MAKALAH
Oleh:
HAIDIR ALI RAPSANJANI
(801202054)
Dosen Pengampu:
Dr. Fridiyanto, M.Pd.I
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT., karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kasus Kebijkan Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI)” dengan tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Analisis
Kebijakan Pendidikan Islam.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak mungkin terselesaikan tanpa
dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat dorongan dan bimbingan
tersebut, semua rintangan dan hambatan tersebut dapat kami atasi. Pada
kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada Dr.Fridiyanto, M.Pd.I selaku
dosen pengampu mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam.
Dengan segala kerendahan hati kami mengakui makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, karena pengetahuan, kemampuan dan pengalaman kami yang
masih sangat terbatas. Oleh karena itu, apabila ada saran dan kritik dari semua
pihak akan kami terima dengan tangan terbuka untuk perbaikan makalah ini di
masa mendatang. Walaupun demikian, kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.........................................................................................................i
Kata Pengantar........................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A. Pengertian Kebijakan.....................................................................................4
B. Pengertian Madrasah Ibtidaiyah....................................................................5
C. Kebijakan Dan Sistem Madrasah Di Indonesia.............................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................19
A. Kesimpulan..................................................................................................19
B. Saran............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 22
2
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 83
3
Ninik Masrorah dan Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala Azyumardi Azra, (Jakarta: Ar
Ruzz Media, 2011), h. 133
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kebijakan?
2. Apa yang dimaksud dengan Madrasah Ibtidaiyah?
3. Bagaimana kebijakan dan sistem madrasah di Indonesia?
3
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Kebijakan.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Madrasah Ibtidaiyah.
3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan dan sistem madrasah di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan
Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa
Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan
mengenai tujuan-tujuan yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, dan
partai politik. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai
kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis.4 Pengertian ini mengandung arti
bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan,
kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah, partai politik, dan lain-lain. James E. Anderson memberikan
pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan
tertentu dan diikuti serta dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok
pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.5
James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kebijakan adalah kebijakan dari hasil pengembangan oleh badan-badan
dan pejabat-pejabat pemerintah. Implikasinya antara lain: (1) kebijakan selalu
mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada
tujuan; (2) kebijakan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-
pejabat pemerintah; (3) kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan
oleh pemerintah; (4) kebijakan bisa bersifat positif, dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau
bersifat negatif yang merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu; (5) kebijakan dalam arti positif didasarkan pada peraturan
perundang- undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).6
Heclo menggunakan istilah kebijakan secara luas, yakni sebagai rangkaian
tindakan pemerintah atau tidak bertindaknya pemerintah atas sesuatu masalah,
4
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, cet. ke-5. (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 893
5
James E. Anderson, Public Policy Making, cet. ke-3 (New York: Holt, Rinehart and Winston,
1984), 3
6
Ibid.
4
5
baik yang lebih luas dari tindakan atau keputusan yang bersifat khusus. Definisi
tersebut diklasifikasikan sebagai decision making, yaitu apa yang dipilih oleh
pemerintah untuk mengatasi suatu masalah publik dengan cara melakukan suatu
tindakan maupun untuk tidak melakukan suatu tindakan.7 Kebijakan sebaiknya
dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan, beserta
konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai
suatu keputusan tersendiri. Kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan
dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Definisi lain
diartikan sebagai intervensi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi
persoalan publik, karena melalui hal tersebut akan terjadi perdebatan antara yang
setuju dan tidak setuju terhadap suatu hasil kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah.8
7
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Teori dan Konsep Kebijakan Publik: Kebijakan Publik yang
Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus (Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI, 2003), 3
8
Budi Winarno, Apakah Kebijakan Publik ?: Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta:
Media Pressindo, 2002), 15
9
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h.66
10
Malik Fajar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: LPNI, 1998), h. 111
6
11
Ninik Masruroh dan Umiarso, op.cit., h.129
12
Departemen Agama,Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: Ditjenbinbaga Islam, 1991).
13
Maksum,….hal. 9
14
Zulkarnain,Transformas di Nilai-Nilai Pendidikan Islam Manajemen Berorientasi Link and
Match (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan STAIN Bengkulu, 2008), hal. 31.
7
16
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Trigenda, 1993), h. 305
9
17
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), h.
63
18
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.169
10
19
BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), h. 121 12Hasbullah,
op.cit., h.173 13 Hasbullah, op.cit., h.172
20
Hasbullah, op.cit., h.173
21
Hasbullah, op.cit., h.172
11
bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak
memicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.22
Pada masa pemerintahan penjajahan Jepang, madrasah mendapat bantuan
dana. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari ummat Islam.
