Anda di halaman 1dari 16

TANAMAN ETNOMEDISIN

BAWANG PUTIH (ALLIUM SATIVUM L.)

Dosen Pengampu : Apt. Ira Rahmiyani, M.Si

Nama / NIM : Salbila nurngazizath S. (31121173)


Adri (31121182)
Nabilla Amelia Cahya. (31121185)
Syifa Rizki Azzahra (31121194)
Aris Muhamad Riyadi (31121217)
Kelas / Kelompok : 2D / IV

PRODI S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BTH TASIKMALAYA 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat, berkah, hidayah, dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas
makalah kajian Farmakognosi Teori yang berjudul “ Tanaman Etnomedisin
Bawang Putih ” dengan baik. Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Biokimia Prodi Teknologi Laboratorium Medik Universitas
Bakti Tunas Husada.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada dosen mata


kuliah Farmakognosi yang telah memberikan tugas dan kepercayaan untuk
menyelesaikan tugas makalah ini.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari sempurna dan
mungkin beberapa pandangan penulis sedikitnya belum teruji kebenarannya. Kaya
berharap semoga makalah kajian tanaman ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya, dan umumnya bagi semua pembaca, serta dapat berguna bagi
kemajuan Universitas Bakti Tunas Husada.

Tasikmalaya, 06 September 2022


penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 1
PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan dan Manfaat 2
1.3.1. Tujuan 2
1.3.2. Manfaat 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
2.1. Pengertian Etnomedisin 3
2.2. Studi Etnomedisin 3
2.3. Pemanfaatan Etnomedisin 5
2.4. Jenis Etnomedisin 6
BAB III 11
KESIMPULAN 11
3.1. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 11

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia merupakan daerah tropis dikenal sebagai sumber bahan baku


obat-obatan yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai macam penyakit.
Begitu pula pengguna tumbuhan obat terbesar di dunia salah satunya merupakan
negara Indonesia bersama negara lain di Asia, seperti India dan Cina. Obat-obatan
telah berlangsung ribuan tahun yang lalu dimanfaatkan sebagai tanaman. Namun
belum terdokumentasi dengan baik penggunaannya. Indonesia memiliki prospek
yang baik pengembangan agroindustri tanaman obat. Lebih dari 9.609 spesies
tanaman Indonesia yang memiliki memiliki khasiat sebagai obat. Menurut
(Syukur dan Hernani, 2003), 74% tumbuhan liar di hutan-hutan dan sisanya
sekitar 26% telah dibudidayakan. Dari yang telah dibudidayakan, lebih dari 940
jenis digunakan sebagai obat tradisional.
Sejak zaman Yunani dan Romawi kuno, bawang putih telah banyak
dikonsumsi dan digunakan sebagai obat, seperti halnya di dalam resep makanan
Libanon, bawang putih ini digunakan sebagai resep untuk diet. Di Negara Asia,
seperti Jepang atau Cina, bawang putih bisa dikonsumsi tanpa harus ditumbuk
seperti kebanyakan bumbu di Indonesia, namun satu siung bawang putih bisa
langsung dibakar di atas api atau dimakan langsung (Untari, 2010).
Bawang putih sudah lama digunakan sebagai penyedap rasa dan mempunyai
keuntungan dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Bawang putih
merupakan suatu obat herbal karena kemampuannya dalam merelaksasikan otot
polos pembuluh darah. Beberapa studi eksperimental menunjukkan adanya
beberapa efek dari bawang putih, termasuk efek aktivasi sintesis nitric oxide
endotel dan hiperpolarisasi membran sel otot, sehingga dapat menurunkan tonus
pembuluh darah.
Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang banyak
diderita di seluruh dunia. Hipertensi diperkirakan menjadi penyebab kematian

1
sekitar 7,1 juta orang di seluruh dunia (sekitar 13% dari total kematian). Di negara
berkembang seperti Indonesia, terdapat beban ganda dari prevalensi penyakit
hipertensi dan penyakit kardiovaskular lain bersama-sama dengan penyakit infeksi
dan malnutrisi. (Ruslie, n.d. 2019)
Efek antihipertensi dari bawang putih sudah diteliti namun masih bersifat
kontroversial. Namun, pada penelitian-penelitian sekarang ini, dilakukan
percobaan-percobaan dengan hasil yang menunjukkan penurunan tekanan darah
diastolik dan ada juga percobaan yang menunjukkan penurunan tekanan darah
sistolik yang bermakna pada pasien yang diterapi dengan bawang putih.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada pendahuluan diatas, rumusan masalah yang


diambil mengenai pemanfaatan bawang putih sebagai salah-satu tanaman
etnomedisin untuk antihipertensi.

1.3. Tujuan dan Manfaat

1.3.1. Tujuan
Secara umum tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk
membahas pengertian serta jenis tanaman obat etnomedisin, cara
pengolahan dan pemanfaatan tanaman oleh manusia sebagai salah-satu
bahan pengobatan.
1.3.2. Manfaat
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat meningkatkan literasi mengenai
tanaman etnomedisin khususnya bawang putih sebagai obat antihipertensi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Etnomedisin

Etnomedisin secara etimologi berasal dari kata Ethno (Etnis) dan Medicine
(Obat). Hal ini menunjukan bahwa Etnomedisin sedikitnya berhubungan dengan
dua hal yaitu etnis dan obat. Secara ilmiah dinyatakan bahwa etnomedisin
merupakan presepsi dan konsepsi masyarakat lokal dalam memahami kesehatan
atau studi yang mempelajari sistem medis etnis tradisional. (Bhasin, 2017;Daval
2009) Etnomedisin merupakan salah satu bidang kajian etnobotani yang
mengungkapkan pengetahuan lokal berbagai etnis dalam menjaga kesehatannya.
Secara empirik terlihat bahwa dalam pengobatan tradisional memanfaatkan
tumbuhan maupun hewan, namun dilihat dari jumlah maupun frekuensi
pemanfaatannya tumbuhan lebih banyak dimanfaatkan dibandingkan hewan. Hal
tersebut mengakibatkan pengobatan tradisional identik dengan tumbuhan obat,
oleh karena itu tulisan selanjutnya difokuskan pada tumbuhan obat(Silalahi,
2016).

Etnomedisin berhubungan dengan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.


Etnomedisin merupakan praktek medis tradisional yang tidak berasal dari medis
modern. Etnomedisin tumbuh berkembang dari pengetahuan setiap suku dalam
memahami penyakit dan makna kesehatan. Pemahaman akan penyakit ataupun
teori tentang penyakit tentunya berbeda di setiap suku. Hal ini dikarenakan latar
belakang kebudayaan pengalaman dan pengetahuan yang 9 dimiliki setiap suku
tersebut berbeda dalam memahami penyakit, terutama dalam mengobati penyakit.

2.2. Studi Etnomedisin

Studi etnomedisin dilakukan untuk memahami budaya kesehatan dari sudut


pandang masyarakat (emic), kemudian dibuktikan secara ilmiah (etic) (Walujo,
2009). Pada awal perkembangan penelitiannya etnomedisin merupakan bagian
dari ilmu antropologi kesehatan (Bhasin, 2007) yang mulai berkembang pada
pertengahan tahun 1960-an (McElroy, 1996), namun pada perkembangan

