Anda di halaman 1dari 5

Bab 3 Teologi dan Etika

Bagian ketiga ini dimulai dengan pernyataan dari Jean-Paul Sarte tentang dunia
eksistensialisme, kemudian dilanjutkan dengan pemikiran-pemirikan dari tokoh intelektual yang
memiliki sumbangsi besar terhadap teologi etika yakni Julia Kristeva, Emmanuel Levinas dan
Jean-Luc Nancy yang kemudian dikolerasikan dengan implikasi teologis tentang etika.
Jean-Paul Sarte menyatakan bahwa dunia eksistensialisme adalah dunia tanpa Tuhan dan
dunia di mana martabat manusia dicurigai. Hal ini diilustrasukan dalam drama Sartre, yang
diperankan oleh dua perempuan yakni Inez, Estelle dan satu pria bernama Garcin. Karakter yang
diperankan oleh ketiga tokoh tersebut menempati ruang kosong makna dan perhatian etika.
Etika di dunia didasarkan pada pelestarian diri yang berdiri atas dasar bentuk kontrak
sosial sebagai upaya menjaga kesejahteraan mayoritas yang diawasi dan diratifikasi oleh suatu
kekuatan koersif. Di dalam drama Sartre, kontrak sosial telah tiada yang tersisa hanya
keinginan Inez, Estelle dan Garcin yang serakah dan menipu diri sendiri serta keadaan perang
saudara yang tiada henti. Hal ini disebut dunia Hobbes yang penuh konflik, dimana ego diri
memangsa satu sama lain.
Bagi Satre manusia adalah penyebab atau objek dari suatu etika (amoralitas dalam
konteks drama) yang konsekuensinya kembali kepada diri manusia itu sendiri. Sartre
menegaskan bahwa etika (amoralitas) membutuhkan pementasan teologis dan tokoh teologis. Di
sisi lain Satre juga menjelaskan pula bahwa etika berkaitan erat dengan filosofis yaitu kasih,
keinginan, sesuatu yang baik, adil, dan integritas pribadi. Oleh karena itu, etika tidak hanya
didasari oleh ajaran agama tetapi lebih dari itu yakni analisis terhadap kondisi manusia dan cara
manusia berperilaku satu sama lain.
Di dalam agama Monoteisme Barat (Yudaisme, Kristen, Islam, dll), Tuhan digambarkan
sebagai perwujudan, pemeliharaan, dan pemajuan standar etika yang menjadi tolok ukur semua
perilaku manusia, untuk mengetahui benar dan salah. Contohnya, agama Yudaisme kerendahan
hati, belas kasihan, keadilan dan ketaatan diperintahkan kepada orang-orang sebagai tanda etis
kesetiaan kepada Yahweh. Berbeda dengan agama Kristen, etika Kristen tak hanya berdasarkan
kerendahan hati, belas kasihan, keadilan dan ketaatan namun berpusat kepada hubungan baru
dengan hukum Yahudi dan tradisi lisannya.
Tolak ukur bagi etika Kristen adalah Perjanjian Baru. Mengutip dari pendapat Karl Barth:
"Jika Dia bukan Hakimnya, Dia tidak akan menjadi Juruselamat." Ringkasnya inti dari tolak ukur
etika Kristen terletak pada kasih. Hal ini dapat dilihat dari dua hukum tertinggi yang diajarkan
Kristus yang dikenal dengan hukum kasih yang berbunyi "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.  Itulah hukum
yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.  Pada kedua hukum inilah  tergantung
seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Lih. Matius 22.37–9, Markus 12.30–1, Lukas
10.27).
Simpulan dari presentasi Perjanjian Baru tentang hukum kasih secara luas dapat disebut
'tanggung jawab sosial'. Maksudnya kesejahteraan sesama manusia harus menjadi cerminan dari
etika manusia terhadap dirinya sendiri dan bagian dari sirkulasi dan pengorbanan kasih (bahasa
Yunani agape). Paulus menguraikan karakteristik etika Kristen yakni; kasih, sukacita, damai,
kesabaran, kebaikan, kebaikan, kesetiaan, kelembutan, pengendalian diri (lih. Galatia 5.22–3),
kerendahan hati, kemurahan hati, keberanian, ketekunan, iman dan harapan. Tempat untuk
mengimplementasikan karakteristik ini adalah Gereja, komunitas baru, kerajaan Allah dan
lingkungan sosial. Sehingga, etika Kristen tidak dapat dipisahkan dari eklesiologi dan praktik
yang didukung oleh eklesia untuk pengembangan etika Kristen.
Dalam Perjanjian Baru kata Kasih yang bersifat eros atau kasih yang mengingini
tidaklah ditekankan namun dihindari secara konsisten. Kasih yang di maksud dalam Perjanjian
Baru haruslah bersifat agape dan phileo. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa kata untuk kasih
dalam Perjanjian Baru adalah agape dan phileo (kasih persaudaraan). Secara khusus, agape yang
artinya pemberian tanpa syarat.