Bahkan Jepang membiarkan kembali dibukanya madrasah-madrasah yang pernah
ditutup pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengamankan kepentingan Jepang,
maka pemerintahan penjajah Jepang lebih banyak mengangkat kalangan priyayi
dalam jabatan di Kantor Urusan Agama. Kantor Urusan Agama bertugas antara
lain mengkoordinasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun
dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha ini pada dasarnya bertujuan
agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah ataupun di pesantren tetap
dalam kontrol pemerintah. Setelah Indonesia merdeka, perkembangan madrasah
lebih baik. Pemerintahan Republik Indonesia memberikan perhatian kepada
madrasah sabagai modal sumber pendidikan nasional yang berdasarkan UUD
1945.23
BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat ) sebagai
Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan pada masa itu merumuskan pokok-
pokok usaha pendidikan yang menetapkan bahwa: madrasah dan pesantren yang
pada hakekatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya,
hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang berupa tuntunan dan
bantuan materiil dari pemerintahan Mentri PP dan K, yang saat itu dijabat oleh
Mr. R. Suwandi, mengeluarkan kebijakan yang menyatakan bahwa pengajaran
yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu untuk dipertinggi dan
dimodernisasikan serta diberi bantuan biaya dan lain-lain. 24 Ketika Departeman
Agama didirikan pada tanggal 3 Januari 1946 maka tugas Bagian Pendidikan
adalah mengadakan suatu “pilot project” sekolah yang akan menjadi contoh bagi
orang-orang atau organisasi yang ingin mendirikan sekolah secara pertikelir
22
Maksum, op.cit., h.114-115
23
Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h.194
24
Abdurrahman Shaleh, Penyelenggaraan Madrasah, Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: t.p,
1984), h. 19
12
25
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu,
2001), h. 53
26
Husni Rahim, op.cit., h. 54
27
Ibid.
13
28
Hasbullah, op.cit., h. 180
29
I. Djumhur D, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1979), h. 226
14
30
Zuhairini,dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan
Tinggi Agama Islam/IAIN, (Jakarta: t.p, 1983), h.79
15
struktur mata pelajaran MI terdiri 12-16 % mata pelajaran agama dan 84-88%
mata pelajaran umum. Sedangkan untuk MTs terdiri dari 20% mata pelajaran
agama dan 80% mata pelajaran umum. Sementara MA terdiri dari 11-13 % mata
pelajaran agama dan 87-89 % mata pelajaran umum.36
Eksistensi madrasah benar-benar mendapat pengakuan yang eksplisit dari
pemerintah RI setelah madrasah disebut dalam Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 ayat 3 (dengan demikian
bila dibandingkan dengan UUSPN tahun 1989, maka 28 Pasal 17 ayat 2 berbunyi:
Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) atau bentuk lain yang sederajat
serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau
bentuk lain yang sederajat. Pasal 18 ayat 3 berbunyi: Pendidikan Menengah
berbentuk Sekolah Menengah Atas ( SMA), Madrasah Aliyah (MA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk
lain yang sederajat). UUSPN tahun 2003 lebih maju, walaupun kedua Undang-
Undang tersebut masih memelihara sistem pendidikan dualistik dalam sistem
pendidikan di Indonesia.37
Dengan UUSPN tahun 2003, maka madrasah memiliki peluang untuk
memenuhi harapan masyarakat yang menginginkan agar porsi pendidikan agama
lebih besar. Karena berdasarkan pasal 36 ayat 2 disebutkan bahwa: Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Atas dasar tuntutan UU tersebut maka pemerintah mengganti kurikulum 2004
(Kurikulum Berbasis Kompetensi) menjadi kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP
dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar
kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP merupakan paradigma baru pengembangan
kurikulum, yang otonomi luas diberikan pada setiap satuan pendidikan. Dalam
36
Hasbullah, op.cit., h..191-196.
37
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20, Pergumulan Antara
Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Fajar Interpratama Ofset, 2012), h. 229
18
A. Kesimpulan
Madrasah Ibtida’iyah adalah awal dari ujung tombak terdepandalam
pelaksanaan proses pendidikan Islam. Madrasah Ibtida’iyah sebagai lembaga
pendidikan awal yang tumbuh dan berkembang dari tradisi pendidikan agama
dalam masyarakat, memiliki arti penting sehingga keberadaannya terus
diperjuangkan dan siswa yang inginmelajutkan kejenjang selanjutnya tidak
diragukan lagi dalam pengalaman pendidikan yang ia tempuh selama di Madrasah
Ibtida’iyah.
Hakikat pendidikan madrasah seiring dengan tujuan pendidikan melalui
misi madrasah khususnya pada Madrasah Ibtida’iyah. Dalam rangka perwujudan
hakikat tersebut sudah barang tentu memerlukan suatu perangkaat operasional
yang berkualitas yang selalu dikembangkan sesuai dengan kemajuan dan
kebutuhan masyarakat, melalui peningkatan berbagai komponen seperti
pengembangan kurikulum dan metodelogi, pemenuhan dan peningkatan mutu
kemampuan tenaga pendidik, sarana dan prasarana dan lain-lain. Madrasah
sebagai lembaga Pendidikan Islam harus senantiasa bertitik tolak dari rumusan dia
atas sehingga dari lembaga ini mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain.
Dengan dikeluarkannya Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974,
pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional terhadap madrasah.
dikeluarkannya SKBL (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri, yaitu, Menteri
Agama, Pendidikan dan kebudayaan.
B. Saran
Makalah ini dibuat dari beberapa sumber buku yang berkaitan dengan
judul makalah ini. Namun, penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna. Banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik para pembaca untuk memperbaiki
makalah ini agar lebih baik lagi.
19
DAFTAR PUSTAKA
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, cet. ke-5.
(Oxford: Oxford University Press, 1995)
Budi Winarno, Apakah Kebijakan Publik ?: Teori dan Proses Kebijakan Publik
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002)
James E. Anderson, Public Policy Making, cet. ke-3 (New York: Holt, Rinehart
and Winston, 1984)