3
selanjutnya merupakan disiplin ilmu yang banyak dikembangkan dalam ilmu
Biologi. Purwanto (2002) menyatakan bahwa penggunaan data tentang tumbuhan
obat tradisional yang berasal dari hasil penyelidikan etnomedisin merupakan salah
satu cara yang efektif dalam menemukan bahan-bahan kimia baru yang berguna
dalam pengobatan terutama dari segi waktu dan biaya. Beberapa obat yang berasal
dari pengetahuan lokal antara lain: (1) kuinin diadaptasi dari pengetahuan suku
asli Incas yang telah lama menggunakan Chinchona sebagai obat malaria; (2)
reserpin yang berasal Rauwolfia serpentina telah lama digunakan penduduk India
sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah. Pada saat ini penelitian
etnomedisin banyak ditujukan untuk menemukan senyawa kimia baru yang
berguna dalam pembuatan obat-obatan modern penyakit berbahaya, seperti obat
kanker. Hingga saat ini sebagian besar obat yang digunakan untuk obat kanker
masih diekstrak langsung dari tumbuhan karena belum bisa dibuat senyawa
sintetisnya atau biaya produksinya jauh lebih mahal dibanding ekstraksi langsung
dari tumbuhan. Selain untuk mengobati penyakit yang berkembang saat ini, tujuan
lain dari penelitian etnomedisin adalah untuk mencari senyawa baru yang
memiliki efek samping lebih kecil, timbulnya efek resisten dari obat yang sudah
ada, dan juga untuk antisipasi munculnya penyakit baru. Hal tersebut
mengakibatkan penelitian etnomedisin terus berkembang khusunya negara yang
kaya akan keanekaragaman hayati seperti Indonesia (Silalahi, 2016) 10 Di
Indonesia secara resmi penelitian etnobotani termasuk didalamnya etnomedisin
mulai berkembang sejak tahun 1983 dengan diresmikannya Museum Etnobotani
di Bogor (Walujo,2009), dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini.
Tidak dapat dipungkiri hal tersebut didukung dengan keragaman etnis maupun
keanekaragam hayati yang dimiliki Indonesia. Setiap penelitian memiliki fokus
yang berbeda beda meliputi temat penelitian, etnis, tahun, dan metode yang
digunakan. Penelitian etnomedisin sudah banyak dilakukan, namun masih
terkonsentrasi daerah pulau Jawa khusunya Kasepuhan maupun Baduy, dan
daerah Bali (Walujo, 2009). Penelitian etnomedisin di Bali dihubungkan dengan
lontar husodo (Suryadharma, 2005), dan loloh (Sujarwo et al., 2015) sedangkan
etnis Jawa dihubungkan dengan jamu. Walaupun Baroto (2009) menyatakan
bahwa penelitian terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali, namun berdasarkan

4
penelusuran saya terhadap literatur secara online terdata penelitian etnomedisin di
pulau Sumatera yaitu Minangkabau (Ardan et al., 1998), Rejang (Darnaedi 1999),
Melayu (Mahyar et al., 1991; Grosvenor et al., 1995; Rahayu et al., 2000; Susiarti
et al., 2008), Lahat (Harmida et al., 2011), Serampas (Hariyadi & Ticktin, 2012),
Batak (Silalahi, et al. 2013; Silalahi, 2014; Silalahi, et al., 2015a). Hingga saat ini
mungkin sudah ratusan bahkan ribuan penelitian tentang tumbuhan obat di
Indonesia, namun kompilasi sejalan dengan waktu belum ditemukan. Ristoja
(Riset Tumbuhan Obat dan Jamu) sejak tahun 2010 sudah mencoba
mengumpulkan dan mendokumentasikan secara menyeluruh sehingga kelak
ditemukan dokumentasi yang komprehensif tentang pemanfaatan tumbuhan obat
oleh berbagai etnis di Indonesia (Silalahi, 2016).

2.3. Pemanfaatan Etnomedisin

Beberapa peneliti juga sering melaporkan penemuan pemanfaatan jenis


tumbuhan obat yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Silalahi et al. (2015)
melaporkan bahwa Hoya sp. dan Dischidia sp. merupakan tanaman yang
dimanfaatkan oleh tumbuhan obat di pasar Kabanjahe Sumatera Utara sebagi obat
kanker. Pada saat penelitian dilakukan Hoya lebih dikenal sebagai tanaman hias
dibandingkan tanaman obat, namun berbeda halnya dengan masyarakat 11 lokal di
Sumatera Utara yang memanfaatkan untuk obat. Hal ini menunjukkan bahwa
masih banyak pengetahuan lokal pemanfaatan tumbuhan obat oleh etnis di
Indonesia belum terpublikasi dengan baik. Berdasarkan data yang ada, tumbuhan
obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal Indonesia mulai diteliti secara
ilmiah oleh Rumphius pada abad ke-19 (Kartawinata 2010; Walujo 2013). Sejak
saat itu, jumlah spesies tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat terus bertambah
sejalan dengan meningkatnya kegiatan penelitian. Heyne pada tahun 1927
mencatat tidak kurang dari 1.040 jenis tumbuhan di Indonesia bermanfaat sebagai
obat yang didokumentasikan pada buku Tumbuhan Bermanfaat Indonesia Jilid I-
IV. Jumlah tersebut terus meningkat sehingga pada buku Medical Herb in
Indonesia tercatat sekitar 7.000 spesies tumbuhan di Indonesia bermanfaat sebagai
obat (Walujo, 2013). Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat, secara tradisional telah
lama dilakukan oleh berbagai suku di seluruh In-donesia. Perbedaan adat dan
kebiasaan antar suku di Indonesia merupakan ke-kayaan budaya bangsa yang tak

