NOMOR :
TENTANG :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan
gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan
pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar
usianya. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia,
juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Hal ini dikarenakan anak
stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil) saja,
melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang mana tentu akan sangat
mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di
usia-usia produktif.
1
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa bayi usia di
bawah lima tahun (balita) yang menderita stunting mencapai 30,8%.
Artinya,sebanyak 7 juta balita di Indonesia saat ini yang merupakan generasi bangsa
kurang memiliki daya saing pada kehidupannya ke depan. Penurunan stunting di
Indonesia selama 10 tahun terakhir belum menunjukkan perubahan yang
berarti.stunting masih dipandang seputar realitas kondisi kesehatan akibat dari
kekurangan gizi, sehingga penanganannya masih didominasi oleh lembaga dan
penyedia layanan di bidang kesehatan. Dalam Rapat Koordinasi Tingkat Menteri
yang dipimpin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 12 Juli 2017
diputuskan bahwa penurunan stunting penting dilakukan dengan pendekatan multi-
sektor melalui sinkronisasi program-program nasional, lokal, dan masyarakat di
tingkat pusat maupun daerah.
Wasting adalah kondisi kekurangan gizi yang disebabkan tidak terpenuhinya asupan
nutrisi atau adanya penyakit pada anak. Kondisi ini bisa menyebabkan berat badan
anak berkurang drastis atau berada di bawah angka normal. Seringkali masalah-
masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah stunting dan wasting, baik itu
masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan
perempuan, serta masalah degradasi lingkungan. Karena itu, kesehatan membutuhkan
peran semua sektor dalam tatanan masyarakat.
WHO selaku badan kesehatan dunia, menyatakan bahwa wasting adalah salah satu
masalah kesehatan utama. Sebab kondisi ini berhubungan langsung dengan angka
kejadian suatu penyakit (morbiditas).Itulah mengapa wasting pada anak adalah hal
yang tidak boleh disepelekan sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan
sesegera mungkin.Perlu diingat jika kondisi ini biasanya terjadi karena penurunan
berat badan drastis akibat tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi harian anak.Tidak
hanya itu saja, memiliki satu atau beberapa penyakit bisa berujung pada turunnya
berat badan. Sebagai contoh, gangguan pencernaan seperti diare, juga bisa
mengakibatkan kondisi ini.Kejadian berat badan yang menurun pada anak juga dapat
berdampak besar terhadap kondisi kesehatannya sekarang atau di kemudian
2
hari.Umumnya, ia jadi lebih mudah terserang penyakit, bahkan berisiko sampai
berakibat fatal.Selain dari segi kesehatan, kondisi ini juga turut memengaruhi
kemampuan intelektual anak di masa pertumbuhannya.
B. Tujuan Pedoman
1. Tujuan umum adalah Penurunan stunting bertujuan untuk meningkatkan
status gizi masyarakat dan kualitas sumber daya manusia
2. Tujuan khusus :
a. Menemukan kasus HIV/AIDS sedini mungkin, memutuskan mata
rantai penularan dengan mensosialisasikan penggunaan kondom
secara baik dan benar, memperluas jangkauan pelayanan
(berjejaring)
b. Memberikan pelayanan pengobatan pada ODHA sehingga dapat
menurunkan angka kematian, meningkatkan kualitas hidup.
c. Menemukan dan mengobati kasus IO,
d. Memberikan pengobatan pada ODHA dengan risiko IDU
e. Memberikan pelayanan pengobatan pada ODHA hamil guna
meningkatkan kualitas hidup ibu dan mencegah penularan HIV dari
ibu ke anak
f. Menyelenggaran pelayanan rujukan (menerima maupun merujuk)
3
3. Instalasi Rawat Inap
D. Batasan Operasional
1. Pelayanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) atau Voluntary
Conseling and Testing (VCT) adalah pemberian pelayanan konseling
dan tes HIV sukarela yang dilakukan oleh seorang konselor HIV/AIDS
rumah sakit yang sudah terlatih yang meliputi pre test, post test, dan
konseling berkelanjutan.
