Anda di halaman 1dari 15

4.

2 BAHASAN

4.2.1. Pengaruh faktor mandi pada personal hygiene

Manusia memiliki lebih dari tiga juta kelenjar keringat yang bisa

ditemukan di dermis dan permukaan kulit. Saat melakukan aktivitas

fisik, kelenjar tersebut akan mengeluarkan keringat disertai keluarnya

kotoran dari dalam tubuh. Apabila dibiarkan maka akan

mempengaruhi perkembangbiakan agent penyakit termasuk bakteri

dan jamur yang merupakan penyebab terjadinya penyakit kulit.

Kebersihan diri menurut Tarwoto dan Martonah (2003) termasuk

kebersihan kulit sangat penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan

seperti mandi dua kali sehari menggunakan sabun agar terhindar dari

penyakit menular.

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

mandi menunjukan bahwa responden yang memiliki faktor mandi

kategori tidak beresiko 25% diantaranya menderita penyakit kulit dan

75% tidak menderita penyakit kulit, sedangkan responden yang yang

memiliki faktor mandi kategori berisiko 94,29% diantaranya menderita

penyakit kulit dan 5,71% tidak menderita penyakit kulit. Berdasarkan

hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor

mandi pada personal hygiene dengan kejadian penyakit kulit pada

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang (p-

value: 0,000 ≤ 0,05). Setelah diikutsertakan dalam analisis multivariat

(p-value: 0,000 ≤ 0,25), hasil analisis multivariat menunjukan bahwa


variabel mandi memiliki nilai Sig. atau p-value sebesar 0,002 dan

Exp(B) untuk menyatakan OR sebesar 22,477 dengan nilai 95% CI:

3,032-166,637. Hal ini menjelaskan bahwa faktor mandi yang beresiko

mempunyai resiko terjadinya penyakit kulit 22,477 kali lebih besar

dibandingkan dengan yang memiliki faktor mandi tidak beresiko.

Karena nilai p-value (0,001) ≤ 0,05 maka H 0 ditolak yang berarti

faktor mandi memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit kulit pada

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang Tahun

2016.

Berdasarkan hasil wawancara saat melakukan penelitian,

responden menyatakan bahwa mandi dilakukan hanya pada saat

merasa tubuh tidak nyaman dan sudah berbau. Sebagian lain

mengatakan ketersediaan sabun mandi yang minim yakni diberikan

oleh gereja tiga bulan sekali dengan jumlah sabun sebanyak dua sabun

membuat mereka harus menghemat penggunaan sabun mandi.

Pendapat lain menyatakan bahwa karena tidak memiliki aktivitas

tertentu maka mandi merupakan salah satu cara mengisi waktu dan

untuk mendapatkan kesegaran tubuh.

4.2.2. Pengaruh faktor cuci tangan pada personal hygiene

Tangan adalah anggota tubuh yang paling banyak berhubungan

dengan anggota tubuh yang lain. Tangan digunakan untuk menjamah

makanan setiap hari. Selain itu, sehabis memegang sesuatu yang kotor

atau sesuatu yang mengandung kuman penyakit, tangan langsung


menyentuh mata, hidung, mulut, makanan serta minuman. Hal ini

dapat menyebabkan pemindahan kuman penyakit yang dapat berupa

penyebab terganggunya kesehatan karena tangan merupakan perantara

penularan kuman (Irianto, 2007). Cuci tangan adalah proses yang

secara mekanis melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan

dengan menggunakan sabun biasa dan air yang mengalir (Departemen

Kesehatan RI, 2007). Waktu mencuci tangan adalah ketika tangan

kotor, sebelum dan sesudah makan, setelah buang air kecil dan besar.

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

cuci tangan menunjukan bahwa responden yang memiliki faktor cuci

tangan kategori tidak beresiko 50,85% diantaranya menderita penyakit

kulit dan 49,15% tidak menderita penyakit kulit, sedangkan responden

yang yang memiliki faktor cuci tangan kategori berisiko 81,25%

diantaranya menderita penyakit kulit dan 18,75% tidak menderita

penyakit kulit. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara faktor cuci tangan pada personal hygiene dengan

kejadian penyakit kulit pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Kota Kupang (p-value: 0,029 ≤ 0,05). Setelah diikutsertakan

dalam analisis multivariat (p-value: 0,029 ≤ 0,25), analisis multivariat

menunjukan bahwa variabel cuci tangan memiliki nilai Sig. atau p-

value sebesar 0,088 dan Exp(B) untuk menyatakan OR sebesar 6,210

(95%CI: 0,762-50,609). Karena nilai p-value (0,088) > 0,05 maka H 0

diterima yang berarti faktor cuci tangan tidak memiliki pengaruh


terhadap kejadian penyakit kulit pada narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang tahun 2016.

Berdasarkan hasil wawancara, ketersediaan sabun merupakan akar

masalah pada kegiatan-kegiatan membersihkan diri termasuk mencuci

tangan. Beberapa responden menyatakan bahwa penggunaan sabun

untuk mandi belum terpenuhi secara penuh sehingga sangat tidak

memungkinkan jika sabun digunakan untuk mencuci tangan termasuk

mencuci tangan setelah BAB/ BAK. Selain itu, responden juga

menyatakan bahwa kebersihan tangan dinilai dengan menggunakan

mata sehingga ketika mata melihat tangan masih dalam keadaan bersih

maka tidak perlu mencuci tangan termasuk mencuci tangan sebelum

makan.

4.2.3. Pengaruh faktor kebersihan pakaian pada personal hygiene

Pakaian yang kotor akan menghalangi seseorang untuk terlihat

sehat dan segar walaupun seluruh tubuh sudah bersih. Pakaian banyak

menyerap keringat, lemak dan kotoran yang dikeluarkan badan.

Pakaian berkeringat dan berlemak yang diserap akan berbau busuk dan

menganggu dalam waktu lebih dari sehari, untuk itu perlu mengganti

pakaian dengan yang bersih setiap hari. Saat tidur hendaknya kita

mengenakan pakaian yang khusus untuk tidur dan bukannya pakaian

yang sudah dikenakan sehari-hari yang sudah kotor. Untuk kaos kaki,

kaos yang telah dipakai dua kali harus dibersihkan. Selimut, sprei, dan
sarung bantal juga harus diusahakan supaya selalu dalam keadaan

bersih sedangkan kasur dan bantal harus sering dijemur (Irianto, 2007).

Perawatan handuk yang tidak diperhatikan dapat menjadikan

handuk sebagai tempat perkembangbiakan bakteri ataupun virus

penyebab penyakit kulit. Idealnya handuk dicuci setelah tiga atau

empat kali pemakaian. Handuk sebaiknya dijemur di bawah sinar

matahari langsung dengan cara dilebarkan agar seluruh bagiannya

menjadi kering karena handuk memiliki bahan yang tebal sehingga

sangat mudah mengunci kelembaban dan juga membuatnya mudah

berbau.

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

kebersihan pakaian menunjukan bahwa responden yang memiliki

faktor kebersihan pakaian kategori tidak beresiko 25% diantaranya

menderita penyakit kulit dan 75% tidak menderita penyakit kulit,

sedangkan responden yang yang memiliki faktor kebersihan pakaian

kategori berisiko 87,18% diantaranya menderita penyakit kulit dan

12,82% tidak menderita penyakit kulit. Berdasarkan hasil analisis

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor kebersihan

pakaian dengan kejadian penyakit kulit pada narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang (p-value: 0,000 ≤ 0,05).

Karena nilai p (0,000) ≤ 0,25 maka layak untuk diikutsertakan dalam

analisis multivariat. Pada hasil analisis multivariat menunjukan bahwa

kebersihan pakaian memiliki nilai Sig. atau p-value sebesar 0,015 dan
Exp(B) untuk menyatakan OR sebesar 8,696 (95%CI: 1,525-49,575).

Karena nilai p-value (0,015) ≤ 0,05 maka H 0 ditolak yang berarti

faktor kebersihan pakaian memiliki pengaruh terhadap kejadian

penyakit kulit pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Kota Kupang Tahun 2016.

Berdasarkan hasil wawancara rata-rata memiliki jumlah pakaian

sebanyak empat pasang sehingga untuk mengganti pakaian dua kali

sehari sangat tidak memungkinkan. Pakaian yang dimiliki sebagian

besar responden menyatakan memperoleh pakaian dari teman

narapidana lainnya yang telah bebas atau keluar dari Lembaga

Pemasyrakatan. Selain jumlah pakaian, pakaian yang telah dipakai

biasanya digantung dan akan digunakan lagi di hari berikutnya hingga

pakaian tersebut terasa benar-benar berbau. Penjemuran pakaian dan

handuk oleh narapidana sebagian besar tidak di bawah terik matahari

melainkan di dalam kamar/ sel atau di depan teras kamar. Penjemuran

handuk yang berada pada jalur jalan narapidana menyebabkan handuk

bukan hanya digunakan untuk mengeringkan tubuh ketika selesai

mandi tetapi juga digunakan untuk mengeringkan keringat dan tangan

yang basah. Hasil wawancara tentang kebersihan pakaian juga

menegaskan tentang penggunaan sprei bahwa sebagian besar

responden tidak menggunakan sprei sebagai alas tempat tidur dengan

alasan tempat tidur yang dimiliki merupakan spon yang berlapis kulit

tetapi karena tidak menggunakan sprei maka spon yang digunakan


untuk tidur beberapa responden menyatakan terkadang mengeluarkan

bau busuk.

4.2.4. Pengaruh faktor kelembaban pada tempat hunian

Kelembaban sangat berperan penting dalam pertumbuhan kuman

penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai

oleh kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Keadaan yang

lembab dapat mendukung terjadinya penularan penyakit

(Notoatmodjo, 2007). Menurut Kepmenkes

RI/NO.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan

perumahan dari aspek kelembaban udara ruang, dipersyaratkan

ruangan mempunyai tingkat kelembaban udara yang diperbolehkan

antara 40-70%. Tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat

ditambah dengan perilaku tidak sehat, misalnya dengan penempatan

yang tidak tepat pada berbagai barang dan baju, handuk, sarung yang

tidak tertata rapi, serta kepadatan hunian ruangan ikut berperan dalam

penularan penyakit berbasis lingkungan (Soedjadi, 2003).

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

kelembaban menunjukan bahwa responden yang memiliki faktor

kelembaban kategori tidak beresiko 25,71% diantaranya menderita

penyakit kulit dan 74,29% tidak menderita penyakit kulit, sedangkan

responden yang yang memiliki faktor kelembaban kategori berisiko

85% diantaranya menderita penyakit kulit dan 15% tidak menderita

penyakit kulit. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada


hubungan antara faktor kelembaban pada tempat hunian dengan

kejadian penyakit kulit pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Kota Kupang (p-value: 0,000 ≤ 0,05). Setelah diikutsertakan

dalam analisis multivariat (p-value: 0,000 ≤ 0,25), hasil analisis

menyatakan variabel kelembaban memiliki nilai Sig. atau p-value

sebesar 0,013 dan Exp(B) untuk menyatakan OR sebesar 9,824

(95%CI: 1,607-60,062). Karena nilai p-value (0,013) ≤ 0,05 maka

dapat dinyatakan faktor kelembaban memiliki pengaruh terhadap

kejadian penyakit kulit pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Kota Kupang Tahun 2016.

Berdasarkan hasil observasi peneliti menyimpulkan bahwa salah

satu faktor yang mempengaruhi kelembaban pada tempat hunian

narapidana adalah air yang ditampung menggunakan ember dan

disimpan dalam kamar tidur dan juga di kamar mandi yang berada di

dalam ruang hunian dan kamar mandi hanya dibatasi dengan tembok

setinggi satu setengah meter. Selain itu, bentuk susunan tempat hunian

yakni seperti huruf “U” sangat menyulitkan untuk masuknya sinar

matahari kedalam ruang hunian. Keadaan ini menyebabkan agent

penyebab penyakit terkhususnya penyakit kulit sangat cepat

berkembang dalam menyebabkan penyakit tentunya karena didukung

oleh perilaku yang tidak sehat.

4.2.5. Pengaruh faktor pencahayaan pada tempat hunian


Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang

cukup, karena suatu rumah yang tidak mempunyai cahaya selain dapat

menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbulkan

penyakit (Prabu, 2009). Menurut Sukini (1989), sinar matahari

berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan

mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khususnya

sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan bakteri

patogen. Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan didalam

ruangan rumah terutama ruangan tidur. Pencahayaan alami atau buatan

langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan

minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Kepmenkes

RI,1999).

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

pencahayaan menunjukan bahwa responden yang memiliki faktor

pencahayaan kategori tidak beresiko 33,33% diantaranya menderita

penyakit kulit dan 66,67% tidak menderita penyakit kulit, sedangkan

responden yang yang memiliki faktor pencahayaan kategori berisiko

59,42% diantaranya menderita penyakit kulit dan 40,58% tidak

menderita penyakit kulit. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara faktor pencahayaan pada tempat hunian

dengan kejadian penyakit kulit pada narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang (p-value: 0,000 ≤ 0,05).

Setelah diikutsertakan dalam analisis multivariat (p-value: 0,000 ≤


0,25), hasil analisis membuktikan bahwa variabel pencahayaan

memiliki nilai Sig. atau p-value sebesar 0,542 dan Exp(B) untuk

menyatakan OR sebesar 2,328 (95%CI: 0,154-35,185). Karena nilai p-

value (0,542) > 0,05 maka dapat dinyatakan faktor pencahayaan tidak

memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit kulit pada narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang Tahun 2016.

Berdasarkan hasil observasi pencahayaan ruangan sangat

dipengaruhi oleh letak ruang itu sendiri. Seperti halnya dijelaskan pada

faktor kelembaban bentuk blok yang seperti huruf “U” sangat

menyulitkan matahari untuk dapat masuk kedalam ruang hunian. Pada

ruang hunian yang berada di depan pintu blok sangat memudahkan

matahari untuk menyinari ruang hunian tetapi sebaliknya pada ruangan

yang berada agak ke dalam dari pintu blok maka akan sangat tidak

memungkinkan masuknya matahari dan pencahayaan yang sangat

kurang kebanyakan terjadi pada ruang hunian yang berada di sudut

blok. Ruang hunian ini sangat membutuhkan cahaya buatan walaupun

di siang hari tetapi di Lembaga Pemasyarakatan dilarang menyalakan

lampu ruang hunian pada siang hari.

4.2.6. Pengaruh faktor kepadatan hunian pada tempat hunian

Kepadatan hunian sangat berpengaruh terhadap kesehatan yaitu

menyebabkan peningkatan suhu ruangan yang disebabkan oleh

pengeluaran panas tubuh dan akan meningkatan kelembaban akibat

uap air dari pernapasan manusia. Kepadatan hunian juga sangat


berpengaruh terhadap jumlah bakteri penyebab penyakit menular

termasuk penyakit kulit. Kepadatan hunian juga dapat mempengaruhi

kualitas udara di dalam rumah. Semakin banyak jumlah penghuni

maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami pencemaran

oleh karena CO2 dalam rumah akan cepat meningkat dan akan

menurunkan kadar O2 yang di udara (Sukini, 1989).

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

kepadatan hunian menunjukan bahwa responden yang memiliki faktor

kepadatan hunian kategori tidak beresiko 64,29% diantaranya

menderita penyakit kulit dan 35,71% tidak menderita penyakit kulit,

sedangkan responden yang yang memiliki faktor kepadatan hunian

kategori berisiko 55,74% diantaranya menderita penyakit kulit dan

44,26% tidak menderita penyakit kulit. Berdasarkan hasil analisis

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor kepadatan

hunian pada tempat hunian dengan kejadian penyakit kulit pada

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang (p-

value: 0,560 ≥ 0,05). Karena nilai p-value: 0,560 ≥ 0,25, maka H 0

diterima yang berarti faktor kepadatan hunian tidak memiliki pengaruh

yang signifikan dengan kejadian penyakit kulit pada narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang Tahun 2016.

Hasil observasi peneliti menemukan bahwa jumlah keseluruhan

narapidana belum memenuhi seluruh ruang hunian di Lembaga

Pemasyarakatan karena beberapa ruang hunian tidak dihuni oleh


narapidana. Penentuan jumlah narapidana tiap ruang hunian, juga di

tentukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan sehingga jumlah

narapidana tiap ruang hunian dapat di kontrol dengan baik.