5
ternilai harganya. Kondisi yang demikian juga dapat dicirikan dari keragaman
jenis tumbuhan yang digunakan, ramuan obat tradisional dan cara pengobatan-
nya. Pengetahuan tentang etnomedisin masyarakat antar suku dari ekologi yang
berbeda serta keragaman jenis tumbuhan yang digunakan oleh masing-masing
suku menarik untuk dikaji sehingga perlu ada upaya penggalian, sebagai dasar
untuk pengembangan etnomedisin ( Rosita SMD et al., 2007 ). Penelitian Jauhari
dkk tahun 2008 menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
masyarakat dalam pemanfaatan pengobatan alternatif. Beberapa faktor-faktor itu
antara lain faktor pengalaman, ekonomi, kebudayaan. Fenomena pengobatan
alternatif tersebut disebut etnomedisin. Etnomedisin adalah sebuah kepercayaan
dan praktekpraktek yang berkenaan dengan penyakit yang merupakan hasil dari
perkembangan kebudayaan asli, eksplisit dan tidak berasal dari kerangka
kedokteran modern (Anderson dan Foster, 1986). Pendokumentasian pemanfaatan
tumbuhan obat berpacu dengan waktu, karena terjadinya pemanenan sumberdaya
hayati maupun ekosistem hutan yang berlebihan (over eksploitasi) yang
berimplikasi terhadap hilangnya 12 keanekaragaman hayati. Dari 30.000 spesies
tumbuhan berbunga dan diperkirakan sekitar 60% yang telah dipertelakan secara
ilmiah. Hal tersebut menjadi tantangan bagi peneliti sebelum keaekaragaman
tersebut benar-benar hilang sepenuhnya. Kartawinata (2010) menyatakan bahwa
laju kehilangan spesies sejalan dengan laju kehilangan pengetahuan lokal. Di
antara banyaknya spesies tumbuhan bermanfaat obat, namun di Indonesia upaya
seleksi dan penangkaran seperti itu untuk tumbuhan obat belum pernah dikerjakan
(Rifai & Kartawinata 1991). Kartawinata (2010) menyatakan bahwa belum pernah
diterapkan upaya penangkaran untuk menghasilkan tumbuhan obat bermutu tinggi
dengan sifat-sifat yang diinginkan seperti kandungan farmakologi kuat,
produktivitas tinggi dan kandungan abu rendah.

2.4. Jenis Etnomedisin

Fenomena pengobatan alternatif tersebut disebut etnomedisin. Etnomedisin adalah


sebuah kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit yang
merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli, eksplisit dan tidak berasal
dari kerangka kedokteran modern (Anderson dan Foster, 1986). Anderson dan
Foster membagi jenis etnomedisin menjadi dua jenis yaitu sistem personalistik

6
dan sistem naturalistik. Sistem personalistik merupakan suatu sistem dimana
penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu gen yang aktif. Gen yang
aktif yang dimaksud berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa),
makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun
makhluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Sementara sistem
naturalistik, mengakui adanya model keseimbangan dalam tubuh manusia. Sehat
terjadi jika unsur-unsur yang ada dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh,
yin dan yang, berada dalam keadaan seimbang (Anderson dan Foster, 1986)

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami


peningkatan tekanan darah diatas normal yang ditunjukkan oleh angka systolic
(bagian atas) dan diastolik (angka bawah) pada pemeriksaan tensi darah
menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa cuff air raksa
(sphygmomanometer) atau alat digital lainnya (Irwan, 2016).

