PERPAJAKAN
“ANALISIS KASUS PAJAK PT. PERTAMINA ”
Dosen pengampu : ANDRE PRASETYA WILIAM, S.E, M.M
Disusun :
Puji serta syukur mari kita panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, karena atas seizinnya
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan lancar, meskipun banyak hal-
hal yang tidak dapat saya sampaikan.Materi yang terdapat dalam makalah ini disajikan
dengan bahasa yang lugas sehingga mudah dipahami oleh para mahasiswa dan dapat
mendukung interaks ikhususnya antara saya dan dosen pengajar mengenai pembuatan
makalah ini.Walaupun demikian, saya sangat sadar bahwa kerja keras saya masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran sangat diperlukan agar saya dapat menghasilkan karya yang
lebih baik di masa yang akan datang.Demikian yang dapat saya uraikan mengenai hasil
makalah, tidak lupa saya ucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua puhak
yang telah membantu dalam pengerjaan makalah ini. Mudah- mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Agatha Apriyanti
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kasus Perpajakan Pt. Pertamina
2.2 Analisis Kasus Pajak
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan
(wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Mengingat pajak
adalah beban yang akan mengurangi laba bersih perusahaan maka perusahaan akan berupaya
semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk
menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara
yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari. Penghindaran pajak dengan
cara ilegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan
yang berlaku.
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber lain.
Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus
dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi
penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan
Republik Indonesia.
Dalam hal ini, makalah ini akan membahas tentang kasus pajak yang dilakukan oleh
PT. Pertamina. Kasus ini merupakan kasus penunggakan pajak oleh PT. Pertamina (Persero),
dimana seperti dilansir dalam portal berita vivanews.com, perusahaan ini telah menunggak
pajak sebesar Rp 4,3 Triliun. Seperti diungkapkan oleh Anggota Komisi XI Murady
Darmansyah mengungkap perihal tunggakan pajak PT Pertamina sebesar Rp 4,3 triliun
kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Walaupun tidak dijelaskan secara rinci mengenai
jumlah tersebut, saya mencoba untuk menganilis dari segi hukum pajak tentang apa yang
pokok permasalahan dalam kasus ini. Perlu diketahui bahwa tunggakan pajak tersebut
merupakan tunggakan pajak yang belum kadaluwarsa. Jadi penyelesaiannya kasusnya dapat
segera diselesaikan.
Dalam artikel ini juga menyebutkan perusahaan-perusahaan lain yang terlibat kasus
yang sama mengenai penunggakan pembayaran pajak. Ditjen pajak mengatakan bahwa
terdapat 100 perusahaan yang terlibat penunggakan pajak, 12 di antaranya merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan tersebut banyak yang merasa telah membayar
pajak. Namun kenyataan di lapangan, perusahaan-perusahaan tersebut belum menuntaskan 2
pembayaran pajaknya. Salah satu perusahaan yang menjadi fokus permasalahan dalam
analisis kasus ini adalah PT. Pertamina (Persero). Sebagaimana dijelaskan diatas
penunggakan pajak menjadi suatu permasalahan yang serius. Dengan demikian terdapat
kewajiban bagi yang bersangkutan untuk melunaskannya. Kami berusaha menganalisis kasus
penunggakan pajak ini dalam perspektif hukum pajak.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka ada 3 tujuan penulis dalam membuat
makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan memahami kasus pajak PT. Pertamina
2. Untuk mengetahui analisis kasus pajak PT. Pertamina
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kasus Perpajakan Pt. Pertamina
Pertamina Tunggak Pajak Rp 4,3 Triliun Selain Pertamina, ada Angkasa Pura II,
TVRI, BNI, Garuda Indonesia, dan Merpati Nusantara.
Dalam daftar 100 perusahaan penunggak pajak yang dikeluarkan Ditjen Pajak 28
Januari lalu, 12 di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Untuk
menyelesaikan kasus pajak perusahaan plat merah ini, Menneg BUMN akan mengundang
Dirjen Pajak Tjiptardjo.Pertemuan ini untuk membahas perbedaan-perbedaan penafsiran,
misalnya soal restitusi, agar bisa disamakan. BUMN sendiri memastikan dari 12 BUMN
itu, hanya tiga perusahaan yang betul-betul menunggak pajak, yakni PT Merpati
Nusantara Airlines, PTPN XIV, dan PT Djakarta Loyd."Pekan depan akan duduk
bersama. Hitunghitungan BUMN dan Dirjen Pajak (selama ini) tidak sama, harus
disamakan," kata Mustafa di sela Feed the World di Jakarta Convention Center, belum
lama ini.
