Anda di halaman 1dari 7

MENEJEMEN PENGEMBANGAN MAGGOT

MENUJU KAWASAN PAKAN MINA MANDIRI

Oleh
*)
Melta Rini Fahmi
*)
Balai Riset Budidaya Ikan Hias
Jl Perikanan No 13, Pancoran Mas, Depok
email : m_rinif@yahoo.com

ABSTRAK
Sebagai sumber protein alternatif maggot telah mampu diproduksi secara
masal pada tingkat petani. Kegiatan produksi massal ini dilaksanakan di Kabupaten
Sarolangun, propinsi Jambi. Pemilihan lokasi Sarolangun didasarkan pada lokasi
pabrik sawit yang terdapat di daerah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa produksi
massal maggot hanya dapat dilakukan jika bahan baku berupa PKM tersedia dalam
jumlah banyak atau produksi dilakukan disekitar perkebunan untuk memperpendek
jarak transportasi. Beberapa pertimbangan dalam membentuk suatu kawasan
budidaya adalah suplai benih, ketersediaan pakan dan pemasaran. Pengembangan
maggot dalam satu kawasan budidaya memiliki nilai yang sangat strategis
selanjutnya dikenal istilah Kawasan Pakan Mina Mandiri. Beberapa unit kegiatan
yang dilakukan untuk mengembangkan maggot dalam kawasan Mina Pakan Mandiri
adalah 1) adanya unit produksi maggot, 2) unit pengolahan pakan dan 3) unit
budidaya. Unit produksi maggot memiliki prasyaratan sebagai berikut; lokasi berada
pada vegetasi hutan atau perkebunan dan dekat dari pabrik Palm Kerenel Oil (PKO),
memiliki bak kultur, memiliki bak untuk restoking, air tersedia dalam jumah yang
cukup. Unit pengolah pakan memiliki prasyarat sebagai berikut; mesin pelet, area
penjemuran atau alat pengeringan pakan (drying), bahan pakan seperti vitamin dan
dedak. Unit budidaya ikan memiliki prasyarat sebagai berikut; kolam budidaya dan
manajement budidaya yang baik.