Penyakit hipertensi merupakan the silent disease karena orang tidak


mengetahui dirinya terkena hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.
Apabila terjadi hipertensi secara terus menerus dapat memicu terjadinya stroke,
serangan jantung, gagal jantung, dan merupakan penyebab utama gagal ginjal
kronik (Rudianto (2013) dalam Rachmawati, 2013). Penyakit kardiovaskuler di
seluruh dunia menyebabkan sekitar 17 juta kematian per tahun, hampir sepertiga
dari total. Dari jumlah tersebut komplikasi hipertensi mencapai 9,4 juta kematian
di seluruh dunia tiap tahun, 45 % kematian akibat penyakit jantung dan 51 %
kematian akibat stroke (WHO, 2013). Prevalensi hipertensi akan terus meningkat
tajam dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang dewasa di seluruh
dunia terkena hipertensi. Hipertensi telah mengakibatkan kematian sekitar 8 juta
orang setiap tahun, dimana 1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara yang 1/3
populasinya menderita hipertensi (Kemenkes RI, 2013). Di Indonesia, prevalensi
hipertensi cukup tinggi. Menurut National Basic Health Survey 2013, prevalensi
hipertensi pada kelompok usia 15-24 tahun adalah 8,7 persen, pada kelompok usia
25-34 tahun adalah 14,7 persen, 35-44 tahun 24,8 persen, 45-54 tahun 35,6
persen, 55-64 tahun 45,9 persen, 65-74 tahun 57,6 persen, dan lebih dari 75 tahun
adalah 63,8 persen (Kartika, 2014). Dengan menggunakan unit analisis individu
menunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk Indonesia menderita

7
penyakit hipertensi. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa
maka terdapat 65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi. Suatu kondisi yang
cukup mengejutkan (Kemenkes RI, 2013). Secara garis besar pengobatan
hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu: pengobatan non-obat (non-farmakologis) dan
pengobatan dengan obat medis (Setiawan, 2008). Menurut beberapa ahli,
pengobatan non-farmakologis sama penting dengan pengobatan farmakologis, dan
bahkan akan lebih menguntungkan terutama bagi penderita hipertensi ringan.
Pada penderita hipertensi ringan, pengobatan non-farmakologis kadang dapat
mengendalikan atau menurunkan tekanan darah sehingga pengobatan secara
farmakologis tidak diperlukan atau sekurangnya ditunda. Namun pada kondisi
ketika obat antihipertensi sangat diperlukan, maka pengobatan non-farmakologis
dapat dijadikan sebagai pelengkap sehingga menghasilkan efek pengobatan yang
lebih baik (Junaedi (2013) dalam Mohanis, 2015).

Bawang putih merupakan anggota bawang-bawangan yang paling populer


di dunia. Jenis umbi yang memiliki nama ilmiah Allium sativum linn ini
merupakan keturunan bawang liar allium longicurpis regel, yang tumbuh di Asia
Tengah yang beriklim sub tropis. Pada tahun 1921, de Bray dan Loeper telah
membuktikan khasiat bawang putih untuk pengobatan hipertensi (Astawan, 2016).
Senyawa alisin dalam bawang putih berkhasiat menghancurkan pembentukan
pembekuan darah dalam arteri, mengurangi gejala diabetes dan mengurangi
tekanan darah (Andareto, 2015). Menurut penelitian Mohanis (2015) ada
perbedaan yang signifikan tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum dan
sesudah pemberian seduhan bawang putih. Setelah dilakukan studi pendahuluan di
Desa Sambirejo RT 19 RW 03 Sambi, Boyolali, berdasarkan data yang diperoleh
dari Puskesmas Sambi II terdapat 17 orang yang menderita hipertensi. Sebagian
besar masyarakat yang mengalami hipertensi tidak mengetahui bahwa tekanan
darah mereka tinggi, mereka juga tidak mengetahui komplikasi yang disebabkan
dari darah tinggi. Masyarakat belum mengetahui jika pemberian air seduhan
bawang putih bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah. Berdasarkan latar
belakang permasalahan diatas, penulis tertarik mengaplikasikan judul “Manfaat
Air Seduhan Bawang Putih Terhadap Penurunan Hipertensi”.

8
Populasi yaitu penderita hipertensi di Dukuh Sambirejo RT 19 RW 03 Sambi ,
boyolali. Berdasarkan data yang diperoleh dari puskesmas didapatkan jumlah
hipertensi sebanyak 17 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah orang yang
menderita hipertensi di dukuh sambirejo RT19 RW 03 Sambi,Boyolali sejumlah
15 orang. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi . settelah diseleksi
sampel yang memenuhi berjumlah 15 orang.

