Anda di halaman 1dari 3

PERTERMUAN VIII

Pak ABC

 Hak dan kewajiban suami istri : berbeda jauh antara kuhperdata dan uu
perkawinan. Di dalam kuhperdata perannya lebih dominan (marital macht), wanita
yang menikah dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum (108,110
BW). Walupun ada perjanjian pemisahan harta, namun istri tetap dinyatakan tidak
cakap, harus tetap ada persetujuan suami dalam hal istri akan melakukan
perbuatan hukum. untuk menghadap/menggugat itu tetep harus ada persetujuan
dari suaminya.
Semnetara di UU perkawinan, (pasal 31 UU Perkawinan) menyatakan bahwa
kedudukan hak dan kewajiban suami istri itu sama baik di internal maupun
eksternal. Rumah tangga itu menjadi cerminan masyarakat, oleh karena itu
penting dalam hal membangun bangsa ini menjadi lebih baik, maka harus
memikirkan juga keluarga. Karena semua bermula dari keluarga. Harus diawali
dengan keluarga2 yang hebat.
Pasal 32 BW: suami istri harus memiliki tempat kediaman yg tetap, dimanapun
tidak masalah. Tidak bisa suami istri hidupnya pisah2, karean merupakan ikatan
lahir batin. Kalo di BW tempat tinggal harus mengikuti suami, namun menurut uu
perkawinan berdasarkan kesepakatan bersama.
Intinya : suami istri sama2 punya hak dan kewajiban. Dalam hal pemisahan harta,
tetep akan ada tanggung jawab suami di dalam pemenuhan biaya2 untuk
kehidupan keluarga sehari2.
 Istri harus mampu me manage urusan2 rumah tangga, seperti urusan keuangan,
dan urusan internal affairs lainnya.
Adapun suami, berkewajiban dalam mengurus external affairs.
Jika suami atau istri tidak bisa menjalankan kewajibannya masing2, dapat
melayangkan gugatan ke pengadilan. Banyak perceraian yang gugatannya
dilayangkan berdasarkan hal bahwa salah satu pihak atau keduanya tidak dapat
melaksanakan kewajiban. Ex: suami tidak dapat menafkahi keluarganya.
 Pentingnya dalam mencatat harta2 yang muncul sblm adanya pernikahan: untuk
mengetahui mana yg termasuk ke dalam harta pribadi dan harta bersama. Harta2
yang merupakan harta pribadi, maka ketika pernikahan itu putus, maka harta tsb
tidak perlu dibagi. Ex: istri mendapat warisan dari ayahnya, maka harta tsb
harusnya diatas namakan si istri, agara nanti ketika putus tidak susah.
Namun apabila harta itu harta bersama, tidak masalah apakah harta tersebut
diatasnamakan suami/istri, namun ketika putus ya tetep harus dibagi.
 Nikah siri : sepanjang tidak dicatatakan maka, pernikahan tsb dianggap tidak
pernah ada. Bisa dicatatkan, lewat penetapan pengadilan, namun harus dibuktikan
bahwa pernikahan itu memang pernah ada. Apabila salah satunya sudah
meninggal, maka tetap bisa dicatatkan. Yg tidak bisa dicatatkan itu, kalo
pernikahan siri itu merupakan poligami.
Harta pernikahan siri, tidak ada harta bersama, karena dianggap tidak pernah ada
perkawinan itu. Kalau suami mau ngasih hartanya, ya namanya hibah/pemberian.
 ALK mendapat warisan maksimal 1/3. Kalau ahli waris yg sah mendapat ¼, maka
ALK tidak bisa dapat 1/3.
 Kalau mereka menikah sblm pernikahan tsb dicatatkan, maka anak yg mempunyai
akta kelahiran, di dalam akta tsb anak akan diakui sebagai anak ibu, tidak ada
ayahnya.
Di perdata ALK yang diakui dapat waris hanya 1/3 dari bagian seandainya dia anak
sah.
 Karena nikah siri menurut keputusan menteri skrg bisa bikin KK, jadi apabila anak
yg dihasilkan dari pernikahan siri itu bikin akta lahir, maka apakah bisa diakui anak
tsb anak ayah dan ibunya, dan mendapat hak waris sebagaimana dia anak sah?
 Di dalam harta bersama memang tidak disebutkan apakah harta tsb merpukan
hasil dari pekerjaan suami atau pekerjaan istri, ketika pernikahan itu putus, maka
apakah bisa si istri menuntut juga tidak mau memberikan 50% dari hartanya?
Resikonya, kalau hanya si istri yang bekerja dan menjadi sumber pemasukan di
harta bersama, maka ya harta tersebut tidak perduli darimana asalnya, tetpa harta
bersama yg harus dibagi.
Sebetulnya, kalau emang si istri tidak masalah dengan perannya yang bekerja, dan
suaminya yang menjadi suami rumah tangga, ya tidak masalah, itu kan sukarela si
istri. Tapi selama istrinya merasa keberatan, ya harusnya cerai dari awal. Jadi
semua tergantung kesepakatan antara suami istri itu sendiri, selama tidak
dipermasalahkan ya tidak masalah.
 Yang jadi masalah, kalo poligami, gimana harta bersama nya?
Harta suami istri yang sah (istri pertama, sblm menikahnya suami dengan istri
kedua), masuknya harta ya antara si istri sah dengan suaminya saja. Harta bersama
itu startnya ya setelah suatu penikahan itu. Jadi mau menikah sampai berapa kali
pun, ya tetep startnya dari pernikahan yang baru itu.
Suami wajib memberikan kebutuhan hidup/uang yang sama kepada semua istri
dan anak2 nya.
 Kewajiban orangtua untuk memelihara dan mendidik anaknya, hingga anak2nya
menikah atau dapat beridri sendiri.
 Kekuasaan ortu dapat dicabut apabila dia melalaikan atau melakukan perbuatan
buruk (pasal 49 BW)
 Wali baru muncul ketika ortu sudah tidak ada, salah satu ortu masih ada, maka
dianggap tetap punya ortu (menurut UU Perkawinan), namun menurut BW salah
satu ortu tidak ada maka jatuhnya tidak ada.
 Perwalian bisa juga terjadi karena wasiat, sblm meninggal ortunya menunjuk siapa
yang menjadi wali, bisa juga lewat permohonan ke pengadilan. Ex: ada anak yatim
piatu, yang tidak tahu dimana keluarganya, maka orang yang terdekat dengan
anaknya tsb bisa mengajukan permohonan menjadi wali.
 Kedudukan anak, pasal 42-44 BW.
Anak akibat perkawinan: perkawinana sudah putus, namun sblm cerai, istri sudah
mengandung anak dari suaminya.
 MK : ALK bisa memiliki hub perdata dgn ayahnya, apabila dapat dibuktikan secara
ilmiah bahwa ayahnya itu adalah ayah biologisnya.
Suami dapat melakukan penyangkalan thd anak zina, namun harus melalui
permohonan ke pengadilan juga.

Anda mungkin juga menyukai