Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA MULTI SISTEM


(SEPSIS dan MODS)

Oleh Kelompok 4 :

1. Ranita Sari (P 17212215002) 8. Widari Nirmalasari (P17212215016)

2. Serlin Yuni Restiana (P17212215003) 9. Mar'atus Silmiah (P17212215045)

3. Nazhilatul Rizkia (P17212215075) 10. Diah Oktaviai (P17212215095)

4. Agus Kurnia Hariyadi (P12212215124) 11. Sulis Tianto (P17212215029)

5. Aya Shofia (P17212215094) 12. Mukhammad Naufal R

6. Ely Munyca Fatmawati (P17212215055) (P17212215065)

7. Naning Duwiningsih (P17212215014) 13. Fenny Mellike (P17212215083)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada kira besarnya, sehingga kami

dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Kritis Pada

Multi sistem (Sepsis dan MODS)” ini.

Dalam pembuatan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari

berbagai pihak. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu

pembuatan makalah ini.

Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon

permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami

buat kurang tepat atau menyiggung perasaan pembaca.

Dengan ini kami persembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih

dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan

manfaat bagi pembaca.

Lawang,9 Agustus 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.........................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................3
C. Tujuan.................................................................................................................3
BAB II KONSEP MEDIS.............................................................................................5
A. KONSEP DASAR SEPSIS.................................................................................5
A. Pengertian.....................................................................................................5
B. Etiologi..........................................................................................................5
C. Tanda dan Gejala..........................................................................................6
A. Patofisiologi..................................................................................................6
B. Pathway Sepsis..............................................................................................9
C. Tahap Perkembangan Sepsis.......................................................................10
A. Penatalaksanaan Sepsis...............................................................................10
B. Pemeriksaan Penunjang Sepsis...................................................................16
B. KONSEP DASAR MODS................................................................................18
A. Pengertian...................................................................................................18
B. Etiologi dan Faktor Resiko.........................................................................18
C. Klasifikasi MODS ......................................................................................19
A. Patofisiologi................................................................................................19
B. Pathway MODS .........................................................................................21
A. Penatalaksanaan MODS.............................................................................23
B. Pemeriksaan Penunjang MODS..................................................................24

iii
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN......................................................25
A. Pengkajian ........................................................................................................25
B. Diagnosa Keperawatan.....................................................................................29
C. Rencana Asuhan Keperawatan..........................................................................31
BAB IV PENUTUP ....................................................................................................34
A. Kesimpulan ......................................................................................................34
B. Saran..................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................36

iv
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Indikator Laboratorium Untuk Sepsis .........................................................17


Tabel 2. Pemeriksaan Penunjang MODS ................................................................24

DAFTAR GAMBAR

v
Halaman

Gambar 1. Surviving Sepsis Campaigh Bundle of Care26.........................................11

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepsis merupakan respons inflammasi sistemik yang disebabkan oleh

infeksi (diduga infeksi) atau infeksi yang telah terbukti (adanya bakteri atau

bakteremia) (Hedi et.al, 2017). Masuknya mikroba dari situs lokal ke

homeostasis aliran darah dapat mencetuskan kegagalan mekanisme regulasi

yang ditandai dengan hipotensi yang mengarah pada septik syok dan akhirnya

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS), sehingga dapat meningkatkan

resiko kematian secara substansial (Ardianti et.al, 2011). MODS adalah

penyebab kematian tersering pada pasien sepsis. Hingga saat ini harapan

pasien untuk dapat bertahan hidup dari MODS masih jauh dari harapan

(Suprayogi, 2018). Sepsis dan komplikasinya tersebut merupakan salah satu

masalah kesehatan penyebab utama mortalitas (Dellinger, 2013 dalam Dewita,

2017).

Sepsis dan multi-organ dysfunction syndrome (MODS) merupakan

penyebab kematian utama di ICU. Angka kematian akibat sepsis masih tinggi,

diperkirakan 1 dari 4 pasien sepsis berat dan 1 dari 2 pasien syok sepsis akan

meninggal dalam 30 hari setelah didiagnosis (Dewita, 2017). Angka kematian

pasien sepsis di ICU masih cukup tinggi yaitu 27% dibandingkan persentase

kematian non sepsis yaitu sebesar 14% (Guzman, 2012). Di Amerika sepsis

merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di unit

perawatan intensive ICU, sekitar 500.000 orang meninggal akibat sepsis setiap

tahun. Di Indonesia belum didapatkan data secara pasti mengenai kejadian

1
sepsis, sepsis derajat berat dan syok septik terjadi pada 2 hingga 3% pasien

rawat

2
2

inap dan 10 hingga 15% atau lebih pada pasien yang dirawat di ICU (Hedi et.al,

2017). Pada januari 2006 - desember 2007 di bagian ICU Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Moewardi Surakarta, tercatat angka kejadian sepsis sebesar 33,5%

dengan tingkat mortalitas 50,2% sedangkan di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang

pada tahun 2004 hingga 2005 didapatkan hasil positif timbulnya kuman pada

kultur darah pasien sepsis sebanyak 35,5% (Ardianti et.al, 2013).

Sindrom disfungsi multi organ (MODS) terjadi pada pasien sepsis yang

mengalami kegagalan dua sistem oragan atau lebih secara berurutan atau secra

bersamaan. Beberapa disfungsi sistem organ ini akan terjadi akibat komplikasi dari

sepsis yang sangat umum terjadi. Sepsis diawali dengan adanya kejadian systemic

inflammatory response syndrome (SIRS) yang disertai dengan infeksi. Kejadian sepsis

ditandai dengan adanya infeksi namun tidak selamanya terdapat bakteremia. Kejadian

tersebut dimungkinkan karena adanya endotoksin maupun eksotoksin di dalam darah

sedangkan bakterinya berada di dalam jaringan. MODS adalah penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan sepsis, MODS mengacu pada perubahan

fungsi beberapa organ sehingga homeostasis normal tidak dapat dipertahankan tanpa

intervensi (Suprayogi, 2018).

Disfungsi metabolik dan hematologi juga umum terjadi pada sepsis berat dan

MODS. Namun belum ada konsensus mengenai bagaimana menentukan disfungsi atau

kegagalan sistem organ tertentu, jika MODS berkembang maka kondisi infeksi akan

semakin tidak terkendali menyebabkan interaksi kompleks antara peradangan inflamasi,

anti inflamasi dan prokoagulan yang berujung pada kegagalan organ. Penentu utama

kegagalan organ adalah hipoperfusi jaringan. Pengetahuan kita saat ini tampaknya

menunjukkan dua mekanisme penting dalam pengembangan hipoperfusi jaringan akibat

sepsis, yaitu disfungsi mikrovaskular dan hipoksia sitopatik. Suplai darah yang tidak

adekuat atau maldistribusi ke jaringan vital biasanya mendahului kejadian MODS.


3

Demikian pula dengan penggunaan oksigen pada tingkat sel yang tidak memadai

meskipun pasokan oksigen cukup karena dalam keadaan sepsis terjadi disfungsi

mitokondria. Bentuk hipoksia sepsis ini dikenal sebagai hipoksia sitopati (Suprayogi,

2018).

Untuk itu perlu pendalaman tentang konsep asuhan keperawatan pasien sepsis

dengan MODS agar tenaga medis atau perawat mampu memberikan diagnosa

keperawatan dengan benar, sehingga dalam pemberian intervensi akan lebih terarah

dan terukur pada target berbaikan organ, intervensi yang tepat pada sasaran akan

memberikan dampak yang baik pada organ.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari sepsis dan MODS ?

2. Apa etiologi dari sepsis dan MODS?

3. Apa saja tanda dan gejala dari sepsis ?

4. Apa saja klasifikasi MODS ?

5. Bagaimana patofisiologi dari sepsis dan MODS?

6. Bagaimana penatalaksanaan dari sepsis dan MODS?

7. Bagaimana pemeriksaan penunjang sepsis dan MODS?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari sepsis dan MODS?

2. Untuk mengetahui etiologi dari sepsis dan MODS?

3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari sepsis?

4. Untuk mengetahui klasifikasi MODS?

5. Untuk mengetahui patofisiologi dari sepsis dan MODS?

6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari sepsis dan MODS?

7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang sepsis dan MODS?


4
BAB 2

KONSEP MEDIS

A. KONSEP DASAR SEPSIS

1. Pengertian

Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam

jiwa dimana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi (Rhodes et

al, 2017). Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total

skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) ≥ 2 poin sebagai

konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien

yang tidak diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA ≥ 2

dihubungkan dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di

rumah sakit umum dengan kecurigaan adanya infeksi (Singer et al.,

2016).

2. Etiologi

Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri Gram negatif 70%

(Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Enterobacter, E. Colli, Proteus,

Neisseria), infeksi bakteri Gram positif 20-40% (Staphylococcus aureus,

Streptococcus, Pneumococcus), virus 2- 3% (Dengue haemorrhagic

fever, Herpes virus), protozoa (Malaria falciparum), dan jamur

(Tambajong et al., 2016).Staphylococci, Pneumococci, Streptococci, dan

bakteri Gram positif lain lebih jarang menimbulkan sepsis dengan angka

kejadian antara 20-40% dari seluruh angka kejadian sepsis (Menkes,

2014).

5
6

3. Tanda dan Gejala

Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului

oleh tandatanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan

gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala

tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak

macam kondisi inflamasi noninfeksius. Sumber infeksi merupakan

determinan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala

sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita

usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien

dengan granulositopenia (Hermawan, 2014).

4. Patofisiologi

Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal

bersamaan dari sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk

mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis

tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun

terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan

keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular,

serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi (Caterino, 2012).

 Kaskade Inflamasi (Inflammatory cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan

perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen

membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A,

endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic,

peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.


7

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan

kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk

meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator

ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-

like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang

mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-

α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic

downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-

activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel,

yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini

menyebabkan produksi molekul adhesi pada Sepsis leads to organ failure

and death via a cascade of inflammation and coagulation. Activated protein

C (APC) blocks the cascade at several points. A formulation of recombinant

human APC has been approved for treating sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-

α, tumor necrosis factor α. 12 sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel

neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan

komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat

(NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan

mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi yang

mengarah ke syok septik.

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit,

dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO

tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat

mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi

merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang

dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian.


8

5. Pathway Sepsis
9
10

6. Tahap Perkembangan Sepsis

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

1. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses

gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan

rumah sakit.

2. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai

mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru

atau hati.

3. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah

turun ke tingkat yang sangat rendah dan 13 menyebabkan organ vital

tidak mendapatkan oksigen yang cukup.

Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis

ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ

multiple dan kematian

7. Penatalaksanaan Sepsis

Penatalaksanaan sepsi sesuai SSC (Surviving Sepsis Campaign)

2018, sepsis bundle direvisi menjadi bundle-1 dimana semua

rekomendasi pada bundle-3 dan bundle-6 digabungkan dan harus

dilaksanakan pada 1 jam pertama sejak time zero yaitu waktu pasien

masuk triase pada instalasi gawat darurat ataupun masuk ke bagian lain

sebagai rujukan dari rumah sakit lain dengan data-data yang

menunjukkan kearah sepsis (Mitchell ML, dkk, 2018).


11

Gambar 1. Hour-1 Surviving Sepsis Campaigh Bundle of Care


Sumber : (Mitchell ML, dkk, 2018)

1. Hitung kadar laktat

Pada pasien sepsis dan syok sepsis akan terjadi gangguan

hemodinamik yang membuat perfusi jaringan wajib dipantau

seadekuat mungkin. Pemantauan perfusi jaringan menjadi langkah

yang esensial untuk mencegah kegagalan sirkulasi akut yang dapat

berujung pada kerusakan organ-organ vital, seperti jantung, ginjal dan

otak. Evaluasi terhadap perfusi jaringan dapat dilakukan secara klinis

ataupun dengan menggunakan biomarker. Dalam penggunaan

biomarker, kadar laktat menjadi parameter objektif untuk menilai

adekuitas oksigenasi ke jaringan (Ahmed H, dkk, 2017).

Pembentukan laktat terjadi pada hampir seluruh jaringan, yaitu

otot lurik, otak, sel darah merah dan ginjal. Pada kondisi normal,

pembentukan laktat juga terjadi dalam derajat ringan dengan proses

pembersihannya yang juga seimbang yaitu 320 mmol/L/hari. Sehingga

kadar laktat darah pada kondisi normal dipertahankan dalam kadar <1

mmol/L (Andra LB, 2007). Sedangkan pada kondisi hipoksia, rantai

pembentukan energi bergeser ke anaerobik yang dapat meningkatkan

kadar laktat dalam darah sehingga dipakai sebagai parameter derajat

hipoksia jaringan pada kasus syok (Muller BM dan Dellinger RP,


12

2012). Jika laktat awal meningkat (> 2 mmol / L), itu harus diukur

kembali dalam 2-4 jam untuk memandu resusitasi untuk menormalkan

laktat pada pasien dengan kadar laktat tinggi sebagai penanda

hipoperfusi jaringan.

2. Pengambilan sampel kultur bakteri

Pasien sepsis mengalami kondisi bakteremia yang berarti

mengalami infeksi dari sumber manapun yang mungkin, seperti

seluruh rongga tubuh pasien, adanya luka terbuka ataupun hal lainnya.

Pengambilan sampel kuman untuk dilakukan kultur agar dapat

diketahui jenis patogen penyebab harus dilakukan pada pasien sepsis

tanpa melakukan penundaan substansial terhadap pemberian

antibiotik. Dalam pedoman tatalaksana Surviving Sepsis Campaign

pada tahun 2016, panel merekomendasikan waktu paling lama 45

menit untuk mengambil seluruh sampel infeksius dari pasien yang

diduga kuat menjadi sumber infeksi (Surviving Sepsis Campaign,

2016).

Berdasarkan SSC 2016 sangat direkomendasikan

pengambilan seluruh sampel tubuh pasien sepsis yang berdasarkan

riwayat penyakit dan gejala yang timbul besar dugaan menjadi sumber

infeksi. Pemeriksaan kultur mikrobiologis rutin yang baik idealnya

terdiri atas dua set sampel kultur darah yang aerobik dan anaerobik.

Pengambilan darah sebisa mungkin dilakukan pada satu waktu.

Pengambilan sampel setelah dilakukannya pemberian antibiotik tidak

akan berguna karena sterilisasi kultur dapat terjadi dalam hitungan

menit hingga jam setelah antibiotik diberikan (Baron EJ, dkk, 2013).

3. Pemberian Antibiotic
13

Terapi empiris spektrum luas dengan satu atau lebih

antimikroba intravena untuk mencakup semua kemungkinan patogen

harus segera dimulai untuk pasien dengan sepsis atau syok septik.

Terapi antimikroba empiris harus dipersempit setelah identifikasi dan

sensitivitas patogen ditetapkan, atau dihentikan jika keputusan dibuat

bahwa pasien tidak memiliki infeksi. Hubungan antara pemberian

antibiotik awal untuk dugaan infeksi dan penatalayanan antibiotik tetap

merupakan aspek penting dari manajemen sepsis berkualitas tinggi.

Jika infeksi kemudian terbukti tidak ada, maka antimikroba harus

dihentikan (Andra LB, 2007).

Pemilihan antibiotik empiris merupakan hal yang paling

penting dalam manajemen efektif infeksi yang dapat membahayakan

nyawa. Pertimbangan yang harus dipikirkan adalah sebagai berikut:

a. Predileksi infeksi dengan melihat profil kuman dan sediaan

antibiotik

b. Patogen yang prevalen di masyarakat, rumah sakit atau di

kamar bangsal

c. Pola resistensi dari kuman-kuman yang ada di lingkungan

tersebut

d. Ada atau tidaknya kondisi yang menyebabkan penurunan

imunitas seperti splenektomi, HIV, defek kongenital

immunoglobulin dan masalah produksi komplemen, limfosit dll.

e. Umur dan penyakit komorbid pada pasien yang tergolong

kronis dan gejala-gejala kegagalan organ target yang muncul.

Dalam pemilihan antibiotik definitif, setelah hasil kultur

kuman dan sensitifitas keluar maka harus diganti ke antibiotik

yang jauh lebih sensitif. Tetapi bila hasil kultur negative dan
14

antibiotik empiris menunjukkan perbaikan maka bisa

dilanjutkan dengan antibiotic (Surviving Sepsis Campaign,

2016).

4. Pemberian Cairan IV

Resusitasi cairan awal sangat penting untuk stabilisasi

hipoperfusi jaringan sepsis atau syok septik. Mengingat keadaan

darurat medis ini, resusitasi cairan awal harus dimulai segera setelah

mengenali pasien dengan sepsis atau hipotensi dan peningkatan

laktat, dan selesai dalam 3 jam dari awal diagnosis. Pedoman

merekomendasikan harus terdiri dari minimal 30mL/kg intravena cairan

kristaloid. Meskipun sedikit literatur dan data untuk mendukung volume

ini, studi intervensi baru-baru ini menggambarkan ini sebagai praktik

biasa pada tahap awal resusitasi, dan didukung bukti observasional.

Tidak adanya manfaat yang jelas setelah pemberian koloid

dibandingkan dengan larutan kristaloid pada subkelompok gabungan

sepsis, bersamaan dengan biaya albumin, mendukung rekomendasi

yang kuat untuk penggunaan larutan kristaloid dalam resusitasi awal

pasien dengan sepsis dan septik. Syok (Shapiro NI, dkk, 2005),

Karena beberapa bukti menunjukkan bahwa keseimbangan cairan

positif terus menerus selama tinggal di ICU berbahaya, pemberian

cairan di luar resusitasi awal memerlukan penilaian yang cermat dari

kemungkinan bahwa pasien tetap responsif cairan (Mitchell ML dkk,

2018).

5. Pemberian Vasopressor

Restorasi mendesak tekanan perfusi yang memadai ke organ

vital adalah bagian penting dari resusitasi. Jika tekanan darah tidak

pulih setelah cairan awal resusitasi, maka vasopressor harus dimulai


15

dalam jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) dari

≥ 65 mm Hg (Mitchell ML dkk, 2018). Rekomendasi penerapan

vasopressor pada SSC 2016 adalah sebagai berikut: dokter

merekomendasikan obat – obatan vasoaktif (Surviving Sepsis

Campaign, 2016).

a. Norepinefrin sebagai vasopresor lini pertama (strong

recommendation, moderate quality of evidence).

b. Vasopressin (sampai dengan 0,03 U/min) (weak

recommendation, moderate quality of evidence) atau epinefrin

(weak recommendation, low quality of evidence) dengan

norepinefrin untuk meningkatkan MAP (mean arterial pressure)

sesuai target, atau menambahkan vasopressin (sampai dengan

0.03 U/min) (weak recommendation, moderate quality of

evidence) untuk menurunkan dosis norepinefrin.

c. Dopamine sebagai vasopresor alternatif pada norepinefrin hanya

pada pasien tertentu (misalnya pasien dengan takiaritmia resiko

rendah dan bradikardi absolut atau relatif) (weak

recommendation, low quality of evidence).

d. Dopamine dosis rendah untuk melindungi ginjal (strong

recommendation, high quality of evidence).

e. Dobutamin pada pasien yang menunjukkan hipoperfusi persisten

meskipun sudah diberikan cairan yang adekuat dan

menggunakan vasopresor (weak recommendation, low quality

ofevidence). Jika diinisiasi, dosisharus dititrasi hingga titik akhir

yang menggambarkan perfusi, dan agen dikurangi atau

dihentikan bila terjadi perburukan hipotensi atau aritmia.


16

f. Membutuhkan vasopresor memiliki kateter arteri yang sudah

terpasang segera bila tersedia (weak recommendation, very low

quality of evidence).

8. Pemeriksaan Penunjang Sepsis

1. Pemeriksaan labolatorium: Complete Blood Count (CBC) dengan hitung

diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,

kreatinin, elektolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,

elektrokardiogram, dan ronsen dada. Hasil laboratorium sering ditemukan

asidosis metabolik, trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan

tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan

produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2,

serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta

peningkatan leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan

Dohle cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan

tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan

cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada

stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan

serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi (Yessica, Putri,

2010).

Tabel.1 Indikator Laboratorium Untuk Sepsis

Tes Temuan Keterangan


laboratorium
Hitung sel Leukositosis atau Endotoksemia dapat
darah putih leukopenia menyebabkan early leukopenia
Hitung Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat dilihat
platelet trombositopenia sebagai respon fase akut,
jumlah trombosit yang rendah
terlihat pada DIC
Coagulation Defisiensi Protein C; Kelainan dapat diamati sebelum
cascade defisiensi antitrombin; timbulnya kegagalan organ dan
level D-dimer tanpa perdarahan yang jelas.
meningkat; PT
17

(Prothrombin Time)
dan PPT (Partial
Thromboplastin Time)
memanjang
Level Meningkat Doubling-menandakan cedera
Kreatinin ginjal akut
Level asam Lactid acid > 4 mmol/L Mengindikasikan hipoksia
laktat (36 mg/dL) jaringan
Level enzim Level alkaline Mengindikasikan cedera
hepar phosphatase, AST, hepatoseluler akut yang
ALT, bilirubin disebabkan hipoperfusi
meningkat
Level serum Hipofosfatemin Berkorelasi terbalik dengan
fosfat tingkat sitokin proinflamasi
Level C- Meningkat Respons fase akut
reactive
protein
(CRP)
Level Meningkat Membedakan SIRS yang
prokalsitonin infeksius dari SIRS yang non-
infeksius

Sumber : (Yessica, Putri, 2010)

2. Foto abdomen

3. CT-Scan

4. MRI

5. Elektrokardiografi (EKG)

6. Lumbar puncture

B. KONSEP DASAR MODS

1. Pengertian MODS

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) adalah perubahan

fungsi organ pada klien dengan penyakit akut seperti homeostasis yang tidak

dapat diatasa tanpa intervensi, disebut MODS jika organ yang mengalami

kegagalan dua atau lebih organ (Black & Hawks, 2014). MODS menunjukkan

adanya infeksi laten atau tidak terkontrol.


18

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab MODS meliputi jaringan yang mati, jaringan yang cedera,

defisit perfusi, dan sumber inflamasi yang persisten (Black & Hawks, 2014).

Sedangkan orang yang berisiko tinggi mengalami MODS adalah orang yang

memiliki respon imun yang rendah seperti lansia, klien dengan penyakit

kronis, klien dengan gizi buruk, klien dengan kanker, korban trauma berat

dan klien yang menderita sepsis (Black & Hawks, 2014). Menurut Balk R.A

(2000 dalam Herwanto & Amin, 2009) faktor risiko tinggi terjadinya MODS

adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), syok dan

hipotensi berkepanjangan, trauma berat, operasi besar, gagal hati stadium

akhir, infark usus, disfungsi hati, usia > 65 tahun.

3. Klasifikasi MODS

Terdapat dua jenis MODS, primer dan sekunder. MODS primer

merupakan kegagalan yang didapat langsung dari trauma/cedera itu sendiri.

MODS sekunder terjadi dari inflamasi sistemik yang meluas, terjadi setelah

trauma, dan menyebabkan disfungsi organ yang tidak terlibat dalam trauma

awal (Black & Hawks, 2014). Klien memasuki proses hipermetabolik pada

hari ke 14-21 hari, kecuali proses ini tidak dapat dihentikan maka pasien

akan berujung pada kematian (Black & Hawks, 2014).

4. Patofisiologi

Mekanisme Kerusakan/Kematian Jaringan pada MODS

Kerusakan jaringan terjadi selama inflamasi dan merupakan suatu

proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi dan kegagalan

organ. Sel endotel vaskuler mengekspresikan molekul-molekul adhesi yang


19

menarik leukosit dari sirkulasi untuk migrasi ke jaringan. Akumulasi leukosit

terjadi sebagai respons terhadap dari chemokine, seperti IL-8. Kerusakan

jaringan terjadi karena degranulasi leukosit, menghasilkan elastase dan

matrix metalloproteinase (MMP) yang mendegradasi protein struktural.

Leukosit yang teraktivasi juga memproduksi spesies oksigen reaktif (ROS)

dari NADPH oksidase membran yang turut menyebabkan kerusakan

jaringan. Dilatasi dan konstriksi lokal, blokade pembuluh darah oleh agregasi

neutrofil dan trombosit, kerusakan endotel, dan edema interstisial semuanya

berkontribusi dalam kejadian hipoksia jaringan pada MODS. Kematian sel

karena hipoksia akan memicu respon inflamasi. Hipoksia sendiri merangsang

sel epitel untuk melepaskan TNF-a dan IL-8 yang mengakibatkan perubahan

permeabilitas epitel. Hipoksia juga menginduksi pelepasan IL-6, sitokin

utama yang berperan menimbulkan respon fase akut.

Setelah terjadi reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS

sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan

hasil metabolisme AA. Jumlah ROS yang terbentuk melebihi kapasitas anti-

oksidan endogen sehingga terjadi dominasi oksidasi komponen seluler yang

penting. Selain itu terjadi produksi superoksida dismutase oleh neutrofil

teraktivasi. Kematian sel juga terjadi akibat influks kalsium ke dalam sel

(calcium-mediated cell damage). Respon inflamasi MODS terkait dengan

perubahan dinamika dan regulasi apoptosis dibandingkan dengan keadaan

non-inflamasi. Pada MODS terjadi keterlambatan apoptosis neutrofil serta

peningkatan apoptosis limfosit dan parenkim. Keterlambatan apoptosis

neutrofil memperpanjang fungsi neutrofil dalam proses inflamasi sekaligus

memperlama elaborasi metabolit toksik. Peningkatan apoptosis limfosit


20

mengurangi efektor inflamasi sekaligus menyebabkan imunosupresi.

Apoptosis parenkim mengurangi cadangan fungsional organ (Balk R.A, 2000

dalam Herwanto & Amin, 2009).


5. Pathway MODS

21
22
23

6. Penatalaksanaan MODS

Saat ini tidak ada agen yang bisa membalikkan kegagalan organ.

Tetapi oleh karena itu terbatas pada perawatan suportif, yaitu menjaga

hemodinamik dan respirasi. Mempertahankan oksigen jaringan yang

memadai merupakan target utama. Mulai nutrisi enteral dalam waktu 36 jam

termasuk ke unit perawatan intensif telah mengurangi komplikasi infeksi

(Anonim, 2013).

Pada prinsipnya dibagi atas 2 yakni prevensi dan pengobatan dengan

hal ingin dicapai terdapatnya adekuat oksigenasi jaringan, mengobati infeksi,

adekuat nutrisional support dan bila mungkin melakukan tindakan seperti

hemodialisis. Adapun tindakan yang perlu dilaksanakan:

1. Pencegahan; teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena

penelitian didapat 40% kasus MODS disebabkan karena kesalahan

pembedahan. Infeksi nosokomial menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat.

Cuci tangan, ruangan isolasi serta pelapisan kateter IV dengan silikon/ zat

antibakteri dapat mengurangi insiden MODS.

2. Resusitasi untuk mengatasi shock dan monitor kulit, tekanan darah,

temperature, aliran urin, O2 saturasi dan asam laktat dan pH.

3. Debridement dari jaringan yang telah membusuk

4. Mengatasi infeksi yang terjadi baik infeksi intraabdominal, sepsis, infeksi

oleh karena pemasangan kateter, infeksi yang berasal dari usus

daninfeksidari daerah lainnya.

5. Memberikan nutrisi yang cukup baik dengan enteral, parenteral, bila perlu

memberikan kalori yang berlebih. Pada MOSF non kalori intake 23-35

kalori/kg/hari (3-5 gr/kg/hari glukosa ditambah dengan 0,5-1 gm/kg/hari

protein), untuk memberikan kalori digunakan keseimbangan harris benedict.


24

6. Terapi yang diberikan kortikosteroid dan prostaglandin-1 inhibitor. Kemudian

diberikan pula imunoterapi, fibronisentin yang merupakan suatu glikoprotein

kompleks yang merangsang fagositosis, dan dapat pula diberikan ibuprofen.

7. Control kausa; hal terpenting dalam penatalaksanaan MODS adalah

menghilangkan faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi.

7. Pemeriksaan Penunjang MODS

Pemeriksaan penunjang MODS bisa dilakukan dengan Pendekatan

Klinis dengan Sistem Skoring. Skor kegagalan organ terutama dimaksudkan

sebagai alat deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan status

pasien di ICU dalam hal morbiditas, bukan mortalitas (kecuali Logistic Organ

Dysfunction System/ LODS) (Herwanto & Amin, 2009).

