Anda di halaman 1dari 23

PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN DARI

IBU KE ANAK (PPIA)

RUMAH SAKIT MEDIKA STANNIA SUNGAILIAT

TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat yang telah
dikaruniakan kepada penyusun, sehingga Buku Pedoman Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak (PPIA / Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission /
PMTCT) RS. Medika Stannia Sungailiat ini dapat selesai disusun.
Buku Pedoman PPIA di RS. Medika Stannia Sungailiat ini disusun untuk lebih
memantapkan upaya penanggulangan HIV/AIDS, keselamatan pasien, keselamatan
kerja, serta meningkatkan mutu pelayanan.
Dalam buku pedoman ini diuraikan Standar Ketenagaan, Standar Fasilitas,
Tatalaksana Pelayanan Terapi Antiretroviral (ARV), Logistik, Keselamatan Pasien,
Keselamatan Kerja, dan Pengendalian Mutu.
Tidak lupa penyusun sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bantuan semua pihak dalam menyelesaikan Buku Pedoman Pelayanan Terapi
Antiretroviral (ARV) di RS. Medika Stannia Sungailiat.

Sungailiat, Januari 2017

Penyusun
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Denah Ruangan Pelayanan terapi ARV di RSMS Sungailiat ........ 6
Gambar 4.1. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan PRONG 3 dan 4 dalam PPIA
.............................................................................................................................. 11

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA RSMS Sungailiat ................. 5


Tabel 4.1. Pilihan persalinan ............................................................................... 8
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34
juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah
perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan
Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut
Laporan Progres HIV-AIDS WHO Regional SEARO (2011) sekitar 1,3 juta orang
(37%) perempuan terinfeksi HIV. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun
ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang
melakukan hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada
pasangan seksualnya.
Di sejumlah negara berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama
kematian perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam
kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90%
kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau
mother-tochild HIV transmission(MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang
terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat
menyusui. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di
wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang
terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti
sebagai intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke
anak. Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang
dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun di
negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko
penularan masih berkisar antara 20% dan 50%.
Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan
penularan dari ibu-ke-anak yang komprehensif dan efektif di fasilitas pelayanan
kesehatan. RSMS Sungailiat merupakan salah satu fasyankes yang menjalankan
upaya-upaya terkait PPIA.
1.2. Tujuan
1. Mengetahui standar ketenagaan di Pelayanan PPIA di RSMS Sungailiat.
2. Mengetahui standar fasilitas di Pelayanan PPIA di RSMS Sungailiat.
3. Mengetahui tata cara PPIA di RSMS Sungailiat.
4. Mengetahui keselamatan pasien dalam PPIA di RSMS Sungailiat.
5. Mengetahui keselamatan kerja dalam PPIA di RSMS Sungailiat.

1.3. Ruang Lingkup Pelayanan


PPIA merupakan upaya-upaya yang ditempuh untuk pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anaknya di lingkup instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, instalasi
gawat darurat, instalasi laboratorium, instalasi farmasi, dan rekam medis.

1.4. Batasan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala berkurangnya
kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke
dalam tubuh seseorang.
Anti Retroviral Therapy (ART) adalah sejenis obat untuk menghambat kecepatan
replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Obat diberikan
kepada ODHA yang memerlukan berdasarkan beberapa kriteria klinis, juga
dalam rangka Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT).
Human Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS.
Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya telah
terinfeksi virus HIV/AIDS.
Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan untuk
ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan, perawatan,
diagnosis, terapi, dan pencegahan infeksi oportunistik, dukungan sosioekonomi
dan perawatan di rumah.
Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh
seseorang untuk mendapatkan layanan.
Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah persetujuan yang diberikan
oleh orang dewasa yang secara kognisi dapat mengambil keputusan dengan
sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medik lainnya)
bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk
persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan
penelitian.

1.5. Landasan Hukum


1. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat nomor 9/KEP/1994
tentang Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Rujukan bagi ODHA
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
6. Pedoman Nasional Pencegahan Penuralan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA),
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012.
7. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada
Orang Dewasa, Kementrian Kesehatan, Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011
8. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada
Anak, Kementrian Kesehatan, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2011.
9. Peraturan Bupati Kutai Timur nomor 36 Tahun 2012 tentang Pola Tata Kelola RS.
Medika Stannia Sungailiat;
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

2.1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Dalam melaksanakan pelayanan PPIA di RSMS Sungailiat dipimpin oleh Ketua
Tim Penanggulangan HIV/AIDS. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA disesuaikan
dengan kualifikasi dan beban kerja yang ada. Untuk distribusi ketenagaan pelayanan
PPIA disebutkan dalam tabel 2.1 sesuai dengan tugas masing-masing.

Tabel 2.1. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA RSMS Sungailiat

Nama Klasifikasi Jumlah Tenaga


Keterangan
Jabatan Formal Non Formal Kebutuhan yang Ada

Dokter Dokter Pelatihan 1 1 dokter Cukup


Umum PPIA sesuai umum, 1
dan/atau dengan dokter
Dokter standar Spesialis
Spesialis WHO atau Kebidanan
lebih sesuai dan
dengan Kandungan
kebutuhan

Koordinator DIII Pelatihan 1 1 Cukup


Ruang Kebidanan PPIA sesuai
Perawatan dengan
Kebidanan standar
dan WHO atau
Kandungan lebih sesuai
dengan
kebutuhan

Petugas DIII Analis Pelatihan 1 1 Cukup


Laboratorium Kesehatan sesuai
atau SMAK dengan
standar
WHO atau
lebih sesuai
dengan
kebutuhan

Petugas S1 Pelatihan 1 1 Cukup


Farmasi Apoteker sesuai
dengan
standar
WHO atau
lebih sesuai
dengan
kebutuhan

Petugas DIII Pelatihan 1 1 Cukup


Administrasi Administras sesuai
i Kesehatan dengan
standar
WHO atau
lebih sesuai
dengan
kebutuhan

2.2. Distribusi Ketenagaan


Tim PPIA berjumlah 6 orang, yang terbagi menjadi dokter CST, dokter Spesialis
Kebidanan dan Kandungan, koordinator ruang perawatan kebidanan dan
kandungan, petugas laboratorium, petugas farmasi, dan petugas administrasi.

BAB III
STANDAR FASILITAS

3.1. Denah Ruangan


RSMS Sungailiat tidak memiliki ruang khusus untuk pelayanan PPIA, namun
terintegrasi di pusat layanan HIV/AIDS RSMS Sungailiat di ruang poli VCT (lihat
gambar), ruang Poliklinik Kebidanan dan Kandungan, Kamar Bersalin, dan Ruang
Perawatan Kebidanan dan Kandungan.

3.2. Standar Fasilitas


Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan
dan fungsi pelayanan PPIA yang optimal bagi pasien.

3.3. Kriteria
Tersedia ruangan khusus pelayanan klien yang berfungsi sebagai pusat
pelayanan HIV/AIDS di RSMS Sungailiat meliputi kegiatan konseling,
penatalaksanaan, pencatatan dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal
atau eksternal pelayanan HIV/AIDS di RSMS Sungailiat.
1. Ruang tersebut memenuhi persyaratan sarana dan prasarana ruangan
pelayanan terapi ARV.
2. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan terapi ARV.
3. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan antibodi
anti-HIV.
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) dilaksanakan melalui kegiatan
kompehensif yang meliputi empat pilar (4 prong) yaitu :
1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
4. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu
yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya

4.1. PRONG 1 : Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi


Prong 1 merupakan langkah pencegahan primer yang paling efektif dalam
penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya ini dilakukan dengan penyuluhan-penyuluhan
dan penjelasan yang benar terkait HIV/AIDS dan penyakit IMS dalam koridor
kesehatan reproduksi. Untuk menghindari perilaku seksual berisiko dalam upaya
mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCDE” yaitu :
 A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
orang yang belum menikah;
 B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan);
 C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan
menggunakan kondom;
 D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.
 E (Education), artinya dengan penyebarluasan informasi dan edukasi mengenai
HIV/AIDS.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :


1. Menyebarkan informasi dan edukasi tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi
baik secara individu maupun secara kelompok. Edukasi sangat perlu diberikan
pada wanita remaja, sehingga mereka dapat mengetahui cara agar tidak
terinfeksi HIV.
2. Mobilisasi masyarakat, dimana melibatkan petugas lapangan dan komunitas
tertentu (kelompok dukungan sebaya, tokoh agama, dan tokoh masyarakat)
sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS.
3. Layanan Test HIV. Dilakukan melalui pendekatan konseling dan testing atas
inisiasi petugas kesehatan (KTIP) serta konseling dan testing sukarela (KTS).
Layanan ini diberikan pada pelayanan ANC terpadu dan layanan KIA di rumah
sakit.

