologis, kimia, dan fisika yang disyaratkan dalam peraturan menkes. Kepatuhan dalam pengujian kualitas air menjadi konsen tertentu guna memonitoring dan memantau kondisi air yang digunakan di RS. Hal ini bekerjasama dengan bagian Sanitarian RS. 10. Upaya pembersihan lingkungan mempunyai prinsip diantaranya a. Kegiatan pembersihan dilakukan setiap hari yang telah dicantumkan dalam SPO atau prosedur RS. b. Area di sekitar pasien tidak diperbolehkan terdapat perkakas ruangan yang dapat mengganggu proses pelayanan kesehatan dan menjadi risiko sumber infeksi, seperti penempatan pot-pot di dalam ruangan. c. Desinfeksi ruangan sebelum digunakan pasien baru sangatlah dianjurkan, untuk area bangsal rawat standar diutamakan untuk dilakukan desinfeksi permukaan dan tidak dianjurkan untuk desinfeksi aerosol. d. Area perawatan tidak boleh ada taman yang terbuka yang berisiko menjadi habitat agen penyebab penyakit. 11. Upaya pengendalian lalu lintas manusia di lingkungan RS dilakukan dengan pembatasan kunjungan tamu, pemberian batasan jam kunjung, dan penertiban keluarga yang bisa mengunjungi ataupun yang dapat menunggu jika harus menginap. 12. Manajemen lingkungan tidak terlepas dari sikap kepatuhan petugas dan pengunjung RS dalam ketertibannya menerapkan kontrol diri masing-masing dengan menjaga kebersihan tangan. Syarat hand higiene yaitu adanya poster yang menerangkan 5 momen cuci tangan dan 6 langkah cuci tangan, ketersediaan sabun, air mengalir, pengering (towel atau tissue), dan tempat sampah non infeksius. Selain itu, juga perlu memperhatikan agar area RS bebas dari binatang pembawa penyakit dengan menggunakan sarana kebersihan yang laik fungsi dan dapat menghalau perkembangbiakan vektor dan binatang pembawa penyakit. Materi 2 PPI TB Disampaikan Oleh bapak Edy Raharja, S.Kep.Ners 1. Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh agen yang bernama Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan gejala seperti batuk disertai darah dan adanya demam. 2. Risiko penularan TB di tempat kerja, khususnya RS dapat didapatkan dari ruang rawat inap TB, ruang poliklinik TB, instalasi gawat darurat, ruang laboratorium, dan ruang radiologi dengan kategori pekerjaan perawat, dokter, POS, petugas loket, laborat dan sejawat lainnya bahkan bisa juga orang asing, seperti mahasiswa praktikan. 3. Kebijakan pengendalian infeksi tingkat nasional yaitu adanya tim koordinasi yang berbentuk POKJA PPI-TB Kemkes yang mempunyai peran untuk menangani kasu TB ini, hal ini pun juga perlu didukung dengan pendanaan yang jelas. 4. Pilar PPI-TB yang perlu diperhatikan untuk menyukseskan penanganan dan pemutusan rantai TB di RS diantaranya adanya dukungan manajerial, pengendalian administrative, pengendalian lingkungan, pengendalian dan perlindungan diri. 5. Dukungan manajerial dalam pilar PPI-TB yaitu adanya komitmen, kepemimpinan, dan dukungan manajemen RS untuk kegiatan PPI-TB, seperti mendukung ketersediaan tenaga dan pendanaan, dan pengangkatan penanggung jawab PPI TB. 6. Pengendalian administrative dalam PPI TB didukung dengan pelaksanaan 5 langkah penatalaksaaan pasien, diantaranya skrinning, triage, pemisahan/isolasi, DX; TX, dan KIE (poster, leaflet, banner) 7. Pengendalian lingkungan dilakukan dengan mengupayakan penurunan konsentrasi kuman di udara ambient dengan adanya ventilasi natural, ventilai mekanik, ruang isolasi, sistem filtrasi udara, dan struktur desain ruang, konstruksi, renovasi, dan re- organisasi. 