Anda di halaman 1dari 5

Pola Pendidikan Nilai Di Sekolah

Oleh: Teguh Setiawan


Proses pembangunan yang sedang kita laksanakan berhadapan dengan era
yang jauh berbeda dengan era sebelumnya. Saat ini kita berhadapan dengan
dua era, yaitu era reformasi dan era globalisasi. Era reformasi merupakan era
baru dalam sejarah berdirinya republik ini. Era pengganti Orde Baru ini
berusaha menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran yang
selama ini banyak dinodai dan disalahtafsirkan untuk kepentingan pribadi
atau golongan.
Akibat kurang ditegakkannya nilai-nilai hakiki tersebut bangsa ini
mengalami krisis di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi dan sosial.
Korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kebijakan yang kurang memihak pada
kebenaran merupakan perilaku yang banyak dilakukan sebagian besar
golongan masyarakat yang telah dianggap sebagai panutan. Padahal mereka
selama ini dianggap sebagai sumber daya manusia yang kita andalkan untuk
mengelola kekayaan negara dan menjalankan roda pemerintahan. Namun
pengakuan itu menjadi terbalik ketika kekuatan menegakkan nilai-nilai
kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Karena itu bangsa ini pun tidak ingin memilih dan mempunyai sumber daya
manusia yang dipercaya untuk mengelola kekayaan negara dan menjalankan
roda pemerintahan tetapi masih memiliki perilaku menyimpang dari apa yang
ingin diperjuangkan dalam era reformasi.
Sementara itu pada waktu yang bersamaan dengan usaha menegakkan nilai-
nilai kebenaran, kita juga berhadapan dengan era globalisasi. Yaitu, suatu era
ketika dunia terasa semakin kecil, dunia tanpa tapal batas. Melalui
kecanggihan teknologi transportasi dan komunikasi masyarakat suatu bangsa
berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain tanpa dapat
dibendung oleh batas-batas administrasi kenegaraan.
Hal ini memungkinkan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai dan
budaya bangsa Indonesia masuk. Selain itu era ini juga ditandai dengan
industrialisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat
pesat. Ini memerlukan kemampuan dan daya nalar setiap individu lebih
meningkat, demikian pula kemampuan daya serap terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin dititikberatkan pada antisipasi di masa
depan.
Untuk itu diperlukan pengembangan sumber daya manusia ini yang
diarahkan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap
memelihara dan berpegang pada nilai hakiki dan budaya bangsa. Tantangan
ini membuat keadaan kita memang tidak menguntungkan. Di saat bangsa ini
harus mempertegas nilai-nilai pribadi yang hakiki berkaitan dengan
masuknya berbagai nilai baru akibat globalisasi, bangsa ini mengalami krisis
nilai. Apabila tidak ada pembenahan, perilaku yang pernah terjadi marak
pada zaman Orde Baru akan terulang lagi. Untuk itu diperlukan pendidikan

1
nilai yang lebih menyentuh agar dapat terinternalisasi pada diri setiap warga
bangsa.
Menjaga Nilai-nilai
Berdasarkan uraian tersebut sumber daya manusia sebagai pelaku
pembangunan merupakan unsur yang sangat strategis bagi maju mundurnya
negara dan bangsa ini. Karena itu diperlukan sumber daya manusia yang
tidak hanya memiliki kualitas dan kemampuan berdaya saing global, tetapi
juga harus mampu menjaga nilai-nilai dan budaya bangsa di saat mereka
harus beradaptasi dengan peradaban yang semakin maju dan modern.
Apabila tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mempertahankan nilai
dan budaya bangsa, tidak menutup kemungkinan identitas dan jati diri bangsa
Indonesia akan kabur.
Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa kehancuran dan kepunahan
suatu bangsa selalu didahului oleh hancurnya nilai dan budaya bangsa yang
bersangkutan. Konsekuensi tersebut mengingatkan bahwa era globalisasi
yang ditandai dengan revolusi industri ini menciptakan sistem sosial dengan
teknologi yang menakjubkan, namun ekses industrialisasi mengubah juga
sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang tidak jarang keluar dari
falsafah hidup bangsa.
Selain itu globalisasi juga sangat berperan dalam memacu transformasi
kehidupan manusia yang mendasar. Arus informasi dan komunikasi semakin
mengglobalkan nilai-nilai budaya yang berlangsung sangat intensif serta
menjurus ke arah nilai budaya universal di atas nilai-nilai budaya tradisional.
Perubahan dan pergeseran tata nilai dalam masyarakat berlangsung cepat dan
tidak terduga. Hubungan antara manusia bukan lagi berdasarkan sambung
rasa tetapi berdasarkan hubungan industrial, keuntungan material serta status
sosial semakin mendesak perikemanusiaan, solidaritas, kegotongroyongan.
Demikian juga dengan dekadensi moral sudah menjadi hal yang biasa dan
nilai-nilai tradisional yang patut dipertahankan sebagai ciri bangsa yang
beradab mulai runtuh dan diganti dengan nilai-nilai pragmatis dan
materialistis, termasuk kepatuhan pada ajaran agama mulai luntur. Bahkan,
cita-cita membebaskan diri dari serba keterbelakangan di satu pihak dan
maju di berbagai bidang, sering kali memperlihatkan wajah yang terlalu
ambisius dan hal itu memberi peluang besar untuk tumbuh suburnya perilaku
yang jauh dari kepribadian bangsa Indonesia.
Dalam kondisi demikian hanya ada satu kunci untuk menghadapinya. Yaitu,
ikut serta dalam arus perubahan menuju modernisasi, tanpa harus terlarut di
dalamnya dan kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa yang berkepribadian
luhur. Untuk itu perlu pendidikan nilai guna mempersiapkan sumber daya
manusia yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga memiliki keselarasan
hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia dan
alam sekitar dan memiliki kemantapan kehidupan lahiriah dan batiniah,
berjiwa dinamis serta memiliki semangat gotong royong yang senantiasa

2
berkembang sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional
dan kemajuan bangsa dan negara.
Institusi yang paling cocok untuk menyiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas sekaligus memiliki kemantapan dan kemampuan untuk
mempertahankan dan mengaplikasikan nilai-nilai dan budaya bangsa seperti
yang diharapkan adalah lembaga pendidikan (baca: sekolah dan kampus).
Pendidikan Nilai
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan berperanan sangat penting dan
strategis untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa
yang bersangkutan. Dalam hal ini pendidikan secara sosio-antropologis
merupakan transformasi seleksi dan pengembangan nilai-nilai sosial-budaya
dari generasi satu ke generasi berikutnya. Karena itu, pendidikan nilai
berperan sebagai acuan dan alur transformasi kebudayaan nasional.
Selanjutnya pendidikan nilai berperan memberikan karakteristik umum
kepada keanekaragaman norma, adat istiadat, etnis dan budaya lokal yang
menjadi akar budaya nasional tersebut. Dengan demikian, diharapkan
pendidikan nilai mampu menyerap sains dan teknologi tinggi dalam
mengikuti arus globalisasi, sekaligus mempertahankan dan mengembangkan
nilai-nilai kepribadian Indonesia.
Dalam hubungan ini lembaga pendidikan merupakan ''pintu keluar'' orang-
orang yang diharapkan dapat memajukan bangsa ini. Lembaga pendidikan,
baik pendidikan tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi harus
mampu mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik.
Mengingat lembaga inilah yang nantinya menggodok dan menghasilkan
manusia-manusia yang diandalkan bangsa dan negara untuk membangun dan
memajukan bangsa dan negara ini.
Dengan penginternalisasian nilai-nilai luhur bangsa diharapkan lembaga
pendidikan mampu melahirkan tenaga-tenaga profesional punya semangat
dan gerakan produktif dan konstruktif serta punya kepekaan tinggi terhadap
segala perubahan yang dihadapi di tengah masyarakat dalam era
pembangunan, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa sebagai
ciri kepribadian bangsa Indonesia. Fungsi lembaga pendidikan dituntut lebih
efektif saat ini, terutama saat era globalisasi. Karena, era globalisasi
menghasilkan titik temu antara berbagai ragam budaya dunia (multi cultural),
sekaligus memberi peluang untuk mengembangkan dan memperkaya
khasanah nilai-nilai dan kebudayaan. Karena itu, lembaga pendidikan harus
memberi bekal kepada peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan berbagai
kemampuan untuk menyaring nilai-nilai baru yang bermanfaat untuk
dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan.
Pola Pendidikan
Pola pendidikan nilai dan budaya bangsa di lembaga pendidikan dari tingkat
dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi selama Orde Baru dilakukan
dengan cara penataran-penataran. Sebagai contoh penataran P4 yang pada