4.2. PRONG 2 : Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada


Perempuan dengan HIV
Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif
serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan
HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya
kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan
merupakan indikasi aborsi. Kegiatan dalam prong ini dilakukan pada saat pasien
wanita HIV positif datang kontrol ke poliklinik VCT/CST atau memeriksakan diri ke
poliklinik lainnya, terutama poliklinik kebidanan dan kandungan.
Apabila wanita HIV positif tidak ingin hamil, maka kontrasepsi yang dianjurkan
adalah kontrasepsi jangka panjang dan kondom. Sedangkan yang tidak ingin punya
anak lagi disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan kondom. Apabila
wanita HIV positif masih ingin memiliki anak, maka dilakukan konseling lanjutan
untuk merencanakan kehamilannya. Ibu dengan HIV berhak menentukan
keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami, atau
keluarga.

4.3. PRONG 3 : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke Bayi
yang Dikandungnya
Kegiatan pada prong ini dilaksanakan pada setiap pasien wanita hamil HIV
positif yang memeriksakan diri pada poliklinik kebidanan dan kandungan atau
datang kontrol ke poliklinik VCT/CST atau dalam proses persalinan di ruang bersalin
(VK). Strategi ini merupakan inti dari layanan PPIA dan merupakan kegiatan layanan
KIA yang komprehensif meliputi :
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV, merupakan jalan bagi
ibu hamil untuk mengetahui status HIV, sehingga dapat pengobatan ARV sedini
mungkin, dukungan psikologis, dan KIE tentang HIV/AIDS.
2. Diagnosis HIV. Alur pemeriksaan anti HIV dalam darah dengan menggunakan
metode cepat (rapid) atau ELISA.
3. Pemberian ARV untuk ibu hamil HIV positif. Diberikan berdasarkan Pedoman
Terapi ARV. Pemberian ARV dimulai tanpa memandang stadium klinis ataupun
jumlah CD4, dan dikonsumsi seumur hidup. Bertujuan untuk mengurangi risiko
penularan dan mengoptimalkan kesehatan ibu.
4. Persalinan yang aman. Pemilihan persalinan diputuskan oleh ibu setelah
mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan
berdasarkan penilaian petugas kesehatan.

Tabel 4.1. Pilihan persalinan

Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu
hamil dengan HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini:
 Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus
memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari
tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan merupakan indikasi untuk bedah sesar.
 Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya
untuk menjalani persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar).
 Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam
maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang
berlaku untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis.

5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak. Dilakukan konseling tentang


risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling dilakukan selama ANC atau sebelum
persalinan. Pengambilan keputusan di tangan ibu setelah mendapatkan
konseling lengkap. Sangat dianjurkan untuk menggunakan susu formula sebagai
makanan bagi bayi, apabila syarat AFASS (affordable, feasible, acceptable,
sustainable, and safe) terpenuhi keseluruhannya. Apabila salah satu syarat tidak
terpenuhi, maka ASI diberikan secara eksklusif selama 6 bulan. Tidak dianjurkan
untuk menyusui campur (mixed feeding) artinya diberikan ASI dan PASI
bergantian.
6. Mengatur kehamilan dan keluarga berencana, seperti yang telah dijelaskan pada
PRONG 2.
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada bayi/anak. ARV yang
diberikan adalah Zidovudine (AZT) dimulai pada hari pertama kehidupan sampai
6 minggu, dengan dosis 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. Setelah 6 minggu,
diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 4-6 mg/kgBB (dosis
trimeptoprim) diberikan 1 kali sehari sampai diagnosis HIV dapat ditegakkan.
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV. Pemeriksaan
untuk antibodi anti HIV dengan metode cepat (rapid) hanya dapat digunakan
apabila anak berumur lebih dari 18 bulan, atau dapat dilakukan lebih awal pada
usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasil positif maka harus diulang setelah
berusia 18 bulan. Bila usia anak kurang dari 18 bulan, maka pemeriksaan yang
dilakukan adalah PCR untuk melihat HIV DNA, yang dilakukan minimal 2 kali,
pertama pada usia 4-6 minggu dan 4 minggu setelah pemeriksaan pertama.

4.4. PRONG 4 : Pemberian dukungan psikologis, sosial, dan perawatan


kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Penting untuk menjamin kerahasiaan status HIV ibu untuk menghindai stigma dan
diskriminasi di masyarakat. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan
keluarganya. Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan ibu dengan HIV antara lain :
 Pengobatan ARV jangka panjang
 Pengobatan gejala penyakitnya
 Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 dan
viral load)
 Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
 Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
 Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.
 Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan
pencegahannya
 Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
 Kunjungan ke rumah (home visit)
 Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
 Adanya pendamping saat sedang dirawat
 Dukungan dari pasangan
 Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
 Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak

Gambar 4.1. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan PRONG 3 dan 4 dalam PPIA
BAB V
LOGISTIK

Pengadaan logistik untuk pelayanan PPIA dilakukan dengan permintaan secara


berkala kepada Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur.

