Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN SEMENTARA PRAKTIKUM

DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN MATERI V

“GEJALA DAN TANDA SERANGAN INVERTEBRATA HAMA


(BUKAN SERANGGA) PADA TANAMAN”

DISUSUN OLEH:

Anina Rachmania

NPM : 21025010237

AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
SURABAYA
2022
III.METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum “Gejala Dan Tanda Serangan Invertebrata Hama (Bukan
Serangga) Pada Tanaman” dilaksanakan pada hari Senin, 18 April 2022 pada
pukul 15.00 – 16.40 WIB di Gubeng, Surabaya, Jawa Timur
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Lembar catatan dan alat tulis
2. Kamera (HP/ponsel)
3. Kaca pembesar / Loupe
3.2.2 Bahan
1. Tanaman ubi kayu
2. Tanaman ubi jalar
3.3 Prosedur Pelaksanaan Praktikum
1. Mencari tanaman yang terserang invertebrata hama (bukan serangga) yang
terdapat disekitar lingkungan atau dari internet.
2. Mengindentifikasi OPT tersebut.
3. Membuat gambar/foto tanaman sakit (gejala dan tanda-tanda) tersebut dan
tanaman pada saat ditemukan.
4. Mengamati dan menggambar (atau mengambil fotonya) jenis-jenis gejala
serangan hama dengan gambar berwarna dari observasi langsung di
lapangan atau dari internet.
5. Hasil pengamatan mencakup keterangan singkat yang dilampirkan bersama
gambar atau foto dari internet.
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Data Hasil Pengamatan Gejala dan Tanda Serangan
Invertebrata Hama (Bukan Serangga) Pada Tanaman

No OPT Komodit Gejala Keterangan


dan as Serangan
Nama (Inang)

(1) (2) (3) (5)

1. Tungau Ubi kayu Gejala awal dari serangan Gubeng,


merah tungau merah adalah Surabaya,
(Tetrany adanya bintik-bintik Jawa Timur.
chus berwarna
urticae kuning pada bagian dasar
Koch) daun, selanjutnya ke
tulang daun utama. Pada
serangan parah, daun
bagian tengah dan
bawah akan rontok.

Sumber :
Jurnal Buletin Palawija
2016

2. Diput Ubi jalar Gejala serangan siput Sudomukti,


(Deroce adalah adanya lubang- Kec.
ras lubang tidak beraturan, Gresik,
reticula adanya bekas lendir, dan Kab.
tum) jejak berupa feses. Gresik,
Tanaman yang Jawa
terserang menjadi rusak Timur.
(terkoyak) atau bahkan
dapat mengakibatkan
kematian tanaman.

Sumber : Kementerian
Pertanian 2016

4.2 Pembahasan
Sebagian besar hama tanaman ubi kayu adalah berupa serangga
(Insekta), kecuali tungau merah (Tentranychus urticae) yang termasuk kelas
Acarina. Pada umumnya serangan dan kerusakan akibat serangan hama di
musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim penghujan. Hal
tersebut disebabkan oleh siklus hidup hama pada musim kemarau lebih
pendek sehingga populasinya berkembang lebih cepat. Kerusakan tanaman ubi
kayu akibat serangan hama dipengaruhi oleh jenis hama yang menyerang,
tingkat ketahanan tanaman terhadap hama, umur tanaman waktu terjadi
serangan, dan periode lamanya serangan hama. Pada hasil pengamatan seperti
tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat dua jenis hama yang menyerang
tanaman ubi kayu, yaitu tungau merah dan kutu putih.
Tungau merah (Tetranychus urticae Koch) merupakan jenis hama yang
paling penting dalam keluarga Tetranychidae, bersifat polifag dan dapat
menyerang sekitar 1.200 jenis tanaman. Di India, hama ini banyak dijumpai
pada tanaman Withania somnifera (ginseng India) (Sharma dan Pati 2012).
Serangan hama tungau merah dapat menyebabkan kehilangan hasil dan
kerugian secara ekonomi (Tehri et al. 2014). Salah satu hama tungau yang
menyebabkan kerusakan besar pada tanaman ubi kayu di Indonesia adalah T.
urticae (Widiarti 2012).
Populasi tungau juga dipengaruhi oleh spesies tanaman inang. Spesies
tanaman inang yang sesuai, dapat memacu perkembangan populasi tungau
merah hingga menyebabkan kerusakan tanaman inang. Tungau merah
bergerak dengan cara merayap, penyebaran jarak jauh dibantu oleh angin dan
aktifitas manusia. Tungau merah memiliki mekanisme penyebaran yang
kompleks, yang mempengaruhi struktur populasi dan keragamannya menjadi
kompleks (Sun et al. 2012).
Gejala awal dari serangan tungau merah adalah adanya bintik-bintik
berwarna kuning pada bagian dasar daun, selanjutnya ke tulang daun utama.
Pada saat populasi berkembang, tungau menyebar ke seluruh daun, termasuk
permukaan atas daun, dan bintik-bintik kuning menyebar ke seluruh daun,
yang menyebabkan daun berwarna kemerahan seperti karat. Pada serangan
parah, daun bagian tengah dan bawah akan rontok, selanjutnya serangan
mengarah ke bagian pucuk di mana tunas mengalami penyusutan ukuran dan
banyak dijumpai adanya jaring warna putih menyelimuti daun pada sepertiga
bagian atas tanaman, dan pada tahap ini dapat menyebabkan tanaman mati.
Kerusakan berat dapat menyebabkan daun kering dan luruh (Abdel-Wali et al.
2012). Penurunan hasil ubikayu akibat serangan hama tungau merah mencapai
60%.
Pengendalian tungau merah dapat dilakukan dengan cara biologi, kultur
teknik, dan secara kimia. Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan musuh alami (predator), musuh alami yang sering membatasi
populasi T. urticae di antaranya genus Amblyseius, Metaseiulus, dan
Phytoseiulus, Stethorus, Orius, Thrips, Lepto Thrips, dan larva Lacewing,
Chrysopa. Untuk pengendalian secara kultur teknis dengan memilih bahan
tanam, dan irigasi yang memadai merupakan cara yang penting untuk
mengendalikan populasi tungau, karena tanaman yang tercekam kekeringan
mudah terserang tungau. Sedangkan pengendalian secara kimia dilakukan
dengan aplikasi akarisida seperti Challenger, Ortus, Vertimec dan Delmite,
karena efek samping terhadap predator lebih rendah atau bahkan dapat
diabaikan (El-Ela 2014).
Berikutnya adalah serangan hama siput (Deroceras reticulatum) pada
ubi jalar. Siput Deroceras reticulatum termasuk ke dalam phyllum Mollusca
dan family Apiolhmcidae, hewan ini bersifat polifag. Gejala serangan sering
dijumpai pada tanaman ubi jalar yang masih muda. Siput biasanya menyerang
pada malam hari dengan membuat lubang-lubang tidak beraturan, serangan
ditandai dengan adanya bekas lendir sedikit mengkilat. Siput juga
meninggalkan jejak berupa garis putih yang merupakan bekas lendir yang
mengering, lendir ini berfungsi untuk mempermudah pergerakan mereka.
Jejak berupa feses juga sering terlihat di sekitar garis putih tersebut. Serangan
hama siput ini menyebabkan kehilangan hasil secara nyata.
Siput dewasa dapat mencapai panjang tubuh sekitar 5 cm, bertubuh
lunak, berwarna putih kecokelatan. Memiliki radula (lidah pemarut) dengan
barisan gigi sebanyak dua puluh ribuan. Sepasang tentakel berfungsi sebagai
indera penciuman dan perasa. Selain daun, siput juga dapat menyerang bunga,
akar dan tunas anakan. Tanaman yang terserang menjadi rusak (terkoyak) atau
bahkan dapat mengakibatkan kematian tanaman. Pengendalian dilakukan
dengan cara mekanis yaitu mencari dan mengumpulkan siput pada areal
pertanaman dan membunuhnya. Cara lain untuk mengendalikan siput yang
tergolong efektif adalah membuat perangkap bir, siput tertarik dengan aroma
bir dan akan memanjat wadah yang berisi bir tersebut. Pengendalian juga
dapat dilakukan dengan moluskisida dengan bahan aktif Niklosamida
etanolamina, Metaldehyde dapat diterapkan jika populasi siput tinggi.
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum gejala dan tanda serangan invertebrata
hama (bukan serangga) pada tanaman dapat ditarik beberapa kesimpulan,
antara lain :
1. Gejala awal dari serangan tungau merah (Tetranychus urticae Koch) pada
ubi kayu adalah adanya bintik-bintik berwarna kuning pada bagian dasar
daun, selanjutnya ke tulang daun utama. Pengendalian hama ini dapat
dilakukan dengan cara biologi, kultur teknik, dan secara kimia.
2. Gejala serangan siput (Deroceras reticulatum) pada tanaman ubi jalar
adalah adanya lubang-lubang tidak beraturan, adanya bekas lendir, dan
jejak berupa feses. Pengendalian dilakukan dengan cara mekanis yaitu
mencari dan mengumpulkan siput pada areal pertanaman dan
membunuhnya atau membuat perangkap bir dan penerapan moluskisida
jika populasi siput tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel, Wali, M., T. Mustafa, dan M. Al-Lala. 2012. Residual Toxicity of
Abametin, Milbemectin dan Chlorfenapyr to Different Populations of Two
spotted Spider Mite, Tetranychus urticae Koch, (Acari: Tetranychidae) on
cucumber in Jordan. World J. Agric. Sci. 8(2): 174–178.
El-Ela A.A.A. 2014. Efficacy of Five Acaricides Against The Two-spotted Spider
Mite Tetranychus urticae Koch and Their Side Effects on Some Natural
Enemies. The J. of Basic & Appl. Zool. 67(1): 13–18.
Sharma, A. and P. K. Pati. 2012. First Record of The Carmine Spider Mite,
Tetranychus urticae, Infesting Withania Somnifera in India. J. of Insect Sci.
12:50. doi:10.1673/031.012.5001.
Sun Jing-Tao, C. Lian, M. Navajas, and Xiao-Yue Hong. 2012. Microsatellites
Aeveal a Strong Subdivision of Genetic Structure in Chinese Populations of
The Mite Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae) MC Genetics
2012, 13:8.
Widiarti, W.V. 2012. Kelimpahan Tungau Tetranychus urticae Pada Beberapa
Kultivar Tanaman Singkong di Desa Tegal Kamulyan Kecamatan Cilacap
Utara. Thesis. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai