Anda di halaman 1dari 11

Pulau Galang di Batam, Eks Tempat Pengungsian Vietnam

Pulau Galang terletak di Kota Batam yang dulunya menjadi kamp


pengungsian warga Vietnam.
Sekitar tahun 1980, ratusan ribu warga Vietnam selatan mengungsi
ke negara lain pasca-perang saudara yang terjadi di sana. Warga Vietnam
menaiki perahu dan selama beberapa waktu terombang-ambing di Laut
China Selatan tanpa tujuan jelas. Mereka pun mendapat julukan sebagai
manusia perahu.
Sebagian dari warga Vietnam Selatan tersebut berhasil mencapai
Indonesia, tepatnya Pulau Galang dan Tanjung Pinang. Dari sinilah, kisah
Pulau Galang sebagai kamp pengungsian warga Vietnam dimulai.

Pengungsian di Pulau Galang


Sebelum pindah ke Pulau Galang, pengungsi Vietnam tiba dan tinggal
beberapa waktu di daerah lain di Indonesia. Seperti Pulau Anambas,
kawasan Kepulauan Natuna, maupun Pulau Bintan. Kemudian sekitar
250.000 pengungsi Vietnam pun hidup di Pulau Galang yang dikhususkan
sebagai penampungan sementara pada 1979-1996.  Pada saat itu, Komisi
Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dan Pemerintah Indonesia
membangun sejumlah fasilitas di Pulau Galang. Sarana yang dibangun di
antaranya barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah.
Fasilitas tersebut digunakan oleh para pengungsi dari Vietnam. Barak
pengungsian dibagi menjadi 6 zona. Masing-masing zona dapat dihuni
sebanyak 2.000-3.000 orang.

Dibangun juga penjara yang diperuntukkan bagi pengungsi yang


melakukan tindak kriminal. Tempat ibadah di pulau ini ada Vihara Quan
Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan
musala. Di dalam Vihara Quan Am Tu terdapat tiga patung, salah
satunya Dewi Guang Shi Pu Sha. Konon dewi ini mampu memberikan
jodoh, keberuntungan, keharmonisan dalam rumah tangga, dan banyak
lainnya. Di Pulau Galang juga dibangun pemakaman bernama Ngha Trang
Grave. Setidaknya 503 pengungsi Vietnam dimakamkan di sini.

Program kamp pengungsian Vietnam berakhir pada 3 September 1996.

CAMP PENGUNGSI VIETNAM..MEMILUKAN


Camp ini sangat luas, jadi tidak terlalu banyak tempat yang dapat kami
kunjungi. Tidak cukup 1 jam untuk berkeliling di camp ini. Di sini banyak
peninggalan peninggalan bangunan seperti tempat tinggal, gereja, vihara,
pagoda, musholla, pemakaman, rumah sakit, monumen, juga museum, dll.
Tempat wisata ini tidak ramai. Banyak cerita sedih dan memilukan dari
para pengungsi ini. Sayangnya sebagian besar bangunan bangunan tersebut
tidak terawat dan tidak cukup penunjuk arah bagi wisatawan. Meskipun
ada beberapa bangunan yang masih cukup terawat seperti Vihara Quan
Am Tu, Gereja Katholik dan museum.

Karcis masuk ke tempat ini Rp 5,000/orang dan Rp 5,000/kendaraan


sepeda motor. Sebaiknya berkunjung pada pagi hari agar dapat berkeliling
dan melihat lebih banyak tempat di sini.
Galang, Pulau yang masih Dirindu Eks Pengungsi Vietnam
“Biasanya kalau saya membawa eks-pengungsi ke mari, mereka lebih
senang memilih duduk di sini,” ujar Abu Nawastewe (43) pada Rabu sore
(4/3), sambil duduk bersila di atas tanah berumput di pintu masuk bekas
Rumah Sakit Camp Sinam (pengungsi Vietnam).

Dataran tempat duduk berumput itu diteduhi pepohonan yang berjejer di


pinggir jalan beraspal. Lokasi rumah sakit berada di turunan sisi kiri
tempat kami duduk, berupa banguan tua yang telah lapuk.