Tabel. 2 Pemeriksaan Penunjang MODS

Parameter MODS SOFA LODS

Respirasi PaO2/FiO2 PaO2/FiO2 PaO2/FiO2


Dukungan vertilasi Status
vertilasi/CPAP
Koagulasi Hitung Trombosit Hitung trombosit Hitung Leukosit
Hitung Trombosit
Hati Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi
Bilirubin bilirubin bilirubin
Waktu protombin
Kardio- Frekuensi jantung Tekanan darah Frekuensi jantung
vaskular X (CVP/MAP) Dukungan Tekanan darah
adrenergic sistolik
SSP GCS GCS GCS
Ginjal Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi ureum
kreatinin kreatinin atau dan kreatinin
volume urin volume urin
Sumber : (Herwanto & Amin, 2009)
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pada kasus keperawatan kritis, pengkajian primer selalu menggunakan

pendekatan ABCDE meliputi:

1. Airway

Kepatenan jalan napas, alat bantu napas jika perlu

(guedel atau nasopharyngeal, adanya penurunan fungsi pernapasan

2. Breathing

Kaji jumlah pernapasan, lebih dari 24 kali per menit

merupakan gejala yang signifikan, kaji saturasi oksigen, periksa gas

darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan asidosis,

berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask, auskulasi dada, untuk

mengetahui adanya infeksi di dada, periksa foto thorak

3. Circulation

Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda

signifikan, monitoring tekanan darah, tekanan darah, periksa waktu

pengisian kapiler, pasang infus dengan menggunakan canul yang besar,

berikan cairan koloid, pasang kateter, lakukan pemeriksaan darah

lengkap, siapkan untuk pemeriksaan kultur, catat temperature,

kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari 36oC,

siapkan pemeriksaan urin dan sputum.

4. Disability

25
26

Kaji GCS, kekuatan otot pasien. Bingung merupakan salah

satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal sebelumnya tidak ada

masalah (sehat dan baik).

5. Exposure

Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan

tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.

Dilanjutkan dengan mendapatkan data data pengkajian sekunder berupa:

1. Biodata Klien

Biodata klien meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin,

suku/bangsa, agama, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat).

Identitas penanggung jawab (nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa,

agama, status, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, dan

alamat) dan catatan masuk (tanggal, waktu masuk, caranya, diagnose

medis, no register dan tanggal pengkajian.

2. Riwayat Sosial Ekonomi

a. Keluhan Utama

Biasanya adalah demam, sesak napas, muntah darah

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Keluhan klien yang dirasakan saat ini yang berhubungan dengan

keluhan utama

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah klien pernah mengalami sakit sebelumnya yang tidak

berhubungan atau yang berhubungan dengan penyakit sekarang.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga


27

Apakah ada keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan

klien.

3. Riwayat Sosial Ekonomi

Meliputi pekerjaan klien saat ini, keadaan ekonomi keluarga klien

saat ini. Apakah ekonomi klien kurang, cukup, atau lebih.

4. Pengkajian Pola fungsi dan Pengkajian Fisik.

a. Pengkajian pola fungsi

1) Aktifitas/istirahat

Keletihan, insomnia, nyeri dada dengan aktifitas, gelisah,

dispnea saat istirahat atau aktifitas, perubahan status mental,

tanda vital berubah saat beraktifitas.

2) Integritas ego

Ansietas, stress, marah, takut dan mudah tersinggung.

3) Eliminasi

Gejala penurunan berkemih, urin berwarna pekat, berkemih

pada malam hari, diare / konstipasi.

4) Makanan/cairan

Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penambahan BB

signifikan. Pembengkakan ekstremitas bawah, diet tinggi

garam penggunaan diuretik distensi abdomen, edema umum.

5) Hygiene

6) Nyeri/kenyamanan

Nyeri dada akut- kronik, nyeri abdomen, sakit pada otot, gelisah

7) Stres koping:

Bagaimana klien menerima kondisinya.


28

b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: kesadaran dan keadaan emosi, kenyamanan,

distress, sikap dan tingkah laku klien.

Tanda-tanda Vital:

1) Tekanan Darah

Nilai normalnya bergantung: umur dan jenis kelamin

Nilai rata-rata sistolik: 110-140 mmHg

Nilai rata-rata diastolik: 80-90 mmHg

2) Nadi

Frekuensi, Regularitas, Isi (volume), Batuk, Perabaan arteri

(keadaan dinding arteri)

3) Pernapasan

a) Frekuensi: apakah bradipnea, atau takhipnea.

b) Keteraturan

c) Amplitudo

4) Suhu Badan

Metabolisme menurun, suhu menurun

5) Pemeriksaan fisik:

a) Kepala

b) Mata: konjungtiva anemis, ikterik atau tidak

c) Mulut: apakah ada tanda infeksi, warna, kelembapan

d) Telinga: kotor atau tidak, ada serumen atau tidak, kesimetrisan

e) Muka: ekspresi, pucat, bentuk

f) Leher: apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe

g) Dada: gerakan dada, deformitas.


29

h) Abdomen: ada ascites atau tidak, pembesaran hati, dan limpa

i) Ekstremitas: lengan-tangan: reflex, warna dan tekstur kulit,

edema, clubbing, bandingakan arteri radialis kiri dan kanan.

6) Pemeriksaan khusus:

a) Inspeksi

Mid Sternal line, Mid clavikular line, Anterior aksilar line,

Para sternal line.

b) Palpasi Jantung

Pulsasi ventrikel kiri. Pulasasi ventrikel kanan. Getar

jantung.

c) Auskultasi

Bj I dan II, Bj Tambahan.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus sepsis antara lain :

1. Gangguan Pertukaran Gas D. 0003


2. Pefusi Perifer tidak efektif D. 0009
3. Risiko infeksi D. 0142
4. Risiko Defisit nutrisi D. 0032
C. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI

Gangguan pertukaran gas Tujuan: PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)


D. 0003 (L.01002) PERTUKARAN GAS
MENINGKAT 1. Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti
bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot,
ataksik0
 Monitor kemampuan batuk efektif

 Monitor adanya produksi sputum

 Monitor adanya sumbatan jalan napas

 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

 Auskultasi bunyi napas

 Monitor saturasi oksigen

 Monitor hasil x-ray toraks

2. Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan

30
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan

TERAPI OKSIGEN (I.01026)

1. Observasi
 Monitor kecepatan aliran oksigen

 Monitor posisi ventilator

 Monitor aliran oksigen secara periodic


dan pastikan fraksi yang diberikan
cukup
 Monitor efektifitas terapi oksigen (mis.
oksimetri, analisa gas darah ), jika perlu
 Monitor tanda-tanda hipoventilasi

 Monitor tanda dan gejala toksikasi


oksigen dan atelektasis
 Monitor integritas mukosa hidung
akibat pemasangan oksigen
2. Terapeutik
 Bersihkan secret pada mulut, hidung
dan trachea, jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan nafas

 Gunakan perangkat oksigen yang

31
sesuai dengat tingkat mobilisasi pasien
3. Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen dirumah
4. Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis oksigen

 Kolaborasi penggunaan ventilator


Perfusi Perifer Tidak (L.02011) Perfusi Perifer Meningkat PERAWATAN SIRKULASI (I.02079)
Efektif D. 0009 Observasi
1. Periksa sirkulasi perifer(mis. Nadi
perifer, edema, pengisian kalpiler,
warna, suhu, angkle brachial
index)
2. Identifikasi faktor resiko
gangguan sirkulasi (mis.
Diabetes, perokok, orang tua,
hipertensi dan kadar kolesterol
tinggi)
3. Monitor panas, kemerahan, nyeri,
atau bengkak pada ekstremitas
Terapeutik
1. Hindari pemasangan infus atau
pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
2. Hindari pengukuran tekanan
darah pada ekstremitas pada
keterbatasan perfusi
3. Hindari penekanan dan

32
pemasangan torniquet pada area
yang cidera
4. Lakukan pencegahan infeksi

5. Lakukan perawatan kaki dan


kuku
6. Lakukan hidrasi
Edukasi
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan mengecek air mandi
untuk menghindari kulit terbakar
4. Anjurkan menggunakan obat
penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jika perlu
5. Anjurkan minum obat pengontrol
tekakan darah secara teratur
6. Anjurkan menghindari
penggunaan obat penyekat beta
7. Ajurkan melahkukan perawatan
kulit yang tepat(mis. Melembabkan
kulit kering pada kaki)
8. Anjurkan program rehabilitasi
vaskuler
9. Anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi( mis. Rendah

33
lemak jenuh, minyak ikan, omega3)
10. Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan( mis.
Rasa sakit yang tidak hilang saat
istirahat, luka tidak sembuh,
hilangnya rasa)

MANAJEMEN SENSASI PERIFER (I.


06195)
Observasi
1. Identifikasi penyebab perubahan
sensasi
2. Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prostesis, sepatu, dan
pakaian
3. Periksa perbedaan sensasi tajam
atau tumpul
4. Periksa perbedaan sensasi panas
atau dingin
5. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi dan tekstur
benda
6. Monitor terjadinya parestesia, jika
perlu
7. Monitor perubahan kulit

8. Monitor adanya tromboflebitis dan


tromboemboli vena
Terapeutik

34
1. Hindari pemakaian benda-benda
yang berlebihan suhunya (terlalu
panas atau dingin)

Edukasi
1. Anjurkan penggunaan termometer
untuk menguji suhu air
2. Anjurkan penggunaan sarung
tangan termal saat memasak
3. Anjurkan memakai sepatu lembut
dan bertumit rendah

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik, jika
perlu
2. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu

Risiko infeksi D. 0142 (L.14137) Tingkat Infeksi Pencegahan Infeksi (I.14539)


1. nyeri menurun Observasi :
2. kemerahan menurun 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal
3. bengkak menurun dan sistemik
4. demam menurun Terapeutik :
1. berikan perawatan kulit pada daerah
edema
2. cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
3. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi
4. Batasi jumlah pengunjung

35
Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Anjurkan cara memeriksa luka atau
luka operasi
3. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
4. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
5. Anjurkan mencuci tangan dengan
benar
6. Ajarkan etika batuk
Kolaborasi :
1. kolaborasi pemberian imunisasi jika
perlu
Risiko Defisit Nutrisi D. (L.03030) Status Nutrisi Manajemen Nutrisi (1.03119)
0032 1. Berat badan membaik Observasi :
2.Frekuensi makan membaik 1. Identifikasi status nutrisi
3. Nafsu makan membaik 2. Identifikasi alergi dan intoleransi
4.Membran mukosa membaik makanan
5. IMT membaik 3. Identifikasi makanan disukai
6. bising usus membaik 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
7. Porsi makan yang dihabiskan meningkat nutrien
5. Identifikasi perlunya penggunaan
selang nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan

Terapeutik :
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan
, jika perlu
2. Sajikan makanan dengan menarik dan
suhu yang sesuai
3. Berikan makanan tinggi serat untuk

36
mencegah konstipasi
4. Berikan makanan tinggi kalori dan
protein
5. Berikan suplemen makanan, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (contoh: pereda nyeri,
antiemetik) jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan jika perlu

37
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan infeksi bersama dengan

manifestasi sistemik dari infeksi. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis

ditambah dengan disfungsi organ akibat sepsis atau hipoperfusi jaringan.

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai

dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory

response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan

berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS).

