Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk menetapkan perbandingan kadar Vitamin C pada

buah pisang susu dengan cara pemeraman menggunakan karbid dan pemeraman

menggunakan daun pisang dengan metode Spektrofotometri Uv – Vis.

4.1 Identifikasi Karakteristik Morfologi Pohon Pisang Susu

Tabel 3. Karakteristik morfologi pohon pisang susu

Nama bagian Sampel Pustaka Nama bagian Sampel Pustaka


pohon
pohon

Warna batang semu Tipe kanal


kemerahan pisang lurus tepi
tegak

Warna bercak Panjang buah 11


batang semu coklat cm

Warna daun ukuran bercak


permukaan atas besar
hijau

Warna daun warna bercak


permukaan bawah pada pelepah
hijau sedang coklat tua

(sumber : dok. Mezi, 2013)

42
43

4.2 Metode Pemeraman dan Pembuatan Filtrat

Sampel yang digunakan adalah buah pisang susu dengan tingkat

kematangan yang cukup dengan ciri-ciri sudut-sudut pada pisang masih tampak

jelas Buah pisang susu yang digunakan didapatkan dari Desa Blubuk Kecamatan

Dukuhwaru. Langkah pertama yaitu buah pisang sebanyak 500 gram diperam

dengan dosis karbid 0,20 % dari bobot buah yaitu sebesar 1 gram. Batu karbid

akan menghasilkan gas asetilen yang berfungsi memacu kematangan buah pisang.

Pada buah pisang susu dengan perlakuan pemeraman menggunakan daun pisang

dilakukan dengan membungkus buah pisang susu dengan daun pisang

secukupnya hingga buah tertutup rapat, daun pisang mengandung etilen alami

yang akan membantu proses pematangan pada buah pisang, masing – masing

perlakuan diperam selama 5 hari. Langkah kedua yaitu buah pisang yang telah

melalui proses pemeraman dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran yang

melekat dan dikupas, kemudan timbang buah sebanyak 100 gram dihaluskan

dengan blender dan tambahkan aquadest sebanyak 100 ml untuk mempermudah

saat pemblenderan dan penyaringan. Metode filtrasi digunakan karena vitamin C

mudah rusak dan teroksidasi jika diisolasi menggunakan pemanasan.

Berikut adalah data berat awal sampel dan berat filtrate sampel yang diperoleh
44

Tabel 4. Data berat awal sampel dan berat filtrate sampel

Pemeraman dengan Berat awal sampel (g) Berat filtrate (g)


karbid
Replikasi 1 100,09 58,75
Replikasi 2 100,09 58,75
Replikasi 3 100,09 58,75
Pemeraman dengan Berat awal sampel (g) Berat filtrate (g)
daun pisang

Replikasi 1 100,09 58,75


Replikasi 2 100,09 58,75
Replikasi 3 100,09 58,75
( Sumber : data primer penelitian )

4.3 Identifikasi Vitamin C secara Kualitatif

Filtrate yang diperoleh diidentifikasi dengan metode kualitatif yaitu reaksi

warna dan KLT. Berikut hasil pengamatan identifikasi vitamin C dengan reaksi

warna pada filtrate.

Tabel 5. Hasil Identifikasi Vitamin C dengan Reaksi Warna

Perlakuan Replikasi Hasil Pustaka Keterangan


Filtrate + methylen 1 Warna biru pudar Warna biru pudar +
blue, dipanaskan 2 sampai hilang +
pada suhu 40 °C 3 +
Filtrate + I2 , digojok 1 Warna kuning Warna kuning +
2 kecoklatan yang kecoklatan +
3 dilunturkan dilunturkan +
Keterangan (+) sesuai dengan pustaka
( Sumber : data primer penelitian )
Hasil identifikasi vitamin C dengan reaksi penambahan metilen blue

menghasilkan warna biru lebih muda, untuk mempercepat reaksi larutan dihangatkan

pada suhu 40 °C. suhu dijaga agar stabil dengan menggunakan thermometer, karena

jika suhu terlalu tinggi akan merusak kandungan vitamin C yang terdapat pada
45

filtrate. Warna biru metilen dalam waktu 3 menit akan berubah menjadi lebih muda,

karena metilen blue jika dengan asam kuat akan bereaksi. Hasil dari reaksi warna

antara filtrat dengan metilen blue sesuai dengan pustaka ( Depkes RI, 1979 ).

Pada saat filtrate ditetesi metilen blue kemudian dihangatkan pada suhu 40 °C,

terjadi perubahan warna dari biru pekat menjadi semakin pudar atau dilunturkan

karena terjadi reaksi metilen blue tereduksi oleh vitamin C pada filtrate. Vitamin C

pada filtrate sampel menyumbangkan electron pada metilen blue sehingga vitamin C

berubah menjadi asam dehidroaskorbat dan metilen blue berubah menjadi biru

leukometilen. Pada identifikasi warna dengan menambahkan filtrate dengan I2

menghasilkan warna kuning kecoklatan yang dilunturkan karena terjadi reaksi iodium

tereduksi oleh vitamin C pada filtrate. Vitamin C pada sampel mendonorkan electron

pada iodium sehingga vitamin C berubah menjadi asam dehidroaskorbat. Reaksi

antara vitamin C dengan iodium dapat dilihat pada gambar berikut :


H
O
H

H
O
H
O

O
O
H
O

O
H
O
+
I
2

-
+
2
H
+
2
I
H
O

O
H

Asam askorbat Asam dehidroaskorbat


Gambar 4.1 Reaksi antara vitamin C dan I2
o
N

H
O

H
+
H

( )
3

C
H
3

( )
H V
O i
2

H
O

C m
H
O s
H o
2

2
B
i
r
u
m
e
t
i
l
e
n

w
a
r
n
a
b
i
r
u

t
a
m
i
n
C

a
s
a

a
k
r
b
a
t

( ) ( )
H N

O
O

O
+

H
H

C
H
S

N
N

( )
H

3
3

( )
O
2
2

H
O

C o
H a
O k
H r
2s
B
i
r
u
l
e
u
k
o
m
e
t
i
l
e
n

p
u
d
a
r
/
t
a
k
b
e
r
w
a
r
n
a

a
s
a
m
d
e
h
i
d
r

o
b
a
t

( )

Gambar 4.2 Reaksi antara vitamin C dan metylen blue


46

4.4 Identifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis

Identifikasi selanjutnya adalah menggunakan metode kromatografi lapis

tipis. Identifikasi vitamin C dengan metode KLT bertujuan untuk membuktikan

adanya senyawa vitamin c di dalam filtrate buah pisang menggunakan metode

pemisahan campuran senyawa dengan mengelusi senyawa melalui lempeng

kromatogram. Identifikasi vitamin C dengan metode KLT menggunakan fase

gerak metanol : aseton : air dengan perbandingan ( 20 : 40 : 3 ), sedangkan fase

diamnya menggunakan silica gel yang telah oven selama ± 3 menit untuk

mengeringkan silica gel supaya penyerapan bisa berlangsung cepat. Standar

pembanding menggunakan asam askorbat.

Fase gerak yang digunakan untuk KLT dijenuhkan terlebih dahulu dalam

bejana agar seluruh permukaan didalam bejana terisi uap eluen sehingga bercak

yang dihasilkan oleh silica baik dan beraturan. Pada proses elusi, silica gel akan

mengadsorbi fase gerak ( metanol : aseton : air ) bergerak naik melewati silica

gel diikuti oleh senyawa yang diidentifikasi. Setelah proses elusi, lempeng silica

gel dikeringkan dengan cara diangin – anginkan kemudian mengamati bercak

atau noda dibawah lampu UV yang dipasang pada panjang gelombang 254 nm.

Bercak yang dihasilkan yaitu berwarna ungu . Dari 3 replikasi, diperoleh data Rf

seperti pada tabel berikut :


47

Tabel 6. Data nilai RF hasil kromatografi lapis tipis pada sampel buah
pisang dengan pemeraman menggunakan karbid

Replikasi Baku Sampel


Rf hRf Rf hRf
1 0,82 82 0,81 81
2 0,78 78 0,74 74
3 0,82 82 0,80 80
Rata – rata 0,80 80 0,78 78
(Sumber : data primer penelitian )

Tabel 7. Data nilai Rf hasil ktomatografi lapis tipis pada sampel buah pisang
dengan pemeraman menggunakan daun pisang

Replikasi Baku Sampel


Rf hRf Rf hRf
1 0,77 77 0,76 76
2 0,78 78 0,74 74
3 0,81 81 0,78 78
Rata – rata 0,78 78 0,76 76
( sumber : data primer penelitian )

Hasil penelitian diperoleh nilai Rf sampel dengan perlakuan pemeraman

menggunakan karbid sebesar 0,78 dan nilai hRf sebesar 78, nilai Rf / hRf sampel

yang dihasilkan adalah mendekati nilai Rf yang dihasilkan baku Vitamin C yaitu

sebesar 0,80 dan hRf sebesar 80. Pada sampel buah pisang dengan perlakuan

pemeraman menggunakan daun pisang menghasilkan nilai Rf 0,76 dan hRf 76,

nilai Rf yang dihasilkan sampel mendekati nilai Rf yang dihasilkan baku Vitamin

C yaitu sebesar 0,78 dan hRf sebesar 78. Berdasarkan data penelitian diatas maka

dapat dibuktikan bahwa pada sampel filtrate buah pisang terdapat kandungan

Vitamin C.
48

4.4 Penetapan Kadar dengan Spektrofotometri UV – Vis

Metode spektrofotometri dilakukan karena mudah dikerjakan, waktu

pengerjaan singkat dan hasilnya lebih valid. Dalam tahap spektrofotometri

terlebih dahulu dibuat larutan blangko yang berisi aquadest, larutan blangko

yang digunakan adalah pelarut yang sama untuk melarutkan sampel. Pembuatan

larutan blangko bertujuan untuk kalibrasi pada alat sehingga absorbansi dimulai

dari titik nol. Setelah itu dilakukan orientasi panjang gelombang maksimal dari

10 deret ukuran panjang gelombang. Pada penelitian ini menggunakan pewarna

iodium sebagai oksidator untuk mengikat vitamin C supaya tidak teroksidasi

pada saat identifikasi serta mengoksidasi vitamin C menjadi asam

dehidroaskorbat yang mempunyai gugus kromofor (penyerap) yang lebih banyak

karena memiliki ikatan rangkap yang terkonjugasi lebih banyak, sehingga

panjang gelombang maksimum yang dihasilkan lebih tinggi. Berikut merupakan

data absorbansi dari 10 deret panjang gelombang larutan baku vitamin C.

Tabel 8. Data absorbansi 10 deret panjang gelombang larutan baku


vitamin C
No Panjang gelombang (nm) Absorbansi
1 230 0,171
2 240 0,233
3 250 0,211
4 260 0,262
5 270 0,424
6 280 0,733
7 290 0,961
8 300 0,782
9 310 0,096
10 320 0,005
(sumber : data primer penelitian )
49

Hasil penelitian diperoleh data panjang gelombang maksimal vitamin C

adalah 290 nm. Penentuan kadar dilakukan dengan mengukur serapan pada

panjang gelombang maksimum (puncak kurva), agar dapat memberikan serapan

tertinggi untuk setiap konsentrasi. Dari hasil absorbansi yang diperoleh, maka

dapat dibuat kurva panjang gelombang maksimum sebagai berikut :

