Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Motivational Interviewing
Pada Kasus Napza

dr. Ayesha Devina, SpKJ

Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan

Jakarta
1
Kata Pengantar

Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberi edukasi tentang psikoterapi yang
digunakan untuk pengguna napza sehingga dapat tercapai keadaan abstinens.

Penyusun berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca dan pada
akhirnya penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik.

Jakarta , Maret 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………. 2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………….5

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………………………15

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………16

3
BAB I

PENDAHULUAN

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) biasanya


dimulai dengan pemakaian yang pertama kalinya pada saat usia SD atau SMP karena tawaran,
bujukan, atau tekanan dari seseorang maupun kawan sebaya. Dari pemakaian sekali, kemudian
beberapa kali dan akhirnya menjadi ketergantungan terhadap zat yang digunakan. Dampak yang
ditimbulkan tergantung pada jenis NAPZA yang digunakan dan cara menggunakannya, dapat
terjadi berbagai masalah medis seperti infeksi human immunodeficiency virus/ auto
immunodeficiency syndrome (HIV/ AIDS), hepatitis C atau B, depresi, dan psikosis. Di samping
itu, dapat pula berakibat tidak harmonisnya hubungan dengan keluarga, diberhentikan dari
tempat kerja, dikeluarkan dari sekolah, masalah keuangan, terlibat perbuatan illegal dan
kriminal, kecelakaan, bahkan kematian.
Seringkali keputusasaan dari terapis yang melakukan pengobatan pada pasien pengguna
NAPZA muncul ketika perubahan perilaku ke arah perilaku yang lebih sehat tidak terjadi.
Sehingga perlu dilakukan intervensi pikososial kepada klien, dimana intervensi social adalah
suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh
pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah.
Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam keadaan intoksikasi sampai
pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan
kesadaran penuh.
Terdapat beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam layanan
pengobatan gangguan penggunaan Napza antara lain : Brief Intervention (BI), Konseling Dasar ,
Motivational Interviewing (MI), Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Relaps Prevention (RP).1
Pada makalah ini akan lebih di jelaskan secara mendalam tentang salah satu intervensi
social yang disebutkan diatas yaitu motivasional interviewing.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tahapan Perubahan (Stage of Change)


Dalam proses pemulihan seorang adiksi NAPZA mengalami banyak perubahan yang
dapat dinilai dari motivasinya. Model Stage of Change dimulai dari fase prekontemplasi,
kontemplasi, preparasi, aksi dan rumatan. Ciri-ciri spesifik dari tiap-tiap fase adalah sebagai
berikut :
a) Fase prekontemplasi
Pasien sama sekali belum menyadari adanya perubahan dalam dirinya akibat
menggunakan napza. Pasien tidak memiliki minat untuk berubah meskipun keluarga atau orang-
orang dekat dengannya telah mengingatkannya bahwa telah terjadi “masalah” akibat tingkah
lakunya. Kalau mereka telah masuk ke sentra-sentra rehabilitasi umumnya karena paksaan,
ditipu atau karena pelanggaran hukum.
b) Fase Kontemplasi
Pasien telah mulai mengakui telah terjadi kesulitan akibat napza (mungkin telah ada
keluhan fisik) tetapi menolak suatu komitmen untuk berubah. Pasien mempertimbangkan
berbagai kemungkinan-kemungkinan untuk berubah, namun ada perasaan ragu-ragu, bimbang
dan ambivalensi. Pasien telah mulai memiliki perasaan bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu
problem akibat penggunaan napza.
c) Fase Preparasi
Tampaknya pasien telah secara sungguh-sungguh menunjukkan keinginan berubah atau
kebutuhan untuk berhenti, namun belum siap. Pasien mengaku belum mau berubah kalau belum
merasa betul-betul mantap. Pasien banyak bertanya pada teman pecandu lain dan mulai mencari-
cari info tentang upaya-upaya penyembuhan ketergantungan napza. Pasien telah memahami dan
mengakui adanya “problem dalam keluarga”, sudah dapat mengambil keputusan untuk
menetapkan mau berubah, untuk memulai upaya penyembuhan.
d) Fase Aksi
Pasien secara aktif mengambil langkah-langkah untuk berubah tetapi belum mencapai
suatu kondisi stabil. Pasien berhasil menunjukkan beberapa perubahan perilaku yang berkait