E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal
4. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi
5. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis
Pangan dan Gizi
4
6. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Rencana Aksi Pangan dan Gizi;
7. Perpres Nomor 72 tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
5
B. Distribusi Ketenagaan
1. Dokter spesialis Anak
Untuk distribusi ketenagaan dokter spesialis terkait selain melayani pasien
di rawat jalan juga melayani visite di ruang rawat inap
2. Nutrision
3. Perawat
6
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruang
Untuk saat ini RS Ibnu Sina Payakumbuh belum menyediakan poliklinik
khusus HIV di Instalasi Rawat Jalan terkait adanya keterbatasan ruangan.
Konsultasi dapat dilakukan di ruang poli penyakit dalam.
B. Standar Fasilitas
1. Tersedia ruangan di instalasi rawat jalan/poliklinik beserta peralatan alat
kesehatan sesuai dengan kebutuhan masing-masing poliklinik
2. Tersedia ruang rawat inap dengan jumlah tempat tidur pasien sejumlah
100 bed beserta alat kesehatan yang ada
3. Tersedia tempat penyimpanan dokumen rekam medis serta rak
penyimpanannya untuk dokumen rawat jalan dan dokumen rekam medis
rawat inap
7
BAB IV
KEMAMPUAN PELAYANAN
A. Pelayanan VCT
1. Pelayanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) atau Voluntary
Conseling and Testing (VCT) dan Provider Initiated Testing and
Counseling (PITC) :
a. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan prinsip konfidensialitas,
persetujuan, konseling pencatatan, pelaporan dan rujukan
b. Pelayanan konseling HIV/AIDS adalah konseling dan tes HIV secara
sukarela atas inisiatif individu yang bersangkutan
c. Pelayanan PITC adalah tes yang dilakukan pada pasien yang
terindikasi secara medis mengidap HIV/AIDS atau mempunyai
faktor resiko HIV
d. Pelayanan KTS dilakukan baik lewat rawat jalan maupun pasien yang
berasal dari rawat inap
2. Konseling Tes Sukarela (KTS) dilakukan oleh seorang konselor
HIV/AIDS rumah sakit yang sudah terlatih yang meliputi :
a. Jenis konseling meliputi: pre test, post test, dan konseling
berkelanjutan
b. Konseling HIV/AIDS dilaksanakan digabung di ruang Poliklinik
Penyakit Dalam serta di ruang pasien jika pasien di rawat inap
3. Prinsip konfidensial sebagaimana dimaksud di atas hasil pemeriksaan
harus dirahasiakan dan hanya dapat dibuka kepada :
a. Yang bersangkutan
8
b. Tenaga kesehatan yang menangani
c. Keluarga tedekat dalam hal yang bersangkutan dinilai tidak cakap
d. Pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
9
c. Pencegahan kehamilan tidak direncanakan
d. Memberikan dukungan psikologis pada ibu dan keluarganya
4. Mernberikan konseling kepada ibu yang akan merencanakan kehamilan
atau ibu yang sudah hamil
5. Konseling dilakukan bersama antara konselor dengan tim Obsgyn
6. Setiap bayi baru lahir dari ibu terinfeksi HIV dilakukan pemeriksaan tes
serologi (Rapid Test) setelah usia 18 (delapan belas) bulan
10
a. penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau
jumlah se1 Limfosit T CD 4 kurang dari atau sama dengan 350
sel/mm3
b. ibu hamil dengan HIV positif
c. penderita dengan Turberkulosis
5. Pelayanan terapi ARV di RSI Ibnu Sina Payakumbuh bekerja sama
dengan puskesmas dan RSUD yang telah ditunjuk oleh Dinas Kesehatan
dalam hal penyedian ARV. Jika pasien rawat jalan, pasien dirujuk balik ke
puskesmas untuk mendapatkan ARV. Jika pasien rawat inap yang masih
ada indikasi rawat, maka pasien akan dirujuk ke RSUD untuk terapi ARV
nya.
E. Kolaborasi TB-HIV
1. Adalah pelayanan bersama pada pasien TB dan pasien HIV/AIDS agar
dilakukan skrening.
