Anda di halaman 1dari 3

Lingkungan Kerja Anda Toksik?

Kenali Ciri-Cirinya

KITA semua pasti setuju bahwa kenyamanan di tempat kerja merupakan hal wajib yang harus
diwujudkan perusahaan/institusi supaya kinerja dan produktivitas kita meningkat karena hal
tersebut bisa berdampak positif baik bagi perusahaan/institusi maupun diri kita sendiri. Akan
tetapi, keinginan ini kadang sulit terjadi. Banyak dari kita yang berakhir pada kondisi kerja yang
sarat dengan kepenatan dan membawa kita pada kekecewaan. Alhasil, ini memberi dampak
buruk bagi kita baik secara fisik maupun psikologis.

Jika kita mulai merasa bosan dan kehilangan semangat untuk mengembangkan diri, sering
diserang rasa malas untuk berangkat ke kantor, dan tidak nyaman menghabiskan waktu untuk
berlama-lama di tempat kerja, kita patut meninjau ulang untuk memastikan apa yang sedang
terjadi lingkungan kerja dan dampaknya bagi diri kita. Bisa saja lingkungan kerja kita selama ini
penuh dengan serangkaian regulasi dan orang-orang yang toksik yang kadang sering tidak kita
sadari. Lebih parahnya lagi, kita maklumi sebagai hal yang wajar (taken for granted).

Dikutip dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary, kata toksik berasal dari bahasa Inggris toxic
(adj) yang berarti (a) mengandung racun, dan (b) dalam konteks informal, dapat bermakna
seseorang dengan kepribadian yang tidak menyenangkan, terutama dalam hal mengendalikan
atau memengaruhi orang lain dengan cara yang tidak jujur. Berangkat dari definisi dan
pemahaman ini, kita perlu mengenali ciri-ciri apa saja yang menandakan lingkungan kerja kita
bersifat toksik supaya terhindar dari segala hal yang berdampak buruk bagi kita. Beban kerja
yang tidak ideal (work-overload) Work-overload terjadi jika seseorang melakukan pekerjaan
kantor yang bukan job-desk-nya dan di luar dari tanggung-jawab atau kewajibannya secara
formal. Terlebih jika ini dilakukan melebihi 8 jam batas normal kerja secara terus-menerus. Hal
ini bersifat toksik karena berpotensi membuat job performance seseorang tidak maksimal dan
menghambat produktivitasnya (Sudiharto, 2001).

Menurut Hancock dan Meshkati (1988), kondisi ini juga bisa berdampak buruk bagi kesehatan
fisik dan mental seseorang karena bisa menimbulkan gangguan medis seperti kelelahan,
mudah marah, gangguan pola tidur, sulit konsentrasi, dan cemas.

Kuatnya budaya feodalisme di lingkungan kerja Budaya kerja di berbagai tempat memang
berbeda-beda. Di negara bekas jajahan (termasuk Indonesia) budaya menjajah memang masih
terasa kental terutama di lingkungan kerja. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar
tempat kerja memiliki kultur baik ke atas, namun menindas ke bawah (Nova, 2019). Mereka
yang memiliki jabatan lebih tinggi kerap bersikap manis ke atasan dan memanfaatkan posisinya
untuk memanfaatkan hingga menindas mereka yang berada di bawah kendalinya.

Parahnya para penganut kultur feodal kerap menganggap orang-orang yang potensial sebagai
ancaman yang membahayakan posisi mereka di perusahaan. Alih-alih memotivasi, mereka
kerap memiliki kecenderungan untuk sebisa mungkin menghambat jenjang karir rekan sejawat.
Kuatnya kultur bergosip di kalangan rekan kerja Jika rekan-rekan kerja Anda gemar bergosip,
bisa jadi Anda selama ini berada dalam lingkungan yang toksik. Mengapa? Karena selain
banyak menyita waktu dan pikiran dengan bahasan yang belum tentu benar, rekan kerja yang
gemar bergosip akan berpotensi memancing Anda untuk percaya dan memberikan komentar
negatif tentang hal yang belum kita ketahui. Cara paling tepat dan bijak untuk terhindar dari
kultur bergosip adalah dengan menghindarinya, mempertahankan cara berpikir positif, dan
sebisa mungkin tidak terpancing untuk berkomentar negatif. Yang terpenting lagi, tidak perlu
memberikan celah untuk mereka mengetahui kelemahan kita dan hal-hal yang sifatnya
personal. Para penggosip suatu saat akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi
(bahkan untuk menjatuhkan kita). Jadi jangan biarkan Anda menjadi korban berikutnya.