Multiplle Organ Dysfunction Syndrome(MODS) didefinisikan sebagai

adanya fungsi organ yang berubah (melibatkan ≥ 2 sistem organ) pada

pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi

tanpa intervensi. Kejadian MODS sebagian besar disebabkan oleh infeksi.

Penyebab lain adalah trauma dan proses inflamasi non-infeksi, seperti :

a. Infeksi (bakteri, virus)

b. Trauma (trauma multiple, pasca operasi, heat injury, iskemia visceral)

c. Inflamasi (HIV, eklamsia, gagal hati, tranfusi masif)

d. Non infeksi (reaksi obat, reaksi tranfusi)

Tanda gejala MODS dapat mengenai semua organ tubuh seperti :

a. Gangguan Sirkulasi

b. Gangguan Respirasi

c. Gangguan Ginjal

d. Gangguan Hematologi

e. Gangguan Hepar

f. Gangguan Gastrointestinal

38
35

g. Gagal Neurologis : GCS < 6

Terdapat beberapa cara untuk mengetahui skor dari MODS,

diantaranya adalah Multiple Organ Dysfungtion Score, Sequentiel Organ

Failure Assessment (SOFA) dan Logistic Organ Dysfunction System

(LODS).

B. Saran

1. Bagi Penulis

Sebaiknya lebih banyak membaca dan mencari referensi

terkait dengan pioderma agar menambah pengetahuan dan

wawasan, serta mengaktualisasikan pada proses menjadi perawat

professional yang memahami tentang Sepsis dan Multiple Organ

Dysfunction Syndrome(MODS)

2. Bagi Perawat

Sebaiknya perawat memiliki pengetahuan lebih terkait klien dengan

Sepsis dan Multiple Organ Dysfunction Syndrome(MODS) karena

berhubungan dengan proses penyembuhan maka harus dilakukan

tindakan yang tepat untuk masalah klien

3. Bagi Pasien dan Keluarga

Sebaiknya pasien dan keluarga dapat dengan terbuka dalam

memahami tentang Sepsis dan Multiple Organ Dysfunction Syndrome

(MODS)  mulai dari pengertian, penyebab, tanda gejala terutama

penatalaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, H., Ahmed, M., & Heba, N. (2017). Perfusion Indices Revisited. Journal
of Intensive Care.
Andra, L. B. (2007). Lactate-A Marker for Sepsis and Trauma. EMCREG-
International.
Anonim. (2013). Retrieved from
https://www.scribd.com/document/146055370/Askep-Multi-Organ-
Disfungsi-Syndrome
Ardianti, Budiono, S. d., Ciptaningtyas, U. d., & Rizke, V. (2013). Pola Kuman
pada Pasien Sepsis yang Dirawat di ICU Rsup Dr. Kariadi Semarang.
Universitas Diponegoro.
Baron, E. J., M, M. J., Weinstein, M. P., (2013). A Guide to Utilization of the
Microbiology Laboratory for Diagnosis of Infectious Diseases. The
Infectious Diseases Society of America (IDSA) and The American Society
for Microbiology (ASM).
Black, J. C., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Singapore:
Elsheiver.
Caterino, J. M., & Kahan, S. (2012). Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia:
Binarupa Aksara Publisher.
Chen, K., & Pohan, H. T. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Darsana, W. (2010). Retrieved from
https://darsananursejiwa.blogspot.com/2010/09/laporan-pendahuluan-
sepsis-neonatorum.html
Datta, P. (2007). Pediatric Nursing. New Delhi: JAYPEE.
Deswita, S. (2017). Korelasi Kadar Prokalsitonin dengan Skor Sequential Organ
Failure Assesment pada Pasien Sepsis. Universitas Andalas.
Dongoes, M. E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Buat
Perencanaan & Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Guzman, A. J., Cheesebrough, C. B., & Goldstein, B. (2012). The Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Sepsis, and Septic Shock.
Elseiver.
Hedi, B., Fitri, Y. E., & Hikayati. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Systemic Inflammatory Response Syndrome di Ruang ICU
RSUD Lahat. Universitas Sriwijaya.
Hermawan, A. G. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.
Herwanto, V., & Amin, Z. (2009). Sindrom Disfungsi Organ Multipel. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

36
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

36
37

Indonesia, M. K. (2014). Sepsis. Jakarta: Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran.
Indri. (2009). Retrieved from https://indri-dpl.blogspot.com/2009/05asuhan-
keperawatan-sepsis-neonatorum.html
Maryuni, A. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan & Penyulit pada Neonatus.
Jakarta: Penerbit Buku Kesehatan.
McMillan, J. A. (2006). Pediatrics Principles & Practice. USA: Lippincot Williams
& Wilkins.
Mitchelll, M. L., E, L. E., & Andrew, R. (2018). The Surviving Sepsis Campaign
Bundle . Society of Critical Care Medicine and the European Society of
Intensive Medicine.
Muller, B. M., & Delinger, R. P. (2012). Lactate as a Hemodynamic Marker in the
Critically Ill. Curr Opin Crit Care.
Rhodes, A., Evans, L. E., Alhazzani, W., Levy, M. M., Antonelli, M., Ferrer,
R., . . . Sevransky, J. E. (2017). Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock. Int Care Med.
Shapiro, N. I., Howell, M. D., & Talmor, D. (2005). Serum Lactate as a Predictor
of Mortality in Emergency Department Patients with Infection. Ann Emerg
Med.
Singer, M., Deutschman, C. S., & Seymour, C. W. (2016). The Third International
Consensus Defenitions for Sepsis and Septic Shock. JAMA.
Suprayogi, E., Sudarsono, & Harijanto, E. (2018). Sepsis dengan Disfungsi Multi
Organ . Universitas Indonesia.
Tambajong, R. N., Lalenoh, D. C., & Kumaat, L. (2016). Profil Penderita Sepsis di
ICU RSUP Prof. Dr. D. Kandou Manado. J eCl.

Anda mungkin juga menyukai