DISUSUN OLEH:
DOSEN PEMBIMBING:
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
penulis mengucapkan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah : “Keperawatan
Gerontik”
Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulisa harapkan demi
kesmpurnaan Tugas mata kuliah ini
Semoga penulisan ini memberikan informasi bagi pembacanya dan bermanfaat
untuk wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI :
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara dengan persentase penduduk lansia
terbanyak yaitu sebesar 55,52% (World Population Prospect, 2010). Usia harapan
hidup (UHH) merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan nasional
termasuk dibidang kesehatan. Keberhasilan pembangunan dibidang kesehatan ini
juga terlihat di Indonesia dimana terdapat peningkatan UHH dari 70.7 tahun pada
periode 2010-2015 menjadi 71,7 pada periode 2015-2020 (Kemenkes, 2014).
Pertambahan jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah
15.814.511 jiwa atau 7.2% dan diperkirakan akan terus bertambah menjadi
28.822.879 jiwa atau 11,34% pada tahun 2020. Dari data diatas menunjukkan akan
terjadi peningkatan jumlah lansia dalam 15 tahun kedepan. Berdasarkan hasil
survey dari Susenas (2013) menyatakan bahwa lansia yang tinggal di daerah
perkotaan sebanyak 9,26 juta orang atau 7,49%. Lansia yang tidak tinggal di rumah
sendiri dapat tinggal dengan saudara, anak dan bahkan tidak mempunyai tempat
tinggal. Lansia yang tidak memiliki tempat tinggal biasanya tinggal di pinggir jalan
dan terlantar. Berdasarkan situasi tersebut, maka di daerah perkotaan muncul suatu
tempat penampungan bagi lansia yang tidak memiliki tempat tinggal, yang disebut
dengan sasana werdha.
Meningkatnya jumlah lansia di Indonesia tentu saja akan meningkatkan
permasalahan kesehatan terkait lansia. Penyakit pada lanjut usia (lansia) berbeda
dengan dewasa muda, hal ini disebabkan karena penyakit pada lansia merupakan
gabungan antara penyakit dengan proses menua yaitu menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri serta mempertahankan
fungsi dan struktur normalnya. Sehingga tidak dapat bertahan terhadap penyakit
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Stanley, 2006).
Berdasarkan data Kemenkes pada tahun 2011, masalah yang umum terjadi
pada lansia adalah hipertensi (4,02%), Diabetes mellitus (2,1%), asam urat,
dyspepsia (2,52%), penyakit jantung iskemik (2,84%) dan penyakit kulit (2,33%).
Individu yang telah lanjut usia juga dapat terlihat dari kulit yang mulai keriput,
rambut yang mulai memutih, berkurangnya fungsi pendengaran dan penglihatan,
1
melambatnya proses berpikir, dan aktivitas untuk bergerak yang mulai melambat,
yang berarti akan membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan berbagai
aktifitas (Wallace, 2008). Diantara perubahan yang terjadi pada lansia, perubahan
kulit merupakan salah satu perubahan nyata yang dapat dilihat.
Perubahan kulit pada lansia dapat dilihat dari perubahan stratum korneum,
epidermis, dermis dan subkutan. Penampilan kulit yang kasar dan kering
disebabkan karena adanya perubahan pada stratum korneum. Penyembuhan luka
yang lama akibat luka bekas garukan dapat disebabkan karena adanya perlambatan
dalam proses perbaikan sel pada lapisan epidermis. Selain itu, lansia sangat rentan
mengalami infeksi pada bagian kulit, penyembuhan luka lambat, penurunan respons
inflamasi dan hilangnya turgor kulit. Hal tersebut disebabkan karena adanya
perubahan pada lapisan dermis seperti penurunan jumlah kolagen, penurunan sel-
sel makrofag, dan penurunan elastisitas. Perubahan pada lapisan subkutan juga
memberikan dampak terhadap kulit lansia seperti peningkatan risiko hipertermia,
dan peningkatan risiko cedera (Stanley, 2006)
Selain dari perubahan sistem integumen pada lansia, faktor lingkungan pada
daerah perkotaan juga dapat menyebabkan terjadinya masalah kulit pada lansia.
Kondisi perkotaan seperti sinar UV matahari, kelembaban yang rendah, polusi serta
cuaca yang panas menjadi faktor predisposisi timbulnya masalah integritas kulit.
Paparan sinar UV matahari dapat menyebabkan penebalan pada lapisan epidermis,
perubahan pada kolagen dan elastin, serta menyebabkan atrofi pada lapisan kulit dan
jaringan subkutan (Proksch, 2008). Radiasi sinar matahari juga meningkatkan
produksi matriks metalloproteinase (MMP) yang menyebabkan degradasi pada
kolagen. Kerusakan pada kolagen menyebabkan hilangnya kekenyalan kulit dan
struktur pada lansia (Taihao, 2009). Selain radiasi UV, polusi juga merupakan
faktor yang dapat menyebabkan penuaan kulit pada lansia (Vierkotter, 2010).
Tingkat polusi yang tinggi berkorelasi terhadap status kesehatan kulit. Tingkat
polusi yang tinggi dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan proses
penyembuhan luka yang lama (Pedata, 2011).
Masalah kulit yang umumnya terjadi pada lansia seperti pruritus, xerosis,
infeksi jamur (tinea pedis), dermatitis, dan skabies (Smith & Hsieh, 2000). Menurut
penelitian yang dilakukan Kilic (2008) pada 300 lansia di tiga rumah perawatan di
2
Turkey ditemukan bahwa sebanyak 49,7% lansia mengalami infeksi jamur (tinea
pedis), 45,3% lansia mengalami xerosis, 11% lansia mengalami dermatitis, dan
10,3% lansia mengalami pruritus. Xerosis biasanya akan diiringi dengan rasa gatal
atau yang dikenal dengan istilah pruritus (Cowdell, 2011). Penelitian kepada lansia
yang berusia 65 tahun didapatkan hasil bahwa 11,5% lansia mengalami pruritus dan
menjadi penyebab paling umum ketiga rawat inap. Penelitian lain yang dilakukan
pada 68 orang lansia yang berada di rumah jompo, menujukkan hasil 29% lansia
mengalami pruritus dan menjadi keluhan yang paling umum untuk kulit (Adam
Reich, 2011). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pruritus pada lansia yang
berusia 65-74 tahun sebesar 10,3% (319 orang), usia 75-84 tahun sebesar 14,9%
(129 orang) dan usia > 85 tahun sebesar 19,5% (25 orang) (Basak Yalcin, 2006).
Pruritus atau gatal-gatal adalah salah satu keluhan dalam gangguan
dermatologis yang paling umum terjadi pada lansia baik pruritus pada tangan, kaki
maupun diseluruh tubuh. Pruritus dapat ditandai dengan adanya keinginan untuk
menggaruk, adanya ekskoriasi, kemerahan, infeksi (perubahan pigmentasi kulit).
Pruritus pada lansia terjadi sebagai akibat kulit yang kering dan dapat juga
disebabkan oleh faktor psikologis. Selain itu, pruritus dapat disebabkan karena
lebih banyak kontak dengan faktor lingkungan dan fisik (Abbas, 2013). Proses
penyembuhan luka yang lama akibat bekas garukan juga disebabkan karena adanya
perubahan pada lapisan kulit lansia, seperti waktu perbaikan sel epidermal lebih
lambat, penurunan area kontak antara epidermis dan dermis serta penipisan dari
lapisan dermal (Stanley, 2006).
Pruritus pada kaki dapat memberikan dampak negatif terhadap aspek
kesehatan dan kesejahteraan pada lansia, terutama kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dan untuk mobilisasi. Hal ini disebabkan karena peran penting
dari bagian ekstremitas bawah sebagai penyeimbang dan mobilitas seseorang untuk
melakukan kegiatan sehari-hari terutama pada lansia (Gardiner, 2014). Apabila
masalah kaki terus dibiarkan dan tidak segera ditangani pada lansia, maka dampak
negatif yang akan muncul seperti adanya luka bekas garukan yang dapat
menimbulkan ulserasi pada kaki. Kemudian ulser dapat berkembang menjadi
infeksi dan memperburuk kondisi kulit pada lansia. Selain itu kesehatan kaki yang
3
buruk dapat menyebabkan rasa sakit, ketidaknyamanan dan infeksi (International
of Foot Diabetic, 2007).
B. Rumusan Masalah
1. Apa intervensi untu lansia gangguan integritas kulit?
2. Bagaimana ciri-ciri lansia yang mengalami gangguan integritas kulit?
3. Apa daignosa pada gangguan gangguan integritas kulit pada lansia?
C. Tujuan
1. intervensi untu lansia gangguan integritas kulit?
2. Bagaimana ciri-ciri lansia yang mengalami gangguan integritas kulit?
3. Apa daignosa pada gangguan gangguan integritas kulit pada lansia?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
a. Konsep lansia
Lansia merupakan kelompok yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupan (WHO). Menurut (WHO) kategori lanjut usia berkisar antara 60-74
tahun. Di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Seiring dengan tahap kehidupan,
lansia memiliki tugas perkembangan khusus. Terdapat tujuh kategori utama
tugas perkembangan lansia, yaitu menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan
fisik dan kesehatan, menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan atau
penetapan pendapatan, menyesuaikan terhadap kematian pasangan, menerima
diri sebagai individu lansia, mempertahankan kepuasaan pengaturan hidup,
mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa, dan menemukan
cara untuk mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). Tugas
perkembangan ini umum ditemui pada lansia. Akan tetapi, cara lansia
menyesuaikan terhadap perubahan penuaan bergantung pada individu sendiri.
Untuk beberapa lansia adaptasi dan penyesuaian terhadap penuaan relatif
mudah, namun beberapa lansia lainnya memerlukan intervensi keperawatan.
b. teori penuaan
c. Teori biologis
5
perubahan fungsi dan struktur, perkembangan, panjang usia dan
kematian. Perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan
selular dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk melawan
penyakit. Dalam teori ini, terdapat lima karakteristik biologis penuaan
diantaranya peningkatan usia harapan hidup, penuaan dapat ditemukan
didalam sel, molekul, jaringan dan massa tulang, perusakan bersifat
progresif, diperlukan waktu yang panjang untuk kembali dari periode
serangan, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi.
B. Sistem integumen
Menurut Reichel (2009), penuaan pada kulit dikategorikan menjadi dua, yaitu
penuaan intrinsik dan penuaan ekstrinsik. Penuaan intrinsik adalah perubahan
kulit yang terjadi akibat proses penuaan secara kronologis atau normal,
sedangkan penuaan ekstrinsik merupakan perubahan kulit yang disebabkan
oleh faktor-faktor lain, seperti gaya hidup, diet, radikal bebas, paparan sinar
6
UV, dan kebiasaan lainnya. Secara struktural, kulit yang tersusun atas tiga
lapisan, diantaranya epidermis, dermis, dan jaringan subkutan akan
mengalami perubahan akibat bertambahnya usia.
Perubahan kulit yang terjadi pada lansia dapat disebabkan dari faktor
instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik yang menyebabkan
terjadinya perubahan kulit pada lansia karena adanya proses penuaan dan
perubahan biologis yang terprogram, sedangkan faktor ekstrinsik yang dapat
mempengaruhi perubahan kulit pada lansia adalah lingkungan seperti terpapar
matahari dan polusi, gaya hidup dan kebersihan diri (Farage et al, 2010 dalam
Voegeli, 2012).
7
elastis berangsur-angsur mengalami degradasi, menjadi lebih tebal, dan tidak
teratur, serta menyebabkan kulit menjadi keriput dan kendur (Stanley, 2006).
8
memperparah rasa gatal yang muncul. Sensasi gatal sangat erat kaitannya
dengan sensasi sentuhan dan nyeri. Pruritus dirangsang oleh pelepasan
neurostimulators seperti histamin dari sel mast dan peptida lainnya yang
menyampaikan impuls ke pusat otak sehingga menimbulkan rangsangan
untuk menggaruk.
F. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas pasien
3. Aktivitas sehari-hari
9
4. Pemeriksaan fisk
b. Diagnosis
Diagnosis yang dapat muncul dengan masalah kulit pada lansia yaitu
risiko kerusakan integritas kulit, kerusakan integritas kulit, kerusakan integritas
jaringan, risiko infeksi. Risiko kerusakan integritas kulit yaitu rentan
mengalami kerusakan epidermis atau dermis yang dapat mengganggu
kesehatan. Faktor risiko terjadinya risiko kerusakan integritas kulit dibagi
menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu cedera kimiawi,
faktor mekanik, hipertermia, kelembaban, terapi radiasi dan usia esktrem.
Sementara faktor internal yaitu gangguan metabolism, gangguan sensasi,
gangguan sirkulasi, gangguan turgor kulit dan nutrisi tidak adekuat.
10
mekanik, hipertermia, kelembaban, terapi radiasi dan usia esktrem. Sementara
faktor internal yaitu gangguan metabolism, gangguan sensasi, gangguan
sirkulasi, gangguan turgor kulit dan nutrisi tidak adekuat.
Diagnosa yang ketiga yaitu risiko infeksi. Risiko infeksi yaitu rentan
mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik yang dapat
mengganggu kesehatan. Faktor risiko yang dapat menyebabkan risiko infeksi
yaitu kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan pathogen, malnutrisi,
obesitas, penyakit kronis, prosedur invasif, gangguan integritas kulit,
penurunan hemoglobin, supresi respons inflamasi misal interleukin 6, dan
vaksinasi tidak adekuat.
11
mengkaji obat yang dibutuhkan lansia. Manajemen pruritus dapat dilakukan
dengan mengkaji penyebab pruritus, anjurkan pasien untuk menggunakan
pakaian yang longgar, anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan kuku,
anjurkan pasien menjaga agar kuku tetap pendek, dan anjurkan pasien untuk
menggunakan punggung tangan saat menggaruk bagian yang gatal. Sementara
untuk manajemen nutrisi dapat dilakukan dengan mengkaji apakah lansia
memiliki alergi terhadap makanan tertentu, ciptakan lingkungan yang bersih
dan nyaman, dan kaji apakah lansia mengalami kesulitan dalam mengunyah.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
Aboyans, V., Allison, M.A & Manolio, T.A. (2007). Intrinsic contribution of
gender and ethnicity to normal ankle brachial index values: the multi
ethnic study of MESA. J Vasc Surg. 45: 319-327
Age Concern. (2007). Feet for purpose? The campaign to improve foot care for
older people. Age concern England. London: Age concern england
Ahn, C., Mulligan, P., Salcido, R.S. (2008). Smoking the bane of wound
healing: biomedical interventions and social influences. Adv Skin
Wound Care, pp 21:227-238
Allender, J. A., Rector C., & Warner K.D. (2010). Community health nursing
: promoting and protecting the public’s health. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Kementrian Kesehatan RI. (2011). Situasi dan analisis lanjut usia. Jakarta
Selatan: InfoDatin
14