Anda di halaman 1dari 18

RSUD Sangatta

Jl. Soekarno - Hatta


Tel 0549 - 5523215
Sangatta

PEDOMAN PENCEGAHAN
PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
(PPIA)

2014
PEDOMAN PPIA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat yang telah dikaruniakan
kepada penyusun, sehingga Buku Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA /
Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission / PMTCT) Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta
ini dapat selesai disusun.
Buku Pedoman PPIA di Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta ini disusun untuk lebih
memantapkan upaya penanggulangan HIV/AIDS, keselamatan pasien, keselamatan kerja, serta
meningkatkan mutu pelayanan.
Dalam buku pedoman ini diuraikan Standar Ketenagaan, Standar Fasilitas, Tatalaksana
Pelayanan Terapi Antiretroviral (ARV), Logistik, Keselamatan Pasien, Keselamatan Kerja, dan
Pengendalian Mutu.
Tidak lupa penyusun sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan semua
pihak dalam menyelesaikan Buku Pedoman Pelayanan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit
Umum Daerah Sangatta.

Sangatta, Januari 2014

Penyusun

Page
PEDOMAN PPIA
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Denah Ruangan Pelayanan terapi ARV di RSUD Sangatta...........................................6


Gambar 4.1. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan PRONG 3 dan 4 dalam PPIA....................11

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA RSUD Sangatta...................................................5


Tabel 4.1. Pilihan persalinan..............................................................................................................8

Page
PEDOMAN PPIA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang
dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak
berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang
dengan HIV dan AIDS. Menurut Laporan Progres HIV-AIDS WHO Regional SEARO (2011)
sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari
tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan seksualnya.
Di sejumlah negara berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama kematian
perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta ibu
dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan
melalui proses penularan dari ibu ke anak atau mother-tochild HIV transmission(MTCT). Virus
HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat
persalinan dan saat menyusui. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000
anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang
terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti sebagai
intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Di negara maju
risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang dari 2% karena tersedianya intervensi
PPIA dengan layanan optimal. Namun di negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya
akses intervensi, risiko penularan masih berkisar antara 20% dan 50%.
Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan penularan dari ibu-ke-
anak yang komprehensif dan efektif di fasilitas pelayanan kesehatan. RSUD Sangatta merupakan
salah satu fasyankes yang menjalankan upaya-upaya terkait PPIA.

1.2. Tujuan
1. Mengetahui standar ketenagaan di Pelayanan PPIA di RSUD Sangatta.
2. Mengetahui standar fasilitas di Pelayanan PPIA di RSUD Sangatta.
3. Mengetahui tata cara PPIA di RSUD Sangatta.
4. Mengetahui keselamatan pasien dalam PPIA di RSUD Sangatta.
5. Mengetahui keselamatan kerja dalam PPIA di RSUD Sangatta.

1.3. Ruang Lingkup Pelayanan


PPIA merupakan upaya-upaya yang ditempuh untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anaknya di lingkup instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, instalasi gawat darurat, instalasi
laboratorium, instalasi farmasi, dan rekam medis.

Page
PEDOMAN PPIA
1.4. Batasan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala berkurangnya kemampuan
pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke dalam tubuh seseorang.
Anti Retroviral Therapy (ART) adalah sejenis obat untuk menghambat kecepatan replikasi virus
dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Obat diberikan kepada ODHA yang
memerlukan berdasarkan beberapa kriteria klinis, juga dalam rangka Prevention of Mother To
Child Transmission (PMTCT).
Human Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS.
Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya telah terinfeksi virus
HIV/AIDS.
Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan untuk ODHA dan
keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan, perawatan, diagnosis, terapi, dan
pencegahan infeksi oportunistik, dukungan sosioekonomi dan perawatan di rumah.
Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh seseorang untuk
mendapatkan layanan.
Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah persetujuan yang diberikan oleh orang
dewasa yang secara kognisi dapat mengambil keputusan dengan sadar untuk melaksanakan
prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medik lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang
berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk
suatu keperluan penelitian.

1.5. Landasan Hukum


1. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat nomor 9/KEP/1994 tentang Strategi
Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Rujukan bagi
ODHA
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak (PPIA)
6. Pedoman Nasional Pencegahan Penuralan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2012.
7. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa, Kementrian Kesehatan, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2011
8. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak,
Kementrian Kesehatan, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2011.
9. Peraturan Bupati Kutai Timur nomor 36 Tahun 2012 tentang Pola Tata Kelola Rumah Sakit
Umum Daerah Sangatta;

Page
PEDOMAN PPIA
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

2.1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Dalam melaksanakan pelayanan PPIA di RSUD Sangatta dipimpin oleh Ketua Tim
Penanggulangan HIV/AIDS. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA disesuaikan dengan kualifikasi
dan beban kerja yang ada. Untuk distribusi ketenagaan pelayanan PPIA disebutkan dalam tabel 2.1
sesuai dengan tugas masing-masing.

Tabel 2.1. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA RSUD Sangatta


Nama Klasifikasi Jumlah Tenaga
Keterangan
Jabatan Formal Non Formal Kebutuhan yang Ada
Dokter Dokter Pelatihan PPIA 1 1 dokter Cukup
Umum sesuai dengan umum, 1
dan/atau standar WHO atau dokter
Dokter lebih sesuai Spesialis
Spesialis dengan kebutuhan Kebidanan
dan
Kandungan
Koordinator DIII Pelatihan PPIA 1 1 Cukup
Ruang Kebidanan sesuai dengan
Perawatan standar WHO atau
Kebidanan lebih sesuai
dan dengan kebutuhan
Kandungan
Petugas DIII Analis Pelatihan sesuai 1 1 Cukup
Laboratorium Kesehatan dengan standar
atau SMAK WHO atau lebih
sesuai dengan
kebutuhan
Petugas S1 Apoteker Pelatihan sesuai 1 1 Cukup
Farmasi dengan standar
WHO atau lebih
sesuai dengan
kebutuhan
Petugas DIII Pelatihan sesuai 1 1 Cukup
Administrasi Administrasi dengan standar
Kesehatan WHO atau lebih
sesuai dengan
kebutuhan

2.2. Distribusi Ketenagaan


Tim PPIA berjumlah 6 orang, yang terbagi menjadi dokter CST, dokter Spesialis Kebidanan dan
Kandungan, koordinator ruang perawatan kebidanan dan kandungan, petugas laboratorium, petugas
farmasi, dan petugas administrasi.

Page
PEDOMAN PPIA
BAB III
STANDAR FASILITAS

3.1. Denah Ruangan


RSUD Sangatta tidak memiliki ruang khusus untuk pelayanan PPIA, namun terintegrasi di pusat
layanan HIV/AIDS RSUD Sangatta di ruang poli VCT (lihat gambar), ruang Poliklinik Kebidanan
dan Kandungan, Kamar Bersalin, dan Ruang Perawatan Kebidanan dan Kandungan.

POLI VCT

Gambar 3.1. Denah Ruangan Pelayanan PPIA di RSUD Sangatta

3.2. Standar Fasilitas


Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan dan fungsi
pelayanan PPIA yang optimal bagi pasien.

3.3. Kriteria
Tersedia ruangan khusus pelayanan klien yang berfungsi sebagai pusat pelayanan HIV/AIDS
di RSUD Sangatta meliputi kegiatan konseling, penatalaksanaan, pencatatan dan pelaporan, serta
menjadi pusat jejaring internal atau eksternal pelayanan HIV/AIDS di RSUD Sangatta.
1. Ruang tersebut memenuhi persyaratan sarana dan prasarana ruangan pelayanan terapi ARV.
2. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan terapi ARV.
3. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan antibodi anti-HIV.

Page
PEDOMAN PPIA
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) dilaksanakan melalui kegiatan kompehensif
yang meliputi empat pilar (4 prong) yaitu :
1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
4. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang terinfeksi
HIV dan bayi serta keluarganya

4.1. PRONG 1 : Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi


Prong 1 merupakan langkah pencegahan primer yang paling efektif dalam penularan HIV
dari ibu ke anak. Upaya ini dilakukan dengan penyuluhan-penyuluhan dan penjelasan yang benar
terkait HIV/AIDS dan penyakit IMS dalam koridor kesehatan reproduksi. Untuk menghindari
perilaku seksual berisiko dalam upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCDE”
yaitu :
 A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang
belum menikah;
 B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti
pasangan);
 C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan
kondom;
 D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.
 E (Education), artinya dengan penyebarluasan informasi dan edukasi mengenai HIV/AIDS.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :


1. Menyebarkan informasi dan edukasi tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi baik secara
individu maupun secara kelompok. Edukasi sangat perlu diberikan pada wanita remaja,
sehingga mereka dapat mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV.
2. Mobilisasi masyarakat, dimana melibatkan petugas lapangan dan komunitas tertentu (kelompok
dukungan sebaya, tokoh agama, dan tokoh masyarakat) sebagai pemberi informasi pencegahan
HIV dan IMS.
3. Layanan Test HIV. Dilakukan melalui pendekatan konseling dan testing atas inisiasi petugas
kesehatan (KTIP) serta konseling dan testing sukarela (KTS). Layanan ini diberikan pada
pelayanan ANC terpadu dan layanan KIA di rumah sakit.

Page
PEDOMAN PPIA
4.2. PRONG 2 : Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan
dengan HIV
Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta
penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar melakukan
hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan.
Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi. Kegiatan dalam prong ini
dilakukan pada saat pasien wanita HIV positif datang kontrol ke poliklinik VCT/CST atau
memeriksakan diri ke poliklinik lainnya, terutama poliklinik kebidanan dan kandungan.
Apabila wanita HIV positif tidak ingin hamil, maka kontrasepsi yang dianjurkan adalah
kontrasepsi jangka panjang dan kondom. Sedangkan yang tidak ingin punya anak lagi disarankan
untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan kondom. Apabila wanita HIV positif masih ingin
memiliki anak, maka dilakukan konseling lanjutan untuk merencanakan kehamilannya. Ibu dengan
HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami, atau
keluarga.

4.3. PRONG 3 : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke Bayi
yang Dikandungnya
Kegiatan pada prong ini dilaksanakan pada setiap pasien wanita hamil HIV positif yang
memeriksakan diri pada poliklinik kebidanan dan kandungan atau datang kontrol ke poliklinik
VCT/CST atau dalam proses persalinan di ruang bersalin (VK). Strategi ini merupakan inti dari
layanan PPIA dan merupakan kegiatan layanan KIA yang komprehensif meliputi :
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV, merupakan jalan bagi ibu hamil untuk
mengetahui status HIV, sehingga dapat pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis,
dan KIE tentang HIV/AIDS.
2. Diagnosis HIV. Alur pemeriksaan anti HIV dalam darah dengan menggunakan metode cepat
(rapid) atau ELISA.
3. Pemberian ARV untuk ibu hamil HIV positif. Diberikan berdasarkan Pedoman Terapi ARV.
Pemberian ARV dimulai tanpa memandang stadium klinis ataupun jumlah CD4, dan
dikonsumsi seumur hidup. Bertujuan untuk mengurangi risiko penularan dan mengoptimalkan
kesehatan ibu.
4. Persalinan yang aman. Pemilihan persalinan diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan
konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian
petugas kesehatan.

Tabel 4.1. Pilihan persalinan

Page
PEDOMAN PPIA
Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu hamil dengan
HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini:
 Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus memperhatikan kondisi
fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan
merupakan indikasi untuk bedah sesar.
 Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani
persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar).
 Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam maupun bedah
sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku untuk semua jenis
persalinan dan tindakan medis.

