Anda di halaman 1dari 7

Hari/tanggal : 24 Februari 2011 Mata Kuliah : Fisiologi Nutrisi

Nama asisten : 1. Nadia Ebtha K S


(D24070058)
2. Anggun Marsiz J
(D24070113)
3. Akhir pebriansyah
(D24070134)

PENGARUH AKTIVITAS MAKANAN TERHADAP


PARAMETER FISIOLOGIS

KELOMPOK 5
Brilian Desca Dianingtyas D24090006
Alfin Nur Arifah D24090042
Dara Melisa D24090091
M Rizki Pratama
Oman Ramdani

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PRTANIAN BOGOR
2011
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Aktivitas makan merupakan kegiatan mencerna makanan mulai dari mulut,
masuk ke tenggorokan, perut, sampai diserap di usus dan yang tidak diserap akan
diekskresikan. Dalam metabolisme makanan yang dicerna akan mempengaruhi fisiologi
tubuh antara lain respirasi, denyut jantung dan suhu tubuh. Parameter fisiologi ini akan
meningkat karena dalam proses metabolisme, tubuh memerlukan energi yang cukup
banyak dengan bantuan O2 melalui respirasi, O2 akan diangkut melalui darah sehingga
frekuensi denyut jantung cepat dan suhu tubuh yang sedikit meningkat akan
mempengaruhi kerja enzim yang akan digunakan dalam metabolisme.
Melihat bahwa aktivitas makan berpengaruh terhadap fisiologi tubuh ternak,
maka kita harus mengetahui seberapa besar pengaruh aktivitas makan terhadap fisiologi
tubuh ternak yang dilakukan dengan menggunakan kelinci sebagai hewan pecobaan
pada praktikum kali ini.

Tujuan
Tujuan percobaan pengaruh aktifitas makan terhadap parameter fisiologis adalah
untuk melihat pengaruh kegiatan makan terhadap perubahan parameter fisiologis yaitu
frekuensi nafas, frekuensi nadi jantung, dan perubahan suhu.
MATERII METODE

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah hewan
percobaan (kelinci), pakan, stetoskop, dan termometer suhu tubuh.

Metode Kerja
Mengukur frekuensi nafas kelinci dengan cara mendekatkan telapak tangan tepat
di depan hidung kelinci lalu merasakan dan menghitung hembusan nafas per satuan
waktu. Kemudian mengukur frekuensi nadi jantung dengan cara menempatkan
stetoskop di bagian thorax kelinci lalu mendengarkan dan menghitung frekuensi detak
jantung per satuan waktu. Sedangkan untuk megukur suhu tubuh kelinci dengan cara
menempatkan termometer tubuh di bagian anus kelinci selama kurang lebih 5 menit.
Sebelumnya termometer harus dikalibrasi dulu sampai suhunya dibaeah suhu normal
(<37 °C). Lalu termometer diambil dari anus kelinci dan mencatat berapa suhunya.
Lakukan percobaan yang sama setelah kelinci diberi makan. Lakukan setiap
parameter fisiologis dengan 3 kali ulangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Normal Aktifitas makan
Ulangan Nafas Nadi Suhu Nafas Nadi Suhu
jantung jantung
1 81 166 38,5 107 248 38,85
2 81 189 - 127 254 38,4
3 83 201 - 134 285 38,2
81,67 185,3 38,5 122,67 262 38,48

Pembahasan
Pada percobaan kali ini praktikan mengamati tentang pengaruh aktivitas makan
terhadap parameter fisiologis kelinci. Parameter fisiologis yang diamati diantaranya
frekuensi nafas, frekuensi denyut jantung, dan suhu tubuh. Menurut Frances Harcourt-
Brown (2007), rata-rata pernapasan 32-60 nafas /menit,denyut jantung 130-325
denyut /menit, dan suhu rektal normal rata-rata 38,5-40˚C (101,3˚F-104˚F). Rata – rata
frekuensi nafas kelinci pada keadaan normal yang kami dapatkan berdasarkan
pengamatan 81,67 nafas/menit. Angka ini melebihi literatur, kemungkinan disebabkan
karena terlalu stres sebelum diamati. Sedangkan hasil rata –rata frekuensi nafas setelah
diberi perlakuan (aktivitas makan) meningkat sangat tinggi yaitu 122,67 nafas/menit.
Peningkatan frekuensi nafas terjadi dikarenakan faktor adaptasi kelinci dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang sangat bervariasi, kelinci diadaptasikan secara aklimatisasi,
sehingga lingkungan memegang peranan yang sangat penting di dalam mekanisme
fisiologi pernapasan. Pengukuran frekuensi nafas dilakukan saat kondisi lingkungan
yang panas dan mengalami proses pemindahan tempat terlebih dahulu. Panas yang
diterima kelinci dalam jumlah yang berlebihan menyebabkan terjadinya peningkatan
frekuensi nafas. Hal ini di karenakan sistem panting pada kelinci tidak efektif seperti
pada anjing dan kucing, sehingga peningkatan frekuensi nafas meningkatkan untuk
tubuh dapat mengeluarkan panas yang diterima secara berlebihan (Carpenter 2003).
Peningkatan frekuensi nafas dalam hal ini, juga terjadi karena terstimulasinya
pelepasan hormon kortisol pada anak ginjal untuk mensekresikan kortisol dan adrenalin
melalui susunan saraf pusat dan hipofisis akibat dari stress yang terjadi yang
menghambat pelepasan hormon ACTH, sehingga terjadi peningkatan β-adregenik di
otot polos untuk mengantisipasi panas yang berlebihan dari lingkungan (William 1998),
keadaan ini menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi nafas kelinci hasil
pengamatan pada keadaan normal dengan literatur.

Rata-rata frekuensi denyut jantung dalam keadaan normal dari hasil pengamatan
yaitu 185,3 denyut/menit. Menurut Cruise & Nathan (1994) laju kecepatan jantung
dapat bervariasi dari 180 sampai 250 kali/ menit. Jantung kelinci relatif kecil. Katup
atrioventrikular jantung sebelah kanan hanya memiliki 2 buah pintu, seolah-olah
membuat posisi trikuspidalis tidak normal. Arteri pulmonaris kelinci lebih berotot dan
tebal dibandingkan dengan anjing dan kucing. Kelinci memilik sistem penghubung yang
sederhana dan sinoatrial node terdiri dari sekelompok kecil sel yang menghasilkan
rangsangan. Hal inilah yang menyebabkan kelinci dipakai pertama kali untuk
melakukan penelitian tentang peacemaker. Setelah aktivitas makan laju denyut jantung
semakin cepat. Ini menunjukkan bahwa aktivitas makan mempengaruhi terhadap
perubahan frekuensi denyut jantung kelinci.

Suhu awal kelinci pada keadaan normal dari hasil hasil pengamatan didapat
38,50C setelah diberi makan rata-rata suhu kelinci dari 3x ulangan didapat 38,48 0C. Hal
ini menunjukkan bahwa aktivitas makan tidak terlalu mempengaruhi terhadap
perubahan suhu.
KESIMPULAN

Semakin banyak aktivitas tubuh maka semakin meningkat frekuensi nafas dan
denyut jantung. Sedangkan suhu tidak begitu terpengaruh oleh adanya aktivitas makan
pada kelinci.
DAFTAR PUATAKA

Carpenter JW. 2003. Lagomorpha. [Di dalam] : miller K, editor. Zoo and Wild Animal
Medicine. Edisi ke-5, st.louis : saunders. Hal 410-419.

Frances Harcourt-Brown. 2007. Texbook of Rabbit Medicine; First Published London.

William Ganong F. 1998. Fisiologi kedokteran. Ed ke-17. Jakarta. Penerbit Buku


Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai