A. Jenis Makna
Makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia
tentang sesuatu, tetapi makna bukan pengalaman
setiap individu (Wijana dan Rohmadi, 2008: 11).
Makna digunakan sebagai penghubung bahasa
dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan
penutur bahasa sehingga antarindividu dapat saling
mengerti (Djayasudarma, 2012: 7).
1. Makna leksikal adalah makna yang
sesungguhnya, sesuai dengan referennya dan
penglihatan pancaindra.
2. Makna gramatikal adalah makna yang
didapatkan setelah menggabungkan unsur satu
dengan unsur yang lain.
3. Makna referensial adalah makna yang berkaitan
langsung dengan sumber yang menjadi acuan
dan mempunyai hubungan dengan makna yang
telah disepakati bersama.
4. Makna nonreferensial adalah makna yang tidak
memiliki acuan.
5. Makna denotatif adalah makna yang
sesungguhnya, makna dasar yang merujuk pada
acuan.
6. Makna konotatif merupakan seperangkat
gagasan atau perasaan yang berhubungan
dengan nilai rasa, yang berhubungan dengan
rasa hormat, dan lain-lain.
7. Makna literal adalah makna harfiah/ makna
lugas/ arti kata sebagaimana aslinya.
8. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang
dari referennya/ kiasan.
9. Makna primer adalah makna yang dapat
diketahui tanpa bantuan konteks.
10. Makna sekunder adalah makna satuan
kebahasaan yang diidentifikasi dengan bantuan
konteks.
B. Eufimisme
Eufimisme berkaitan dengan penggunaan perkataan
yang halus dan sopan sehingga memberikan kesan
yang baik. Pembahasan mengenai eufemisme tidak
terlepas dari referennya.
1. Referen Eufimisme
Dalam masyarakat tertentu, ada bentuk bahasa
yang dianggap tabu, namun belum tentu bagi
masyarakat yang lainnya. Referen eufimisme
antara masyarakat satu dengan yang lain
berbeda. Berikut ini, beberapa hal yang menjadi
referen eufimisme:
a. Nama binatang
b. Nama benda
c. Organ vital manusia
d. Peristiwa
e. Keadaan
f. Profesi
g. Penyakit
h. Aktivitas
2. Manfaat Eufimisme
a. Menghaluskan tuturan
b. Sarana
c. Alat berdiplomasi
d. Merahasiakan sesuatu
e. Penolak bahaya
C. Disfemisme
Disfemisme adalah tuturan yang berkesan kasar
dan menyakitkan mitra tutur. Salah satu hal yang
melatarbelakangi gejala pengasaran ini adlah ketika
seorang penutur berada dalam situasi yang tidak
ramah atau situasi yang tidak diinginkan. Misalnya,
kata kampungan, memiliki nilai rasa kasar jika
diucapkan dan merujuk pada tindakan yang tidak
sopan, tidak berpendidikan, tidak sopan, tidak
berpendidikan, atau kurang ajar. Disfemisme
diucapkan penutur untuk memberikan penilaian
negatif tentang sesuatu atau seseorang. Misalnya:
Banyak atlet daerah miskin prestasi. Kata miskin
digunakan untuk menggantikan tidak memiliki.
KB 3. Wacana
A. Konsep Wacana
Kridalaksana (1983:179) menjelaskan wacana ialah
satuan bahasa terlengkap. Wacana melibatkan
unsur segmental dan nonsegmental. Dalam
kegiatan berkomunikasi, wacana tidak hanya
menggunakan seperangkat alat linguistik (fonem,
morfem, kata, frasi, klausa, dan kalimat), tetapi juga
memperhatikan konteks tuturan. Agar tercipta
wacana yang padu dan utuh, aspek kohesi dan
koherensi juga perlu diperhatikan agat terbentuk
teks yang baik.
B. Kohesi
Unsur-unsur pembentuk dalam teks disebut sebagai
alat kohesi. Kohesi digunakan sebagai penanda
hubungan antarkalimat dalam teks. Menurut Rani
(2004:94) beberapa piranti kohesi, yaitu.
1. Kohesi leksikal
Alat yang digunakan dalam kohesi leksikal dapat
berupa kata/ frasa bebas yang dapat
mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat.
Piranti kohesi leksikal terdiri atas.
a. Repetisi (Pengulangan), digunakan untuk
menghubungkan antara topik kalimat yang satu
dengan yang lainnya.
- Pengulangan penuh adalah pengulangan
satu bentuk secara utuh. Misalnya kata
‘guru’ diulang sebagai subjek dalam sebuah
wacana.
- Pengulangan bentuk lain adalah
pengulangan bentuk yang berbeda yang
memiliki kata dasar yang sama. Misalnya,
kata ‘bahasa’ diulang dengan kata
‘berbahasa’ sebagai subjek dalam sebuah
wacana.
- Penggulangan dengan Penggantian
(substitusi) yaitu bentuk yang diulang ditulis
dengan bentuk yang berbeda. Misalnya,
kata ‘ilmuwan’ dapat diganti dengan kata
‘ahli bahasa’.
- Pengulangan dengan Hiponim dapat berupa
kata, frasa, klausa yang maknanya
dianggap sebagai bagian dari makna
ungkapan. Misalnya, jika ayam adalah
hiponim dari unggas dan unggas adalah
hiponim dari binatang, maka ayam adalah
hiponim dari binatang.
b. Kolokasi berkaitan dengan penggunaan dua
kata atau lebih secara bersama-sama untuk
membentuk kesatuan makna. Misalnya, pasien
akan berhubungan dengan dokter.
2. Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal merupakan hubungan
semantis antarunsur yang ditandai dengan
penggunaan alat-alat gramatikal.
a. Referensi yaitu berkaitan antara kata dan
benda yang mewakilinya. Referensi dibagi 2
yaitu referensi eksofora dan referensi endofora.
- Referensi eksofora merupakan perujukan/
pengacuan di luar teks dan bersifat
situasional.
- Referensi endofora merupakan pengacuan
kata-kata di dalam teks. Referensi ini dibagi
2, yaitu anafora dan katafora. Referensi
anafora merujuk pada sesuatu yang telah
disebutkan sebelumnya, sedangkan
referensi katafora merujuk pada sesuatu
yang telah disebutkan setelahnya.
Referensi anafora dan katafora dapat
menggunakan:
Referensi pronomina persona, berkaitan
dengan peran yang dilakukan oleh
pembicara dan pendengar/ tokoh dalam
wacana.
Referensi pronomina demonstratif,
digunakan untuk menunjuk orang,
benda, tempatatau waktu dirujuk secara
khusus.
Referensi pronomina komparatif adalah
keterkaitan semantis antara satu unsur
dengan unsur yang lain dengan tujuan
membandingkan 2 hal/ lebih.
C. Koherensi
Koherensi merupakan pertalian atau jalinan
antarkata, klausa, atau kalimat dalam sebuah teks.
Sebuah wacana dapat dikatakan koheren dengan
memanfaatkan piranti kohesi atau tanpa piranti
kohesi.
Sebagai elemen teks, koherensi berfungsi untuk
melihat bagaimana penulis/pembicara secara
strategis menggunakan teks dalam menjelaskan
fakta atau peristiwa. Makna teks dapat ditafsirkan
melalui kekompakan proposisi-proposisi yang
dibangun secara utuh dan padu. Keutuhan dan
kepaduan ini oleh penulis/pembicara dimanfaatkan
untuk memudahkan penafsiran informasi bagi
pembaca.
KB 4. Pragmatik
A. Konsep Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang makna yang
disampaikan oleh penutur atau penulis dan
ditafsirkan oleh mitra tutur atau pembaca (Yule,
1996: 3). Maka dapat disimpulkan bahwa untuk
memahami sebuah ungkapan/ujaran bahasa,
diperlukan suatu pengetahuan di luar makna dan
hubungan tata bahasanya, yaitu hubungan dengan
konteks pemakai bahasa.
C. Prinsip Kesantunan
Kesantunan berkaitan dengan budi bahasa yang
halus dan baik. Kesantunan dapat dilihat dalam tata
cara berkomunikasi melalui simbol verbal/ tata cara
berbahasa. Dalam konsep ini peserta tutur tidak
hanya sekedar menyampaikan ide, tetapi haru
mengikuti berbagai macam norma dan budaya yang
berlaku di suatu tempat. Prinsip kesantunan ini
digunakan untuk menghindari konflik antapeserta
tutur ketika berkomunikasi. Menurut Leech (1983)
prinsip kesantunan direalisasikan ke dalam 6
maksim.
1) Maksim Kearifan
Aturan yang terdapat dalam maksim ini adalah
penutur meminimalkan kerugian pada atau
memberikan keuntungan kepada orang lain.
2) Maksim Kedermawanan
Maksim ini disebut juga maksim kemurahan hati.
Dalam komunikasi digunakan untuk menghormati
mitra tutur. Ketika seseorang menjalankan
maksim kedermawanan, ia berusaha
meringankan beban mitra tuturnya.
3) Maksim Pujian
Tuturan yang diharapkan agar penutur
memberikan pujian kepada mitra tutur dan
mengindari tuturan yang merendahkan orang lain,
mengejek, dan saling mencaci.
4) Maksim Kerendahan Hati
Maksim ini mengatur peserta tutur untuk bersikap
rendah hati dan mengurangi pujian terhadap diri
sendiri atau tidak menyombongkan diri.
5) Maksim Kesepakatan/ Kecocokan
Aturan dalam maksim ini adalah setiap peserta
tutur berusaha agar ada kesepakatan antara diri
sendiri dan orang lain sebanyak mungkin.
6) Maksim Simpati
Aturan dalam maksim ini adalah meningkatkan
rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain,
misalnya terhadap kejadian/ peristiwa yang
sedang menimpa orang lain.