8. Pilar perlindungan diri diantaranya yaitu kepatuhan penggunaan APD yang lengkap, seperti pengenaan masker partikulat N-95, adanya edukasi dan fasilitasi etika batuk, keselamatan dan keamanan di laboratorium TB, fasilitas booth penampung sputum yang aman (baiknya di area terbuka atau RTH) serta adanya proteksi saat transportasi pasien (berikan masker bedah pada pasien). Materi 3 Perlindung Kesehatan Karyawan Disampaikan oleh Wahyu Jatmiko, S.Kep.Ns.MM 1. Program perlindungan kesehatan karyawan diantaranya mengedepankan pencegahan penularan infeksi terhadap petugas kesehatan, penyediaansarana kewaspadaan standar (APD,, eye washing, tempat sampah infeksius), pemeriksaan berkala terhadap petugas kesehatan, pemberian imunisasi, dan penatalaksanaan pasca luka tusuk benda tajam bekas pakai. 2. Pencegahan penularan infeksi pada petugas memperhatikan kewaspadaan isolasi (standard an transmisi) dan untuk petugas yang terpajan dilakukan tindak lanjut, seperti pemantauan suhu tubuh 2x sehari untuk petugas yang merawat pasien dengan penyakit menular (droplet/kontak). 3. Sarana dan fasilitas penujang juga mempunyai peranan penting dalam perlindungan kesehatan karyawan, sehingga di rumah sakit perlu tersedia sarana handwash, handscrub, APD, dan terdapat indikasi cara melepaskan APD. 4. Kegiatan medical check up rutin atau berkala khususnya pada area kritis seperti laundry, radiologi, CSSD perlu ditetapkan regulasi. Dan untuk tindak lanjut pada karyawan yang terpajan atau positif harus jelas prosedur perawatan dan pembiayaannya. 5. Tata laksana jika ada petugas yang terkena tusukan jarum yaitu periksakan ke lab dan lakukan konsultasi, kekebalan pasif, dan kekebalan aktif yang masing-masing dilakukan check up. 6. Tindakan pasca tertusuk jarum yaitu cuci dengan air mengalir menggunakan sabun atau antiseptik, berikan cairan antiseptik pada bekas tusukan, dan laporkan pada tim PPI atau K3RS yang berwenang. 7. Strategi pencegahan risiko kecelakaan kerja yaitu melakukan CTPS sebelum dan sesuadah melakukan tindakan, gunakan APD sesuai tindakan, dan baca etiket obat sebelum diberikan. Materi 4 PPI di Kamar Bedah Disampaikan oleh Bapak Ali Rosjidi, AMK 1. Kamar bedah merupakan salah satu ruangan yang tidak bisa diakses oleh semua orang, karena perlu penerapan prosedur khusus akibat ruangan tersebut termasuk ruang berisiko tinggi terjadinya penularan penyakit. 2. Sumber infeksi di kamar bedah diantaranya ada 2 yaitu endegeneous (kulit pasien dan membrane mukosa) dan exogeneous (tim bedah, lingkungan, peralatan dan instrumen). 3. Alur masuk barang setril ke ruang bedah harus terpisah dari alur keluar barang dan pakaian kotor. Selain itu untuk desain tata ruangan operasi juga harus memenuhi ketentuan zona yang dibedakan berdasarkan tingkat sterilitas ruangan yaitu zona risiko rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi, dan area nuklei steril. 4. Persyaratan kamar operasi yaitu mempunyai tekanan udara positif, pertukaran udara 15-30 kali/jam, harus ada heap filter, suhu ruangan 19-22 derajat celcius dan kelembabannya 40-60%. 5. Prosedur PPI di kamar bedah meliputi petugas, cuci tangan pembedahan, penggunaan APD, teknik aseptic, dan pemeliharaan kamar operasi. 6. Pemeliharaan kamar operasi dilakukan dengan memastikan pintu kamar bedah selalu terutup kecuali untuk peralatan, alau masuk dan keluar instrumen bersih dan kotor berbeda, membatasi jumlah personil yang masuk ke dalam ruang bedang, tidak perlu mengadakan pembersihan khusus, melakukan pembersihan secara keseluruhan kamar bedah setelah selesai operasi, dan tidak direkomendasikan pemeriksaan kultur lingkungan secara rutin. 7. Kaidah PPI bedah sangatlah penting dan menyangkut kerjasama semua pihak, dukungan dan komitmen untuk penerapan kewaspadaan standar sehingga kualitas pelayanan kesehatan terus meningkat. Materi 5 PPI di ICU Disampaikan oleh Bapak Narsum Mahfuri, S.Kep.Ners 1. Ruang ICU secara umum banyak tindakan infasive yaitu banyak menggunakan peralatan, sehingga mempunyai risiko tinggi untuk menularkan penyakit, seperti kejadian VAP. 2. Kejadian penularan penyakit di ICU dapat terjadi oleh pengaruhi kontak dan peralatan yang ada, sehingga apabila tindakan dan penerapan bundle tidak ditekankan dapat berisiko tinggi terjadinya HaIS. 3. Penyebab tingginya kejadian infeksi di ICU diantaranya mencakup kepatuhan hand higiene, pemasangan devices, saranan pendukung, dan tindakan perawatan. Selain itu, adapula faktor kontribusi seperti adanya penyakit berat.uktur psikologis/fisik, usia/umur, penggunaan antiobiotik, sleep deprivation, malnutrisi, dan kompetensi yang belum sesuai. 4. Upaya Engineering control di ICU untuk mencegah HaIS diantaranya pengaturan jarak TT antar pasien 2 meter, terdapat ruang ventilasi dengan tekanan negatif jika diperlukan, fasilitas hand higiene, dan adanya ruang khusus untuk menyimpan alat dan obat-obatan. 5. Kegiatan PPI yang rutin dilakukan diantaranya kegiatan surveilans di kamar ICU, salah satunya untuk membuat peta kuman. Materi 6 Pemrosesan Peralatan Pasien dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) Disampaikan oleh Bapak Seno Hartono, S.Kep Ners 1. Proses pengelolaan peralatan pasien di rumah sakit ditangani oleh bagian CSSD yang terdiri dari tahapan sebagai berikut. a. Pre-cleaning : merupakan pembersihan awal menggunakan detergen atau enzymatic, petugas menggunakan APD yang sesuai. b. Pembersihan : Melakukan pencucian di ruangan atau di CSSD dan melakukan penirisan. Pada proses ini alat ada yang bisa langsung di sterilisasi, namun ada pula yang harus ditambahkan proses desinfeksi. Alat yang bisa langsung di sterilisasi adalah alat yang punya spesifikasi sebagai peralatan kritis yang masuk ke dalam jaringan pembuluh darah dan jaringan tubuh. Sementara yang dilakukan desinfeksi ini dibedakan kembali antara desinfeksi tingkat tinggi dan desinfeksi tingkat rendah. 2. Sebagai penghasil alat medis kotor kegiatan yang dilakukan sebelum ke CSSD adalah melakukan pra pembersihan dengan pelembaban dan pemberian kain yang dilembabkan. Alat kotor di bawa menuju CSSD menggunakan alat transposrtasi khusus yang dalam proses perjalanannya tidak boleh melewati area public dan melakukan pekerjaan sambilan saat proses mengantar alat kotor. Proses pre-cleaning juga tidak boleh menggunakan tambahan bahan yang belum diketahui kandungannya, sebab dapat berisiko merusak alat, sehingga lebih baik cukup dengan pembersihan dengan pembasahan dan penghilangan sisa sekreta dan darah lalu di bawa ke CSSD. 3. Proses pengelolan alat di unit CSSD perlu memperhatikan penggunaan APD yang lengkap, adanya dokumentasi proses, pemenuhan kualitas air untuk pencucian, dan adanya monitoring oleh IPCN terkait hasil pencucian alat. 4. Proses pembersihan di area CSSD perlu memperhatikan proses serah terima dan pengecekkan dengan cara membongkar alat-alat yang diserahkan untuk memastikan jenis alat yang diserahkan berdasarkan jumlah, bahan, dan untuk menentukan mana yang dapat disterilkan langsung. Cara pembersihan dapat secara manual dan dan menggunakan mesin. Proses pencucian jika manual harus dilakukan di dalam air tidak boleh di atas. Untuk memaksimalkan proses pencucian alat, biasanya dilakukan pencucian lanjutan di alat ultrasonic cleaner yang harus dengan kondisi tertutup. 5. Proses sterilisasi harus memperhatikan terkait uji fungsi alat, uji mekanis, dan uji kimia, dan biologi, misal mengalami perubahan warna tidak, hal ini perlu didokumentasikan, tanggal proses dan kadaluarsanya. 6. Proses pengemasan didahului dengan uji fungsi alat dan pengecekkan indikator. Proses pengemasan ini tidak boleh terlalu rapat, karena pada saat dimasukkan mesin sterilisasi akan memuai, sehingga jika terlalu rapat dapat berpotensi merusak alat. Pemberian segel pada alat juga perlu, pada segel tersebut menjelaskan tanggal kadaluarsa, dan informasi aman dan telah steril. 7. Proses distribusi harus dilakukanuji visual, Prinsip FIFO, dan menilai proses serah terima, serta dilakukan monitoring dan evaluasi untuk deteksi kegagalan, seperti monitoring fisik, biologi, kimiawi. Materi 7 Manajemen Limbah dan Benda Tajam Disampaikan oleh Bapak Ahmad Fathoni, S.Kep.Ners 1. Pengelolan limbah dan benda tajam bertujuan untuk mencegah terjadinya penulara penyakit menular yang bersumber dari sisa-sisa kegiatan rumah sakit. Oleh karenanya perlu dilakukan penanganan dengan baik dengan melakukan pengelolaan dengan tepat agar tidak berdampak terhadap lingkungan dan manusia. 2. Dasar Hukum pengelolan limbah di RS mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor. P56 Tahun 2015 dan Permenlhk Nomor 6 tahun 2021. 3. Limbah padat di rumah sakit pada umumnya terdiri dari limbah infeksius dan limbah non infeksius. 4. Langkah-langkah untuk melakukan pengelolan limbah ada 6 yaitu a. Perencanaan yaitu limbah yang dihasilkan telah ditentukan regulasi yang mengatur secara internal untuk panduan semua. Setiap rumah sakit harus mempunyai SPO yang mengatur mengenai pengelolan limbah bekerja sama dengan bagian sanitasi. b. Pemisahan : yaitu dilakukan pemisahan limbah dari sumber penghasil, yaitu keperawatan. c. Pengumpulan : yaitu dilakukan pengumpulan dengan tempat sampah yang sesuai dengan jenis dan karaktersitik limbahnya. a) Tempat sampah infeksius dengan kantong kuning b) Safety Bok untuk benda tajam (jarum dan spuit) c) Tempat sampah non infeksius kantong hitam d) Tempat sampah limbah radioaktif kantong merah e) Tempat sampah limbah sitotoksis kantong ungu f) Tempat sampah limbah obat kadaluarsa kantong coklat Semuanya wajib disertakan logo limbah nasional (bagi yang ada). d. Transportasi : limbah dari unit dikelola oleh petugas kbersihan menggunakan troli khusus dan tidak boleh tercampur dengan domestik. e. Penyimpanan : proses penyimpanan dilakukan di TPS LB3 di RS dengan ketentuan maksimal di suhu ruang 2 x 24 jam f. Treatment akhir : pemusnahan yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga rekanan harus mempunyai izin, bukti legalitas, survey kunjungan, dan bukti sertifikasi mutu pihak ketiga. 5. Limbah cair dari rumah sakit harus dikelola di Instalasi Pengolahan Air Limbah yang mempunyai teknik pengolahan yang disesuaikan dengan konsentrasi limbah cairnya. 6. Pengelolaan limbah di RS harus bekerjasama dengan bagian instalasi sanitasi. Materi 8 PPI di Instalasi Gizi Disampaikan oleh Bapak Kusnadi, S.Kep.Ns 1. Pengelolaan gizi di RS harus disesuaikan dengan pedoman yang mengatur yaitu Permenkes Nomor 1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga, disebabkan gizi di RS masuk sebagai gizi golongan B. Perhatian penyelenggaraan gizi di RS melihat atas dasar pemberian makanan kepada orang rentan yaitu pasien, sehingga proses pengelolaan di dapur menjadi prioritas yang dilakukan monitoring secara berkala. 2. Pengelolan makanan di instalasi gizi terdiri dari persiapan dan penyediaan bahan pangan, penyimpanan bahan pangan, pengolahan bahan makanan, pewadahan dan penyimpanan makanan jadi, dan penyajian kepada pasien. 3. Proses penyediaan bahan makanan harus dipertimbangkan dari sumber dihasilkannya bahan pangan baik yang telah terkemas maupun bahan mentah, keduanya harus dipastikan berasal dari sumber yang terpercaya. 4. Penyimpanan bahan pangan harus disesuaikan dengan kaidah sarana bangunan, misalnya tinggi dari lantai minimal 30 cm, dari dinding 15 cm, dan dari langit-langit 60 cm. Dan harus ada penilaian dengan form monitoring untuk suhu dan kelembabannya. 5. Pengolahan bahan pangan memperhatikan aspek higiene sanitasi dari penjamah makanan, atau yang sering disebut personal higiene. Penjamah makan harus dipastikan tidak menderita penyakit menular, mengenakan APD yang lengkap, dan rutin dilakukan medical check up setiap 6 bulan sekali. Selain itu, perlu diperhatikan penggunaan alat untuk proses pengolahan makanan, yaitu tidak boleh rusak, ada sudut mati, dan dipastikan kondisinya baik. 6. Pewadahan dan penyimpanan makanan jadi harus menggunakan alat makan bersifat foodgrade dan diutamakan untuk tidak menyimpanan makanan jadi sehingga langsug disajikan terhadap pasien. 7. Penyajian makanan kepada pasien juga harus diperhatikan, dimana alat atau troli distribusi harus khusus untuk makanan dan rutin dilakukan pemebersihan setelah distribusi. Materi 9 PPI di Ruang Hemodialisa Disampaikan oleh Bapak Muhammad Faris, S.Kep 1. Unit Hemodialisa adalah unit yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya infeksi bloodborne viruse seperti hepatitis B, Hepatitis C, HIV, baik kepada pasien dan petugas. 2. Pola pengendalian infeksi di unit HD memperhatikan sistem kewaspadaan standar yang harus dibangun, selain itu perlunya pemahaman yang mantab atau kompetensi yang sesuai dengan bidang agar tidak ada salah tindakan atau kejadian yang tidak diharapkan, disamping itu petugas harus melakukan kebersihan tangan dengan tepat, menggunakan APD sesuai indikasi, dan yang terpenting disiplin dalam melakukan bundles IADP. 3. Proses hemodialisa tidak diperkenankan untuk kegiatan selain peruntukannya, misal injeksi, transfusi, infus, dan ambil darah. Selain itu upaya yang dilakukan untuk mencgah penularan penyakit dilakukan dengan: a. Menggosok cup CVC dengan betadin selama 5 menit sebelum dilepas b. Segera mengganti CVC dengan akses yang permanen (cimino,graff) c. Melakukan cleaning dan desinfeksi mesin dan alat sesuai prosedur, maka harus menggunakan bahan yang sesuai. serta d. Melakukan skrining serologi berkala dan memberikan vaksinasi hapititis B bila diperlukan 4. Disamping manajemen di ruang HD, perlu juga untuk dilakukan pemantauan terhadap air RO yang digunakan. Hal ini bekerja sama dengan bagian sanitasi untuk melakukan pengawasan, misalnya pengecekkan mikrobiologi rutin setiap bulannya. 5. Surveilan yang dilakukan sangat perlu untuk kejadian Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, IADP dan infeksi pada vascular akses. Materi 10 PPI di Kamar Jenazah Disampaikan oleh Bapak Widhi Setiawan 1. Prinsip yang dibangun dalam penyelenggaraan jenazah adalah selalu menerapkan praktik kewaspadaan standar, pengendalian faktor lingkungan, hal ini disebabkan adanya penularan penyakit yang mungkin melalui percikan darah ke kulit yang tidak utuh, percikan ke area selaput lendir, perpindahan melalui perantara misal vektor, dan mencemari lingkungan lalu menginfeksi manusia. 2. Pemrosesan sisa penanganan jenazah seperti pembedaan limbah yang dihasilkan yaitu limbah infeksius dan non infeksius, sementara untuk limbah cair wajib dialirkan ke IPAL tidak boleh ke semabarang tempat. Sementara untuk alat bekas pakai dapat direuse dengan menggunakan chlorin 0,5%. 3. Kesehatan petugas pemulasaran jenazah diutamakan, hal ini dilakukan dengan pemeriksaan keseshatan berkala, pemberian imuniasai hepatitis, lapor jika ada pajanan cairan infeksius, dan harus ada alur penanganan pajanan benda tajam. 4. Pengelolaan linen yang bisa di reuse milik RS dikelolakan pada pihak laundry RS, jika milik pasien maka harus dibawakan pulang pada keluarga, jika tidak dimasukkan pada limbah infeksius. 5. Pengelolaan lingkungan untuk PPI di ruang jenazah diantaranya area kamar jenazah garus segera dibersihkan setelah digunkana, peralatan disimpan dengan rapi untuk memudahkan proses pengambilan jika sewaktu-waktu dibutuhkan, pembersihan kamar jenazah secara rutin dan tidak hanya seteah digunakan dan dilakukan moniroing kebersihan lingkungan. 6. Perawatan jenazah di bangsal harus mengedapankan SPO yang telah disepakati di RS. 7. Selain itu perlu diperhatikan kegiatan pasca pemulasaran jenazah bagi petugas yaitu harus melakukan kebersihan tangan, mengelola APD sekali pakai ke tempat sampah infeksius, semnetar aitu untuk APD yang bisa direuse diberikan di tempat khusus, dan dilakukan desinfeksi engan chlorin 0,5% untuk area lantai dan alat diikuti pembilasan dengan air. Materi 11Penatalaksanaan KLB dan Penyakit Menular Disampaikan oleh Bapak Mutholib S.Kep.Ns 1. KLB adalah Kejadian Luar Biasa yaitu meningkatnya kejadian kesakitasn atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. 2. KLB penyakit menular adalah indikasi diterapkannya suau daerah menjadi suatu wabah atau dapat berkembang menjadi suatu wabah. 3. Perbedaan Wabah dan KLB yaitu, jika KLB mencakup jumlah, daerah, waktu, dan dampak yang besar dan luas, sementara KLB kejadian baru dan di waktu tertentu saja. 4. KLB dalam standar akreditasi 10.1 dikaitkan dengan proses pengelolaan pasien jika terjadi outbreak penyakit infeksi airbone, penyediaan kamar isolasi tekanan negatif, dan edukasi kepada staf tentang pengelolaan pasien infeksius jika adanya ledakan pasien penyakit infeksi airbone. 5. Tujuan penanganan KLB adalah mengidentifikasi sumber atau cara penyebaran, mencegah transmisi lebih lanjut, dan belajar untuk menghadapi outbreak masa yang akan datang ditinjau dari sumber baru, agen yang muncul, cara transmisi, dan komplikasi prosedur. Semnetara untuk pencegahan dilakukan investigasi. 6. Langkah langkah manajemen KLB yaitu : a. Laporan unit/temuan di lapangan b. Persiapan di lapanan c. Memastikan KLB dengan DPJP d. Verifikasi Dx e. Bentuk Tim f. Penetapanan kasus KLB g. Pengolahan data deskriptif h. Buat langkah penanggulangan i. Evaluasi hasil j. Pencegahan dan penanggulangan k. Observasi hasil tindakan l. Komunikasi hasil temuan m. Kasus dihentikan 7. Tim yang terkait dalam KLB yaitu direktur RS, komite PPI, Komite Medik, Komite mutu, Komite Keperawatan, Bidang Penunjang,, dan Tenaga Ahli atau konsulen. 8. Persiapan sarana prasarana dalam pencegahan KLB diantaranya struktur bangunan, penyediaan sarana kesehatan, manajemen KLB, dan dilakukan pendidikan dan pelatihan 9. Regulasi yang harus disiapkan dalam internal RS yaitu pedoman PPI, panduan KLB, SPO, hasil audit, dan sistem pelaporan. Materi 12 PPI dalam Akreditasi Sri Rusmini, S.Kep, Ners, MM, M.Kep, FisQUa 1. Dasar hukum akreditasi RS adalah UU Nomor 44 tahun 2009 tentang RS khususnya pada pasal 40 ayat 1 dan 2 yang diturunkan pada PP nomor 47 tahun 2021 tentang penyelenggaraan RS lalu Permenkes Nomor 12 tahun 2020 tentang AKreditasi RS. Selain itu, didudkung pula oleh regulasi: KMK No 01.07 /MENKES/1128 tahun 2022 tentang standar akreditasi RS, KMK Nomor 01.07/MENKES/1119/2022 tentang TArif Survei akreditasi RS, dan Kepdirjen Yankes Nomor HK 02.02/I/1130/2022 tentang Pedomena Survei Akreditasi RS. 2. Penyelenggaraan akreditasi RS saat ini dengan diterbitkannya SE MENKES No 133 tahun 2022 tidak diwajibkan ikut akreditasi tahun ini dengan adanya situasi pandemi di daerah. 3. Standar akreditasi RS ada 16 bab, 226 standar, da nada 789 elemen penilaian yang tentunya lebih banyak tahun ini dari tahun sebelumnya. 4. Standar akreditasi menurut starkes untuk PPI masuk pada manajemen RS nomor 6 dengan jumlah fikus standar PPI sejumlah 13 butir, yaitu: a. Penyelenggaraan PPI di rumah sakit b. Program PPI’ c. Pengkajian Risiko d. Peralatan MEdis dan atau bahan medis habis pakai (BMHP) e. Kebersihan Lingkungan f. Manajemen linen g. Limbah infeksius h. Pelayanan makanan i. Risiko infeksi pada konstruksi dan renovasi j. Penulara infeksi k. Keberishan tangan l. Peningkatan mutu dan program edukasi m. Edukasi, pendidikan, dan pelatihan