“Di sinilah kami melepas rindu, berbincang tentang masa lalu, puluhan
tahun lalu,” ujar Abu, salah seorang warga Pulau Galang yang memiliki
selaksa kenangan tentang Camp Sinam di pulau tempatnya tinggal.

Sesaat lelaki berperawakan kecil, dengan masih berpakaian seragam biru


hitam, pakaian dinasnya sebagai petugas Ditpam Badan Pengusahaan
Batam, terlihat merenung memandang lokasi rumah sakit eks-pengungsi
itu. Jeda sesaat yang dilakukannya seakan mengumpulkan kembali
ingatannya atas kejadian puluhan tahun lalu karena sejak berumur tiga
tahun, dia telah bergaul dengan para pengungsi Vietnam.

Abu lahir di Sulawesi pada 1977. Dalam masa umur tiga hari dia telah
dibawa orang tuanya merantau ke Selat Buaya di daerah Senayang
(sekarang wilayah Kabupaten Lingga, Kepri) dan pada 1980, saat dia
berumur tiga tahun orang tuanya membawanya pindah ke Sijantung,
kampung nelayan di Pulau Galang.

Saat bermukim di Sijantung yang merupakan perkampungan penduduk


yang berbatasan dengan kamp pengungsi inilah, ia berbaur dengan para
pengungsi Vietnam yang telah terlebih dahulu dimukimkan di Pulau
Galang sejak 1979 sampai 1997. Lokasi pengungsian itu luasnya 80
hektare sebagai tempat tinggal pengungsi Vietnam dan Kamboja dengan
jumlah pengungsi 250.000 jiwa.

Para pengungsi yang lebih dikenal sebagai manusia sampan itu


dikumpulkan di Pulau Galang setelah sebelumnya mereka berdatangan ke
Serasan (Kabupaten Natuna), Tanjungpinang, dan Batam. Leluasanya ia
bermain dengan anak pengungsi dan ikut membesar bersama mereka di
dalam kamp karena ibunya bekerja di Koperasi Puskopal. Jadi, Abu kecil
leluasa bergaul dengan orang Vietnam dan anak-anak di tempat itu.

Diakuinya, pada masa kamp Vietnam, masyarakat di desa sekitarnya hidup


makmur karena hasil tangkapan ikan dapat ditampung di kamp, sedangkan
masyarakat desa juga dapat membeli kebutuhan harian di kamp. Selain ada
koperasi yang menyediakan beras, juga ada pasar.

“Saya masih ingat, kehidupan pada masa itu sangat menyenangkan. Ibu
saya bekerja di koperasi Puskopal, beras selalu tersedia, walau ayah
penggarap kebun. Kalau sakit, kami yang tinggal di luar kamp dapat
berobat gratis, bahkan saat saya sunat biayanya gratis, juga dapat uang dan
kain sarung,” tutur ayah tiga anak itu sambil tertawa.

Ingatannya berbaur dengan para pengungsi bukan dalam masa singkat.


Sejak masih balita hingga umur mencecah 19 tahun, ia hidup bersama para
pengungsi dan bermain bersama. Berkelahi dengan anak-anak pengungsi
adalah kesehariannya.

Bahkan, dia punya dua keluarga angkat Vietnam tempatnya tinggal di


dalam kamp. Mereka adalah Mr. Phuc dan Ci Kuchi.

“Awalnya saya jadi anak angkat Mr. Phuc, sempat saya akan dibawanya
pindah ke Australia, tapi ibu saya tidak kasih,” katanya.

Kepergian Mr. Phuc bersama keluarganya tidak membuat dia terlalu


berduka karena masih ada Chi Kuchi yang juga ibu angkatnya yang
dipanggil Mama Chi. Dengan keluarga Chi, semula dia bergaul rapat
dengan tiga anak warga asing itu.

Ia tumbuh bersama tiga anak Mama Chi yang menjadi sahabat karibnya,
yakni Thanh, Anyang, dan Mueyai.
Dari merekalah, Abu kecil fasih berbahasa Vietnam dan ada seorang
teman Vietnamnya yang disapa Son Indo pandai pula berbahasa Indonesia.
Abu di kalangan warga Vietnam dipanggil dengan sebutan “Bhu”.

Pulau Galang yang telah mengharumkan nama Indonesia karena misi


kemanusiaan itu, akhirnya kembali sunyi seperti 17 tahun sebelumnya.
Abu mengatakan, sangat sulit bagi dirinya melupakan keluarga
angkatnya itu. Walau berbeda bangsa, agama, dan budaya, jalinan
kekeluargaan dan kasih sayang yang didapatnya dari keluarga Chi
membuatnya kehilangan.

Itu sebabnya, pada masa tahun pertama kamp tersebut ditinggalkan, Abu masih
acap ulang alik ke barak tempat tinggal keluarga angkatnya dahulu. Kadang dia
tidur di situ walau tidak ada orang lain. Barulah setelah rumput dan ilalang
makin panjang tumbuh sekitar barak, Abu tidak berani. Akhirnya, lokasi barak
yang berada di zona i itu ditumbuhi semak belukar dan barak pun roboh.

Keberadaan Camp Sinam hingga kini selalu masih dirindu para pengungsi.
Bahkan eks-pengungsi yang tinggal di berbagai negara telah saling terhubung
dengan membuat jaringan komunikasi dalam grup Galang Camp, dan Abu salah
seorang anggota grup.

“Saya masih selalu berkomunikasi dengan eks-pengungsi, baik melalui WA,


FB, ataupun saya pakai aplikasi mereka Viber dan Zalo,” katanya.

Ia mengatakan walau telah berpisah puluhan tahun dan selalu berada dalam
lokasi kamp karena 13 tahun pula dia bertugas sebagai sekuriti di kawasan yang
kini menjadi objek wisata sejarah itu, tapi hubungannya dengan keluarga
angkatnya tetap berlanjut.

Sejak Covid-19 (virus corona) mewabah, sejumlah masyarakat menuntut


pemerintah untuk mendirikan rumah sakit khusus untuk menangani pasien
penyakit menular. Apalagi saat pemerintah hendak memulangkan 250
orang warga negara Indonesia dari Wuhan. Mereka harus diobservasi dulu
selama 14 hari sesuai dengan protokol kesehatan dunia.
Lokasi observasi sempat menjadi perdebatan. Akhirnya pemerintah
memilih Lanud Raden Sadjad Ranai di Natuna sebagai lokasi observasi.
Setelah itu, pemerintah memutuskan untuk mengobservasi WNI dari kapal
pesiar di Pulau Sebaru Kecil, Kepulauan Seribu, Jakarta, juga untuk misi
kemanusiaan dari ancaman Covid-19.

Tapi tampaknya itu belum cukup. Pemerintah memutuskan untuk


membangun rumah sakit khusus penyakit menular, untuk mengobservasi
dan mengobati warga yang terinfeksi. Presiden mengumumkan rencananya
untuk menggunakan rumah sakit di bekas kamp Vietnam di Pulau Galang,
Kota Batam Kepulauan Riau.
Museum Kemanusiaan Ex Camp Vietnam Pulau Galang

Di Pulau Galang, Batam terdapat sebuah tempat yang menyimpan sejuta


kisah memilukan yang membuat kita seakan-akan ikut merasakan
penderitaan yang dialami para penghuni terdahulu pulau ini beberapa
puluh tahun silam. Tempat tersebut bernama Kampung Vietnam Pulau
Galang, Batam. Nah saat ini terdapat sebuah Museum Kemanusiaan disini,
dimana terdapat berbagai ornamen dan photo-photo saksi sejarah dari
kisah masa lalu dipulau itu.

Kampung Vietnam ini merupakan sebuah camp pengungsian seluas


kurang lebih 80 hektar yang di bangun puluhan tahun yang lalu saat
terjadinya perang saudara di Vietnam pada tahun 1975 yang membuat
mereka terpaksa harus lari dari negaranya sendiri karena kejamnya perang
yang terjadi disana.

UNHCR dari PBB dan Pemerintah Indonesia membangun berbagai


fasilitas di sana loh, seperti barak pengungsian, tempat-tempat ibadah,
rumah sakit, dan sekolah hingga ada penjara. Dan para pengungsi ini
dipusatkan di satu permukiman dan tertutup interaksinya dengan penduduk
sekitar. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan
keamanan disini. Dan juga untuk menghindari penyebaran penyakit
kelamin saat itu yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal
dengan nama “Vietnam Rose”. Disini mereka meneruskan hidupnya
sepanjang tahun 1979 hingga 1996, yang mana akhirnya mereka mendapat
suaka dari negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun
dipulangkan kembali ke Vietnam setelah perang berakhir.

Selain kesan angker alias ada "uka uka" hihihi, yang pernah beberapa kali
di ekspose oleh media televise disini, ternyata Kampung Vietnam ini juga
menyimpan banyak sekali kisah sejarah yang tersimpan disini.

Mengunjungi pulau ini akan menjadi wisata sejarah yang mengingatkan


kita betapa kejamnya tentara komunis Vietnam pada saat itu hingga warga
negaranya sendiri harus melarikan diri jauh ke sebrang Laut Cina Selatan.
Cukup membayar biaya masuk sebesar Rp. 5.000 saja kita bisa melihat
dan menyaksikan langsung saksi sejarah itu, dan tempat pertama yang
wajib kalian kunjungi jika kesini yaitu Museum Kemanusiaan nya ya.
Karena disini kalian bisa melihat photo-photo dan ornamen bercerita
tentang keadaan Camp Vietnam ini dahulunya, dan setelah itu barulah
kalian berkeliling dan melihat-lihat sekitar kawasan yang sangat luas ini.
Keindahan Dibalik Camp Vietnam

Tempat pengungsi Vietnam atau Camp Vietnam terletak sekitar 70


kilometer dari pusat Kota Batam. Dari pusat kota, bisa ditempuh dengan
jalan darat melalui jalur Trans Barelang yang dibangun semasa Otorita
Batam (sekarang Badan Pengusahaan Batam).

Setelah memasuki pintu gerbang, bangunan besar vihara akan menyambut


setiap pengunjung yang datang. Kemudian pengunjung akan melewati
bekas bangunan yang merupakan ruang tahanan, rumah sakit, gereja
Katolik, dan rumah pengungsi. Saat melewati jalan di lokasi ini seakan-
akan kembali ke masa-masa tersebut. Dimana berbagai kisah pilu
dihadirkan, termasuk kisah pengungsi wanita yang bunuh diri karena
diperkosa, kisah para pengungsi yang bunuh diri karena menolak
dipulangkan, maupun kisah perahu-perahu yang dibakar dan
ditenggelamkan karena si pemilik menolak untuk dipulangkan ke Vietnam.

Banyak peninggalan-peninggalan orang perahu Vietnam yang masih bisa


disaksikan di sini. Salah satunya yang bisa dilihat adalah perahu yang
digunakan oleh para pengungsi Vietnam tersebut berangkat dari negaranya
menghindari perang saudara, mengarungi lautan luas yang ganas sampai
akhirnya sebagian dari mereka tiba di Pulau Galang ini.
Di bekas penampungan pengungsi itu juga terdapat museum yang berisi
gambar-gambar saat warga masyarakat Vietnam tiba di wilayah
Kepulauan Riau, karena negaranya dilanda perang.

Semantara fasilitas yang dibangun Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi


(UNHCR) bersama pemerintah Indonesia antara lain barak, rumah ibadah,
perkantoran, sekolah, area publik masih tersisa meski sebagian besar sudah
hancur karena tidak dirawat.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Batam, Yusfa Hendri sebelumnya kawasan


Camp Vietnam merupakan tempat wisata alternatif setelah berbagai
tempat moderen dibangun.

Ia mengatakan, bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke sana,


hendaknya mengunjungi tempat wisata seperti Jembatan Barelang yang
menjadi ikon kota, perkebunan buah naga dan beberapa pantai yang
dikelola pihak swasta.

Anda mungkin juga menyukai