Kata Kunci: Maggot, Biokonversi, Kawasan Mina Pakan Mandiri, Sarolangun

Pendahuluan
Makalah ini ditulis untuk memberikan penjelasan mengenai pemanfaatan
limbah pabrik kelapa sawit berupa bungkil kelapa sawit/PKM (Palm Kernel Meal)
untuk bahan baku pakan ikan melalui proses Biokonversi. Sebelum masuk pada
topik biokonversi bungkil, akan diulas kembali kondisi perikanan budidaya baik di
dunia secara global maupun di Indonesia.
Perkembangan akuakultur selama 15 tahun terakhir seiring dengan
penurunan produksi perikanan tangkap (FAO). Jika melihat data perikanan
Indonesia terjadinya pertumbuhan budidaya ikan yang sangat signifikan yaitu 28,1%
sedangkan pertumbuhan produksi melalui penangkapan hanya mencapai angka 2%.
Saat ini Indonesia memiliki potensi lahan untuk perikanan budidaya seluas
11.806.392 hektare (ha) dan baru dimanfaatkan 762.320 ha (6,46%). Sehingga
masih tersisa lahan 11.044.072 ha (93,64%) yang belum dimanfaatkan. Potensi
produksi perikanan Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut
hingga saat ini dimanfaatkan sebesar 9 juta ton. Namun, potensi tersebut sebagian
besar berada di perikanan budidaya yang mencapai 57,7 juta ton per tahun dan baru
dimanfaatkan 2,08%. Sedangkan potensi perikanan tangkap (laut dan perairan
umum) hanya sebesar 7,3 juta ton per tahun dan telah dimanfaatkan sebesar
65,75%. Dengan meningkatnya produksi budidaya ikan secara otomatis akan
meningkatkan kebutuhan pakan ikan.
Seperti diketahui peningkatan harga tepung ikan disebabkan oleh kelangkaan
tepung ikan sebagai akibat dari pengurangan hasil tangkapan. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh FAO, produksi tepung ikan mulai mengalami fase stagnan
yaitu kurang lebih 6,1 juta ton pertahun semenjak tahun 90-an dan saat ini angka
tersebut mengalami penurunan. Kondisi ini tentu menjadi kendala yang cukup
besar bagi pertumbuhan budidaya perikanan. Untuk menghadapi masalah
kelangkaan tepung ikan maka perlu dilakukan upaya mencari pengganti tepung ikan
(fishmeal replacement). Beberapa penelitian telah menemukan pengganti tepung
ikan seperti tepung keong, bulu ayam, kedele, bungkil kelapa sawit (Palm Kernel
Meal/PKM) dll, namun penyediaan bahan tersebut dalam jumlah banyak dan tersedia
secara terus menerus agak sulit dicapai.
Perjalanan panjang penelitian Fishmeal Replacment (pengganti tepung ikan)
memasuki babak baru dengan ditemukannnya maggot sebagai pengganti tepung
ikan melalui kegiatan Biokonversi. Penelitian ini dimulai dari unit penelitian dibawah
Badan Riset Kalautan dan Perikanan (BRKP) yaitu Loka Riset Budidaya Ikan Hias
Air Tawar (LRBIHAT) berlokasi di Depok yang bekerjasama dengan lembaga
penelitian milik pemerintah Perancis yaitu IRD (Institute de Recherche pour le
Devevellompment).
Upaya penemuan sumber protein alternative tentu tidak akan memiliki makna
jika tidak bisa diproduksi secara massal. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya
oleh Fahmi (2007; 2009) bahwa bahan baku maggot merupakan limbah (by product)
pabrik kelapa sawit. Inilah yang menjadi poin penting dalam menciptakan sumber
protein alternative yaitu bahan yang akan digunakan tidak dapat digunakan oleh
manusia secara langsung, sehingga tidak perlu dikhawatirkan jika manusia akan
menjadi pesaing dalam pemanfaatannya, seperti pada kasus tepung ikan dan tepung
kedele.
Beberapa kriteria bahan yang dapat menggantikan tepung ikan adalah
pertama tersedia dalam jumlah banyak atau dapat diproduksi secara masal.
Sebagai negara pertama penghasil kelapa sawit tentunya Indonesia memiliki bungkil
kelapa sawit (PKM) dalam jumlah yang berlimpah juga. Lebih dari 2,5 juta ton
pertahun PKM di hasilkan di negeri ini. PKM merupakan limbah yang didapatkan
dari produksi PKO (Palm Kernel Oil). Jika potensi ini diberdayakan untuk produksi
maggot maka tentunya maggot dapat diproduksi secara massal dan ini menjadi
potensi yang luar biasa besar. Kedua pengganti tepung ikan memiliki kandungan
protein yang tinggi atau mampu mengimbangi protein tepung ikan. Hingga saat ini
kandungan protein maggot yang dilaporkan berkisar antara 45-52%. Disamping
memiliki kandungan protein yang tinggi maggot juga memiliki efek yang baik untuk
peningkatan daya tahan tubuh ikan (Fahmi, 2009)
Sebagai sumber protein altenatif maggot telah mampu diproduksi secara
masal pada tingkat petani atau masyarakat. Aplikasi maggot sebagai sumber protein
alternatif, juga perlu dikembangkan hingga skala industri. Produksi maggot pada
tingkat petani diharapkan dapat mewujudkan kawasan perikanan dengan basis
kemandirian penyediaan pakan atau lebih dikenal dengan istilah kawasan perikanan
terpadu atau mina pakan madiri. Produksi maggot pada skala industri ditujukan
untuk penyediaan pakan ikan yang murah dalam jumlah banyak. Lokasi produksi
produksi maggot haruslah berada di daerah yang tidak jauh dari pabrik kelapa sawit
(PKO) hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya produksi pakan, yang disebabkan
oleh transportasi.
Kawasan mina pakan mandiri, merupakan kawasan budidaya perikanan
dengan sistem penyediaan dan pengolahan pakan dilaksanakan secara mandiri.
Adapun bahan baku pakan diutamakan dari bahan baku lokal yang tidak
dimanfaatkan oleh manusia secara langsung. Kawasan mina pakan mandiri ini
merupakan salah satu bagian dari kawasan Minapolitan. Pada kawasan minapolitan
variabel yang diperhatikan sangat luas meliputi sarana dan prasarana penunjang
kegiatan perikanan, seperti pengairan, pemasaran, pascapanen dan lain-lain.
Sedangkan variabel utama dalam penentuan kawasan mina pakan mandiri adalah
kemampuan wilayah tersebut menyediakan pakan ikan secara mandiri.
Kabupaten Sarolangung, berada pada bagian barat Propinsi Jambi,
merupakan kabupaten yang baru mengalami pemekaran dari Kabupaten Bangko.
Kegiatan perekonomian penduduk Kab. Sarolangun umumnya hidup berasal dari
kegiatan perkebunan, pertanian dan perikanan. Sebagian besar kegiatan
perkebunan, pertanian dan perikanan digerakan oleh masyarakat transmigran.
Perkebunan sawit dan karet merupakan dua sektor utama perkebunan yang
dikembangkan di Kab.Sarolangun. Sedangkan untuk kegiatan perikanan, didominasi
oleh budidaya perikanan secara ekstensif.
Kegiatan produksi massal maggot dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun,
Propinsi Jambi. Pemilihan lokasi Sarolangun didasarkan pada lokasi pabrik sawit
yang terdapat didaerah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa produksi massal maggot
hanya dapat dilakukan jika bahan baku berupa PKM tersedia dalam jumlah banyak
atau produksi dilakukan disekitar perkebunan untuk mempersingkat transportasi.
Idealnya maggot dapat diproduksi disekitar pabrik sawit, sabagai langkah
penghematan energi sehingga yang akan dikeluarkan hanya maggot. Perlu diingat
bahwa tingginya harga tepung ikan juga disebabkan oleh energi yang digunakan
untuk mendapatkannya sangatlah tinggi, mulai dari penangkapan, pengeringan
penepungan transportasi dan lain-lain. Untuk itu produksi maggot sebaikanya
difokuskan pada wilayah di sekitar pabrik sawit.

Strategi Pengembangan Maggot di Kawasan Mina Pakan Mandiri


Pengembangan maggot di kawasan mina pakan mandiri terdiri dari tiga unit
kegiatan yaitu unit produksi maggot, unit pembutan pakan dan unit budidaya ikan.
Berikut ini adalah model kegiaatan yang dikembangkan pada masing-masing unit;

Unit produksi Unit pembuatan Unit budidaya


maggot pakan ikan

Gambar 1. Skema pengembangan maggot dikawasan mina pakan mandiri

1. Unit Produksi maggot


Unit produksi maggot dilakukan pada derah dengan vegetasi hutan atau
perkebunan. Kriteria ini sangat penting diperhatikan karena serangga Hermetia
illucense hidup pada daerah bervegetasi hutan. Daerah yang perlu dihindari dalam
produksi masal magot adalah kawasan pemukiman penduduk, karena kultur maggot
akan terkontaminasi oleh lalat domestik seperti lalat rumah (Musca sp) dan lalat hijau
(Calliphora sp) disamping alasan esetika. Kriteria lain yang diperhatikan pada
kawasan produksi maggot adalah jarak dari pabrik kelapa sawit (Palm kernel Oil).
Semakin dekat jarak dengan pabrik, maka kegiatan produksi maggot akan semakin
ekomonis dan efisien. Budidaya maggot dapat dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kegiatan budidaya ikan.
Prasyarat lain yang harus ada pada unit produksi maggot adalah bahan baku
untuk kultur maggot yaitu bungkil kelapa sawit (PKM), dan bak untuk kultur maggot.
Pada percobaan (pilot project) produksi massal maggot di Kabupaten Sarolangun
bak yang digunakan terbuat dari semen dengan ukuran 3,5 x 7 x 0,6 m. Sebanyak 5
kepala keluarga diberikan masing-masing 4 bak kultur maggot (Gambar 2).

Gambar 2. Bak kultur maggot ukuran 3,5 x 7 x 0,6 m

Kegiatan kultur dan panen maggot dilakukan pada hari-hari yang telah di
tetapkan, seperti setiap hari Senin, Selasa dan seterusnya hingga hari Jum’at.
Sebagai contoh adalah keluarga yang beraktifitas pada hari Senin. Setiap hari Senin
bak diisi dengan 500 kg PKM dan ditambahkan air dengan perbandingan 2 : 1.
Masing-masing bak diisi setiap hari Senin dan setiap pekan secara berurutan dari
bak I, bak II dan seterusnya hingga bak IV. Setelah 4 pekan akan dilakukan
pemanenan pada bak I, dilanjutkan dengan penebaran kembali bungkil kelapa sawit
pada bak tersebut. Secara berurutan akan dilakukan pemanenan dari bak I hingga
bak IV dengan rentang waktu satu pekan.
Panen maggot dilakukan secara kering yaitu dengan cara mengkondiskan
maggot untuk keluar dari media kulturnya (self herverst). Setelah maggot bekumpul
pada satu tempat maka panen dapat dilakukan dengan mudah. Jumlah maggot
yang dipanen setelah 4 pekan yaitu berkisar antara 150 hingga 200 kg per bak.
Media sisa produksi maggot dikeringkkan dengan menggunakan sinar matahari
selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Magot yang didapatkan
selanjutnya dijual ke unit pembuatan pakan dengan harga Rp 2000/kg.
2. Unit pembuatan pellet
Pengolahan maggot menjadi pellet dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut; killing (mematikan maggot), drying (pengeringan maggot) dan pelleting.
Killing umumnya dilakukan dengan cara hot treatment, hal ini dilakuakn untuk
menghindari mobilitas maggot selama proses pelleting, dan mengurangi kandunagn
lemak yang ada dalam maggot. Drying di lakukan sebanyak dua kali yaitu setelah
killing dan setelah pelleting. Pengeringan maggot hingga kadar air mencapai 25-
30% akan sangat memudahkan proses pelleting. Bahan pakan yang digunakan
dalam pembuatan pellet maggot adalah dedak dan vitamin dengan komposisi
sebagai berikut:
Tabel 1. Formulasi pellet maggot yang diterapkan di Kab.Sarolangun
Bahan Volume (kg) Harga/kg Jumlah (Rp)
Maggot 75 2,200 150,000
Dedak 40 2,000 88,000
Vitamin 1 10,000 10,000
Total 248,000

Gambar 3. Proses pengeringan maggot

3. Unit budidaya ikan


Pemanfaatan maggot sebagai pakan ikan telah diuji cobakan pada berbagai
jenis ikan konsumsi diantaranya ikan patin, ikan mas, ikan nila dan ikan lele. Pada
pilot project di Kab. Sarolangun maggot diaplikasikan sebagai pakan ikan nila dan
ikan. Pellet maggot yang telah di produksi pada unit pembuatan pellet akan dibeli
oleh pembudidaya ikan dengan harga Rp 3500/kg. Kandungan protein pellet yang
diberikan pada ikan adalah 29 %.
Sinkronisasi setiap unit kegiatan perlu dilakukan dalam satu menejemen
kelompok tani. Hal ini sangat penting diperhatikan karena jika salah satu unit tidak
menjalankan produksi secara kontinyu, maka aktifitas pada unit lain akan terganggu.
Oleh karena itu kajian sosial ekomonis pada setiap unit kegiatan hendaknya
dilakukan untuk meminimalkan ketimpangan pendapatan pada masing-masing unit.

Kesimpulan
Pengembangan produksi maggot pada level pembudidaya /masyarakat akan
mendukung terbentuknya kawasan mina pakan mandiri. Unit produksi maggot
hendaknya berada pada daerah vegetasi hutan dan dekat dengan pabrik kelapa
sawit. Budidaya maggot dapat dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki
kegiatan budidaya ikan. Unit lain yang dibuhkan adalah unit pembuatan pellet dan
budidaya ikan. Masing-masing unit memiliki hubungan yang sangat erat sehingga
dibutuhkan manajmen yang baik dalam pengelolaanya

Daftar Pustaka

Fahmi, M.R, S.Hem, Subamiya, I.W. 2007. Potensi Maggot Sebagai Sumber
Protein Alternatif. Prosiding Seminar Nasional Perikanan II. UGM. PP-5

Fahmi, M.R, S.Hem dan I.W. Subamiya. 2009. Potensi Maggot Untuk Peningkatan
Pertumbuhan dan Status Kesehatan Ikan. Jurnal Riset Akuakultur. (IN
PRESS)

FAO. 2004. The State Of World Fisheries And Aquaculture. FAO Fisheries
Departement. Rome. 146 p

Hem, S, S. Toure, C. Sagbla and M. Legendre. 2008. Bioconversion of palm kernel


meal for aquaculture:Experiences from the forest region (Republic of Guinea).
African Journal of Biotechnology Vol. 7 (8), pp. 1192-1198, 17 April, 2008

Hem, S. M. Rini, Chumaidi, Maskur, A. Hadadi, Supriyadi, Ediwarman, M.Larue and


L.Pouyoud. 2008. Valorization of Palm Kernel Meal Via Bioconversion:
Indonesia’s initiative to address aquafeeds shortage. Fish for the people vol
6 No2:2008. SEAFDEC. Bangkok Thailand. 42p

IRD. Saurin Hem. 2004. Prospective work result & plans for feature program of
bioconversi prossecing by product from argo industries in Indonesia & the
valorization via aquaculture: Application with palm kernel meal. Annual
report. 11p (unpublished report)

Anda mungkin juga menyukai