1) Kriteria Inklusi
a) Penderita hipertensi ringan (140/90 mmHg) atau lebih
b) Penderita hipertensi tanpa penyakit penyerta
c) Bersedia menjadi responden

2) Kriteria eksklusi

a) Pasien yang tidak suka bawang putih


b) Pasien yang alergi bawang putih
c) Tidak bersedia menjadi responden

Pemberian air seduhan bawang putih ini, responden mengalami penurunan


tekanan darah sistol maupun diastol dalam waktu 7 hari. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa dari 15 responden tekanan darah sistol, semua responden
mengalami penurunan yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
tekanan darah diastol antara sebelum dan sesudah pemberian perlakuan dengan
mengkonsumsi air seduhan bawang putih.

Ketika bawang putih dimemarkan atau dihaluskan, zat aliin yang


sebenarnya tidak berbau akan terurai. Dengan dorongan enzim alinase, aliin
terpecah menjadi alisin, amonia, dan asam piruvat. Bau tajam alisin disebabkan
karena kandungan zat belerang. Aroma khas ini bertambah menyengat ketika zat
belerang dalam alisin diterbangkan ammonia ke udara, sebab ammonia mudah
menguap (Andareto, 2015). Senyawa alisin dalam bawang putih berkhasiat
menghancurkan pembentukan pembekuan darah dalam arteri, mengurangi gejala
diabetes dan mengurangi tekanan darah. Bawang putih juga mengandung zat
alisin dan hidrogen sulfida. Zat tersebut memiliki efek selayaknya obat darah
tinggi, yakni memperbesar pembuluh darah dan membuat pembuluh darah tidak

9
kaku sehingga tekanan darah akan turun. Kemampuan bawang putih untuk secara
signifikan mengurangi risiko hipertensi dapat dikaitkan dengan kehadiran zat aktif
yang dikenal sebagai allicin dan sulfida. Allicin merupakan zat yang bekerja
untuk merelaksasi pembuluh darah, mengurangi tekanan apa pun, dan kerusakan
yang mempengaruhi darah (Junaedi, 2013 dalam Mohanis). Berdasarkan uraian
diatas maka hipotesis yang menyatakan ada pengaruh pemberian air seduhan
bawang putih terhadap penurunan hipertensi diterima.

Hasil penelitian diketahui bahwa responden dengan usia 65-74 tahun dan
usia >75 tahun (40%) merupakan usia yang paling banyak menderita hipertensi.
Tekanan darah tinggi sangat sering terjadi pada orang berusia lebih dari 60 tahun
karena tekanan darah secara alami cenderung meningkat seiring bertambahnya
usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah didalam tubuh yang
mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon (Triyanto, 2014). Dari hasil
penelitian pada usia 45-54 tahun penurunan tekanan darah selisih rata-rata sistol
20 dan diastol 20, usia 55-64 tahun penurunan tekanan darah selisih rata-rata
sistol 30 dan diastol 12,05, usia 65-74 tahun penurunan tekanan darah selisih rata-
rata sistol 25 dan diastol 26,16, usia >75 tahun penurunan tekanan darah selisih
rata-rata sistol 33,03 dan diastol 27,05. Sehingga usia >75 tahun menunjukkan
penurunan tekanan darah paling efektif yaitu dengan selisih rata-rata sistol sebesar
33,03 dan selisih rata-rata diastol sebesar 27,05. Berdasarkan penelitian, di usia
>75 tahun mereka mengatakan puas dengan keadaanya saat ini dan mendapat
dukungan keluarga terhadap kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun
kebutuhan psikologis. Hasil penelitian didapatkan bahwa responden dengan jenis
kelamin perempuan (86.7%) lebih tinggi dari jenis kelamin laki-laki (13.3%).

10
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah dilakukan pada 15 penderita hipertensi dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a) Karakteristik responden penderita hipertensi mayoritas dengan jenis kelamin
perempuan (86.7%), usia mayoritas 65-74 tahun dan usia >75 tahun (40%),
pendidikan mayoritas sekolah dasar (60%) dan pekerjaan mayoritas adalah
tani (66%).
b) Nilai rata-rata sistol 173.33 dan setelah pemberian perlakuan dengan
mengkonsumsi air seduhan bawang putih didapatkan nilai rata-rata sistol
145.33. Pada usia >75 menunjukkan penurunan tekanan darah paling efektif
yaitu dengan selisih rata-rata sistol sebesar 33,03 dan jenis kelamin
perempuan menunjukkan penurunan tekanan darah paling efektif
dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki yaitu dengan selisih rata-rata
sistol sebesar 28,85.
c) Nilai rata-rata diastol 102.67 dan setelah pemberian perlakuan dengan
mengkonsumsi air seduhan bawang putih didapatkan nilai rata-rata diastol
77.67. Pada usia >75 menunjukkan penurunan tekanan darah paling efektif
yaitu dengan selisih rata-rata diastol sebesar 27,05. dan jenis kelamin
perempuan menunjukkan penurunan tekanan darah paling efektif
dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki yaitu dengan selisih rata-rata
diastol sebesar 26,15.

11
DAFTAR PUSTAKA

Astawan, Made. (2016). Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur. Jakarta:
Kompas Media Nusantara.

Kemenkes RI. (2013). Pedoman Teknis Pene-muan dan Tatalaksana Hipertensi.


Online http://perpustakaan.depkes.
go.id:8180/bitstream/123456789/2139/2/BK20 13-328.pdf. Diakses
Tanggal 29 Oktober 2017.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metode Peneli-tian. Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Triyanto, Endang. (2014). Pelayanan Kepera-watan bagi Penderita Hipertensi


Secara Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kartika, Unoviana. 7 Maret 2014. Hipertensi Bukan Sekedar Tekanan


DarahTinggi. Kompas. Online
http://lifestyle.kompas.com/read/2014/03/07/1706102/Hipertens
i.Bukan.Sekadar.Tekanan.Darah.Tinggi. Diakses Tanggal 29 Oktober
2017.

Amagase, H., B.L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga, dan Y. Itakura. 2001. Intake
of Garlic and Its Bioactive Components. The Journal of Nutrition
131:955S-962S

Amagase, Harunobu. 2006. Clarifying the Real Bioactive Constituents of Garlic.


The Journal of Nutrition 136: 716S-725S.

El-Bayoumy, K., R. Sinha, J.T. Pinto, dan R.S. Rivlin. 2006. Cancer
Chemoprevention by Garlic and Garlic-Containing Sulfur and Selenium
Compounds. The Journal of Nutrition 136: 864S-869S.

Hansel, R. 1991. Phytopharmaka (Grundlagen und. Praxis). Berlin: Spinger


Verlag. Halaman 192-198.

12
Kasuga, S., N. Uda, E. Kyo, M. Ushijima, M. Morihara, dan Y. Itakura. 2001.
Pharmacologic Activities of Aged Garlic Extract in Comparison with
Other Garlic Preparation. The Journal of Nutrition 131: 1080S-1084S.

Reddy B.S., C.V. Rao, A. Rivenson, G. Kelloff. 1993. Chemoprevention of colon


carcinogenesis by organosulfur compounds. Cancer Research 53:3493–
3498.

Shirin, H., J.T. Pinto, Y Kawabata, J.W Soh, T. Dolohery, S.F. Moss, V. Murty,
R.S.Rivlin, P.R.Holt, dan I.B. Weinstein. 2001. Antiproliferative Effect of
S-Allylmercaptocysteine on Collon Cancer Cells When Tested Alone or in
Combination with Sulindac Sulfide. Cancer Research 61:725-731.

Sudarsono, A. Pudjoarinto, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, M. Dradjad,


S. Wibowo dan Ngatidjan. 2006. Tumbuhan Obat 1. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada.

Wargovich M.J. 2006. Diallylsulfide and Allylmethylsulfide Are Uniqely


Effective among Organosulfur Compounds in Inhibiting CYP2E1 Protein
in Animal Models. The Journal of Nutrition 136: 832S-834S.

Yang, C.S., S.K. Chhabra, J.Y. Hong dan T.J. Smith. 2001. Mechanism of
Inhibition of Chemical Toxicity and Carcinogenesis by Diallyl Sulfide
(Das) and Related Compounds from Garlic. The Journal of Nutrition 131:
1041S- 1045S.

13

Anda mungkin juga menyukai