Penentuan Panjang Gelombang Maksimal


1
absorbansi

0.8
0.6
0.4
0.2
0 Series1
220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320

panjang gelombang

Gambar 4.3 Kurva penentuan panjang gelombang maksimum

Setelah diperoleh panjang gelombang maksimum, diukur absorbansi larutan


seri baku vitamin C dari 10 konsentrasi untuk memperoleh kurva linier dengan
menggunakan panjang gelombang maksimum yang diperoleh, berikut ini
merupakan data absorbansi 10 konsentrasi larutan seri baku vitamin C.
Tabel 9. Data absorbansi larutan seri baku vitamin C
No Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 10 0,394
2 20 0,461
3 30 0,532
4 40 0,588
5 50 0,643
6 60 0,741
7 70 0,771
8 80 0,805
9 90 0,831
10 100 0,886
(sumber : data primer penelitian)
50

Dari data diatas kemudian dibuat kurva baku antara absorbansi dan konsentrasi

larutan. Tujuan pembuatan kurva baku adalah untuk mengetahui hubungan antara

konsentrasi larutan dan absorbansinya sehingga konsentrasi sampel dapat diketahui.

Hasil pengujian diperoleh data absorbansi terbesar pada konsentrasi 100 ppm.

Dalam hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka absorbansinya

semakin tinggi. Selanjutnya dibuat kurva baku linier panjang gelombang dan

absorbansi vitamin C untuk menentukan besarnya kadar vitamin C pada filtrate buah

pisang dengan perlakuan pemeraman berbeda. Dari hasil data yang diperoleh dapat

dibuat kurva linier sebagai berikut :

kurva absorbansi vs konsentrasi


1
0.8 y = 0.005x + 0.364
absorbnsi

R² = 0.979
0.6
0.4 Series1
0.2 Linear (Series1)
0 Linear (Series1)
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

konsentrasi (ppm)

Gambar 4.4 Kurva Absorbansi VS Konsentrasi

Hasil penelitian diperoleh nilai R2 (0,979) menunjukan tingkat akurasi yang

cukup pada proses pengukuran absorbansi larutan seri baku vitamin C pada sampel

karena harga R2 mendekati nilai 1 menunjukan korelasi atau terdapat pengaruh antara

konsentrasi dengan absorban. Dari pengukuran standar diperoleh kurva kalibrasi

dengan persamaan y = 0.005x + 0.364 sebagai pembentuk garis lurus linier. Selanjut
51

nya persamaan ini akan digunakan untuk menetapkan kadar vitamin C pada sampel

filtrate buah pisang dengan perlakuan pemeraman yang berbeda, dengan y adalah

absorbansi sampel dan x adalah konsentrasi vitamin C dalam sampel. Selanjutnya

mengukur absorbansi pada filtrate dengan panjang gelombang 290 nm. Di bawah ini

merupakan data absorbansi vitamin C pada sampel dengan menggunakan

spektrofotometer Uv – Vis pada panjang gelombang 290 nm.

Tabel 10. Hasil kadar vitamin C pada sampel buah pisang dengan
perlakuan pemeraman dengan karbid

Replikasi Absorbansi Konsentrasi Kadar


(ppm) (mg /100 g)
1 0,386 4,4 0,044
2 0,385 4,2 0,042
3 0,387 4,6 0,046
Rata – rata 0,386 4,4 0,044
(sumber : data primer penelitian)

Tabel 11. Hasil kadar vitamin C pada sampel buah pisang dengan
perlakuan pemeraman menggunakan daun pisang

Replikasi Absorbansi Konsentrasi Kadar


(ppm) (mg/100g)
1 0,378 2,8 0,028
2 0,377 2,6 0,026
3 0,378 2,8 0,028
Rata – rata 0,377 2,6 0,026
(sumber : data primer penelitian)

Pada data di atas nilai absorbansi yang didapat pada replikasi 1,2,3 tidak selalu

sama, hal ini disebabkan oleh adanya zat pengotor dalam pelarut atau sampel dan

kurangnya ketelitian pengambilan volume pelarut atau volume sampel. Hasil uji

diperoleh data kadar vitamin C pada sampel buah pisang dengan perlakuan
52

pemeraman dengan karbid dengan rata – rata sebesar 0,044 mg/100 gram. Hasil kadar

vitamin C pada buah pisang dengan perlakuan pemeraman dengan daun pisang

memperoleh kadar rata – rata sebesar 0,026 mg/100 gram. Semakin tinggi absorbansi

suatu sampel maka akan semakin tinggi pula konsentrasinya dan kadar yang

terkandung di dalamnya juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan dengan hukum

lambert-Beer dimana absorbansi sebanding dengan konsentrasi suatu zat larutan.

Kadar yang dihasilkan dari pengujian pada sampel buah pisang dengan perlakuan

pemeraman menggunakan karbid memiliki kandungan vitamin C lebih tinggi dari

pada kandungan vitamin C pada buah pisang dengan perlakuan pemeraman

menggunakan daun pisang.

Karbid (Kalsium Karbida) dapat memicu pembentukan asetilen dan karbid

juga dapat meningkatkan suhu dalam tempat pemeraman sehingga buah yang

diperam dapat mencapai stadium klimaterik lebih cepat, pemacuan tersebut

mempercepat penurunan kadar pati diiringi dengan peningkatan kadar gula dan

kadar asamnya. Pemeraman dengan daun pisang cenderung menghasilkan vitamin C

yang sedikit. Dalam daun pisang terdapat etilen alami untuk membantu proses

pemasakan buah. Kandungan vitamin C yang dihasilkan pemeraman menggunakan

daun pisang cenderung sedikit hal ini dikarenakan pemberian dan jumlah daun pisang

yang diberikan harus tepat sehingga akan memacu kematangan lebih cepat. Tiap cara

pemeraman menghasilkan matang buah yang berbeda - beda. Pemeraman

menggunakan bahan kimia cenderung proses pematangannya cepat tetapi cepat

membusuk sedangkan dengan daun pisang proses pematangannya lama dan stabil
53

dalam penyimpanan. Hasil kadar yang didapatkan belum sesuai dengan literature

yang ada yaitu kadar vitamin C pada buah pisang susu 3 mg / 100 g (sumber : Daftar

komposisi makanan – Depkes). Hal ini disebabkan karena penurunan vitamin C

disebabkan sifat vitamin C yang mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam

serta mudah teroksidasi. Sehingga vitamin C akan mengalami penurunan apabila kita

melakukan penyimpanan dalam waktu lama (Andarwulan dan Koswara, 1992:43).

Untuk membuktikan kadar yang diperoleh maka ditentukan ketelitian metode

spektrofotometri melalui perhitungan SD ( simpangan baku atau standart deviation )

dan RSD ( simpangan baku relative atau relative standard deviation). Nilai RSD yang

diperoleh dengan kadar rata – rata tidak boleh lebih besar dari 2 %. ( Aswad dkk,

2011). Jika data yang diperoleh memiliki simpangan baku relative lebih besar dari

2%, maka data yang diperoleh memiliki harga ketelitian yang tidak akurat. Dari

perhitungan simpangan baku data dilihat dari tabel berikut :

Tabel 12. Hasil nilai simpangan defiasi kadar vitamin C sampel pemeraman
dengan karbid

Replikasi Nilai simpangan


1 0
2 0,00001
3 0,00001
SD 0,001
2SD 0,002
RSD 0,265%
54

Tabel 13. Hasil nilai simpangan defiasi kadar vitamin C sampel dengan
pemeraman menggunakan daun pisang

Replikasi Nilai simpangan


1 0,00001
2 0
3 0,00001
SD 0,001
2SD 0,002
RSD 0,265%

Hasil RSD sampel dengan pemeraman karbid memiliki nilai 0,265 % < 2%,

maka data yang diperoleh memiliki tingkat ketelitian yang cukup baik karena tidak

melebihi 2%. Hasil RSD sampel dengan pemeraman daun pisang memiliki nilai

0,265% < 2%, maka data yang diperoleh memiliki tingkat ketelitian yang cukup

karena lebih kecil dari 2%.

Anda mungkin juga menyukai