4.2.7. Pengaruh faktor air bersih

Penyakit yang menyerang manusia dapat ditularkan dan menyebar

secara langsung maupun tidak langsung melalui air. Penyakit yang

ditularkan melalui air disebut waterborne disease atau waterborne

related disease. Terjadinya suatu penyakit tentunya memerlukan

adanya agent dan terkadang vektor (Sumantri, 2013). Kira-kira

terdapat 20 sampai 30 macam penyakit infektif yang dapat dipengaruhi

oleh perubahan penyediaan air. Biasanya penyakit disebabkan oleh air

diklasifikasikan menurut mikroba penyebabnya yaitu: virus, bakteri,

protozoa, dan cacing. Contoh beberapa penyakit yang dapat ditularkan

melalui air oleh agent penyebab yaitu bakteri adalah kolera, disentri,

tifoid, diare dan termasuk penyakit kulit.

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

air bersih menunjukan bahwa responden yang memiliki faktor air

bersih kategori tidak beresiko 56,36% diantaranya menderita penyakit

kulit dan 43,64% tidak menderita penyakit kulit, sedangkan responden

yang yang memiliki faktor air bersih kategori berisiko 60%

diantaranya menderita penyakit kulit dan 40% tidak menderita

penyakit kulit. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara faktor air bersih dengan kejadian penyakit
kulit pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota

Kupang (p-value: 0,778 ≥ 0,05). Karena p-value: 0,778 ≥ 0,25 maka

H 0 diterima yang berarti faktor air bersih tidak memiliki pengaruh

yang signifikan dengan kejadian penyakit kulit pada narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang Tahun 2016.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara untuk kualitas air

secara fisik hampir semua blok memiliki kualitas air yang memenuhi

syarat. Sumber air berasal dari dua sumur bor yang berada di

lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Kebersihan bak penampung

juga sangat diperhatikan karena merupakan salah satu tanggung jawab

kepala blok yang juga meruupakan seorang narapidana dan

bertanggung jawab atas segala hal yang berada di blok.

4.2.8. Pengaruh faktor pembuangan sampah

Pengelolaan sampah yang kurang baik dapat memberikan pengaruh

negatif bagi kesehatan, lingkungan, maupun bagi kehidupan sosial

ekonomi dan budaya masyarakat. Penyakit akibat sampah sangat luas

dan dapat berupa penyakit menular, tidak menular dapat juga berupa

kebakaran, keracunan, dan lain-lain. Selain itu sampah juga dapat

menyebabkan meningkatnya penyakit-penyakit yang ditularkan

melalui vektor berupa bakteri, jamur, virus, parasit, cacing dan zat

kimia. Salah satu penyakit akibat sampah adalah penyakit kulit yang

disebabkan beberapa jenis jamur mikroorganisme patogen yang hidup


dan berkembang biak di dalam sampah (Soemirat dalam Dalimunthe,

2016).

Analisis bivariat pada distribusi penyakit kulit berdasarkan faktor

pembuangan sampah menunjukan bahwa responden yang memiliki

faktor pembuangan sampah kategori tidak beresiko 57,35%

diantaranya menderita penyakit kulit dan 42,65% tidak menderita

penyakit kulit, sedangkan responden yang yang memiliki faktor

pembuangan sampah kategori berisiko 57,14% diantaranya menderita

penyakit kulit dan 42,86% tidak menderita penyakit kulit. Berdasarkan

hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

faktor pembuangan sampah dengan kejadian penyakit kulit pada

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang (p-

value: 0,991 ≥ 0,05). Karena nilai p-value (0,991) ≥ 0,25, maka H 0

diterima yang berarti faktor pembuangan sampah tidak memiliki

pengaruh yang signifikan dengan kejadian penyakit kulit pada

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Kupang Tahun

2016.

Berdasarkan hasil wawancara hampir semua responden membuang

sampah pada tempatnya. Hal ini dilakukan karena pembuangan

sampah pada tempatnya merupakan sebuah kewajiban bagi narapidana.

Seorang responden mengaku bahkan apabila pegawai Lembaga

Pemasyarakatan menemukan puntung rokok yang dibuang secara


sembarangan, maka pelaku pembuangan sampah secara sembarang

tersebut akan diberikan sanksi.

Anda mungkin juga menyukai