Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 2

TENTANG RAGAM BAHASA DAN KAIDAH EJAAN

DOSEN PENGAMPU:
ALEX DARMAWAN, S.S., M.A

DISUSUN OLEH:
NAMA : MUTIARA IRVANI
NO BP : 2010511013
KELAS : 12
MATA KULIAH : BAHASA INDONESIA
JURUSAN : EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS : EKONOMI

UNIVERSITAS ANDALAS
2021
A. RAGAM BAHASA
1. Pengertian Ragam Bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda
menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang
dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang
oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang
biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-
undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat
dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa
Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak
baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi
digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di
pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa,
ragam bahasa terdiri dari:

 Ragam bahasa lisan


Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem
sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan,
 Ragam bahasa tulis
bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai
unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi

2. Fungsi Ragam Bahasa


Fungsi bahasa Indonesia dalam kapasitasnya sebagai bahasa nasional:
 Mampu menyatukan ribuan bahasa yang beragam di Indonesia
 Speaker Indonesia mampu
 Simbol kebanggaan nasional
 Simbol identitas nasional
 Berarti menyatukan berbagai kelompok etnis
 Pemersatu alat perhubungan antara budaya dan antar-regional

Fungsi sebagai bahasa negara:


 Bahasa resmi Negara
 Bahasa pengantar dalam pendidikan
 Berarti komunikasi di tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan
pembangunan nasional dan pelaksanaan
 Budaya dan pengembangan alat-alat ilmu pengetahuan dan teknologi

3. Macam-Macam Ragam Bahasa


a. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media
Antara lain:
 Ragam Lisan

Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga


kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak
mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan
kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan
unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam
ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung
di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.
Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah
kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai.
Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut
sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja
diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-
cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan
dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai
ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan
memiliki ciri kebakuan yang berbeda.
Ciri-ciri ragam lisan:
 Memerlukan orang kedua/teman bicara;
 Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
 Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi
serta bahasa tubuh.
 Berlangsung cepat;
 Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
 Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
 Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi.

Contoh ragam lisan adalah ‘Sudah saya baca buku itu.’


 Ragam Tulis

Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang


diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam
bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi
pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh
karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan
dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur
bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di
dalam struktur kalimat.
Ciri-ciri ragam tulis :

 Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara


 Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu;
 Harus memperhatikan unsur gramatikal;
 Berlangsung lambat;
 Selalu memakai alat bantu;
 Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
 Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya
terbantu dengan tanda baca.
Contoh ragam tulis adalah ’Saya sudah membaca buku itu.’

