Anda di halaman 1dari 5

I.

Teori Dasar
Suspensi merupakan sediaan larutan yang mengandung partikel obat yang
terbagi secara halus (dikenal sebagai suspensoid) tersebarkan secara merata
dalam pembawa dimana obat menunjukkan kelarutan yang sangat minimum.
Karakteristik sediaan suspensi diantaranya adalah mengendap secara lambat
dan dapat dilakukan redispersi dengan pengocokan (Ansel, 2008).
Tujuan bentuk sediaan suspensi diformulasikan karena terdapat beberapa
zat aktif obat dengan kelarutan yang praktis tidak larut dalam air, akan tetapi
diperlukan dalam bentuk cair untuk memudahkan dikonsumsi oleh pasien yang
mengalami kesulitan untuk menelan, mudah diberikan pada anak-anak, serta
untuk menutupi rasa pahit atau aroma yang tidak enak dari zat aktif obat. Selain
itu, bentuk sediaan suspensi diformulasikan dengan pertimbangan karena air
merupakan pelarut yang paling aman bagi manusia. Oleh karena itu, air
digunakan sebagai medium pembawa pada sebagian besar sediaan suspensi.
Walaupun terdapat beberapa zat aktif obat memiliki kelarutan buruk dalam air,
zat aktif obat tetap dapat dibuat ke dalam bentuk sediaan cair/liquida dengan
adanya bantuan suspending agent (Suena, 2015).
Kelebihan dari sediaan suspensi adalah disintegrasi dan kelarutannya
yang lebih baik dibandingkan dalam bentuk sediaan tablet. Suspensi yang
beredar di pasaran umumnya adalah antabiotik, analgesik, dan antasida.
Mayoritas obat dalam bentuk suspensi oral telah terkenal di pasaran, untuk
menanggulangi masalah pengenceran yang kurang tepat dan kekeliruan pada
label (Ahmed dan Asgar, 2010).
Kerugian suspensi antara lain tidak praktis untuk dibawa dibandingkan
dengan sediaan solid dan semisolid, keseragaman dosis kurang akurat
dibandingkan sediaan tablet, terjadi sedimentasi karena zat tak terlarut, sebelum
diminum sediaansuspensi harus dikocok terlebih dahulu, pada masa
penyimpanan dapat terjadi ketidakstabilan emulsi, kestabilan yang rendah akan
menyebabkan pertumbuhan kristal, degradasi dan lain-lain (Ahmed dan Asgar,
2010).
Pada sediaan suspensi penggunaan pewarna dan perasa bertujuaan agar
mendapatkan sediaan suspensi yang memiliki warna yang menarik dan
menutupi rasayang tidak enak pada sediaan suspensi (Voigt, 2010).
Suspensi yang ideal adalah suspensi yang memenuhi persyaratan.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), persyaratan suspensi adalah:
1. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh mengendap
2. Jika dikocok secara perlahan, endapan dapat terdispersi kembali dengan
cepat
3. Mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi
4. Kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sedimen mudah
dikocok dan dituang
Tanaman jati belanda merupakan tanaman berasal dari Amerika yang
memiliki iklim tropis, selanjutnya dibawa ke Indonesia oleh Portugis du daerah
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di pulau jawa, jati belanda tumbuh secara liar
dan daerah penyebarannya di dataran rendah hingga 800 m diatas permukaan
laut (Sulaksana dan Dadang, 2005).
Didalam daun jati belanda juga terkandung senyawa lain yaitu alkaloid,
damar, flavonoid, saponin, fenol, steroid, triterpen dan glikosida sianogenik. Di
dalam buahnya terkandung alkaloid, saponin, 7 terpenoid dan glikosida jantung.
Bunga jati belanda mengandung kuersetin, kaemferitin, dan kaemfenol
(Kemenkes RI, 2011)
Tanaman ini tumbuh dengan biji, dapat juga dengan stek tunas berakar.
Perbanyakan tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia L.) dilakukan dengan
biji. Tanaman ini dirawat dengan disiram dengan air, dijaga kelembapan
tanahnya, dan dipupuk dengan pupuk organik. Tanaman ini menghendaki
tempat yang terbuka dengan cukup sinar matahari (Arief, 2005).
Daun jati belanda memiliki rasa agak kelat karena di dalamnya terkandung
tannin. Tanin ini merupakan golongan senyawa polifenol yang memiliki berat
molekul yang cukup besar, dan bisa membentuk molekul kompleks dengan
protein. (Utomo, 2008).
Tanin yang terdapat dalam daun jati belanda berfungsi sebagai astringen
dan zat yang bisa mengendapkan protein makanan yang terdapat di dalam
mukosa usus sehingga lapisan ini akan sulit untuk ditembus protein makanan,
oleh karena itu kadar lemak yang masuk ke dalam tubuh dapat dikurangi.
Khasiat dari daun jati belanda banyak dimanfaatkan sebagai antikolesterol
(Jasaputra, 2011).
Secara Empiris, Guazuma ulmifolia L. berkhasiat sebagai pelangsing
(Suharmiati dan Herti, 2003). Telah dibuktikan melalui uji praklinik,
diantaranya telah dilakukan penelitian dengan cara ekstrak daun jati belanda
yang diberikan secara oral dengan konsentrasi 15% dan 30% dibuktikan dapat
menurunkan kadar kolesterol total serum kelinci. Pemberian ekstrak daun jati
belanda dengan konsentrasi yang semakin meningkat dapat menyebabkan
penurunan kadar kolesterol total serum kelinci (Monica, 2000). Selain itu telah
dilakukan juga uji klinik, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, daun jati
belanda dapat meningkatkan aktivitas in vitro enzim lipase yang memiliki
fungsi menghidrolisis lemak setelah mengalami emulsifikasi (Joshita D, 2000).
Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) merupakan tumbuhan dari
familia Sterculiaceae dan kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dari
familia Malvaceae memiliki aktivitas sebagai antihiperlipidemia atau
antihiperkolesterol. Kandungan flavonoid yang terdapat dalam daun jati
belanda ini mampu menghambat HMG CoA reduktase dan kelopak bunga
rosella sebagai inhibitor lipase pankreas yaitu akan menurunkan penyerapan
dan pencernaan lipid makanan. Dengan dilakukan kombinasi ekstrak daun jati
belanda dan kelopak bunga rosella diharapkan dapat menimbulkan efek sinergis
dalam menurunkan kolesterol. Namun, perlu diketahui juga toksisitas dari
kombinasi tersebut (Sari, 2013).
Daftar Pustaka

Ahmed, Aejaz dan Asgar Ali. 2012. Formulation and In-vitro Evaluation of Readyuse
Suspension of Ampicilin Trihydrate. International Journal of Applied
Pharmaceutics. Vol 2(3).
Arief, H. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta : Penebar Swadaya.
Ansel, H.C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim. Edisi Keempat. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.
Jasaputra, D.K. 2011. Herbal Medicine For Obesity. Jurnal Medica Planta. Hal. 84-
85, 90-91
Joshita, D., dkk. 2000. Pengaruh Daun Jati Belanda Terhadap Kerja Enzim Lipase
secara In Vitro. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 6 No. 2, Halaman 6-8.
Kemenkes RI. 2011. Formularium Obat Herbal Asli Indonesia. Volume I. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. Hal. 64-67.
Monica, W. S., dan Farida. 2000. Pengaruh Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.) Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Kelinci. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.6 No.2, Halaman: 12-23.
Sari IP, Nurrochmad A, Setiawan IM. 2013. Indonesian herbals reduce cholesterol
Levels in diet induced hypercholesterolemia through lipase inhibition. Malay
J Pharm Sci. Vol. 1(1): 13–20.
Suena, Ni Made Dharma Shantini. 2015. Evaluasi Fisik Sediaan Suspensi dengan
Kombinasi Suspending Agent PGA (Pulvis Gummi Arabici) dan CMC-Na
(Carboxymethylcellulosum Natrium). Medicamento Vol. 1 (1): 32 - 39.
Sulaksana, Jaka. dan Jayusman, Dadang Iskandar. 2005. Kemuning dan Jati Belanda.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Suharmiati dan Herti M. 2003. Khasiat dan Manfaat Jati Belanda Si Pelangsing
Tubuh dan Peluruh Kolesterol. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Utomo, A.W. 2008. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Alkohol Daun Jati Belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk.) Pada Tikus Wistar. Artikel Karya Tulis Ilmiah.
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Hal. 2-15.

Anda mungkin juga menyukai