5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak. Dilakukan konseling tentang risiko penularan
HIV melalui ASI. Konseling dilakukan selama ANC atau sebelum persalinan. Pengambilan
keputusan di tangan ibu setelah mendapatkan konseling lengkap. Sangat dianjurkan untuk
menggunakan susu formula sebagai makanan bagi bayi, apabila syarat AFASS (affordable,
feasible, acceptable, sustainable, and safe) terpenuhi keseluruhannya. Apabila salah satu syarat
tidak terpenuhi, maka ASI diberikan secara eksklusif selama 6 bulan. Tidak dianjurkan untuk
menyusui campur (mixed feeding) artinya diberikan ASI dan PASI bergantian.
6. Mengatur kehamilan dan keluarga berencana, seperti yang telah dijelaskan pada PRONG 2.
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada bayi/anak. ARV yang diberikan adalah
Zidovudine (AZT) dimulai pada hari pertama kehidupan sampai 6 minggu, dengan dosis 4
mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. Setelah 6 minggu, diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan
dosis 4-6 mg/kgBB (dosis trimeptoprim) diberikan 1 kali sehari sampai diagnosis HIV dapat
ditegakkan.
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV. Pemeriksaan untuk antibodi
anti HIV dengan metode cepat (rapid) hanya dapat digunakan apabila anak berumur lebih dari
18 bulan, atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasil positif
maka harus diulang setelah berusia 18 bulan. Bila usia anak kurang dari 18 bulan, maka
pemeriksaan yang dilakukan adalah PCR untuk melihat HIV DNA, yang dilakukan minimal 2
kali, pertama pada usia 4-6 minggu dan 4 minggu setelah pemeriksaan pertama.

4.4. PRONG 4 : Pemberian dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Penting untuk menjamin kerahasiaan status HIV ibu untuk menghindai stigma dan diskriminasi di
masyarakat. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Beberapa hal yang
mungkin dibutuhkan ibu dengan HIV antara lain :
 Pengobatan ARV jangka panjang
 Pengobatan gejala penyakitnya
 Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 dan viral load)

Page
PEDOMAN PPIA
 Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
 Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
 Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.
 Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya
 Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
 Kunjungan ke rumah (home visit)
 Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
 Adanya pendamping saat sedang dirawat
 Dukungan dari pasangan
 Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
 Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak

Gambar 4.1. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan PRONG 3 dan 4 dalam PPIA

Page
PEDOMAN PPIA
BAB V
LOGISTIK

Pengadaan logistik untuk pelayanan PPIA dilakukan dengan permintaan secara berkala kepada
Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur.

5.1. Obat Antiretroviral (ARV)


Pengadaan, pengelolaan, dan pengawasan ARV merupakan tanggung jawab instalasi farmasi RSUD
Sangatta di bawah petugas farmasi Tim Penanggulangan HIV/AIDS RSUD Sangatta. Obat ARV
yang diminta terdiri dari :
1. Zidovudin (AZT)
2. Tenofovir (TDF)
3. Lamvudin (3TC)
4. Emtricitabine (FTC)
5. Efavirenz (EFV)
6. Nevirapine (NVP)
Selain obat-obat tersebut, bisa dimintakan obat dalam kombinasi dosis tetap (KDT) yang terdiri dari
1. Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) dengan nama paten Duviral
2. Tenofovir (TDF) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV) dengan nama paten Atripla
3. Tenofovir (TDF) + Emtricitabine (FTC) dengan nama paten Aluvia
Petugas farmasi Tim HIV/AIDS RSUD Sangatta mengajukan pemesanan obat ARV kepada Dinas
Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur melalui sistem pelaporan online IOMS setiap bulannya
sebelum tanggal 25.

