NIM: A1F121037
Adegan 1 (5 menit)
Ratih berjalan lambat ke kamarnya sambil menghela nafasnya dengan kasar. Dia tak
menyangka akan dijodohkan dengan lelaki yang laksana jauh dari mata dan
sanubarinya.
(Lampu sorot biru dan ungu mendominasi ruangan dan diiringi musik sedih)
(Lampu padam. Dilanjutkan dengan lampu kuning dan putih mendominasi ruangan)
Adegan 2 (5 menit)
Ibu Ratih : (Ibu Ratih memasuki kamar dan menghampiri Ratih yang tengah sibuk
disolek oleh Bu Nyimas di meja rias). “Nak, nanti selepas sholat isya’ langsung bersiap
dan segera duduk di peterana ya, nak. Wira dan keluarganya sudah berada
diperjalanan kemari. Tuo Tengganai juga sudah dijemput oleh Pak Imam nak, kamu
harus cantik malam ini ya. Ibu jamin, kamu pasti akan bahagia malam ini.”
Ibu Ratih : “Ibu senang sekali nak. Kamu akan menikah dengan pria pilihan ibu
dan ayah. Jangan berlama-lama ya. Ibu menunggumu diluar.” (Ibu Ratih meninggalkan
kamar sambil mengambil perlengkapan berinai dan membawanya keluar kamar)
Ratih : (Ratih gelisah. Dia berpindah tempat duduk ke atas ranjang sambil
menunduk). “Saya takut bu. Saya tidak yakin dengan lelaki itu, dan saya tidak tahu
nasib apa yang akan menghampiri saya nantinya bu.” (ucap Ratih tinggi dan sedikit
terisak).
Bu Nyimas : “Sabar ya nak. Di malam berinai ini, kamu akan menemuinya. Ajak dia
bercakap-cakap. Tanya hal-hal yang ia suka dan tidak. Tanya kesiapannya tentang
pernikahan ini dan kesanggupannya untuk hidup bersamamu. Nasib baik atau buruk
yang akan menghampirimu nanti, itu diluar kendali kita nak. Tapi, meskipun demikian,
kamu tetap bisa berusaha menciptakan kebahagiaan itu sendiri.”
Pak Imam : (Mengetuk pintu kamar Ratih) “Ratiih! Bergegaslah keluar nak!
Keluarga calon mempelai pria sudah datang.”
Bu Nyimas : “Ingat perkataan ibu tadi, nak (ucap Bu Nyimas sambil mengiringi
Ratih” keluar kamar).
(Lampu padam)
Musik pengiring tari inai menggema dipelataran. Para tamu undangan dan warga
sekitar sudah memenuhi bangku yang tersedia. Wira sudah duduk diatas peterana dan
keluarganya duduk berjajar dipinggir pelataran. Ratih berjalan masuk bersama
keluarganya. Ratih hanya diam memucat hingga duduk berdampingan dengan Wira.
Acara dimulai dan dibuka oleh pembawa acara. Seloko adat mulai dituturkan oleh Tuo
Tengganai desa. Para hadirin menyimak dengan penuh kekhidmatan.
Acara berlanjut, syair indahpun mengiringi prosesi acara diiringi musik tradisional yang
dimainkan oleh perwakilan warga sekitar. Wira dan Ratih diberi bantalan ditangan dan
kaki mereka. Para tetua desa pun mulai bergantian memasangkan inai dikaki dan
tangan Wira kemudian Ratih.
Wira : “Ratih, untung saja engkau mau menikahiku. Aku sudah tidak tau lagi
harus dengan cara apa merebut harta warisan keluargamu itu, sayang. Mungkin aku
akan membiarkan ayahmu hidup yaa sekitar 2-3 minggu lagi laah. Kemudian kamu yang
anak satu-satunya akan mendapatkan warisan. Setelah warisan diurus, aku akan
membuatmu terjerat dengan penyesalan. Oh, atau apa perlu aku juga membunuhmu?
Haha” (ucap Wira sambil tersenyum keji dan tertawa kecil)
(Musik berhenti)
Ditengah acara, Ratih mulai merasa tak nyaman. Batinnya menolak keras, tangan dan
kakinya dingin seperti dihujam air es berkali-kali. Ratih berteriak keras.
Orang tua Ratih menghampiri Ratih dan mengambil alih acara. Ratih ditenangkan, dan
dibawa masuk kembali ke kamar.
Ayah Ratih : (Ayah Ratih membuka suara) “Maaf atas ketidaknyamanannya. Untuk
sementara, acara kita tunda terlebih dahulu” (Para tamu undangan, dan para penampil
pentas memberi sorakan tak terima atas keputusan tersebut).
Warga : “Tidak bisa ditunda, Pak! Ini acara yang sakral. Jika ingin ditunda, lebih
baik sekarang dilanjutkan atau tidak sama sekali!” (sahut seorang warga)
Ayah Ratih : (Diskusi kecil bersama keluarga mempelai pria). “Baiklah, acara malam
ini kita hentikan dan kita batalkan.”
Para tamu undangan dan para penampil pentas balik kanan dengan perasaan kesal dan
kecewa.
(Lampu padam)
Kamar Ratih dipenuhi keluarganya dan keluarga Wira yang khawatir sekaligus
penasaran terhadap apa yang terjadi pada Ratih. Ayah dan Ibu Ratih berusaha
menyadarkan anaknya yang pingsan itu. Sedangkan Wira terdiam dan menyusun
rencana agar acara pernikahan itu tetap bisa berlanjut.
Wira : “Ayah, Ibu, Ayah dan Ibu calon mertua. Saya ingin memberi sedikit
saran, bagaimana kalau upacara adat Malam Berinai ini kita lewatkan saja dan
dilanjutkan akadnya besok setelah fajar terbit?”
Ayah Ratih : “Tidak bisa begitu anak muda, acara ini penting dikeluarga kami.
Karena, acara ini berisi rangkaian nasihat, perlindungan, serta dapat mempererat
hubungan antara kedua belah pihak mempelai.”
Ibu Ratih : “Benar. Tindakan Ratih ini merupakan bentuk penolakan nak, tidak
bisa kita paksa. Ratih adalah anak yang patuh dan taat kepada orang tuanya. Dan saya
pikir, tidak mungkin dia bertindak seperti ini tanpa alasan yang jelas. Ada baiknya kita
menunggu keputusan Ratih.”
Wira : “Tidak ibu mertua. Saya juga mempelai disini, sayapun juga berhak
memutuskan” (ucap Wira tegas sambil menatap tajam Ibu Ratih)
Ratih mulai sadar dan membuka suara.
Ratih : “Saya tidak ingin menikah bersamanya, yah, bu. Dia jahat, dia berkata
kepadaku tadi, bahwa..” (ucap Ratih sambil terisak tangis dan dipotong oleh tamparan
dari Wira yang mendarat dipipi kanan Ratih, Ratih menangis kencang kemudian
didekap oleh ibunya yang tak jauh darinya).
Wira : “Dasar wanita yang tak tahu diuntung!” (gertak Wira mengagetkan
seisi kamar Ratih).
Ayah Wira : “Wira! Kamu kurang ajar!” (teriak Ayah Wira sambil membaku hantam
wajahnya. Wira tergeletak tak berdaya).
Ayah Wira : “Mohon maafkan kami atas kelalaian kami sebagai orang tua dalam
mendidik anak kami. Arya, saya sangat meminta maaf atas kejadian ini. Kalau begitu,
kami langsung izin pamit dan akan menghukum Wira atas ketidakpantasan dalam
berperilaku tadi” (sesal Ayah Wira).
Ayah Ratih : “Dimaafkan wahai sahabatku. Tapi aku tidak akan membiarkan hal ini
terjadi lagi pada putriku ataupun pada orang lain akibat ulah anakmu.”
Ayah Wira : “Baik. Terimakasih semuanya.” (Ayah Wira beserta keluarga pergi
meninggalkan kamar)
(Lampu padam)
Adegan 5 (5 menit)
(Narator)
Ratih menemukan pria yang pantas dan ternyata selama ini pria itu mengagumi
dirinya. Namanya Anugrah. Pria yang ditemuinya itu merupakan temannya semasa
sekolah dulu. Pria itu kini datang menemui orang tuanya. Dari segi ekonomi, keluarga,
agama, dan parasnya yang menawan itu membuat keluarga Ratih yakin untuk merestui
mereka menuju jenjang pernikahan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Ratih kini
lebih berani untuk banyak bertanya kepada pria tersebut terkait pernikahan sebelum
prosesi lamaran.
Anugrah : “Terimakasih, Bapak, Ibu, dan Ratih yang sudah menerima saya
menjadi bagian dari keluarga” (ucapnya santun).
Ayah Ratih : “Terimakasih kembali, nak. Saya titip Ratih dan tolong jaga dia dengan
sepenuh hati.”
(Lampu padam)
Malam berinai pun dimulai kembali untuk kedua kalinya untuk Ratih.
(Penampilan pencak silat dan tari melayu ditampilkan bersama dengan prosesi
penginaian para tamu undangan dan penonton menikmatinya).
(Setelah Inai kering, Anugrah dan Ratih bersalaman, semua penonton bertepuk tangan
dan acara selesai. Dan Ratihpun akan melanjutkan kehidupan yang bahagia bersama
seseorang yang tepat, yaitu Anugrah)