Anda di halaman 1dari 10

1.

Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang
dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi
sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang
berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan
bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh
hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan
bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat
dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi. Fototerapi yang
efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan lumirubin yang
merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air merupakan prinsip eliminasi bilirubin
dengan fototerapi. Faktor yang menentukan pembentukan lumirubin antara lain: spektrum dan
jumlah dosis cahaya yang diberikan.

Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar. Fototerapi
(penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan (feeding on demand)
dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5
jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang
optimal. Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan
area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan bohlam lampu
fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata tertutup. Temperatur dan
status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk
mempersilahkan keluarga berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang
tepat untuk memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus,
berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi
bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.

2. Terapi sinar  konvensional dan intensif


Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif. Terapi sinar
konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan
adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Sedangkan fototerapi
intensif menggunakan intensitas penyinaran >12 μW/cm2/nm dengan area paparan maksimal.

Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya
biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena
dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak
mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian
tengah unit terapi sinar  standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit.

Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi


Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil
penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat lactase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi
eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-
100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast
kulit dengan pelepasan histamine

3. Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan
pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin
dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar
sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter
sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah
dari donor yang telah dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat
volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara
periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan
yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur
ini perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin
dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang
dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.

Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain trombositopenia,


trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan keseimbangan elektrolit, graft-versus-
host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar bilirubin
berapapun.
Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan prosedur fototerapi, dan
optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi penggunaannya.

Transfusi pengganti digunakan untuk:


1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi.

2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi

3. Menghilangkan serum bilirubin

4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang terikat albumin.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

1. Darah yang digunakan harus golongan O.


2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan
Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi
tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer
rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan
plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu sekitar 160
ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80 ml/kgBB, sehingga
diperoleh darah baru sekitar 87%.
8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.
Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna. Darah
dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis
dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan
polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan
darah O rhesus positif.
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai
stabil.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

-          Emboli, trombosis

-          Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

-          Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

-          Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar

-          Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

-          Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

-          Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

-          Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

-          Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

-          Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia.

4. Terapi farmakologis

Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan


konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-transferase, tetapi
penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital
mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko
efek neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada
bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada
saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian fenobarbital tidak secara
rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada neonatus karena:
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang diperoleh
dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin oksidase. Ketika
darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka > 90% bilirubin
didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi
hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan
dapat terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari
fungus.11

Indikasi untuk merujuk ke RS

 Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan


 Ikterus hingga di bawah umbilikus
 Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena kemungkinan
membutuhkan transfusi tukar.
 Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus
 Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik
 Ikterus memanjang > 14 hari.

2.9 Pencegahan
Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik
Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin.
Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian ASI
yang sering atau asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar
bilirubin serum pada bayi yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan
dengan air atau dekstrosa dapat mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi bilirubin.1

Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin dan
meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah
diujikan. Pada sebuah penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi
secara signifikan dapat menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam.
Cholestyramine yang digunakan untuk terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi
bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di dalam intestinal dan membentuk suatu
kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.

Inhibisi produksi bilirubin

Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi inhibitor


kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat lahir 1500-2500 gram,
dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6 μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam
pertama kelahiran dapat menurunkan kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan
konsentrasi puncak bilirubin serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah
eritema sementara akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin saat
ini belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir.

Pencegahan ensefalopati bilirubin

Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah ensefalopati,


karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 – 7,55) dapat diperoleh dengan infus
bikarbonat atau dengan menggunakan strategi ventilator untuk menurunkan tekanan parsial
karbon dioksida sehingga pH meningkat.
2.10 Komplikasi
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan
kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin
dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta  mengganggu sintesis DNA.  Bilirubin juga
dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius)
sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi
bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh
konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Komplikasi ikterus neonatorum adalah Ensefalopati bilirubin atau kernikterus,
yaitu ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan benar dan dapat
menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin
bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebellum yang
menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan
kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin
plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar
bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang
mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan
hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada
kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat
kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin
serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel
otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang
tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya
diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak
permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau
hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.

2.11 Prognosis
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami
kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang memiliki
konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29
mg/dl, dan 73% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.

Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau lebih
bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita koreoatetosis
bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim
terjadi. Bayi yang berisiko harus menjalani skrining pendengaran.
BAB III

KESIMPULAN

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Pada kebanyakan kasus ikterus
neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar
tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir
minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti
hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologis).

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan


agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus atau
ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan
fototerapi, dan jika tidak berhasil transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar
maksimum bilirubin total dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi
cukup bulan yang sehat.

Anda mungkin juga menyukai