5.2. Logistik Laboratorium


Pengadaan dan pengelolaan logistik laboratorium berkaitan dengan pelayanan VCT (pemeriksaan
antibodi anti-HIV) merupakan tanggung jawab petugas laboratorium tim VCT dibawah pimpinan
unit laboratorium RSUD Sangatta. Kebutuhan logistik laboratorium terkait pemeriksaan anti-HIV
antara lain :
1. Jarum dan semprit steril *
2. Tabung dan botol tempat penyimpan darah *
3. Kapas alkohol *
4. Cairan desinfektan *
5. Sarung tangan karet *
6. Apron plastik *
7. Sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir *
8. Tempat sampah barang terinfeksi, barang tidak terinfeksi, dan barang tajam (sesuai petunjuk
Kewaspadaan Universal Departemen Kesehatan) *
9. Petunjuk pajanan okupasional dan alur permintaan pertolongan pasca pajanan okupasional. *
10. Reagen untuk testing dan peralatannya

Page
PEDOMAN PPIA
11. Lemari pendingin *
12. Ruang penyimpanan testing-kit , barang habis pakai
13. Buku-buku register (stok barang habis pakai, penerimaan sampel, hasil testing, penyimpanan
sampel, kecelakaan okupasional) atau komputer pencatat.
14. Pedoman testing HIV
Catatan : * inventaris rumah sakit (pengadaan oleh RSUD Sangatta)

Petugas laboratorium VCT mengajukan permohonan logistik laboratorium kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur.

5.3. Logistik Dokumentasi


Logistik dokumentasi terkait dengan pelayanan PPIA merupakan formulir-formulir dan rekam
medis pasien HIV positif meliputi :
1. Ikhtisar perawatan pasien HIV/ART
2. Kartu pasien
3. Register Pra-ART
4. Register ART
5. Register pemberian Obat
6. Register Stok Obat
7. Formulir Rujukan
Untuk dokumentasi pelaporan dilakukan melalui sistem online dengan menggunakan program
IOMS dan dilakukan setiap bulan sebelum tanggal 25.

Page
PEDOMAN PPIA
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

6.1. Pengertian
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Hal ini termasuk asesmen risiko, identifikasi, dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan, dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
Sedangkan insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm (penyakit, cidera, cacat, kematian, dan lain-
lain) yang tidak seharusnya terjadi.

6.2. Tujuan
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Selain itu
sistem keselamatan pasien ini mempunyai tujuan agar tercipta budaya keselamatan pasien di rumah
sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya
kejadian tidak diharapkan di rumah sakit, dan terlaksananya program-program pencegahan sehingga
tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

6.3. Tata Laksana Keselamatan Pasien


Dalam melaksanakan keselamatan pasien terdapat tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien
Rumah Sakit. Adapun tujuh langkah tersebut adalah :
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Menciptakan kepemimpinan dan budaya
yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas
tentang keselamatan pasien.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Mengembangkan sistem dan proses pengelolaan
risiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen hal potensial bermasalah.
4. Menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit seperti tersebut di atas
5. Menerapkan stancak keselamatan pasien rumah sakit dan melakukan self assesment dengan
instrumen akreditasi pelayanan keselamatan pasien rumah sakit.
6. Program khusus Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
7. Mengevaluasi secara periodik pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit dan
kejadian tidak diharapkan.

6.4. Sasaran Keselamatan Pasien HIV/AIDS di RSUD Sangatta


1. Ketepatan identifikasi pasien

Page
PEDOMAN PPIA
Ketetpatan identifikasi pasien adalah ketepatan penentuan identitas pasien sejak awal pasien
masuk sampai dengan pasien keluar terhadap semua pelayanan yang diterima oleh pasien.
Setiap pasien HIV/AIDS yang datang ke RSUD Sangatta harus diverifikasi identitasnya dengan
menggunakan nama dan alamat, atau nama dan tanggal lahir.
2. Peningkatan komunikasi yang efektif, yaitu komunikasi lisan yang menggunakan prosedur
“SBAR”; write, read, dan repeat back (reconfirm).
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert).
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medication) adalah obat yang sering
menyebabkan terjadi kesalahan atau kesalahan serius dan obat yang berisiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan. Untuk antiretroviral (ARV) yang waktu
penggunaannya jangka panjang harus diwaspadai juga masa/tanggal kada luarsanya.
4. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan
kesehatan. Infeksi biasa dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi
saluran kemih, infeksi pada aliran darah, pneumonia yang sering berhubungan dengan ventilasi
mekanis. Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan yang tepat.
5. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Pengurangan pengalamam pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya jatuh. Suatu
jehadian jatuh yang tidak disengaja pada seseorang saat istirahat yang dapat dilihat/dirasakan,
atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi tertentu seperti stroke, pingsan,
dan lainnya. Untuk pasien HIV/AIDS yang rawat inap, dikaji pula risiko jatuhnya. Apabila
termasuk berisiko, pasien tersebut dipasang gelang kuning.