Dari BUMN-BUMN yang masuk daftar Ditjen Pajak, Mustafa berjanji akan
melakukan pengecekan lagi yang mana yang bermasalah. "Siapa yang melapor, nanti bisa
diselesaikan langsung antara perusahaan, bussiness to bussiness," kata Mustafa.
Kementerian BUMN siap memfasilitasi penyelesaian antarperusahaan ini.Mustafa juga
menuturkan, sebagian kasus tunggakan pajak yang melibatkan BUMN ini merupakan
kasus lama, di mana perusahaan kebanyakan merasa sudah menuntaskannya."Tapi
mungkin, karena sekarang dianggap masih 4 ada masalah maka harus diselesaikan. Itu
karena perusahaan BUMN harus sesuai aturan," kata dia.12 BUMN yang disebutkan
dalam daftar Ditjen Pajak adalah, Pertamina, Angkasa Pura II, TVRI, BNI, Garuda
Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, PTPN XIV, KAI, Pertamina Unit Pembekalan,
Jamsostek, Perusahaan Perkebunan, dan LKBN Antara.
2.2 Analisis Kasus Pajak
Kasus mengenai penunggakan pajak bukan merupakan kasus baru. Kasus ini telah
banyak terjadi sejak lama. Berbagai peraturan perpajakan yang telah dibentuk seiring
kemajuan teknologi belum efektif dalam menyelesaikan kasus ini. Target penerimaan
pajak yang diharapkan menjadi sulit dicapai akibat dari permasalahan ini. Oleh karena itu
saya akan menguraikan dasar hukum dan beberapa teori untuk menjelaskan apa yang
menjadi pokok permasalahan dalam kasus ini.
Dalam reformasi perpajakan tahun 1983, sistem pemungutan pajak telah mengalami
perubahan yang cukup signifikan yaitu official assesment system menjadi self assesment
system. Berbeda dengan official assesment system, dalam self assesment system, Wajib
Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri
pajaknya.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
telah disita (Pasal 1 angka 9 UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat
paksa).
Dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan atau KUP, Dasar penagihan pajak yaitu:
Dengan demikian akibat adanya kasus penunggakan pajak oleh Pertamina, maka
Ditjen Pajak berhak melakukan serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita sebagaimana telah diatur pada Pasal 1 angka 9 UU No.
19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa tersebut.
Tahap-tahap awal dalam penagihan pajak yaitu Penerbitan Surat Teguran, Surat
peringatan, atau Surat lain yang sejenis. Tahap tersebut merupakan awal tindakan
penagihan pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak
berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya.
Menurut KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang
dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran / Surat Peringatan atau sejenisnya. Surat
Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
1) Penanggung pajak tidak melunais utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan
atau surat lain yang sejenis.
UU KUP juga mengatur mengenai jangka waktu bagi Dirjen Pajak untuk melakukan
penagihan pajak. Apabila sudah melampaui jangka waktu yang ditentukan maka hak
untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa.
Terkait dengan kasus Pertamina, apabila langkah awal dalam penagihan pajak yaitu
Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau Surat lain yang sejenis diabaikan. Maka
Ditjen pajak dapat melakukan langkah-langkah berikutnya yaitu penyampaian Surat
Paksa dan sebagainya. Dalam penyampaian Surat Paksa tersebut apabila telah melampaui
jangka waktu yang ditentukan maka hak untuk melakukan penagihan pajak tersebut
menjadi daluwarsa.
3.1 Kesimpulan
Kasus PT. Pertamina adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Seseorang
yang diharapkan dapat ikut menegakan Pajak yang berlaku , Malah ikut serta terlibat
dalam kasus yang merugikan Negara Dari situ tergambar, sebagian dari mereka tidak
sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan
segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga melakukan
kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang lemah.
Padahal pajak Sendiri digunakan untuk memakmurkan Rakyat Indonesia.
Dengan penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa di dalam Undang-Undang No.
19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP telah mengatur dasar hukum
dalam kaitannya dengan kasus penunggakan pajak oleh PT. Pertamina (persero).
Sehingga dengan kita hubungkan dengan Undang-Undang tersebut kita dapat mengetahui
cara penyelesaian kasus penunggakan pajak ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://bisnis.news.viva.co.id/pertamina_tunggak_pajak_rp_4_3_triliun
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/02/20/17145121/pertamina-tunggak-pajak
https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/peraturan-pusat/undang-undang-KUP