Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN PESISIR DAN KEPULAUAN


POLA PERSALINAN SUKU BAJO

KELOMPOK 7
KELAS A

1. FITRI HANDAYANI J1A120023


2. NABILA INDAH CAHYANI J1A120047
3. HARDIANTI J1A120026
4. FENI YASINTA MANGALLA J1A120021
5. ANNISSAH HALID J1A120005
6. CERIANI MAHA DEWI J1A120011
7. NURUL FADDILLAH AUGUIZTA. J J1A120058
8. INDAH SRI PUTRI J1A120032

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan keluasan waktu dan kesehatan kepada kami untuk dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah “Manajemen Pelayanan Kesehatan Pesisir dan
Kepulauan”. Jenis tugas yang diberikan adalah membuat makalah terkait tentang
“Pola Persalinan Suku Bajo”. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih bagi
seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini dan berbagai
sumber yang telah kami pakai sebagai data dan fakta pada makalah ini.

Semoga makalah ini dapat menjadikan kerangka pikir dalam mengambil


suatu keputusan pembelajaran, pemilah dalam pemecahan masalah, dan bahkan
sebagai bagian hidup yang integrative. Kami menyadari bahwa kami adalah
manusia yang memiliki keterbatasan berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal
yang diselesaikan dengan sempurna.

Kami telah melakukan semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami


miliki. Ada pepata yang mengatakan “Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena
itu, kritik dan saran perbaikan sangat kami harapkan sebagai batu loncatan yang
dapat memperbaiki makalah kami di masa datang.

Kendari, 27 Maret 2022

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Fase Kehamilan Yang Terdapat Pada Suku Bajo ........................... 3
B. Fase Kelahiran Pada Suku Bajo ...................................................... 6
C. Pola Persalinan Suku Bajo .............................................................. 10
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan Suku Bajo ........... 12
E. Sistem Kepercayaan Terkair Persalinan Pada Suku Bajo .............. 16
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 19
A. Kesimpulan ..................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persalinan merupakan akhir dari kehamilan. Semua ibu dan keluarga
mengharapkan jalannya proses persalinannya berjalan lancar. Kelancaran
persalinan ditandai dengan kemajuan persalinan. Kemajuan persalinan yang
lambat merupakan satu dari komplikasi persalinan yang mengkhawatirkan
tidak terduga.
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan postpartum, eklamsia
dan infeksi. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah
kesehatan utama bagi kesehatan wanita, karena merupakan penyebab terbesar
kematian ibu dan bayi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi
(AKB) merupakan indikator utama dalam pelayanan kesehatan khususnya di
Indonesia
AKI berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup
sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat
pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan saat ibu
melahirkan dan masa nifas. Untuk menurunkan angka kematian ibu, diperlukan
upaya mengurangi peran dukun dalam menolong persalinan dan berupaya
meningkatkan peran bidan. Hal ini bertujuan menempatkan bidang desa
sebagai ujung tombak dalam upaya menekan AKB dan AKI.
Salah satu penyebab kematian ibu yang utama adalah keracunan
kehamilan dan infeksi. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan keadaan status
gizi yang buruk, faktor persalinan yang terlalu muda, paritas tinggi, dan anemi
pada ibu hamil, serta pengetahuan ibu tentang pemanfaatan fasilitas kesehatan
yang belum maksimal. Walaupun jampersal telah diberlakukan, namun
sebagian ibu hamil terlambat mendapat pertolongan persalinan pada fasilitas
kesehatan, di samping itu masih dijumpai ibu melahirkan yang ditolong oleh
dukun. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat terhadap dukun masih
tinggi.

1
Suku Bajo merupakan komunitas masyarakat yang lebih memilih
pertolongan persalinan oleh dukun bayi dibanding dengan tenaga kesehatan.
Hal ini disebabkan oleh kultur dan kenyakinan yang dipahami oleh Suku Bajo.
Suku Bajo merupakan komunitas yang mendiami sebagian besar pesisir pantai.
Sebagian besar masyarakat Suku Bajo mengalami tekanan akibat jauh dari
akses informasi dan pendidikan sehingga mempengaruhi perilaku mereka
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. rendahnya pemahaman dan
ekonomi masyarakat sehingga memilih melahirkan pada dukun. Tidak semua
masyarakat mengetahui program pemerintah yang menggratiskan persalinan
pada tenaga kesehatan melalui jaminan persalinan, sehingga masyarakat
enggan untuk mengunjungi petugas kesehatan karena memikirkan biayanya.
Hal ini juga berlaku pada masyarakat di suku Bajo, Pomalaa yang rata-rata
penghasilannya masuk dalam kategori minim untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang terdapat
dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Fase kehamilan yang terdapat pada Suku Bajo?
2. Bagaimana Fase Kelahiran pada Suku Bajo?
3. Bagaimana pola persalinan Suku Bajo?
4. Apa saja Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan Suku Bajo?
5. Bagaimana sistem kepercayaan terkair persalinan pada Suku Bajo
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari makalah ini adalah
untuk menjawab permasalahan yang ditemukan yaitu:
1. Untuk mengetahui Fase kehamilan yang terdapat pada Suku Bajo
2. Untuk mengetahui Fase Kelahiran pada Suku Bajo
3. Untuk mengetahui pola persalinan Suku Bajo
4. Untuk menegatahui Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan Suku
Bajo
5. Untuk mengetahui sistem kepercayaan terkair persalinan pada Suku Bajo

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fase Kehamilan Suku Bajo (Bitta)


1. Suku Bajo-Laut
Kehamilan bagi masyarakat Bajo di Torosiaje disebut dengan Bitta’
(dengan penekanan diakhir huruf “a”). Bagi masyarakat Bajo, terdapat
beberapa pantangan maupun aturan sosial yang berlaku bagi seorang ibu
hamil. Masyarakat Bajo-Laut mempunyai pantangan bagi ibu hamil yaitu:
a. Ketika terjadi hujan, petir maupun badai, maka tidak boleh keluar dari
rumah karena badai membawa serta penyakit, maupun makhluk gaib yang
akan mengganggu janin.
b. Tidak melewati tali di atas kepala maupun melangkahi tali di bawah kaki,
hal ini akan mengakibatkan tali pusar dari janin melilit bagian kepala
maupun bagian kaki yang akan berdampak meninggalnya janin dalam
rahim.
c. Tidak boleh duduk di depan pintu. Pantangan ini berlaku supaya bayi tidak
tertahan di pintu kelahiran.
Menjaga janin dari berbagai gangguan maupun untuk menjamin
keselamatan janin, maka dilaksanakan ritual oleh masyarakat Bajo.
Masyarak Bajo-Laut melaksanakan ritual kehamilan sejak usia kehamilan
menginjak usia tiga bulan yaitu pemasangan “sangkine” yang dilaksanakan
oleh Pangule atau Biang (Bidan Desa). Sebelum sangkine, ada ritual ada
yang dilaksanakan yaitu tiba’ pina atau membuang pinang. Dalam ritual ini
dibutuhkan bahan yang semuanya disiapkan oleh pihak keluarga seprti:
1. Pinang sebanyak enam buah,
2. Sirih enam buah, kapur satu secukupnya,
3. Tembakau yang sudah dililit dengan kertas menjadi rokok sebanyak enam
buah
4. Nasi putih yang lembut sebanyak enam genggam
5. Ikan
6. Daun woka

3
7. Bambu (bulu cui) dua ujung sepanjang 5 cm 8. Lunga-bongo (buah kelapa
utuh yang dibelah tanpa menghilangkan sabut kelapa, kemudian daging
kelapanya dikeluarkan. Lunga-bongo menjadi wadah untuk menaruh bahan-
bahan yang lain yang akan dihanyutkan).
Cara pembuatan Tiba-Pina sebagai berikut Lunga bongo diberikan alas
dari daun woka, kemudian di dasar diletakkan nasi, kemudian ikan,
setelahnya bamboo pada bagian atas bambu diletakan pinang dan rokok,
bagian paling luar adalah sirih dan kapur. Lunga bongo ini seperti kapal
yang penuh dengan muatan. Setelah tiba-pina siap, maka dihanyutkan di laut
oleh pangule dengan membancakan mantra. Setalah tiba-pina, maka
dilanjutkan dengan pemasangan sangkine.
Sangkine merupakan kata kerja yang merujuk pada ritual yang
dilakasanakan pada usia kehamilan tiga bulan, selain itu, sagkine juga
merujuk kepada kata benda yang merupakan artefak kebudayaan yang
dipakaikan oleh masyarakat Bajo-Laut kepada ibu hamil. Dalam pembuatan
sangkine, dibutuhkan tatali (uang loga kuno bernila 25 cen yang memiliki
lubang di tengah), benang berwarna putih dan cincin baik emas maupun
perak. cincin dan tatali diikat dengan benang putih yang kemudian diikatkan
kepada perempuan hamil oleh pangule yang melaksanakan ritual tiba pina.
Setelah kehamilan mencapai usia tujuh atau delapan bulan mendekati
waktu kelahiran, maka dilaksanakan ritual dilekkoang buai, yaitu
memandikan ibu hamil. Ritual ini dilaksanakan untuk memudahkan proses
kelahiran bayi dan menghindarkan kelahiran bayi dari kaki. Dalam ritual ini
dibutuhkan rotan yang sudah dibuat satu lingkaran utuh. Rotan tersebut
kemudian dimasukkan dalam wadah yang sudah berisi air kemudian air
tersebut dipakai untuk memandikan ibu hamil. Ritual ini dilaksanakan oleh
pangule karenya mensyaratkan adanya mantra yang harus diucapkan.
Menjelang kelahiran (usia kehamilan sembilan bulan) maka terdapat
ritual yang dilaksanakan yaitu maca kamalekka’ atau doa keselamatan.
Sebelum kelahiran maka alat maupun bahan yang diperlukan dalam maca
kammalekka harus sudah disiapkan guna mengantisipasi kelahiran yang

4
tiba-tiba atau tidak sesuai dengan hari perkiraan lahir. Dalam ritual maca
kamalekka dibutuhkan.
1. Tido ranta (penutup keranjang yang terbuat dari rotan)
2. Luluppo (belanga kecil yang terbuat dari tanah liat) yang dipakai untuk
menanak nasi dan telur ayam kampung
3. Sendok yang terbuat dari kayu
4. Bara api dalam wadah, kemenyam, air putih dan kopi masing-masing satu
gelas diletakkan di atas baki.
Setalahnya membaca doa selamat dengan menggunakan bahasa arab,
yang dipandu oleh imam. Doa yang dibaca sebagaimana doa selamat pada
umumnya. Bara api dipakai untuk membakar kemenyam, kemudian imam
memulai dengan membacakan al fatihah, surah al ikhlas, surat al falaq, surat
an-nas, al baqarah 1-5, ayat kursi kemudian dilanjutkan dengan membaca
doa selamat. Air putih yang sudah di doakan kemudian diberikan kepada
perempuan hamil.
2. Suku Bajo-Darat
Sementara bagi masyarakat Bajo-Darat pantangan bagi ibu hamil yaitu:
a. pada saat hujan dan waktu petang (setalah ashar sampai magrib), maka ibu
hamil tidak boleh meksanakan aktivitas di luar rumah. Ketika ibu hamil
melaksanakan aktivitas di luar rumah (selain saat hujan dan waktu petang)
maka, ibu hamil tersebut harus menutup kepala dengan menggunakan
kain. Malam hari, perempuan hamil boleh berkativitas di luar rumah tetapi
kata Fadli (Kepala Desa Torosije Jaya) agak rawan diganggu. Pantangan
ini ada untuk menjaga janin agar tidak diganggu oleh makhluk ghaib yang
dalam pandangan orang Bajo di Torosije banyak berkeliaran pada saat
petang maupun gerimis. Adapun memakai kain sebagai tutup kepala
merupakan tanda bahwa perempuan tersebut sementara hamil. Hal ini
berhubungan dengan respon masyarakat karena bagi masyarakat Bajo,
apabila seorang perempuan hamil meminta sesuatu maka harus diberikan
karena akan berdampak pada janin apabila apa yang diminta tidak
diberikan oleh masyarakat.

5
b. Ibu hamil juga tidak boleh makan pada wadah yang besar dan duduk
maupun berdiri di pintu. Makan di wadah yang besar, dalam pandangan
orang Bajo, akan mempengaruhi ukuran dari kepala janin saat melahirkan.
Makan pada wadah yang besar membuat kepala janin juga menjadi besar
sehingga berdampak bayi susah keluar pada saat persanilan normal.
Sementara berdiri maupun duduk di pintu akan berdampak pada
tertahannya bayi di pintu kelahiran. Ketiga adalah perempuan hamil tidak
boleh tidur di Kasur karena akan mengakibatkan ari-ari bayi menjadi lebih
tebal.
Ketika kehamilan mencapai usia enam-tujuh bulan dilaksanakan ritual
sangkine (membuat pagar diri dari bala untuk perempuan hamil). Selain
itu menurut Micing Sairullah (69 tahun) bahwa sangkine juga memiliki
fungsi untuk mempercepat proses pertumbuhan janin dalam kandungan.
Selain itu, menjaga gangguan ketika ada terdengar suara burung hantu
pada waktu malam hari. Dalam membuat sangkine dibutuhkan:
a. Inna’ pote yaitu benang berwana putih sesuai dengan lingkar pinggang
perempuan hamil
b. Dodoi/tatali uang logam kuno 25 sen yang memiliki lubang ditengah.
c. mamane buah kayu bakau (mangrove);
d. kunyit dan bawang merah. Bahan berupa tatali mamane, kunyit dan
bawang merah dikaitkan dengan benang berwarna putih kemudian
diikatkan kepada ibu hamil dengan mantra.
Sebelum pemasangan sangkine, maka ibu hamil terlebih dahulu
dimandikan oleh Sandro (dukun) dengan mantra. Setelah pemasangan
sangkine maka setiap sepuluh hari (10) pangule melakukan control terhadap
kehamilan baik kesehatan janin mapun kesahatan ibu.
B. Fase Kelahiran Suku Bajo (Ngana’/Anu’)
1. Bajo Laut
Dalam proses kelahiran bagi masyarakat Bajo-Laut, ketika bayi sudah
lahir maka yang pertama dilakukan yaitu: ngitta ponso’ (memotong pusat).
Pemotongan pusat dilakukan dengan menggunakan uwwe atau kulit bambu

6
yang tajam. Ketika ditanyakan mengapa tidak memakai gunting maka
menurut Sangsang Pasandre (75) bahwa memang selama ini memotong
pusat selalu menggunakan uwwe, karena memang itu sudah merupakan
kebiasaan Orang-Bajo.
Selain uwwe dalam pemotongan tali pusar dibutuhkan tebbe yaitu
lempengan belanga dari tanah liat yang sudah pecah serta tatali. Tebbe dan
tatali dijadikan sebagai alas untuk melatakan tali pusar yang akan
dilaksanakan oleh pangule. Setelah pemotongan tali pusar, kemudian bayi
dimandikan kemudian diazankan pada telingan kanan dan iqomat pada
telinga kiri. Azan dan iqomat pada umumnya dilaksanakan oleh imam.
Proses selanjutnya adalah temuni yaitu membuang ari-ari bayi. Yang
pertama dilakukan adalah membersihkan dodomi ariari ibaratnya manusia,
maka dodomi tersebut harus dimandikan terlebih dahulu. Dalam proses tiba
kaka ini dibutuhkan bakol atau tikar dari daun pandan yang akan dipakai
untuk membungkus dodomi, garam sejumput, beras satu genggam, pinang
satu buah, sirih satu buah, rokok satu ujung dan kapus. Setelah dodomo
bersih, kemudian diletakkan di dalam bakol dan dibungkus dengan bakol
bersama dengan bahan lainnya. Bakol kemudian diikat kemduan diberikan
batu sebagai pemberat kemudian ditenggelamkan. Dalam proses tiba kaka
dilaksanakan oleh pangule atauorang tua sang bayi yang paham dengan
mantra. Pada saat membuang ari-ari maka tidak boleh dilaksanakan pada
malam hari, selain itu pangule atau yang melaksanakannya, maka orang
tersebut tidak boleh menengok kiri dan kanan.
Setalah tiga hari kelahiran, maka dilakasanakan ritual tiba kaka. Ari-ari
merupakan kakak dari sang bayi dan harus diberikan makanan, maka
dibuatlah ritual dengan tiba kaka. Dalam ritual ini dibutuhkan nasi tiga
genggam, lilin sebanyak tiga ujung, pinang, rokok, sirih masing-masih tiga
buah dan kelapa seujung jari sebanyak tiga iris. Semuah bahan tersebut
kemudian diletakkan di dalam tempurung kelapa yang memiliki lubang
namun terlebih dahulu diberikan alas daun woka. Nasi diletakkan paling
dasar, kemudian ditaburi garam, kemudian kelapa rokok, pinang kapur dan

7
siri diletakkan paling atas. Lilin dinyalakan di atas tempurung kemduian
ditenggelamkan. Dalam proses tiba kaka dibacakan doa ataupun mantra oleh
pangule.
Setelah melahirkan maka sang ibu akan melaksanakan prosesi bantang
atau pengembalian tenaga kepada sang ibu. Bantang dilaksanakan dengan
cara memijat seluruh badan sang ibu. Bahan yang dipakai untuk memijat
terbuat dari santan yang dicampur dengan beras yang sudah ditumbuk dan
kunyit. Selain itu, juga dibutuhkan kelapa untuk diambil airnya untuk
dipakai sebagai minuman dari pangule, ibu maupun orang yang membantu
dalam proses bantang.
Bagi masyarakat Bajo-Laut setalah kelahiran bayi, maka sampai tali
pusar bayi terlepas, maka sang ayah tidak boleh menyelam, maupun
memaku atau menumbuk sesuatu. Bagi sebagian masyarakat harus
mengistirahatkan semua aktvitas yang dilakukan oleh sang ayah. Selama tali
pusar bayi belum terlepas maka sang ayah kerjannya hanya “makan-tidu”
begitu menurut penuturan Sangsang Pasandre, dkk
2. Bajo Darat
Kelahiran atau ana’ bagi orang Bajo Darat terdapat pantangan yang
harus dilaksanakan baik oleh sang ayah maupun ibu. Ayah bayi, tidak boleh
melaksanakan aktivitas selama tiga hari atau sampai pusar bari terlepas.
Sementara bagi ibu, juga tidak boleh melaksanakan aktivitas yang terlalu
berat yang dapat beraktibat terjadinya puga ura/bantahang dan
menyebebakan ibu menjadi sakit. Selain itu, ibu tidak boleh mengkonsumsi
makanan yang terlalu pedes, maupun daun hijau serta makanan yang bisa
menjadikan alergi.
Ketika terjadi kelahiran, bayi sudah keluar dari rahim ibu maka hal
pertama yang dilaksanakan adalah pemotongan ari-ari dengan memakai
uwwe/sembilu (kulit bambu yang sangat tajam). Tali pusar yang sudah
terpotong kemudian diikat dengan benang putih. Setalah tali pusar terpotong
dan diikat dengan benang, maka selanjutnya bayi dibersihkan. Setelah
dibersihkan, bayi yang bari lahir kemudian dikidam/dikamatang merupakan

8
dao atau ucapan pemasrahan terhadap kehidupan sang bayi Setelah proses
dikamatang selesai, maka barulah kemudian sang bayi diazankan pada
telinga kanan dan iqomat pada telinga kiri.
Proses selanjutnya tiba kaka yaitu proses pembuangan ari-ari. Ari-ari
dalam pandangan orang bajo merupakan saudara kandung (kakak) dari bayi
yang baru lahir. Ari-ari terlebih dahulu dibersihkan, kemudian dibungkus
dengan kain berwana putih. Ari-ari yang sudah dibungkus kemudian
dikubur oleh pangule dalam tanah kemudian ditandai dengan kelapa yang
sudah memiliki tunas. Tunas kelapa menjadi pangingat bagi bayi yang baru
lahir. Tempat penguburan ari-ari disesuaikan dengan permintaan orang tua
maupun pihak keluarga. Masyarakat Bajo yang ada di darat sudah tidak ada
lagi yang membuang ari-ari ke laut melainkan sudah dikubur di tanah. Pada
malam hari, dibuat api di halaman rumah (mugai pundo’) kemudian tempat
ari-ari diberikan lentera selama tiga hari. Pemberian lentera pada lokasi ari-
ari, supaya menjadi penerang pada kehidupan sang bayi nanti.
Pangule memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bayi
paling kurang selama tujuh hari, mulai dari memandikan bayi, memakaikan
baju sampai menjaga semua dilakukan oleh pangule. Setelah tujuh sampai
10 hari, pewatan bayi diserahkan kepada orang tua. Penyerahan tanggung
jawab perawatan anak kepada orang tua ditandai dengan pangule
memandikan ibu bayi (diantang) selama tiga hari berturut-turut. Dalam
proses dibantang, dibuat ramuan untuk mandi dari daun sere, daun dan kulit
jeruk (limou susu), dan kunyit. Ramuan itu kemudian dicampur dengan air
kemudian dipakai mandi.

Tabel 1. Perbedaan Ritual kehamilan Suku Bajo laut dengan Darat


Kehamilan
Bajo Laut Bajo Darat
Bahasa Bitte’ Bitte’
Ritual Sudah dimulai sejak usia Ritual pemasangan
kehamilan tiga bulan sangkine dilaksanakan
sudah dilaksanakan ketika kehamilan

9
pemasagan sangkine dan mencapai usia enam (6)
ritual atau tujuh (7) bulan
Fungsi Menjaga janin dari Sebagai benteng dari bala
Ritual gangguan makhluk gaib
dan memagari diri

Tabel 2. Perbedaan Ritual kelahiran Suku Bajo laut dengan Darat


Kehamilan
Bajo Laut Bajo Darat
Bahasa Ngana’ Ana’
Pantangan Suami tidak boleh Suami tidak boleh
menyelam, bekerja beraktivitas selama tiga
barat, mamaku sesuatu hari atau sampai tali pusat
sampai pusar bayi terlepas Istri tidak boleh
terlepas melakukan aktivitas berat
yang menjadikan istri
puga-ura – bantahang yang
bisa menjadi penyakit
pada istri. Istri, tidak boleh
makan yang pedes, daun
hijau ataupun yang
mengakibatkan alergi.
Ritual Ngita ura (pemotongan Tiba Kaka menguburkan
tali pusar bayi Temuni ari-ari, dan memberikan
(pembuangan ari-ari ke lentera pada lokasi tempat
laut) Tiba kaka penguburan ari-ari.
(memberikan makanan Dibantang, memandikan
kepada ari-ari) Bantang ibu
(mengembalikan tenaga
dari ibu hamil)
Fungsi Ari-ari merupakan saudara kandung dari sang bayi,
Ritual pemberian lentera supaya menjadi penerang dalam
hidup sang bayi. Memandikan ibu, sebagai tanda
bahwa proses perawatan dimulai dari kehamilan,
kelahiran sampai merawat bayi telah selesai. Sehingga
proses perawatan bayi diserahkan kepada orang tua

C. Pola Persalinan Suku Bajo


Ekonomi adalah keseluruhan pendapatan yang diperoleh dari hasil
pekerjaan yang dijalani kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya yang
dapat mempengaruhi pemanfaatan pelayanan Antenatal Care. Tingkat ekonomi

10
rumah tangga akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan anggota
keluarga, termasuk dalam aspek kesehatan. Semakin tinggi tingkat ekonomi
rumah tangga, maka akan semakin mudah pula dalam mengakses atau
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Demikian pula sebaliknya semakin
rendah tingkat ekonomi suatu rumah tangga, maka akan sulit untuk mengakses
atau memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah tidak mampu untuk
menyediakan dana bagi pemeriksaan kehamilan dan persiapan untuk kelahiran.
Hal ini akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan bayi. Selain
itu tingkat ekonomi yang rendah juga akan berdampak pada kurangnya asupan
nutrisi pada ibu dan bayi selama kehamilan dan pasca persalinan. Berbeda
halnya dengan keluarg yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup,
mereka dapat memeriksakan kehamilannya secara rutin, merencanakan
persalinan di tenaga kesehatan dan melakukan persiapan lainnya dengan baik
sehingga kondisi ibu dan bayi selama kehamilan dan persalinan dapat lebih
terjaga.
Berdasarkan hasil observasi kondisi ekonomi masyarakat Suku Bajo
sangat minim dan cenderung berada di bawah garis kemiskinan. Letak
pemukiman yang berada di atas laut berdampak pada profesi mereka yang
sebagian besar adalah nelayan. Masyarakat Suku Bajo menggantungkan
keseharian mereka pada hasil laut untuk kemudian dijual maupun dikonsumsi
sendri. Meski begitu tidak semua dari mereka yang dapat pergi menangkap
setiap hari, sebab untuk pergi melaut mereka harus mengeluarkan biaya bahan
bakar untuk perahu mereka sedangkan mereka tidak mempunyai uang untuk
itu.
Untuk keperluan makanan sehari-hari, jika mereka tidak memiliki lauk
maka mereka hanya mengkonsumsi nasi yang ditaburi garam. Tingkat
penghasilan perhari yang tidak menentu dan masih dibawah standar
mengakibatkan pemanfaatan pelayanan ANC pada fasilitas kesehatan sangat
minim dilakukan. Sebab masyarakat harus bergelut untuk sekedar memenuhi
kebutuhan makan sehari-hari ditambah lagi dengan jumlah rata-rata anak

11
dalam satu keluarga adalah 6 sampai 12 orang yang membuat pengeluaran
untuk kebutuhan sehari-hari semakin besar, sehingga semakin rendahnya
keinginan dalam pemanfaatan pelayanan ANC.
Berbeda halnya apabila mereka memeriksakan kehamilan dan
menjalani persalinan dengan bantuan dukun, dimana masyarakat tidak
dibebankan dengan nominal tertentu. Dukun beranak cukup diberi upah sesuai
dengan kemampuan ibu yang dapat berupa uang ataupun barang, sehingga
mereka tidak merasa diberatkan sedikitpun dalam hal pembiayaan.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan pemanfaatan suatu
barang atau jasa dan berbeda-beda untuk tiap individu. Faktor tersebut adalah;
1. Faktor kebudayaan (kebudayaan, sub-kebudayaan, dan kelas sosial),
2. Faktor sosial (kelompok referensi, keluarga, peranan, dan status),
3. Faktor personal (tingkat umur dan siklus hidup, kondisi ekonomi, pekerjaan,
kepribadian, dan konsep diri), dan
4. Faktor psikologis (motivasi, persepsi, pengalaman, sikap dan kepercayaan).
D. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Pencarian Persalinan Masyarakat Bajo
1. Keyakinan Dan Budaya
Budaya adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain di
mana kita memiliki keyakinan padanya khususnya dalam menanggapi dan
memberi pandangan tentang penolong persalinan berdasarkan keyakinan
yang dimilikinya. Kenyakinan dan budaya yang diterjemahkan dalam
bentuk pantangan yang dilakukan oleh ibu-ibu Suku Bajo selama kehamilan
maupun saat persalinan meyakini bahwa seorang ibu harus melakukan
pantangan atau larangan tertentu agar bayi dan dirinya terhindar dari bahaya.
Pantangan tersebut merupakan ajaran turuntemurun yang diajarkan oleh
orang tua kepada anaknya. Pantangan tersebut berupa pantangan perbuatan
seperti larangan memotong jenis ikan tertentu, membunuh binatang, melilit
handuk dikepala, mengikat sarung di bagian leher, mengangkat sesuatu
dengan bobot yang berat, berbuat pelit, mengecewakan atau menyakiti hati
orang lain, dan makan pada piring yang lebar.

12
Pantangan-pantangan tersebut berdasarkan adanya hubungan asosiatif
antara perbuatan mereka dengan akibat buruk yang akan ditimbulkan bagi
ibu dan bayi yang akan dilahirkan. Membelah atau memotong ikan pari
diasosiasikan akan menyebabkan anak lahir dengan bibir sumbing.
Membunuh binatang akan menyebabkan bayi lahir cacat atau lahir mati.
Melilit handuk dan sarung di kepala maupun leher akan mengakibatkan
janin terlilit tali pusarnya sendiri. Mengangkat sesuatu dengan bobot yang
berat dilarang karena akan menyebabkan ibu keguguran. Bersifat pelit juga
dilarang karena akan menyebabkan bayi sulit keluar pada saat persalinan.
Banyak alasan yang menyebabkan ibu memilih dukun ataupun bidan
sebagai penolong persalinannya. Beberapa alasan tersebut ada tradisi yang
telah turun temurun pada masyarakat suku Bajo, keberadaan dukun yang
menetap, pengalaman-pengalaman sebelumnya, serta perasaan nyaman
apabila bersalin di dukun. Untuk alasan ibu yang memilih bidan karena ibu
telah mengetahui bahaya dari persalinan yaitu pendarahan namun ibu tetap
juga memilih dukun karena telah dipercaya untuk mengusir setan yang dapat
menggangu persalinan dan meminta air yang berupa doa yang dapat
dipercaya untuk memperlancar persalinan.
2. Pengetahuan Masyarakat Bajo
Persalinan sehat dan aman adalah salah satu cara untuk menurunkan
AKI dan AKB. Persalinan sehat dan aman sebaiknya dilakukan pada
fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga medis. Masyarakat Bajo yang
memilih dukun dalam persalinannya menganggap bahwa persalinan sehat
dapat dilihat dari keadaan ibu yang sehat, yang ditandai dengan tidak adanya
penyakit setelah melahirkan sedangkan dari segi keamananya persalinan
dapat dilakukan pada dukun. Sementara itu, ada yang tidak memberikan
pendapat terkait persalinan sehat dan aman karena keterbatasan
pengetahuan mereka. Sedangkan yang memilih bidan dalam persalinannya
mengatakan persalinan sehat dan aman dapat dilihat dari keadaan bayi yang
sehat dan proses kelahirannya secara normal.

13
Ketidaktahuan masyarakat Bajo dalam memberikan pendapat terkait
persalinan yang sehat dan aman disebabkan oleh tingkat pendidikan yang
belum memadai. Sehingga, pengetahuan yang didapat sangat terbatas.
Melahirkan di rumah dan ditolong oleh dukun bayi masih merupakan
pilihan yang aman bagi masyarakat Bajo.
Masyarakat Bajo yang memilih persalinan di duku menunjukkan bahwa
mereka mengetahui bahaya saat persalinan yaitu pendarahan tetapi ada juga
yang tidak mengetahui sama sekali bahaya apa saja yang terjadi saat
kehamilan dan persalinan. Hal ini disebabkan karena pada kehamilan dan
persalinan sebelumnya tidak ada bahaya apapun yang terjadi sehingga
masyarakat Bajo percayakan semua pada dukun bayi.
Pengetahuan yang kurang tersebut diakibatkan oleh tingkat pendidikan
masyarakat Bajo yang masih rendah yaitu hanya tamatan sekolah dasar dan
tamatan sekolah menengah pertama serta kurangnya akses informasi yang
mereka dapatkan karena tidak ada pendidikan. Ketidaktahuan inilah yang
memicu mereka untuk tetap melahirkan kepada dukun. Sedangkan
masyarakat Bajo yang memilih persalinan oleh bidan telah mengetahui
bahaya yang terjadi saat kehamilan seperti terjadinya perdarahan, sehingga
masyarakat Bajo sering memeriksakan kehamilannya di bidan.
3. Jarak/Akses
Akses mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan. Biasanya ibu bersalin yang rumanhnya jauh dari BPS/
klinik akan memilih bersalin di rumah, selain sarana transportasi yang
terbatas juga mengingat biaya yang akan digunakan untuk menyewa mobil
sebagai sarana untuk datang ke BPS /klinik.
Untuk wilayah pesisir (masyarakat Bajo), sarana pelayanan kesehatan
hanya tersedia posyandu yang dilakukan tiap bulan. Jarak antara posyandu
dan rumah penduduk tidak jauh, sedangkan jarak puskesmas terhadap
rumah penduduk agak jauh, dan ditempuh dengan menyebrang laut dengan
menggunakan body/ perahu dengan waktu tempuh kurang dari satu jam (40-
50 menit). Hal ini mengakibatkan bahwa pemilihan penolong persalinan

14
kepada dukun didasari oleh jarak yang jauh terhadap pelayanan kesehatan
dan sarana transportasi untuk menuju tempat pelayanan kesehatan.
4. Dukungan Suami Dan Keluarga
Suami dam keluarga memiliki peranan penting dalam memilih
penolong selama kehamilan, persalinan dan nifas. Hal ini terutama terjadi
pada perempuan yang relatif muda usianya sehingga kemampuan
mengambil keputusan secara mandiri masih rendah. Mereka berpendapat
bahwa pilihan orang yang lebih tua adalah yang terbaik karena orang tua
lebih berpengalaman daripada mereka.
Pada masyarakat Bajo anjuran untuk bersalin pada dukun bayi berasal
dari kemauan ibu hamil itu sendiri, suami dan orang tua. Bagi Suku Bajo,
yang memilih bersalin di bidan tetap meminta bantuan dukun untuk
bersalin. Menggunakan jasa dukun dalam proses persalinan merupakan
anjuran dari suami, orang tua serta kemauan dari ibu itu sendiri. Kemauan
sendiri dari ibu hamil untuk bersalin menggunakan bantuan dukun
didasarkan pada pengalaman bersalin sebelumnya yang juga menggunakan
dukun bayi. Suami dan keluarga juga memiliki peranan penting dalam
memilih penolong persalinan pada masyarakat Suku Bajo. Mereka
berpendapat bahwa pilihan orang yang lebih tua adalah yang terbaik karena
orang tua lebih berpengalaman daripada mereka. Pemilihan penolong
persalinan mengikuti saran dari suami karena disesuaikan pula oleh
penghasilan suami sebagai kepala rumah tangga. Sudah menjadi kebiasaan
Suku Bajo bahwa, melahirkan pada dukun merupakan prioritas utama bagi
mereka.
Persalinan bukan sepenuhnya kewenangan ibu hamil. Keluarga, teman,
dan tetangga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengambilan
keputusan persalinan. Hal ini dikarenakan warga tersebut memiliki ikatan
sosial yang sangat kuat, yang terjadi tidak sebatas pada lingkup keluarga
namun juga pada unit-unit sosial lainnya. Masih tingginya ikatan sosial
tersebut, dapat memfasilitasi proses pemertahanan tradisi yang ada di

15
masyarakat. Dengan demikian, peranan seorang aktor tradisional seperti
dukun menjadi semakin kuat.
Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap bahwa kehamilan dan
kelahiran bayi merupakan peristiwa yang penting dalam siklus hidup
manusia. Faktor kekerabatan seperti suami, orang tua, nenek masih
memberikan peran yang penting dalam tindakan-tindakan si ibu berkaitan
dengan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan, baik dalam memberikan
nasehat maupun pengambilan keputusan pada siapa penolong persalinan
dan sarana pelayanan apakah yang akan dipergunakan.
E. Sistem Kepercayaan Suku Bajo
Suku Bajo mengenal beberapa adat istiadat dan kebiasaan yang seolah-
olah tidak ada pilihan lain untuk tidak melaksanakannya.Adat istiadat dan
kebiasaan itu menjadi sumber kerohanian dan sumber normatif dalam
mengatur anggota kelompoknya. Sistem kepercayaan dalam bentuk upacara
dilakukan dari satu fase ke fase berikumya sebagai suatu peralihan dari suatu
tingkat atau lingkungan sosial yang baru. Menurut Durkheim (Kahmad, 1999
& Johnson, 1987) peralihan tersebut dianggap sebagai suatu saat yang penuh
bahaya, oleh karena itu perlu persiapan untuk menghadapinya.
Dikatakan sebagai saat yang berbahaya karena memutuskan masa
lampau dan akan menginjak masa yang baru. Pada kondisi seperti itu
dibutuhkan upacara sebagai daya tangkal dari bahaya yang bakal menimpa,
baik terhadap manusia maupun lingkungan dimana manusia hidup.
Adapun sistem kepercayaan dalam bentuk upacara peralihan (life cycle)
yang masih bertahan pada suku Bajo adalah sebagai berikut:
1. Upacara Sangkina
Upacara sangkina (Kehamilan) dilaksanakan pada saat usia sekitar dua
atau tiga bulan, karena diniasa itu dianggap sebagai masa kritis bagi ibu
hamil. Upacara tersebut dilaksanakan dengan maksud agar tidak terjadi lagi
keguguran dan kesakitan dan menjaga dari segala hal pengaruh buruk.
Upacara sangkina dilakukan dengan melibatkan seorang dukun beranak
sebagai pemimpin upacara. Upacara sangkina dilakukan dalam dua bentuk

16
yaitu sederhana dan meriah. Secara sederhana (dilakukan oleh orang bajo
kebanyakan/sesehe) yang dipersiapkan adalah dua sisir pisang (dua deUa
Pisa), sate butir telur ayam kampung, dan empat buah duan sirih yang sudah
dilipat dalam bentuk empat (cmpc di luppi). Setelah pembacaan mantra oleh
dukun, maka daun sirih itu digantungkan pada tempat tidur wanita yang
hamil, sedangkan telur ayam dan pisang dihanyutkan ke laut pada sore hari.
Upacara sangkina yang dilaksanakan secara meriah umumnya
dilaksanakan oleh golongan Lolo Bajo. Perlengkapan yang disiapkan
adalah, nasi ketan hitam (lohong), putih (pote), kuning (kunek), telur ayam
kampung yang disimpan diatas setiap jenis nasi ketan yang ada, tiga sisir
pisang, tujuh lembar daun siri yang sudah dilipat segi empat dan seuntai
kalung manikmnanik yang berwarna hitam. Setelah dukun membacakan
mantra, maka wanita hamil diundang untuk mencicipi beras ketan yang
telah disiapkan, kemudian dilanjutkan dengan pasangan | kalung manik-
manik dileher wanita hamil dan tidak boleh dilepaskan sampai usia
kandungan berumur empat bulan.Setelah ini daun sirih digantungkan di
tempat tidur orang hamil tersebut. Semua upacara tersebut berlangsung pada
pagi hari, lalu pada sore harinya dilakukan acara pemberian sesajen kepada
Sang Penguasa laut , dengan cara memasukkan semua jenis i nasi ketan yang
berwarna warni tadi bersama telur ayam yang disimpan pada tempurung
kelapa, lalu tempurung kelapa itu diletakkan pada tempat khusus yang
disebut lawasuji yang dihiasi dengan daun . Kelapa, kemudian ke laut untuk
dihanyutkan sebagai persembahan bagi Sang penguasa
2. Upacara Campaniga (Kelahiran)
Pada saat ibu hamil merasakan bayinya akan lahir, maka segera
dipasang tenda yang terbuat dari train di atas tempat tidurnya. Lalu setelah
bayi lahir, maka mamanik, yang dipakai sewaktu upacara hamil, segera
dilepas kemudian digantung pada tenda. Setelah pemotongan tali pusat,
sang bayi lalu dimandikan dengan air laut sebagai perkenalan pertama
dengan taut, sembari berdoa: oh Papuk, nako na'alamuno nabad tuna nakona
patanuannui mabotilu, (artinya: Ya Tuhan kami, jika engkau akan

17
mengambil anak ini, maka ambillah disaat begini, jika engkau menghendaki
sakit mats sakitkanlah disaat begini.
Ari-ari atau plasenta sang bayi biasanya dicampur dengan garam, asam,
dan sebagainya, lalu dibungkus train putih dan selanjutnya dimasukkan ke
dalam tempurung kelapa lalu dihanyutkan ke taut. Orang Bajo berkeyakinan
bahwa bayi yang baru lahir hingga berumur 40 hari adalah milik Tuhan
(Papuk Allah Taala), jika dalam waktu tersebut sang bayi mcninggal dunia,
diyakini oleh orang Bajo bahwa Allah tidak bcrkcnan mcncruskan
kehidupan sang bayi kepada orang tuanya, tetapi jika sarg bayi schat, maka
ditafsirkan bahwa Allah ndho meneruskan anak itu untuk dipelibara orang
tuannya. Upacara agikah dilaksanakan pada saat tujuh han kelahiran sang
bayi dengan memotong kambing dan mengadakan acara baca barzanji
dengan mengundang para tetangga dan orangorang terhormat dikalangan
suku Bajo. Pada saat upacara agikah ini, jugs a kpl nasi ketan yang warni
seperti saat upacara sangkine (upacara hamil) sambil menaruh bante jago
(pop corn) dan juga sebutir telur ayam untuk dipersembahkan kepada sang
penguasa laut.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun Kesimpulan dalam makalah ini yaitu:
1. Masyarakat Bajo-Laut mempunyai pantangan bagi ibu hamil yaitu:
a) Ketika terjadi hujan, petir maupun badai, maka tidak boleh keluar dari
rumah karena badai membawa serta penyakit, maupun makhluk gaib
yang akan mengganggu janin.
b) Tidak melewati tali di atas kepala maupun melangkahi tali di bawah kaki,
hal ini akan mengakibatkan tali pusar dari janin melilit bagian kepala
maupun bagian kaki yang akan berdampak meninggalnya janin dalam
rahim.
c) Tidak boleh duduk di depan pintu. Pantangan ini berlaku supaya bayi
tidak tertahan di pintu kelahiran.
2. Dalam proses kelahiran bagi masyarakat Bajo-Laut, ketika bayi sudah lahir
maka yang pertama dilakukan yaitu: ngitta ponso’ (memotong pusat).
Pemotongan pusat dilakukan dengan menggunakan uwwe atau kulit bambu
yang tajam. Sedangkan Kelahiran atau ana’ bagi orang Bajo Darat terdapat
pantangan yang harus dilaksanakan baik oleh sang ayah maupun ibu. Ayah
bayi, tidak boleh melaksanakan aktivitas selama tiga hari atau sampai pusar
bari terlepas. Sementara bagi ibu, juga tidak boleh melaksanakan aktivitas
yang terlalu berat yang dapat beraktibat terjadinya puga ura/bantahang dan
menyebebakan ibu menjadi sakit
3. Mereka memeriksakan kehamilan dan menjalani persalinan dengan
bantuan dukun, dimana masyarakat tidak dibebankan dengan nominal
tertentu. Dukun beranak cukup diberi upah sesuai dengan kemampuan ibu
yang dapat berupa uang ataupun barang, sehingga mereka tidak merasa
diberatkan sedikitpun dalam hal pembiayaan.

19
4. Factor-faktor yang mempengaruhi persalinan suku bajo yaitu ; keyakinan
dan budaya, pengetahuan masyarakat bajo, jarak / akses, dan dukungan
suami dan keluarga
5. Sistem kepercayaan dalam bentuk upacara dilakukan dari satu fase ke fase
berikumya sebagai suatu peralihan dari suatu tingkat atau lingkungan sosial
yang baru yaitu upacara sangkina dan upacara campaniga (kelahiran).
B. Saran
Ada beberapa saran yang akan kami rumuskan terkait dengan apa yang
menjadi pembahasan yang dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah harus mampu untuk
menyediakan dana bagi pemeriksaan kehamilan dan persiapan untuk
kelahiran.
2. Hendaknya masyarakat bajo agar tetap menjaga nilai – nilai budaya dalam
kehidupan sehari – hari dan dalam kehamilan ibu mereka sebagai suku
bajo. Agar kebiasaan dan budaya orang bajo tetap terjaga dan tidak dapat
mengalami perubahan

20
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, K. K. (2019, September). Kearifan Budaya Lokal Dalam Pelayanan


Kesehatan Ibu Dan Anak Pada Suku Bajo. In Prosiding Seminar
Nasional (p. 58).
Asrina, A (dkk). 2018. Aspek Sosial Budaya Dalam Pemilihan Pertolongan
Persalinan Pada Suku Bajo Pomalaa Sulawesi Tenggara. Prosiding
Seminar Nasional (SMIPT) (2). 322-325
Dewi Sasmita, P. (2019). Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tanda
Bahaya Kehamilan Dengan Pemilihan Tempat Persalinan Pada
Masyarakat Suku Bajo Di Wilayah Kerja Puskesmas Mataoleo
Kabupaten Bombana (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes
Kendari).
Gobel, F. A., Fitriyani, F., & Idris, F. P. (2020, October). Pola Pencarian
Pertolongan Persalinan Ibu Pengidap HIV di Yayasan Peduli
Kelompok Dukungan Sebaya (YPKDS) Kota Makassar Tahun 2020.
In Prosiding Seminar Nasional Sinergitas Multidisiplin Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Vol. 3, pp. 52-57).
Mustamin, K., & Macpal, S. (2020). Ritual Dalam Siklus Hidup Masyarakat Bajo
Di Torosiaje. Al-Qalam, 26(1), 203-220.
Nurhaliza, W. O. S., & Suciati, T. N. (2019). Tret Sosial Budaya Masyarakat Suku
Bajo Sampela Di Kabupaten Wakatobi. Jurnal Komunikasi
Universitas Garut: Hasil Pemikiran dan Penelitian, 5(2), 341-356.
Ramadhan.T, Imran.A.D, dan Effendy S. D (2016). Buku Kesehatan Masyarakat
Pesisir. Perumahan Kendari Permai Blok P 2 Nomor 1 Kendari.
Sulawesi Tenggara: Yayasan Cipta Anak Bangsa (YCAB)

21

Anda mungkin juga menyukai