2. Pelayanan kepada semua pasien yang terdiagnosis HIV/AIDS untuk
dilakukan skrening penyakit TB nya di ruang poliklinik penyakit dalam
3. Pelayanan pada pasien TB yang diduga atau mempunyai faktor resiko HIV
dilakukan skrening di poliklinik paru
G. Pemeriksaan Laboratorium
11
1. Dalam rangka untuk memastikan dan menegakkan pasien yang
didiagnosis HIV/AIDS akan dilakukan pemeriksaan virologi (Rapid Test)
3 (tiga) parameter
2. Untuk skrening pasien HIV pemeriksaan laboratorium menggunakan 1
(satu) reagen rapid test lini pertama
3. Hasil pemeriksaan akan dibuka bersama antara konselor dan pasien
apabila pasien sudah siap
4. Hasil pemeriksaan sebagaimana ayat (3) meliputi :
a. Reaktif
b. Non reaktif
c. Indeterminate
5. Untuk pemeriksaan laboratorium menggunakan reagen rapid test tidak
dikenakan biaya
6. Untuk pemeriksaan CD4 dan Anti HIV ELLISA di rujuk ke laboratorium
rujukan.
12
3. Pencatatan dan registrasi ditutup setiap tanggal 20 (dua puluh) tiap
bulannya untuk dibuat pelaporan ke Kementerian Kesehatan dengan
menggunakan SIHA (Sistem Informasi HIV AIDS) yang meliputi :
a. SIHA VCT
b. SIHA penggunaan obat ARV
c. SIHA pasien yang berkunjung ke klinik CST
d. Kohort
4. Evaluasi dan Pelaporan akan dilakukan oleh Tim HIV/AIDS secara rutin
tiap akhir tahun sebagai bahan evaluasi kegiatan pelayanan HIV
5. Bahan evaluasi juga digunakan dalam membuat Perencanaan Program
Kerja untuk tahun berikutnya.
13
BAB V
KEBIJAKAN
A. Kebijakan Umum
1. Rumah sakit harus melaksanakan program penatalaksanaan pasien HIV
secara optimal
2. Pelaksanan Program HIV/AIDS dilakukan melalui pembentukan tim
pelaksana program HIV/AIDS di rumah sakit
3. Susunan tim terdiri atas
a. klinisi (dokter)
b. konselor (dokter/perawat)
c. petugas laboratorium
B. Kebijakan Khusus
1. Susunan tim HIV/AIDS RSI Ibnu Sina Payakumbuh terdiri atas:
a. Ketua (dokter spesialis)
b. Wakil ketua / Konselor (dokter umum)
c. Sekretaris / Penanggung jawab program (perawat)
d. Anggota (perawat dan petugas laboratorium)
14
d. Membantu direktur dalam mengawasi dan mengevaluasi
penatalaksanaan HIV/AIDS
e. Melakukan koordinasi baik internal maupun eksternal rumah sakit
yang berkaitan dengan HIV/AIDS
f. Melaporkan kegiatan pelaksanaan prograrn HIV/AIDS ke direktur.
15
BAB VI
TATALAKSANA
B. Diagnosis HIV
16
Semua pasien yang dikonsulkan baik dari poliklinik ataupun dari rawat
inap yang dicurigai HIV di konseling dan selanjutnya di tes serologi HIV
nya dengan metode Rapid tes dengan 3 reagen
2. Diagnosa HIV pada anak
Semua pasien anak-anak yang dicurigai HIV sebelum anak tersebut
berusia 18 bulan yang di test serologi HIV adalah ibu dari pasien dengan
metode rapid
3. PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission)/PPIA (Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak) Setiap ibu hamil yang kontrol di Poli
Kandungan serta memiliki faktor resiko dianjurkan untuk melakukan
tes serologi anti HIV (jika belum dilakukan di Puskesmas)
4. IO (Infeksi Oportunistik) ; secara berkala pada saat klien kontrol di
layanan poliklinik dilakukan pengkajian akan kemungkinan adanya IO,
misalnya :
- Skrining TB
- Oral kandidiasis
- IMS
- Toxoplasmosis
- Diare, dll
5. IDU (Intavenous Drugs User); setiap klien dengan risiko penukaran
jarum suntik selalu digali apakah yang bersangkutan saat ini masih
sebagai user akrif.