Page
PEDOMAN PPIA
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1 menyatakan bahwa upaya kesehatan
kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan
serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah sakit adalah tempat kerja yang
termasuk dalam kategori seperti disebut di atas, berarti wajib menerapkan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja. Program keselamatan dan kesehatan kerja di tim pendidikan pasien dan keluarga
bertujuan melindungi karyawan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan di dalam dan di luar
rumah sakit.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “setiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal ini yang
dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan pekerja berada
dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sehingga dapat
hidup layak sesuai dengan martabat manusia.
Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian integral dari perlindungan
terhadap pekerja dalam hal ini tim penanggulangan HIV/AIDS dan perlindungan terhadap Rumah
Sakit. Pegawai adalah bagian integral dari rumah sakit. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja
akan meningkatkan produktivitas pegawai dan meningkatkan produktivitas rumah sakit. Undang-
Undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk menjamin :
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu berada dalam keadaan sehat
dan selamat.
2. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.

Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat digolongkan pada tiga
kelompok, yaitu :
1. Kondisi dan lingkungan kerja.
2. Kesadaran dan kualitas pekerja.
3. Peranan dan kualitas manajemen.
Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat
terjadi bila :
1. Pelatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus.
2. Alat-alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses produksi.
3. Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu panas atau dingin.
4. Tidak tersedia alat-alat pengaman.
5. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran, dan lain-lain.

Page
PEDOMAN PPIA
7.1. Perlindungan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Petugas Kesehatan
1. Petugas kesehatan yang merawat pasien HIV/AIDS harus mendapatkan pelatihan/sosialisasi
mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tidakan pencegahan dan pengendalian
infeksi yang sesuai dengan protokol.
2. Petugas yang tidak terlibat secara langsung dengan pasien harus diberikan penjelasan umum
mengenai penyakit tersebut.

4.2. Petunjuk Pencegahan Infeksi untuk Petugas Kesehatan


1. Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan kesehatan, petugas harus
menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai untuk kewaspadaan standar sesuai dengan
penyebaran penyakit. APD untuk pelayanan pasien HIV adalah goggle, masker, apron, serta
sarung tangan untuk petugas laboratorium.
2. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan/sosialisasi tentang gejala HIV/AIDS
3. Pasien HIV yang juga terdiagnosis sebagai penderita TB, harus mengenakan masker jika berada
di ruangan tertutup dan bersama orang lain, serta selalu menerapkan etika batuk.

Page
PEDOMAN PPIA
BAB IX
PENUTUP

Pedoman pelayanan PPIA merupakan bahan rujukan bagi pimpinan rumah sakit dalam
rangka pelayanan PPIA, juga sebagai bahan rujukan akreditasi rumah sakit. Keberhasilan
pelaksanaan layanan PPIA di rumah sakit sangat bergantung pada komitmen dan kemampuan para
penyelenggara pelayanan kesehatan serta dukungan stake holder terkait untuk mencapai hasil
optimal.
Pedoman pelayanan ini senantiasa akan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi serta kebijakan dan peraturan terkait penanggulangan HIV/AIDS yang ada di Indonesia.

DIREKTUR RSUD SANGATTA

dr. Bahrani
Penata Tk.
I
NIP. 19650715 200112 1 003

Page

Anda mungkin juga menyukai