5.1. Obat Antiretroviral (ARV)


Pengadaan, pengelolaan, dan pengawasan ARV merupakan tanggung jawab
instalasi farmasi RSMS Sungailiat di bawah petugas farmasi Tim Penanggulangan
HIV/AIDS RSMS Sungailiat. Obat ARV yang diminta terdiri dari :
1. Zidovudin (AZT)
2. Tenofovir (TDF)
3. Lamvudin (3TC)
4. Emtricitabine (FTC)
5. Efavirenz (EFV)
6. Nevirapine (NVP)
Selain obat-obat tersebut, bisa dimintakan obat dalam kombinasi dosis tetap (KDT)
yang terdiri dari
1. Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) dengan nama paten Duviral
2. Tenofovir (TDF) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV) dengan nama paten
Atripla
3. Tenofovir (TDF) + Emtricitabine (FTC) dengan nama paten Aluvia
Petugas farmasi Tim HIV/AIDS RSMS Sungailiat mengajukan pemesanan obat ARV
kepada Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur melalui sistem pelaporan online
IOMS setiap bulannya sebelum tanggal 25.

5.2. Logistik Laboratorium


Pengadaan dan pengelolaan logistik laboratorium berkaitan dengan pelayanan VCT
(pemeriksaan antibodi anti-HIV) merupakan tanggung jawab petugas laboratorium
tim VCT dibawah pimpinan unit laboratorium RSMS Sungailiat. Kebutuhan logistik
laboratorium terkait pemeriksaan anti-HIV antara lain :
1. Jarum dan semprit steril *
2. Tabung dan botol tempat penyimpan darah *
3. Kapas alkohol *
4. Cairan desinfektan *
5. Sarung tangan karet *
6. Apron plastik *
7. Sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir *
8. Tempat sampah barang terinfeksi, barang tidak terinfeksi, dan barang tajam
(sesuai petunjuk Kewaspadaan Universal Departemen Kesehatan) *
9. Petunjuk pajanan okupasional dan alur permintaan pertolongan pasca pajanan
okupasional. *
10. Reagen untuk testing dan peralatannya
11. Lemari pendingin *
12. Ruang penyimpanan testing-kit , barang habis pakai
13. Buku-buku register (stok barang habis pakai, penerimaan sampel, hasil testing,
penyimpanan sampel, kecelakaan okupasional) atau komputer pencatat.
14. Pedoman testing HIV
Catatan : * inventaris rumah sakit (pengadaan oleh RSMS Sungailiat)

Petugas laboratorium VCT mengajukan permohonan logistik laboratorium kepada


Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur.

5.3. Logistik Dokumentasi


Logistik dokumentasi terkait dengan pelayanan PPIA merupakan formulir-formulir
dan rekam medis pasien HIV positif meliputi :
1. Ikhtisar perawatan pasien HIV/ART
2. Kartu pasien
3. Register Pra-ART
4. Register ART
5. Register pemberian Obat
6. Register Stok Obat
7. Formulir Rujukan
Untuk dokumentasi pelaporan dilakukan melalui sistem online dengan menggunakan
program IOMS dan dilakukan setiap bulan sebelum tanggal 25.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

6.1. Pengertian
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk asesmen risiko, identifikasi, dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan, dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
Sedangkan insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi
yang dapat mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm (penyakit, cidera,
cacat, kematian, dan lain-lain) yang tidak seharusnya terjadi.

6.2. Tujuan
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Selain itu sistem keselamatan pasien ini mempunyai tujuan
agar tercipta budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas
rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya kejadian tidak
diharapkan di rumah sakit, dan terlaksananya program-program pencegahan
sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

6.3. Tata Laksana Keselamatan Pasien


Dalam melaksanakan keselamatan pasien terdapat tujuh langkah menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Adapun tujuh langkah tersebut adalah :
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Menciptakan
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan fokus yang
kuat dan jelas tentang keselamatan pasien.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Mengembangkan sistem dan
proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen hal
potensial bermasalah.
4. Menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit seperti
tersebut di atas
5. Menerapkan stancak keselamatan pasien rumah sakit dan melakukan self
assesment dengan instrumen akreditasi pelayanan keselamatan pasien rumah
sakit.
6. Program khusus Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
7. Mengevaluasi secara periodik pelaksanaan program keselamatan pasien rumah
sakit dan kejadian tidak diharapkan.

6.4. Sasaran Keselamatan Pasien HIV/AIDS di RSMS Sungailiat


1. Ketepatan identifikasi pasien
Ketetpatan identifikasi pasien adalah ketepatan penentuan identitas pasien sejak
awal pasien masuk sampai dengan pasien keluar terhadap semua pelayanan
yang diterima oleh pasien. Setiap pasien HIV/AIDS yang datang ke RSMS
Sungailiat harus diverifikasi identitasnya dengan menggunakan nama dan
alamat, atau nama dan tanggal lahir.
2. Peningkatan komunikasi yang efektif, yaitu komunikasi lisan yang menggunakan
prosedur “SBAR”; write, read, dan repeat back (reconfirm).
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert).
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medication) adalah obat yang
sering menyebabkan terjadi kesalahan atau kesalahan serius dan obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan. Untuk antiretroviral
(ARV) yang waktu penggunaannya jangka panjang harus diwaspadai juga
masa/tanggal kada luarsanya.
4. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan. Infeksi biasa dijumpai dalam semua bentuk
pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah,
pneumonia yang sering berhubungan dengan ventilasi mekanis. Pokok eliminasi
infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan yang tepat.
5. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Pengurangan pengalamam pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya
jatuh. Suatu jehadian jatuh yang tidak disengaja pada seseorang saat istirahat
yang dapat dilihat/dirasakan, atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena
suatu kondisi tertentu seperti stroke, pingsan, dan lainnya. Untuk pasien
HIV/AIDS yang rawat inap, dikaji pula risiko jatuhnya. Apabila termasuk berisiko,
pasien tersebut dipasang gelang kuning.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1 menyatakan bahwa


upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan
terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan. Rumah sakit adalah tempat kerja yang termasuk dalam kategori seperti
disebut di atas, berarti wajib menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
Program keselamatan dan kesehatan kerja di tim pendidikan pasien dan keluarga
bertujuan melindungi karyawan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan di dalam
dan di luar rumah sakit.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa
“setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Dalam hal ini yang dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang
bersifat manusiawi, yang memungkinkan pekerja berada dalam kondisi sehat dan
selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sehingga dapat hidup
layak sesuai dengan martabat manusia.
Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian integral dari
perlindungan terhadap pekerja dalam hal ini tim penanggulangan HIV/AIDS dan
perlindungan terhadap Rumah Sakit. Pegawai adalah bagian integral dari rumah
sakit. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja akan meningkatkan produktivitas
pegawai dan meningkatkan produktivitas rumah sakit. Undang-Undang nomor 1
tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk menjamin :
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu berada dalam
keadaan sehat dan selamat.
2. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.

Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat


digolongkan pada tiga kelompok, yaitu :
1. Kondisi dan lingkungan kerja.
2. Kesadaran dan kualitas pekerja.
3. Peranan dan kualitas manajemen.
Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit
akibat kerja dapat terjadi bila :
1. Pelatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus.
2. Alat-alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses produksi.
3. Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu
panas atau dingin.
4. Tidak tersedia alat-alat pengaman.
5. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran, dan
lain-lain.

7.1. Perlindungan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Petugas Kesehatan


1. Petugas kesehatan yang merawat pasien HIV/AIDS harus mendapatkan
pelatihan/sosialisasi mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tidakan
pencegahan dan pengendalian infeksi yang sesuai dengan protokol.
2. Petugas yang tidak terlibat secara langsung dengan pasien harus diberikan
penjelasan umum mengenai penyakit tersebut.

4.2. Petunjuk Pencegahan Infeksi untuk Petugas Kesehatan


1. Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan
kesehatan, petugas harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai
untuk kewaspadaan standar sesuai dengan penyebaran penyakit. APD untuk
pelayanan pasien HIV adalah goggle, masker, apron, serta sarung tangan untuk
petugas laboratorium.
2. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan/sosialisasi tentang
gejala HIV/AIDS
3. Pasien HIV yang juga terdiagnosis sebagai penderita TB, harus mengenakan
masker jika berada di ruangan tertutup dan bersama orang lain, serta selalu
menerapkan etika batuk.
BAB IX
PENUTUP

Pedoman pelayanan PPIA merupakan bahan rujukan bagi pimpinan rumah


sakit dalam rangka pelayanan PPIA, juga sebagai bahan rujukan akreditasi rumah
sakit. Keberhasilan pelaksanaan layanan PPIA di rumah sakit sangat bergantung
pada komitmen dan kemampuan para penyelenggara pelayanan kesehatan serta
dukungan stake holder terkait untuk mencapai hasil optimal.
Pedoman pelayanan ini senantiasa akan disesuaikan dengan perkembangan
ilmu dan teknologi serta kebijakan dan peraturan terkait penanggulangan HIV/AIDS
yang ada di Indonesia.

DIREKTUR RSMS Sungailiat

dr. H. Khairul Saleh, Sp. PD

Anda mungkin juga menyukai