B. KAIDAH EJAAN
1. Pengertian Kaidah Ejaan
Kaidah ejaan adalah keseluruhan peraturan yang melambangkan bunyi ujaran,
penataan kata meliputi pemisahan dan penggabungan kata, penulisan atau tata kata secara
rinci termasuk unsur serapan, huruf, dan tanda baca.
2. Tujuan Ejaan
Tujuan adanya aturan kaidah ejaan ini adalah untuk memberi pengertian pada
tulisan agar lebih jelas dan memudahkan pembaca untuk memahami informasi yang
disampaikan secara tertulis.
3. Fungsi Ejaan
Fungsi ejaan yang utama adalah untuk menunjang pembakuan tata bahasa
Indonesia baik kaitannya dengan kosa kata maupun dengan peristilahan. Ejaan sangat
penting dan perlu untuk diprioritaskan. Adapun fungsi ejaan secara khusus adalah sebagai
berikut:
 Sebagai landasan pembakuan tata bahasa.
 Sebagai landasan pembakuan kosa kata dan peristilahan.
 Sebagai alat penyaring dari masuknya unsur-unsur bahasa lain baik secara
kosa kata maupun istilah ke dalam Bahasa Indonesia
4. Sejarah Ejaan
Sejarah ejaan diawali dengan ditetapkannya Ejaan van Ophuijsen. Setelahnya, ada
beberapa pembaruan ejaan yang diubah oleh pemerintah, mulai dari Ejaan Republik atau
Ejaan Soewandi, Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan
Kasusastraan (LBK), Ejaan yang Disempurnakan (EyD), hingga Ejaan Bahasa Indonesia
(EBI). Untuk mengetahui ciri khas masing-masing ejaan dan tahun penetapannya, berikut
ini ulas an sejarah ejaan Bahasa Indonesia dan perkembangannya :
 Ejaan Van Ophuysen
Ejaan Van Ophuysen merupakan ejaan pertama yang dimiliki oleh
bahasa Indonesia. Ejaan ini ditetapkan tahun 1901. Perancang ejaan Van
Ophuysen adalah orang Belanda yakni Charles Van Ophusyen dengan dibantu
Tengku Nawawi yang bergelar Soetan Ma’moer dan M. Taib Soetan Ibrahim.
Ejaan ini menggunakan huruf latin dan bunyinya hampir sama dengan tuturan
Belanda.
Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut
model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf latin
dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda, antara lain:
i. Huruf ‘j’ untuk menuliskan bunyi ‘y’, seperti pada kata jang, pajah,
sajang.
ii. Huruf ‘oe’ untuk menuliskan bunyi ‘u’, seperti pada kata-kata goeroe,
itoe, oemoer (kecuali diftong ‘au’ tetap ditulis ‘au’).
iii. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan
bunyi hamzah, seperti pada kata-kata ma’moer, ‘akal, ta’, pa’,
dinamaï.
Huruf hidup yang diberi titik dua diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö,
menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan
diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini.
 Ejaan Republik / Ejaan Soewandi
Ejaan Republik berlaku sejak 17 Maret 1947 menggantikan ejaan
pertama yang dimiliki bahasa Indonesia saat itu. Ejaan ini merupakan upaya
pemerintah untuk mengganti ejaan Van Ophuysen yang disusun oleh orang
Belanda dan merupakan ejaan resmi pertama yang disusun oleh orang
Indonesia.
Ejaan republik juga disebut dengan ejaan Soewandi. Mr. Soewandi
merupakan seorang menteri yang menjabat sebgai menteri Pendidikan dan
kebudayaan. Perbedaan ejaan Soewandi dengan ejaan Van Ophuysen ialah:
i. Huruf oe diganti dengan u. Contohnya dalam ejaan Van Ophuysen
penulisannya ‘satoe’, dalam ejaan Republik menjadi ‘satu’.
ii. Huruf Hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan huruf K. Contohnya :
maklum, pak, tak, rakjat.
iii. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2. Contohnya : kupu2, main2.
iv. Awalan di dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan
kata yang mendampinginya. Kata depan ‘di’ pada contoh dirumah,
disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan ‘di-‘ pada dibeli, dimakan.
 Ejaan Pembaharuan
Kongres Bahasa Indonesia II digelar pada tahun 1954 di Medan.
Kongres ini digagas oleh Menteri Mohammad Yamin. Dalam Kongres Bahasa
Indonesia II ini, peserta kongres membicarakan tentang perubahan sistem
ejaan untuk menyempurnakan ejaan Soewandi.
 Ejaan Melindo
Ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Sidang perutusan Indonesia
dan Melayu (Slamet Mulyana-Syeh Nasir bin Ismail) menghasilkan konsep
ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-
Indonesia). Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya
maka diurungkan peresmian ejaan tersebut.
 Ejaan Baru / Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK)
Pada 1967, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang sekarang bernama
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengeluarkan Ejaan Baru.
Pembaharuan Ejaan ini merupakan kelanjutan dari Ejaan Melindo yang gagal
diresmikan pada saat itu.
 Ejaan yang Disempurnakan (EyD)
Ejaan ini berlaku sejak 23 Mei 1972 hingga 2015, atas kerja sama dua
negara yakni Malaysia dan Indonesia yang masing-masing diwakili oleh para
menteri pendidikan kedua negara tersebut. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menerbitkan buku yang berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan yang tercatat pada tanggal 12 Oktober 1972.
Pemberlakuan Ejaan yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah ditetapkan atas dasar keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
nomor 0196/U/1975.
Beberapa kebijakan baru yang ditetapkan di dalam EyD, antara lain :
i. Huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing
diresmikan pemakaiannya.
ii. Huruf q dan x yang lazim digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan
tetap digunakan, misalnya pada kata furqan, dan xenon.
iii. Awalan “di-” dan kata depan “di” dibedakan penulisannya. Kata depan
“di” pada contoh di rumah, di sawah, penulisannya dipisahkan dengan
spasi, sementara “di-” pada dibeli atau dimakan ditulis serangkai
dengan kata yang mengikutinya.
iv. Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya. Angka
dua tidak digunakan sebagai penanda perulangan.
Secara umum, hal-hal yang diatur dalam EyD adalah :
i. Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring.
ii. Penulisan kata.
iii. Penulisan tanda baca.
iv. Penulisan singkatan dan akronim.
v. Penulisan angka dan lambang bilangan.
vi. Penulisan unsur serapan.
 Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
Pemerintah terus mengupayakan pembenahan terhadap Ejaan Bahasa Indonesia
melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia. Pasalnya, pemerintah
meyakini bahwa ejaan merupakan salah satu aspek penting dalam pemakaian Bahasa
Indonesia yang benar.
Ejaan Bahasa Indonesia ini diresmikan pada 2015 di masa pemerintahan Joko
Widodo dan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Perbedaan Ejaan Bahasa Indonesia dengan EyD adalah :
i. Penambahan huruf vokal diftong. Pada EyD, huruf diftong hanya tiga yaitu ai, au,
oi, sedangkan pada EBI, huruf diftong ditambah satu yaitu ei (misalnya pada kata
geiser dan survei).
ii. Penggunaan huruf tebal. Dalam EyD, fungsi huruf tebal ada tiga, yaitu
menuliskan judul buku, bab, dan semacamnya, mengkhususkan huruf, serta
menulis lema atau sublema dalam kamus. Dalam EBI, fungsi ketiga dihapus.

Anda mungkin juga menyukai