5
dengan napza misalnya bersedia mengikuti terapi dan menghadiri NA meeting. Pada tahap aksi,
pasien sudah mulai melatih dan merubah tingkah lakunya. Pasien mulai mencari aktivitas
alternatif diluar fokus problem ketergantungan napza (misalnya kursus-kursus sederhana,
jogging, latihan futsal dan lain-lain).
e) Fase Rumatan
Pasien telah mencapai sasaran misalnya abstinensia dan sekarang sedang bekerja keras
untuk mempertahankannya. Pasien mulai menghindari menggunakan napza apapun dan berhasil
mengendalikan relaps yang datang serta mampu mengatasinya. Pasien bersedia secara aktif
untuk membantu orang lain yang sependeritaan dengannya.
2.2 Pengertian teknik Motivational Interviewing
Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk berubah, selalu
berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi yang lain. Dasar pemikiran
melakukan wawancara motivasional ini adalah bahwa untuk mencapai perubahan adalah lebih
mudah bila motivasi untuk berubah tersebut datang dari dalam dirinya sendiri daripada
dipaksakan oleh konselor atau terapis. Motivational Interviewing sering dilakukan menyerupai
Brief Intervention dengan prinsip berorientasi pada klien. Berdasarkan prinsip ini, MI
mempunyai pendekatan sama seperti konseling pada umumnya, seperti reflecting listening,
summarizing dan paraphrasing (Recoveryresearch, 2012).
Motivational Interviewing adalah sebuah wawancara yang bertujuan untuk membantu
seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi tentang penggunaan NAPZA melalui tahapan
perubahan. Ini sangat berguna bila dilakukan pada pasien yang berada pada tahap
prekontemplasi dan kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat penting pada
semua tahap (Kemenkes, 2010). Saran hanya diberikan bila ada permintaan dan atas ijin pasien.
Motivational Interviewing juga kadang-kadang dikombinasikan dengan Cognitive Behavioral
Therapy.2
Menurut Miller dan Rollnick , Motivational Interviewing adalah arahan, gaya konseling
yang berpusat pada klien untuk memunculkan perubahan perilaku dengan membantu klien untuk
mengeksplorasi dan menyelesaikan masalah. Motivasional Interviewing akan mencoba
menumbuhkan motivasi intrinstik klien untuk berubah dengan cara mengekplorasi dan
memecahkan ambivalensi. Secara singkat, Motivasional Interviewing adalah teknik yang

6
dilakukan oleh konselor untuk membantu klien menumbuhkan dan mengembangkan motivasi
interinsik untuk berubah sehingga tercapainya tujuan konseling.
Wawancara motivasional didasari pada pengertian bahwa:
 Pengobatan yang efektif dapat membantu proses perubahan
 Motivasi untuk berubah terjadi dalam konteks hubungan antara pasien dan terapis
 Gaya dan semangat dari intervensi sangat menentukan keberhasilan terapis, khususnya
empati yang dihubungkan dengan perbaikan hasil pengobatan.
Pendekatan intervensi singkat ini didasarkan pada prinsip wawancara motivasional yang
dikembangkan oleh Miller dan kemudian di perluas oleh Miller dan Rollnick.
2.2 Komponen Motivational Interviewing3
Terdapat 3 komponen dari Motivasional Interviewing, yaitu:
 Collaboration (kolaborasi) yaitu melibatkan konselor professional dan klien
bersama-sama mengekplorasi motivasi klien dengan cara suportif
 Evocation (evokasi) melibatkan konselor professional yang memperpanjang
motivasi klien
 Autonomy (otonomi) meletakkan tanggung jawab untuk berubah pada klien yang
menghormati kehendak bebas klien.
2.3 Tujuan Motivasional Interviewing
Tujuan dari MI adalah menumbuhkan motivasi pasien untuk berubah dan menurunkan
resistensi pasien mengenai ide mengurangi konsumsi obat. Terdapat empat prinsip utama dalam
teknik MI yaitu:
1. Mengepresikan empati (express empathy)4
Artinya melibatkan, menampilkan kondisi kondisi rasa empati, kehangatan,
ketulusan, dan anggapan positif tanpa syarat dan mengembangkan aliansi terapeutik
yang kuat untuk menangani resistensi klien, dan membantu klien untuk berubah.
Konselor professional harus menunjukkan sikap menerima klien tanpa syarat dan
menggunakan keterampilan mendengarkan reflektif dan aktif untuk memastikan
bahwa klien merasa dipahami dan agar klien juga memahami signifikansi pikiran,
perasaan dan prilakunya sendiri. Penting juga bahwa konselor menyoroti dan
menerima perasaan ambivalen klien tentang perubahan.

7
Ada dua tahapan empati yaitu yang pertama “penghatayatan perasaan untuk ke
dalam’. Konselor mengalami perasaan yang sama dengan klien. Tahap kedua, lebih
menekankan pada kesadaran kognitif, melihat dunia klien sebagaimana ia melihatnya,
selanjutnya diarahkan kepada pandangan yang lebih realistis.
2. Mengembangkan diskrepansi (develop discrepancy)
Artinya melibatkan konselor professional yang membantu klien secara trampil untul
memverbalisasikan beragam pikiran, perasaan dan konflik, sehingga klien dapat
menetapkan diskrepansi-diskrepansi antara vagaimana klien saat ini menjalani hidup
dan bagaimana sebenarnya cara yang di inginkan klien untuk menjalani hidup.
Keterampilan yang dapat membantu dalam mengempakan diskrepansi-diskrepansi
klien dengan menggunakan akronim OARS yaitu: (open-ended question) pertanyaan
terbuka, (affirmation) afirmasi, (reflecting skill) ketrampilan untuk melakukan
refleksi dan (summaries) rangkuman.4
 Pertanyaan terbuka (open question) tidak dapat dijawab dengan jawaban
yang mudah ya atau tidak sehingga mendorong klien untuk menggali lebih
banyak informasi dan mengklarifikasi jawaban. Pertanyaan-pertanyaan
terbuka sangat diperlukan untuk memunculkan pertanyaan baru dari klien.
Meminta klien mendekripsikan hari-hari tipikalnya juga dapat membantu
konselor professional untuk melihat pola yang ada dalam pikiran perasaan dan
prilaku klien.
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban panjang
dan membuka pintu kepada seseorang agar mareka mau berbicara
Contoh pertanyaan terbuka antara lain:
 " Apa manfaat yang anda rasakan dengan menggunakan NAPZA"?
 "Ceritakan kepada saya, hal apa yang anda rasakan kurang balk tentang
penggunaan....(NAPZA)
 "Anda kelihatan khawatir dengan penggunaan NAPZA yang anda
lakukan selama ini?" bisa disampalkan pada saya tentang hal tersebut
lebih lanjut?"
 "Seberapa khawatirnya anda pada hal tersebut"
 " Bagaimana perasaan anda tentang ?"

8
 "Apa yang akan anda lakukan berkaitan dengan hal tersebut?"
 " Apa yang anda ketahui tentang ?"
 Afimasi (penegasan) menyampaikan nilai dari apa yang dikatakan oleh klien
dan membantu klien untuk mengenali kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber
daya batiniahnya. Afirmasi seharusnya mereflesikan dengan jujur prilaku atau
atribut klien dan dimaksudkan untuk meningkatkan efikasi-diri klien. Ketika
memberikan afirmasi, penting bagi seseorang konselor untuk menghindari
penggunaan kata saya agar klien tidak merasa dievaluasi.
Termasuk pernyataan apreslasi serta pengertian membantu menciptakan
lingkungan yang mendukung, serta membangun relasi dengan pasien.
Memberikan penegasan terhadap kekuatan pasien dan usaha untuk berubah
dapat membantu membangun keyakinan, sementara penegasan pernyataan
motivasi diri {atau berbicara tentang perubahan) mendorong kesiapan untuk
berubah.
Contoh penegasan termasuk:
 "Terima kasih untuk kedatangannya pada hari ini"
 "Saya menghargai kemauan saudara untuk berbicara pada saya tentang
penggunaan NAPZA"
 "Anda adalah orang yang tepat untuk mengatasi kesulitan ini" "Saya
dapat melihat bahwa anda merupakan orang yang tangguh"
 "Itu adalah ide yang bagus"
 "Hal ini sulit untuk dibicarakan mengenai ………. saya sangat
menghargai jika anda tetap seperti ini" .
 Ketrampilan untuk melakukan refleksi adalah menyampaikan simpati,
menggungkapkan perasaan-perasaan yang mendasari dan makna pernyataan-
penyataan klien, memungkinkan klien untuk mengetahui bahwa dirinya
dimengerti, dan memungkinkan konselor untuk mengikuti jalannya
percakapan, menyoroti informasi penting yang ada pada saat itu mungkin
tidak disadari pentingnya oleh klien. Akan tetapi, Naar King dan Suarezjuga
menegaskan bahwa refleksi dua sisi yang lebih reflektif dapat

9
mengungkapkan perasaan-perasaan campur aduk klien tentang perubahan,
sehingga membantu dalam mengembangkan diskrepansi-diskrepansi.
Mendengarkan dengan cara merefleksikan (Reflective listening).
Mendengarkan dengan cara merefleksikan adalah suatu pernyataan yang dapat
menebak apa yang dimaksud pasien. Hal ini penting untuk merefleksikan
kembali perkataan dan perasaan pasien yang telah di ucapkan. Mendengarkan
dengan cara merefleksikan adalah sama halnya seperti menggunakan cermin
untuk seseorang sehingga mereka dapat mendengar apa yang dikatakan terapis
seperti apa yang telah mereka sampaikan.
Mendengarkan dengan cara merefleksikan menunjukkan pada pasien bahwa
terapis mengerti apa yang telah dikatakan atau dapat digunakan untuk
mengklarifikasi apa yang dimaksud oleh pasien. Mendengarkan dengan cara
merefleksi yang efektif dapat mendorong pasien untuk tetap berbicara, untuk
itu terapis harus memberikan cukup waktu agar ha! ini dapat dilakukan Dalam
wawancara motivasional, nnendengarkan dengan cara merefleksikan
digunakan secara aktif untuk menyoroti ambivalensi pasien tentang
penggunaan NAPZA , mengarahkan pasien untuk mengenali dan peduli
dengan masalahnya serta memperkuat pernyataan yang mengindlkasikan
bahwa pasien berfikir tentang perubahan.
Contoh ;
 Anda terkejut bahwa skor anda memperlihatkan bahwa anda
mempunyai masalah yang berisiko"
 "Hal ini sangat penting untuk mempertahankan hubungan anda dengan
istri"
 "Anda merasa tidak nyaman membicarakah hal ini"
 "Anda marah karena istri sering mengomell bila anda banyak merokok"
 "Maukah anda mengurangi penggunaan alkohol pada saat pesta"
 "Anda sangat menikmati ekstasi dan tidak mau menghentikannya tapi
secara bersamaan anda juga melihat bahwa hal ini dapat menyebabkan
beberapa masalah yang berkaitan dengan finansial dan hukum".

10
 Rangkuman digunakan untuk menunjau dan mengoneksi apa yang sudah di
katakana klien untuk memfasilitasi kemajuan. Membuat kesimpulan atau
merangkum adalah hal yang penting untuk menyamakan persepsi terhadap
apa yangtelah dikatakan pasien serta mempersiapkan pasien untuk berubah.
Pertama pasien dapat mendengarkan apa yang la katakan kemudian la
mendengar terapisnya nnerefleksikan apa yangtelah diucapkan dan kemudian
ia mendengarkan kembali daiam kesimpulan atau rangkuman. Terapis
memilih apa yang akan dimasukkan daiam rangkuman dan petunjuk apa yang
dapat digunakan untuk berubah. Hal ini penting untuk membuat suatu
rangkuman.
Sebagai contoh suatu rangkuman:
"Jadi kelihatannya anda benar-benar menikmati ekstas! dan shabu pada saat
pesta dan anda tidak memikirkan bahwa anda menggunakannya lebih banyak
dari teman anda. Pada sisi lain anda lebih banyak menghabiskan uang untuk
membeli NAPZA dibandingkan penghasilan anda dan Ini sangat
mengkawatirkan anda. Anda juga menemui kesulitan untuk membayartagihan
dan kartu kredit anda ditolak. Pasangan anda sangat marah dan sangat
membenci perilaku anda. Anda juga mempunyai masalah tidur dan kesulitan
mengingat sesuatu."
Berbicara mengenai perubahan (Eliciting change talk) Keterampilan kelima
adalah "Berbicara mengenai perubahan" adalah suatu strategi untuk membantu
pasien mengatasi ambivalensi dan bertujuan agar pasien dapat menyampaikan
pendapatnya untuk mau berubah. Ada empat kategori penting untuk
membicarakan perubahan :
 Mengenali kerugian bila tetap menggunakan
 NAPZA
 Mengenali manfaat bila tidak menggunakan
 NAPZA
 Menyampaikan optimisme tentang perubahan
 Menyampaikan tujuan untuk berubah

11
Terdapat beberapa cara yang dapat menggambarkan berbicara mengenai
perubahan" dari pasien, Mengajukan pertanyaan iangsung dan terbuka,
contoh :
 "Apa yang menyebabkan anda khawatirkan dengan penggunaan
NAPZA ?"
 "Apa yang anda pikirkan terjadi jika anda tidak berubah?"
 "Manfaat apa yang akan didapatkan jika anda mengurangi penggunaan
NAPZA ?"
 "Apa yang anda inginkan dalam kehidupan anda lima tahun mendatang?"
 "Apa yang akan anda kerjakan apabila anda memutuskan untuk berubah?"
 "Seberapa yakinkah anda bahwa anda dapat berubah?"
 "Seberapa penting bagi anda untuk mengurangi penggunaan NAPZA?"
 Apa yang anda fikirkan seat ini tentang penggunaan NAPZA anda ?"

3. Menerima Resistensi (roll with resistance)


Mengusulkan bahwa alih-alih menentang resistensi klien untuk berubah, konselor
professional seharusnyamengakui bahwa resistensi adalah salah satu bagian penting
dan lazim dialami dalam proses perubahan. Lagipula, jika resistensi tidak terjadi,
maka perubahan akan mudah dan mestinya sudah terjadi. Dengan menggunakan
ketrampilan melakukan refleksi, konselor memberikan umpan balik, me-reframe
pertanyaan klien sebelum tentang motivasi untuk berubah. Disini penting untuk
membantu klien mengekplorasi berbagai pro dan kontra terhadap perubahan, dan
konselor bahkan dapat menambah pelintiran dengan mengakui resistensi klien sambil
menambahkan pemikiran tambahan untuk reframe sesuatu yang mungkin sebelumnya
tidak dipertimbangkan oleh klien, sehingga mengerahkan klien ke sebuah
kemungkinan arah baru. Ketika menerima perubahan, sangat penting untuk tetap
menempatkan klien sebagai pihak yang bertanggung jawab atau masalahnya dan atas
reseistensi untuk mengatasi masalah tersebut.
4. Mendukung Efikasi Diri (support self-efficacy)
Mendorong keyakinan klien dalam mendukung perubahan untuk memperbaiki
kehidupan klien. Lewis mengatakan bahwa efikasi diri dapat ditingkatkan dengan

12
memerintahkan klien berbagai cerita-cerita tentang bagaimana klien mengatasi
berbagai kendala untuk mencapai kesuksesan dimasa lalu. Klien seharusnya di doring
menggunakan change talk. Eatson mengatakan bahwa penggunaan change talk
menunjukkan meningkatnya efikasi diri dan selanjutnya komitmen klien untuk
berubah. Bahkan meningkatnya penggunaan change talk adalah suatu indicator
penting bahwa klien siap menentapkan tujuan dan rencana tindakan.

Dengan menerapkan keempat prinsip ini, MI dapat menghasilkan respons yang terfokus
pada ambivalensi dalam tahap tahap krusial kontemplasi dan determinasi dan mungkin berguna
juga jika ambivalensi terjadi dalam tahap lebih jauh. Variasi jenis kelamin klien, etnis, dan status
sosioekonomi tampaknya tidak berpengaruh pada hasil studi MI (Brown dan Miller, 1993), yang
mengindikasikan bahwa MI dapat digunakan sebagai intervensi klinis yang sesuai untuk banyak
konsumen.

Ada empat proses dalam melakukan Motivational Interviewing untuk mendapatkan


perubahan (Levounis, et al., 2017) yaitu :
a) Engaging
Engaging mengacu pada menjalin dan membangun rapport serta belajar mengenai pasien.
Proses ini sangat diperlukan dalam MI dan beberapa jenis intervensi yang lain untuk
mewujudkan perubahan.
b) Focusing
Proses dari “focusing” melibatkan pengembangan agenda khusus, mengembangkan
tujuan untuk perubahan perilaku dan mengarahkan wawancara.
c) Evoking
Evoking merupakan suatu proses untuk mengexplorasi dan memunculkan motivasi
seseorang untuk berubah. Dokter yang terampil mengasah dalam aspek ambilivalen klien
untuk perubahan tertentu dan menghentikan pendapat yang tidak menyebabkan
perubahan.
d) Planning
Pada beberapa waktu selama proses motivational, pasien mungkin menunjukkan tanda
kesiapannya untuk berubah misalnya ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang

13
perubahan atau bagaimana mereka di lingkuangan agar mereka bisa berubah. Jika klinisi
sudah mengenali tanda ini maka proses planning bisa dimulai. Rencana perubahan
mencakup empat elemen penting yaitu menetapkan tujuan yang jelas untuk perubahan
perilaku, menggali cara-cara untuk berubah, memutuskan rencana, dan melakukan
rencana.

2.4 Cara membangun hubungan yang baik antara konselor dengan pasien
Untuk membangun hubungan yang baik antara konselor dengan pasien maka kita
seharusnya:
 Menyambut Pasien seperti selayaknya orang normal.
 Membangun hubungan yaitu jangan menanyai konseli dengan pertanyaan-pertanyaan
yang jawabannya hanya "ya" atau "tidak". Dengan demikian, percakapan kita bisa
berkembang terbuka. Oleh sebab itu, seharusnya konselor memakai pertanyaan yang
terbuka agar konseli terbuka dan bebas berbicara. Di dalam saat-saat yang tepat, Anda
dapat berkata, misalnya "Aku senang bila Anda membicarakan sesuatu hal tentang
keluarga Anda atau yang lainnya." Anda juga dapat berkata, "Aku juga ikut prihatin
tentang anak Anda yang telah ditangkap polisi. Ada baiknya bila Anda menuturkannya
sedikit." (bila misalnya memang ada kejadian seperti itu).
 Menguatkan yaitu Konselor perlu untuk mendorong yang bersangkutan agar mereka
bebas berbicara
 Tanda-tanda konselor mendengarkan dengan baik

14
BAB III
KESIMPULAN

Rehabilitasi pecandu NAPZA adalah suatu program yang ditujukan kepada pecandu yang
bersifat terpadu mencakup aspek biopsikososiokultural spiritual agar para pecandu dapat
berfungsi kembali secara fisik, medis, dan sosial serta dalam pekerjaan sehari-hari. Rehabilitasi
selain bertujuan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika juga agar bekas
pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Pada
setiap metode rehabilitasi juga dapat disertai intervensi psikososial seperti brief intervention,
konseling dasar, Motivational interviewing, CBT atau relaps prevention. Tidak ada satupun
bentuk terapi serupa yang sesuai untuk semua individu sehingga assesment awal disertai
pendekatan personal memegang peranan yang cukup penting untuk menentukan metode
rehabilitasi yang tepat untuk pasien gangguan penggunaan NAPZA. Terapi yang efektif harus
mampu memenuhi banyak kebutuhan individu tersebut, tidak semata-mata hanya untuk memutus
menggunakan NAPZA.

15
Daftar Pustaka
1. Hall, K., Gibbie, T. & Lubman, D. I., 2012. Motivational interviewing techniques:
Facilitating behaviour change in the general practice setting. Australian Family Physician,
pp. 660-666.
2. Husin, A. B. & Siste, K., 2015. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G.
Hadisukanto, eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp. 143-171.
3. Joewana, S, Mardiati R, Utami S.D, Dahsriati, Supratman. A, Isrizal, Noveria. S., 2012.
Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprenhensif pada Gangguan Penggunaan
NAPZA Berbasis Rumah Sakit. Jakarta : Penerbit Direktorat Bina Kesehatan Jiwa
Kementrian Kesehatan R.I, pp.89-97.
4. Baker A, T Lewin, H Reichler, et al. 2002. Motivational interviewing among psychiatric in-
patients with substance use disorders in Acta Psychiatrica Scandinavica. Wiley Online
Library vol 106, issue 3, pp 233-240.

16

Anda mungkin juga menyukai