3
masa Orde Baru dipandang cukup ''ampuh'' untuk mentransfer dan
menanamkan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik.
Cara demikian memang tidak dapat disangkal akan memasyarakatkan nilai-
nilai luhur. Namun demikian tidak menutup kemungkinan nilai-nilai luhur itu
hanya sekadar dipahami dan dimengerti peserta didik. Tindakan nyata atau
sikap nyata atas persetujuan terhadap nilai-nilai yang dipahami belumlah
secara total diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Barangkali dapat kita hitung dengan jari berapa persen yang mampu untuk
mengamalkan nilai-nilai luhur secara murni dan konsekuen. Paling tidak
tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu marak dilakukan orang-
orang yang selalu mendengungkan nilai-nilai kebenaran
Pancasila dan berbagai sikap dan perilaku sebagian masyarakat kita yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral, seperti penjarahan, perampokan, dan
pembakaran. Itu semua merupakan fakta nilai-nilai yang selama ini diajarkan
belum terinternalisasikan. Kenyataan ini boleh jadi merupakan indikator
kegagalan strategi penanaman nilai-nilai luhur bangsa dengan penataran
kepada peserta didik sebagai generasi muda yang akan mengantarkan bangsa
dan negara ini menuju kemajuan dan kemandirian.
Kegagalan ini tidak hanya karena strategi penanaman nilai yang cenderung
mendoktrin, tetapi juga karena jurang pemisah antara nilai-nilai yang
diajarkan dengan kenyataan dan berbagai perilaku dalam kehidupan yang
menyimpang. Akibatnya nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan diaplikasikan
dalam kehidupan hanya menjadi impian. Untuk itu perlu pola baru dalam
pendidikan nilai. Dalam hubungan itu ada dua pola pendidikan nilai yang
dapat dikembangkan.
Pertama, pendidikan nilai berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Dengan
pola ini peserta didik diberi kesempatan menggunakan pengalamannya untuk
menafsirkan nilai-nilai yang diajarkan. Selanjutnya mereka dibawa pada
kenyataan hidup, misalnya ke tempat-tempat permukiman kumuh, ke
pengadilan untuk melihat proses keadilan dalam hukum, ke panti asuhan dan
lain-lain.
Dalam pola ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengritik hal-hal yang
menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan.
Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran untuk mempertahankan dan
memperjuangkan tegaknya nilai-nilai luhur bangsa.
Kedua, penanaman nilai-nilai luhur melalui semua mata pelajaran atau mata
kuliah. Artinya pendidikan nilai tidak harus dieksplisitkan sebagai mata
kuliah atau mata pelajaran khusus tetapi dapat secara implisit pada semua
mata kuliah, bahkan pada semua mata pelajaran atau bidang ilmu.
Hal ini penting mengingat bahwa semua mata pelajaran atau mata kuliah baik
itu yang terkait dengan ilmu eksakta seperti matematika, biologi, fisika,
kimia atau ilmu sosial seperti ekonomi, pemerintahan, jurnalistik, maupun
yang terkait dengan ilmu-ilmu humaniora seperti kesusastraan dan bahasa
tidak akan terlepas dengan nilai yang kaitannya dengan kehidupan manusia.

4
Seorang pengajar pada saat mentransfer ilmu harus tetap mempertemukan
antara arah ilmu yang dipelajari peserta didik dengan nilai-nilai kepribadian
bangsa. Dengan demikian peserta didik selalu dikenalkan dan dibiasakan
dengan nilai kemanusiaan yang terkandung di dalam ilmu itu. Sehingga, baik
secara kognitif dan afektif mereka memperoleh pendidikan nilai melalui
berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang dipelajari.
Karena itu, mereka diharapkan menjadi peserta didik dan generasi penerus
bangsa yang tidak hanya mampu menguasai berbagai bidang ilmu
pengetahuan sebagai modal untuk berkompetisi global, tetapi juga memiliki
kemampuan untuk menjaga nilai dan menggunakan ilmunya dengan tetap
sejalan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia, sehingga bangsa
Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang tanpa harus
melepaskan jati diri sebagai bangsa Indonesia. ***
Penulis adalah staf pengajar FPBS IKIP Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai