Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

UTANG PAJAK

Mata Kuliah: Hukum Pajak

Dosen Pengampu: Ibu Sri Nanang Meiske Kamba, S.H., M.H

Di Susun Oleh:

Leliana A. Ts Nggoli (1011421082)

Salma Idris (1011421163)

Athiyyah Safirazkiya yusuf (1011421162)

Putri Nadhia Diannita laya (1011421164)

yonal ma'ruf (1011421160)

PRODI S1 ILMU HUKUM

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak merupakan suatu kepatuhan bagi masyarakat dan juga dapat dikatakan sebagai suatu
kewajiban yang bersifat memaksa dan hasil pemberian dari masyarakat kemudian dikelola oleh
pemerintah yang tujuannya untuk untuk kemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat. Pembayaran
secara cuma-cuma terhadap pemerintah bertujuan untuk masyarakat dan dapat memanfaatkan
segala fasilitas kepentingan umum, baik pembangunan jalan, sarana sosial baik dari perdesaan
hingga ke perkotaan. Kedudukan hukum Pajak di dalam Undang-Undang Konstitusional
Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang diatur dalam Pasal
23A ayat (2) menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kebutuhan
keperluan negara diatur dengan UndangUndang. Sehingga dalam hal ini Negara memiliki
kepentingan untuk melakukan tindakan represif termasuk pada saat dilakukan penagihan atas
utang pajak. 1

Penagihan pajak yang dilakukan oleh negara dilakukan cara aktif atau dapat dikatakan
bersifat memaksa terhadap penanggung pajak untuk melunasi utang pajak. Penagihan pajak
diawali dengan adanya surat tagihan pajak yang selanjutnya diterbitkan surat ketetapan pajak
terhadap wajib pajak dan apabila penanggung pajak tetap tidak memenuhi kewajibannya, maka
akan diberikan surat paksa yang memiliki kekuatan hukum untuk mengeksekusi barang-barang
penanggung. Upaya penagihan melalui surat paksa tingkatanya sama dengan Putusan
Pengadilan, apabila penanggung pajak maka langkah yang diambil penyitaan pajak. Penagihan
pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak masa pajak
dan tahun pajak.2

Utang pajak merupakan utang yang timbul karena adanya undang-undang. Oleh karena itu
utang pajak memiliki keistimewaan dalam proses kepailitan. Negara (fiskus) sebagai pihak
penagih pajak mempunyai hak untuk mendahului atas tagihan pajak sehingga kurator harus

1
Wirawan B. Ilyas, (2013), Hukum Pajak (TEORI, ANALISIS DAN PERKEMBANGANNYA), Jakarta: Salemba, hlm. 1.

2
Erly Suandy, (2011), PERENCANAAN PAJAK, Jakarta: Salemba, hlm. 35.
mementingkan pelunasan utang pajak daripada utang para krediturnya. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui hak negara dalam menuntut wajib pajak yang menjadi debitur dalam
kepailitan untuk melunasi utang pajaknya dan mengetahui kurator dalam menjalankan perannya
untuk mengurus harta pailit terhadap gugatan pemenuhan utang oleh para kreditur perseroan
pailit. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian
yang menagacu pada peraturan perundang-undangan serta studi kepustakaan. Berdasarkan hasil
penelitian, penyitaan terhadap harta kekayaan dari wajib pajak (debitur Perseroan Terbatas)
sebelum dinyatakan pailit, fiskus dapat melakukan penagihan seketika dan sekaligus. Apabila
wajib pajak akhirnya dinyatakan pailit, maka penyitaan yang telah dilakukan oleh fiskus tetap
dapat dilaksanakan dan dilanjutkan dengan pelelangan. Apabila Perseroan Terbatas sudah
dinyatakan pailit, fiskus menyampaikan Surat Paksa kepada pengadilan negeri terhadap barang
yang disita. Kurator dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi dan/atau renteng atas
pembayaran utang pajak yang tidak dilunasi dalam kepailitan. Namun, hal tersebut dapat terjadi
hanya apabila kurator sama sekali tidak melunasi utang pajak yang dibebankan atas debitur
selaku wajib pajak. Dalam skripsi ini terdapat pula saran-saran yang diharapkan dapat terlaksana
sehingga menjadikan kurator lebih mementingkan pelunasan utang pajak daripada kreditur
lainnya.3

1.2 Rumusan Masalah

Apa Yang Dimaksud Dengan Utang Pajak ?

Kapan Timbulnya Utang Pajak ?

Bagaimana Cara Melunasi Utang Pajak ?

Bagaimana Upaya Penyelesaian Sengketa Utang Pajak ?

BAB II

3
R. Y. S. Etty Susilowati, TANGGUNG JAWAB KURATOR TERHADAP PEMENUHAN HAK NEGARA ATAS UTANG PAJAK
PERSEROAN TERBATAS PADA KEPAILITAN, Law Journal, vol 6.No1. 2017, hlm 17.
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN UTANG PAJAK

Pengertian utang pajak di dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang No. 19 Tahun 2000
tentang Penagihan Pajak (selanjutnya disebut UUPP) dengan Surat Paksa adalah Pajak yang
masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang
tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.Utang pajak yang timbul karena undang-undang menimbulkan
suatu kewajiban bagi penanggung pajak untuk memenuhi kewajiban utang dengan hak istimewa
atau dengan kata lain negara mempunyai hak mendahulu yang melekat terhadap segala
pemenuhan utang penanggung pajak. Ketentuan terkait Negara mempunyai hak mendahulu atas
utang pajak sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 1 UU KUP yang menyatakan negara sebagai
kreditor preferen atas utang dan barang-barang milik penanggung pajak.4

Praktiknya utang pajak banyak ditemukan dalam perkara-perkara kepailitan yang


dijatuhkan terhadap debitor dalam hal ini juga sebagai wajib pajak dalam menanggung utang
pajak. Kepailitan sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (atau selanjutnya disebut UUKPKPU)
sebagaimana Pasal 1 angka 1 pengertian kepailitan yang merupakan sitaan umum atas segala
harta kekayaan debitor pailit yang mana pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh Kurator
dibawah hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.5

Kepailitan dapat diartikan sebagai suatu usaha bersama dalam memperoleh pembayaran
bagi semua kreditor untuk memperoleh pembayaran secara adil dan tertib agar kreditor dapat
pembayaran sesuai besar kecil piutang masing-masing sehingga terjadi suatu keseimbangan
dalam pembagian piutang kreditor. Sehingga Kepailitan itu merupakan pembagian utang dalam
waktu yang bersamaan kreditor bersama-sama menagih piutang terhadap debitor sesuai dengan
pengaturan dan asas hukum yang berlaku dalam hukum kepailitan. Sedangkan menurut Munir
4
Sari Putri Kemala, TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENERAPAN HAK MENDAHULU (PREFEREN), DALAM
PENAGIHAN UTANG PAJAK PADA KASUS KEPAILITAN, Jurnal Ius Civile, Vol 2. No 1. 2018, hlm 60.

5
Sularto, PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR SEPARATIS DALAM KEPAILITAN, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24. No 2.
2012, hlm. 247.
Fuady, pailit merupakan sita umum terhadap semua harta kekayaan milik debitor agar dicapainya
perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil
di antara para kreditor.6

Debitor yang dinyatakan pailit atas putusan pengadilan memiliki kreditorkreditor yang
memiliki hak untuk menagih utang khususnya dalam proses kepailitan, secara umum kreditor
terbagi dalam beberapa golongan sesuai urutan prioritas haknya untuk memperoleh pelunasan
piutangnya terhadap para kreditor yang lain. Kreditor dalam Kepailitan yang dimaksud terbagi
menjadi tiga (3) jenis yakni kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Kreditor
Separatis yakni kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan dan dapat bertindak dan
melakukan eksekusi sendiri meskipun adanya pernyataan kepailitan hak-hak untuk melakukan
eksekusi tetap dapat dijalankan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Sedangkan kreditor preferen
adalah kreditor yang memiliki hak prioritas atau dapat dikatakan hak istimewa dibanding
kreditor lain karena hak yang dimiliki diberikan oleh undangundang sehingga secara peringkat
dianggap lebih tinggi dari kreditor lain, dalam hal ini kreditor preferen adalah Utang Pajak dan
Utang Buruh. Selain itu juga terdapat kreditor konkuren yang merupakan kreditor yang bersaing
dan tidak mempunyai keistimewaan daripada kreditor preferen yang diamanatkan dalam
Undang-Undang dan Kreditor Separatis yang memilik agunan dari debitor yang pailit.7

Pengaturan norma hukum terkait utang pajak yang pembagianya memiliki hak istimewa
yang diatur dalam pengaturan dalam proses kepailitan nyatanya tidak sejalan ataupun tidak
sinkron dengan aturan hukum yang diatur dalam hukum kepailitan sehingga mengakibatkan
terjadinya inkonsistensi dari beberapa perkara Kepailitan yang telah diselesaikan di Pengadilan
Niaga, Mahkamah Agung dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi. Beberapa perkara baik dari
Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah Konstitusi terjadi perbedaan pertimbangan
hukum tentang hak mendahulu negara atas utang pajak dari kreditor lainya dan hak istimewa
Negara dalam hal ini diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam mengajukan upaya
hukum pada proses kepailitan yang dialami oleh penanggung pajak sebagai debitor pailit, yang
merasa keberatan atas hak-hak negara atas utang pajak yang tidak menempatkan pada hak
istimewanya. Sehingga dalam hal ini peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan ini dalam

6
Munir Fuady, (2017), HUKUM KEPAILITAN DALAM TEORI DAN PRAKTEK, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm. 8.

7
Sutan Remy Sjahdeini, (2016), SEJARAH, ASAS, DAN TEORI HUKUM KEPAILITAN, Jakarta: Kencana, hlm. 14.
jurnal dengan judul “Sinkronisasi Hukum Utang Pajak Sebagai Kreditor Preferen Dalam Proses
Kepailitan”.8

Rochmat Sumitro menyatakan bahwa pajak sebenarnya utang, yaitu utang anggota
masyarakat kepada masyarakat. Utang ini menurut hukum adalah perikatan (verbintenis).
Meskipun pajak itu letaknya di bidang hukum publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan
hukum perdata dan hukum adat. Utang Pajak menurut faham formal timbul karena perbuatan
fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, seseorang tidak mempunyai kewajiban
membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP. Sedangkan
menurut paham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang
disyaratkan dalam undangundang. Timbulnya utang pajak menurut paham materiil secara
sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu rangkaian dari
keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwaperistiwa (baik yang feitelijk, yuridis,
persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak. 9

Pada lain pihak teori pemungutan pajak yang lazim dikenal saat ini antara lain adalah:

a. Teori Asuransi, menurut teori ini warga negara yang mendapat perlindungan negara
membayar pajak yang dianalogkan sebagai premi asuransi atas jaminan perlindungan
tersebut;
b. Teori Kepentingan, dalam teori ini pembagian beban pajak proporsional
dengan kepentingan atau jaminan yang diberikan oleh negara;
c. Teori Daya Pikul, menurut teori ini beban pajak disesuaikan dengan daya pikul masing-
masing, baik secara objektif yaitu penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang
maupun secara subjektif yaitu berkenaan dengan besarnya kebutuhan materi yang harus
dipenuhi;
d. Teori Bakti, menurut teori ini sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai kewajiban; dan
e. Teori Asas Daya Beli, teori ini menyatakan bahwa negara mengurangi atau menarik
daya beli dari rumah tangga masyarakat, dan mengumpulkannya ke rumah tangga negara

8
Udin Silalahi, KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS ATAS HAK JAMINAN DALAM PROSES KEPAILITAN, Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Vol 49. No 1. 2020, hlm. 36.

9
Rochmat Soemitro, (1990), ASAS DAN DASAR PERPAJAKAN, Bandung: Eresco, hlm. 2.
yang selanjutnya menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.10

2.2 TIMBULNYA UTANG PAJAK

Utang pajak adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh masyarakat (khususnya wajib
pajak) akibat adanya keadaan, perbuatan atau peristiwa yang harus dilunasi dengan mekanisme
yang berlaku dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, pengertian utang pajak ini diatur di
beberapa peraturan perundang-undangan. Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya
peraturan yang mendasarinya dan telah terpenuhinya atau terjadi suatu sasaran perpajakan, yang
terdiri dari keadaan tertentu, peristiwa dan atau keadaan tertentu. Tetapi yang sering terjadi
adalah karena keadaan, seperti pajak-pajak yang sangat penting yaitu atas suatu penghasilan atau
kekayaan, dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis wajib pajak yang bersangkutan walaupun
keadaan itu dalam kebanyakan hal timbulnya karena perbuatan-perbuatannya. Tapi keadaan
wajib pajak yang menimbulkan hutang pajak itu sendiri. Berhubungan dengan adanya kewajiban
masyarakat kepada negara berdasarkan undang-undang. Dalam hutang pajak ini memiliki
beberapa sifat antara lain:

a. Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau fiskus.

b. Ditetapkan jangka waktu pelunasannya

c. Jika terlambat bayar atau kurang bayar berakibat dikenakan sangsi

d. Dilaporkan ke kantor pelayanan pajak.11

Utang pajak ini terdiri dari seseorang tertentu, namun pula ditentukan dalam undang-undang
pajak bahwa di samping orang-orang tertentu ini, ada pihak lain yang ditunjuk untuk turut
bertanggung jawab atas pelunasan hutang pajak ini. Penunjukan pihak lain ini didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

10
Ibid., hlm. 2.

11
Indra Mahardika Putra SE, Ak, M. Ak, (2020), PERPAJAKAN, Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, hlm. 27.
a. Diskus mendapat jaminan yang lebih kuat bahwa hutang pajak tersebut dapat dilunasi
tepat pada waktunya.

b. Orang yang sebenarnya terhutang sulit didapat oleh fiskus, tetapi orang yang ditunjuk
diharapkan dapat dengan mudah ditemui.12

Melihat timbulnya utang pajak, ada 2 ajaran tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu:

a. Ajaran formil
Ajaran formil yaitu utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh
fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system
b. Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena
suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assesment system.13

2.3 PELUNASAN UTANG PAJAK

Pelunasan utang pajak pada dasarnya sama dengan pemungutan pajak (tax collection) yaitu
bagaimana subjek pajak (wajib pajak) melakukan pembayaran atas utang pajaknya dan
bagaimana pemerintah (instansi pajak) dapat menagih atau memasukkan utang pajak dari wajib
pajak ke dalam kas negara. Dalam pelunasan utang pajak, juga ditentukan oleh sistem
pemungutan pajak yang diintrodusir oleh undang-undang perpajakan itu sendiri. Pada dasarnya
ada 3 sistem pemungutan yaitu:

a. Official assesment system; yaitu pemungutan pajak di mana besarnya pajak yang harus
dilunasi (terutang) oleh wajib pajak ditentukan sendiri oleh fiskus atau aparatur
perpajakan. Sistem ini wajib pajak bersifat pasif, sebaliknya fiskuslah yang aktif;
b. Self assesment system; yaitu suatu cara pemungutan di mana wewenang menghitung
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh Inspeksi Pajak kepada
wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dalam sistem ini wajib pajak harus aktif untuk

12
Ibid., hlm. 27.

13
Ibid.,hlm. 27.
menghitung, menyetor dan melapor kepada Inspeksi Pajak, sedangkan fiskus hanya
bertugas memberi penerangan, pengawasan atau sebagai verifikator; dan
c. with holding system; yaitu suatu cara pemungutan di mana perhitungan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak dilakukan oleh pihak ketiga.14

Sistem pemungutan pajak yang digunakan oleh Undang-UndangPerpajakan Nasional


(Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sistem self assesment. Hal ini ditegaskan pada
bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, bahwa: “Anggota masyarakat wajib
pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self
assesment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan
dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat
wajib pajak.”Sistem pemungutan pajak tersebut memunyai arti bahwa penentuan penetapan
besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada wajib pajak sendiri dan wajib pajak
melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan telah dibayar sebagaimana yang
ditentukan dalam undangundang. Sistem ini diharapkan pula pelaksanaan administrasi
perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis dapat dihindari. Dari sistem pemungutan pajak yang
diintrodusir dalam Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (KUP) tersebut telah memberikan
ketegasan bahwa undang-undang perpajakan nasional harus sesuai dengan falsafah negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem self assesment versi KUP tersebut di atas
dapat dijelaskan bahwa ”melimpahkan kepercayaan sepenuhnya kepada anggota masyarakat”
harus didukung oleh unsur kejujuran dan itikad baik (good faith) dari wajib pajak. Selanjutnya
“kegotongroyongan nasional” merupakan asas fundamental yang mewarnai dan menjiwai
kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Asas ini didasarkan pada falsafah Pancasila, yang
berarti bahwa semua warga negara dan anggota masyarakat wajib ikut serta dalam pembelaan
negara. Pembelaan negara tidak hanya berarti mempertahankan negara dari serangan musuh,
tetapi pembelaan negara bernegara. Oleh karena itu kebutuhan untuk membiayai negara dan
pembangunan adalah menjadi beban, tanggung jawab dan kewajiban bersama masyarakat secara
gotong royong dalam bentuk pajak.15
14
Munawir, (1992), PERPAJAKAN, Yogyakarta: Liberty, hlm. 41.

15
Rochmat Soemitro, (1985), TINJAUAN PAJAK DARI SEGI HUKUM, Bandung: Eresco, hlm. 1.
Untuk memberikan jaminan “Kepastian hukum” (rechtzekerheid) terdapat pelaksanaan
sistem Self Assesment versi UU KUP, adanya jaminan bagi wajib pajak maupun aparat
perpajakan. Hal ini ditegaskan dalam UU KUP menetapkan bahwa setiap wajib pajak membayar
pajak yang terutang berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan dengan tidak
menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Direktorat Jenderal Pajak tidak lagi
berkewajiban untuk menerbitkan SKP. Penerbitan SKP hanya sebatas pada wajib pajak tertentu
yang disebabkan oleh ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) atau karena
ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Jaminan kepastian hukum
tersebut implementasinya dalam Undang-Undang KUP adalah adanya jaminan bahwa wajib
pajak maupun administrasi perpajakan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum
pajak formil maupun hukum pajak materil akan dikenakan sanksi baik sanksi administrasi
maupun sanksi pidana. Kembali kepada pelunasan utang pajak atau pemungutan pajak (tax
collection), mengandung suatu pengertian bahwa pelunasan utang pajak dilakukan dengan
“Pembayaran” dan “Penagihan” pembayaran merupakan perbuatan hukum yang hanya sah jika
dilakukan oleh satu subyek hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum (bekwaam). Jika
yang melakukan pembayaran itu orang yang “onbekwaam” (tidak mampu melakukan perbuatan
hukum), maka pembayaran itu masih dapat disengketakan oleh keluarga si pembayar. Pasal 10
jo Pasal 12 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007,
berkewajiban melakukan pembayaran sendiri pajak yang terutang di kas negara atau tempat-
tempat pembayaran lain yang ditentukan oleh Menteri Keuangan dengan tidak menggantungkan
pada adanya Surat Ketetapan Pajak. Dalam kaitan ini Keputusan Menteri Keuangan Nomor
346/KMK. 01/1985 tertanggal 11 April 1985 telah menunjuk tempat-tempat pembayaran
Keputusan Menteri Keuangan.16

Bagi wajib pajak yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum pembayaran pajaknya
harus dilakukan oleh walinya atau wakilnya yang diatur dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007, yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak diwakili, dalam hal:
a. badan oleh pengurus;

16
Bohari, (1995), PENGANTAR SINGKAT HUKUM PAJAK, Jakarta: Rajawali Persada, hlm. 23.
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pembesaran;

d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;


e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah satu ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang
mengurus harta peninggalan;dan

f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya.”17

Ketentuan ini berlaku untuk membayar pajak langsung karena dalam pajak langsung
dilakukan oleh wajib pajak yang tercantum namanya dalam SKP. Dalam pajak tidak langsung
seperti Bea Materai, Pajak Pertambahan Nilai, pembayarannya dilakukan oleh wajib pajak yang
ditentukan oleh undang-undang tanpa diketahui siapa namanya, sehingga dalam pajak tidak
langsung ini pembayaran pajak harus memikul beban pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Menteri Keuangan menentukan jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau masa pajak dari masing-
masing jenis pajak. Selanjutnya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang
Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Tempat Pembayaran Pajak,
Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak serta Tata Cara Pengangsuran dan
Penundaan Pembayaran Pajak, menetapkan pembayaran/penyetoran pajak harus dilakukan
paling lambat:

a. Pajak Penghasilan Pasal 25 harus dibayar selambat-lambatnya tanggal 15 takwin


berikutnya setelah masa pajak berakhir;
b. Pajak Penghasilan Pasal 21 harus disetor selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak;
c. Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pasal 22 harus disetor selambatlambatnya tanggal 10
bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak; dan

17
Ibid., hlm. 23.
d. Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dalam satu Masa Pajak
harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwin berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.18

Jika Wajib Pajak tidak melakukan pelunasan utang pajak sesuai jangka waktu yang telah
ditetapkan tersebut, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007, Direktur Jenderal Pajak dapat menertibkan Surat Ketetapan Kurang Bayar
(SKPKB), yaitu surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok, pajak, besarnya sanksi administrasi dan
jumlah pajak yang masih harus dibayar. Pada dasarnya lahirnya Surat Ketetapan Pajak tersebut
disebabkan karena berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, ternyata jumlah pajak
yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dalam jangka waktu tiga bulan
tertulis oleh fiskus. Selain ketetapan pajak tersebut merupakan dasar untuk melakukan
“penagihan pajak” yang penagihannya dapat dilakukan dengan menggunakan surat paksa
berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997. Penagihan pajak pada hakikatnya merupakan rangkaian tindakan Direktorat
Jenderal Pajak, karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya
pembayaran pajak. Rangkaian tindakan dimaksud merupakan penagihan aktif yang dilakuka
secara bertahap mulai dari Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah melakukan penyitaan dan
permohonan lelang pada Kantor Lelang Negara.19

Adapun yang dimaksud dengan penagihan aktif adalah “penagihan yang didasarkan pada
SPT/ SKP/ SKPT yang oleh undang-undang telah menentukan tanggal jatuh tempo yaitu 1 (satu)
bulan terhitung dari saat SPT/ SKP/ SKPT ditertibkan. Dasar hukum untuk melakukan penagihan
utang pajak adalah Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yang menyatakan
bahwa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar ditambah, merupakan dasar penagihan pajak. Ketentuan ini dijadikan dasar bagi pihak
fiskus untuk melakukan penagihan pajak secara aktif. Adapaun yang dimaksudkan dengan

18
Santoso Brotodiharjo, (2003), PENGANTAR ILMU HUKUM PAJAK, Bandung: Refika Aditama, hlm. 36.

19
Ibid., hlm. 36.
penagihan pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, dengan cara
melakukan pencatatan, pengawasan atas kepatuhan pembayaran masa dan pembayaran lainnya
yang dilakukan oleh wajib pajak.20

2.4 UPAYA PENYELESAIN SENGKETA UTANG PAJAK

Sengketa pajak adalah Sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak
atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Seperti kita ketahui, sistem
perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesmentdi mana dengan sistem ini Wajib
pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang.
Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen
Pajak. Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan
pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat WP terhadap ketentuan
perpajakan. Dalam konteks inilah, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP
kepada sebagian WP. Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP)
di mana SKP ini berfungsi untuk melakukankoreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh
Wajib pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib
pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Adapun syarat mengajukan
banding yang harus dipenuhi Wajib pajak diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak, yaitu: Pasal 35, yaitu ;

1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Pajak

20
Rochmat Soemitro, Op.cit., ASAS DAN DASAR PERPAJAKAN, hlm. 62.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima
Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka
waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon
Banding.

Dan Pasal 36, yaitu ;


1. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
2. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan
tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
3. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.
4. Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah
Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang
terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).21

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pajak merupakan suatu kepatuhan bagi masyarakat dan juga dapat dikatakan sebagai suatu
kewajiban yang bersifat memaksa dan hasil pemberian dari masyarakat kemudian dikelola oleh
pemerintah yang tujuannya untuk kemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat. Pembayaran
secara cuma-cuma terhadap pemerintah bertujuan untuk masyarakat dan dapat memanfaatkan

21
St. Nurjannah, PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK PADA PENGADILAN PAJAK, Jurnal Hukum Vol 4. No 2. 2017,
hlm. 192.
segala fasilitas kepentingan umum, baik pembangunan jalan, saranasosial baik dari perdesaan
hingga keperkotaan.

Pengertian utang pajak didalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang No.19 Tahun 2000
tentang Penagihan Pajak (selanjutnyadisebutUUPP) dengan Surat Paksa adalah Pajak yang masih
harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum
dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang mendasarinya dan telah
terpenuhinya atau terjadi suatu sasaran perpajakan, yang terdiri dari keadaan tertentu, peristiwa
dan atau keadaan tertentu.

Pelunasan utang pajak pada dasarnya sama dengan pemungutan pajak (taxcollection) yaitu
bagaimana subjek pajak (wajib pajak) melakukan pembayaran atas utang pajaknya dan
bagaimana pemerintah (instansi pajak) dapat menagih atau memasukkan utang pajak dari wajib
pajak kedalam kas negara. Dalam pelunasan utang pajak, juga ditentukan oleh sistem
pemungutan pajak yang diintrodusir oleh undang-undang perpajakan itu sendiri.

3.2 Saran

Tulisan hanyalah bersifat pendahuluan. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan oleh
semua pihak yang berkecimpung dalam bidang akademik. Demikian pula penyempurnaan dari
segala aspek perlu dilakukan demi kesempurnaan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Erly Suandy, 2011. Perencanaan Pajak , Jakarta: Salemba.

Indra Mahardika Putra SE, Ak, M. Ak, 2020. Perpajakan , Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

Munir Fuady, 2017.Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek , Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.

Rochmat Soemitro, 1990. Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung: Eresco.


Sutan Remy Sjahdeini, 2016. Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan , Jakarta: Kencana.

Wirawan B. Ilyas, 2013. Hukum Pajak, Teori, Analisis dan Perkembangannya , Jakarta:
Salemba.

JURNAL

R. Y. S. Etty Susilowati, Tanggung Jawab Kurator Terhadap Hak Negara Atas Utang Pajak
Perseroan terbatas Pada Kepailitan , Law Journal, Volume 6.No1. 2017,( hlm. 17).

Sari Putri Kemala, Tinjauan Yuridis Mengenai Penerapan Hak Mendahulu (Preferen), dalam
Penagihan Hutang Pajak Pada Kasus Kepailitan, Jurnal Ius Civile, Volume 2. No 1.
2018, (hlm. 60).

St. Nurjannah, Penyelesaian Sengketa Utang Pajak Pada Pengadilan Pajak, Jurnal Hukum.
Volume 4. No 2. 2017, (hlm. 192).

Sularto, Perlindungan Hukum Kreditor Separatis dalam Kepailitan, Jurnal Mimbar Hukum,
Volume 24. No 2. 2012,( hlm. 247).

Udin Silalahi, Kedudukan Kreditor Separatis Atas Hak Jaminan dalam Proses Kepailitan ,
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Volume 49. No 1. 2020, (hlm. 36)

Anda mungkin juga menyukai