Secara sosial, menurut Erving Goffman, manusia memiliki dua layers utama yang terdiri dari
frontstage dan backstage. Artinya, apa yang individu tampilkan di publik belum tentu atau
mungkin tidak sama dengan apa yang mereka tampilkan di belakang (backstage). Dalam
kaitannya dengan kultur gosip, kita harus paham bahwa kita tidak akan pernah mampu
sepenuhnya membaca atau menilai karakter seseorang secara pasti. Oleh karena itu, kita harus
selalu waspada terhadap ucapan yang kita sampaikan ke orang lain dan sangat selektif dalam
memilih teman dan membagikan infomasi kepada orang lain. Baiknya, kita juga harus mulai
membiasakan diri untuk tidak cepat menilai orang dari penilaian orang lain karena jika tidak
hati-hati kita akan tergiring ke dalam opini yang belum tentu kebenarannya. Di situlah kita sudah
terjebak menjadi korban.

Pimpinan otoriter Salah satu hal yang membuat kita nyaman berada di suatu tempat kerja
adalah sosok pimpinan yang inklusif, jujur, tegas, cerdas, dan memiliki leadership yang baik.
Figur pimpinan dengan kualitas-kualitas tersebut akan membuat karyawan dari berbagai level
menjadi termotivasi untuk memberikan kinerja terbaik bagi perusahaan. Namun, jika seorang
pimpinan sudah bersikap otoriter, bossy, semena-mena, dan hanya memprioritaskan
kepentingannya sendiri, itu adalah tanda bahwa Anda sedang berada di tempat kerja yang
toksik. Mengapa demikian? Karena pimpinan seperti ini berpotensi anti-terhadap segala bentuk
umpan balik (feedback) dan kritik dari karyawannya Padahal, ruang diskusi yang intensif-inklusif
antara manajemen dan karyawan sangat penting demi kemajuan suatu perusahaan.
Sebaliknya, pemimpin yang smart dan profesional akan selalu intensif membuka ruang diskusi
dengan tim atau karyawannya serta bersedia menerima masukan dan kritik secara jujur-
bijaksana alih-alih menutup keran terhadap suara-suara mereka. Tidak berfungsinya regulasi
Setiap perusahaan/institusi pasti memiliki regulasi serta nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan
secara profesional. Setiap kebijakan yang diambil seorang pimpinan harus merujuk pada
regulasi dan berorientasi pada kepentingan bersama bukan individu atau segelintir orang. Akan
tetapi, jika suatu perusahaan/institusi tidak menjalankan atau mematuhi regulasinya sendiri,
maka ini akan berpotensi pada tidak berkembangnya suatu perusahaan. Ini sama saja dengan
perusahaan/institusi yang visi-misinya tidak jelas, dan hanya akan membawa ketidaknyamanan
bagi pekerjanya.

Kesimpulannya, setelah mengenali ciri-ciri lingkungan yang toksik, semua keputusan ada di
tangan kita, apakah kita mau bertahan atau tidak? Jika Anda memutuskan untuk segera keluar
dari kondisi tersebut, pastikan Anda sudah mendapatkan pekerjaaa yang diinginkan dan belajar
menjadi lebih baik dari pengalaman sebelumnya. Pastikan Anda tetap waspada di lingkungan
yang baru. Namun, jika Anda ingin bertahan pun, itu adalah pilihan yang sah-sah saja selama
Anda paham risikonya dan mengerti cara memosisikan diri serta mengatur strategi untuk tetap
sintas di lingkungan kerja yang banyak menguras energi dan pikiran. Atau mungkin saja Anda
sudah mulai tergerak untuk berpikir tentang perubahan atau revolusi di lingkungan tempat Anda
bekerja sekarang. Semua pilihan ada di Anda!

Editor : Heru Margianto

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Anda mungkin juga menyukai