6. Rujukan; berkoordinasi terkait rujukan baik yang rujuk masuk maupun
rujuk keluar
17
BAB VII
LOGISTIK
18
BAB VIII
KESELAMATAN PASIEN
A.Pengertian
Keselamatan pasien adalah suatu sistem diamana rumah sakit membuat asuhan pesien
lebih aman. Hal ini termasuk assesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tidak lanjutnya serta implementasi solusi untuk menimalkan
timbulnya risiko.
B. Tujuan
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cedera akibat kesalahan melaksanakan
suatu tindakanatau tidak melakukan tindakan yang seharusnya tidak diambil, agar
terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkanya akuntabilitas
rumah sakit, menurunkan kejadian yang tidak diharapkan dirumah sakit, dan
terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian tidak diharapkan.
19
e. Ungu untuk pasien DNR
2. Menyediakan hand rubs di seluruh tempat pelayanan baik rawat jalan maupun
bangsal perawatan
3. Menyediakan dan penggunaan alat pelindung diri (APD) baik masker, apron
maupun sarung tangan di seluruh ruang perawatan sesuai dengan
kebutuhannya.
4. Menyelenggarakan pelatihan dan sosialisasi cuci tangan bagi seluruh
karyawan/pegawai serta pekerja lain di lingkungan rumah sakit
5. Menyediakan tempat tidur pasien dengan tempat tidur yang terstandar
(penghalang tempat tidur)
6. Menyediakan pemakaian restrain manual/mekanik
20
BAB IX
KESELAMATAN KERJA
Undang-undang Nomor.36 tahun 2009 pasal 164 ayat (1) menyatakan bahwa upaya
kesehatan kerja ditunjukkan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas
dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaaan.
Rumah sakit adalah tempat kerja yang termasuk dalam ketegori diatas, berarti wajib
menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu berada
dalam keadaan sehan dan selamat
2. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.
Upaya yang dilakukan oleh rumah sakit daiam hal ini adalah :
21
pencegahan dan pengendalian infeksi yang sesuai protokol jika
terpajan.
b. Petugas yang tidak terlibat langsung dengan pasien harus diberikan
penjelasan umum mengenai penyakit tersebut.
c. Petugas kesehatan yang kontak dengan pasien penyakit menular
melalui udara harus menjaga fungsi saluran pernafasan ( tidak
merokok, tidak minum dingin ) dengan baik dan menjaga kebersihan
tangan.
2. Petunjuk Pencegahan infeksi untuk Petugas Kesehatan
a. Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan
kesehatan, petugas harus menggunakan APD ( Alat Pelindung DIRI .
Alat pelindung diri yang sesuai untuk kewaspadaan standar dan
kewaspadaan isolasi.
b. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan tentang gejala
penyakit menular yang sedang dihadapi.
c. Semua petugas kesehatan dengan penyakit seperti flu dievaluasi untuk
memstikan agen penyebab. Dan ditentukan apakah perlu dipindah
tugaskan dari kontak langsung dengan pasien, terutama mereka yang
bertugas di instalasi ruang rawatan anak dan ruang bayi.
22
BAB X
PENGENDALIAN MUTU
23
BAB XI
PENUTUP
Demikian telah disusun suatu Pedoman Pelayanan Pasien HIV/AIDS di RSI Ibnu
Sina Payakumbuh, yang dapat dipakai sebagai acuan di dalam pelaksanaan
penatalaksanaan kegiatan pasien HIV/AIDS.
Bahwa Pedoman Pelayanan Pasien HIV/AIDS ini merupakan acuan yang harus
dilaksanakan bersama dengan harapan semua program dapat berjalan sesuai dengan
rencana yang sudah ditetapkan oleh direktur.
Demikian Pedoman Pelayanan Pasien HIV/AIDS ini kami susun, atas saran dan
masukan demi kemajuan Tim HIV/AIDS sangat kami harapkan, atas kerjasamanya
kami sampaikan.
24
25