Julia Kristeva, seorang muda Katolik yang memberikan pengaruh pada kaum intelektual
Paris dengan berbagai karya ilmiahnya seperti Critique dan Tel Quel. Merupakan tokoh yang
berpengaruh dalam etika Kristen. Kristeva menggagas teori tentang semanalisis yang diartikan
sebagai 'isyarat moral', karena isyarat moral 'mengguncang dasar-dasar sosialitas' dengan
mengembalikan ke subjek 'bahwa negativitas - diatur oleh dorongan, sosial, politik dan sejarah
yang membelah dan memperbarui kode etik sosial. Kristeva telah mengamati teori dari Hegel
dan berpendapat bahwa semanalysis dapat dianggap sebagai penerus langsung dari metode
dialektis. Teori yang terkenal dari Hegel adalah Fenomenologi Jiwa, yakni cara yang diperlukan/
dipikiran secara permanen mampu membedakan dirinya dan kembali dari perbedaannya menjadi
kesatuan dengan dirinya sendiri. Semanalisis memiliki subyek berbicara yang diatur oleh 'proses
primer (perpindahan, kondensasi - atau metonymy, metafora).

Pada Revolution in Poetic Language tahun 1974, Kristeva memetakan topos tekstual
yang diperiksa oleh semanalisis. Subjek yang berbicara mengumumkan dirinya sendiri dalam
praktik penandaan. Ini adalah praktik yang dicirikan oleh dua sumbu yaitu semiotik dan
simbolik. Semiotik adalah modalitas psikosomatis dari proses penandaan dan simbolik adalah
sistem tanda yang digunakan oleh subjek yang berbicara di interaksinya dengan subjek berbicara
lainnya (yang mencakup sintaksis serta representasi). Di dalam meeksplorasi semanalitiknya
tentang imajiner, Kristeva menemukan hubungan yang dalam antara agama Kristen dan
psikoanalisis. Asosiasi ini ada dua. Pertama, Kekristenan mengungkapkan peran negatif, dan
pecahnya tatanan simbolis. Kedua, mengungkapkan peran positif, dan elemen transferensial dari
semua wacana yang terkait erat dengan simbolik.

Singkatnya, Kristeva mengusulkan implikasi etis dari pemikiran religius yang


disimpulkan sebagai kemanjuran vital psikoanalisis dan tidak dapat dipisahkan dari dimensi
etisnya, yang sepadan dengan cinta: makhluk yang berbicara terbuka dan beristirahat di orang
lain. Ini adalah etika perubahan, diatur oleh hukum cinta sebagai keinginan - secara tradisional
etika Kristen (seperti dalam teologi Augustine, Pseudo-Dionysius, Aquinas, Schleiermacher dan
Balthasar) - yang diusulkan oleh karya Kristeva.

Tokoh intelektual lainya yang berpengaruh dalam teologi etika selain Kristeva adalah
Emmanuel Levinas. Levinas lahir pada tahun 1906 dari sebuah keluarga Yahudi ortodoks di
Lituania, ia dikenal sebagai bapak etika postmodern. Ringkasnya pemikiran Levinas tentang
tindakkan etis tidak memerlukan niatan sengaja atas dasar empati tetapi mutlak (absolute). Dasar
untuk menjadi manusia etis adalah melayani manusia dengan penyerahan diri sepenuhnya mirip
seperti penyerahan diri kepada Tuhan (tidak terbatas) tetapi subyeknya dalam pemikiran Levinas
adalah manusia lain (yang lainya). Pemikiran dari Levinas hampir sama dengan Kristeva namun,
perbedaan diantara Kristeva dan Levinas dapat dilihat dalam hal pengandaian mereka, yakni
metanaratif atau prinsip penjelas mereka. Kristeva mengunakan psikoanalisis dan Levinas
menaratifkan Tuhan Yudaisme yang selalu dimediasi oleh manuasia. Apa yang diartikulasikan
keduanya adalah etika melebihi hukum moral universal modernitas yang memberikan preferensi
kepada yang terpinggirkan dan asing.

Pemikiran dari tokoh intelektual terakhir adalah Jean-Luc Nancy yakni seorang filsuf dari
Prancis. Dalam teorinya Nancy berpendapat bahwa manusia hidup dalam suatu masyarakat yang
anonim, penuh dengan kepentingan diri sendiri, sedangkan komunitas yang kuat ikatannya hanya
menjadi kenangan belaka. Hal ini menimbulkan perpecahan, kekejaman, menurunnya norma dan
juga nilai yang menghasilkan kekerasan sosial dan teror politik. Nancy memberikan solusi untuk
melawan perpecahan tersebut dengan kembali kepada keadaan di mana ikatan komunal itu ada
(pra-modern). Di era sistem komunikasi yang maju dan operasi perusahaan transnasional,
pemikiran Nancy tentang politik menawarkan bentuk lain dari komunitas global, dan etika lain
selain yang diciptakan oleh kekuatan hegemoni dan diri sendiri. Ringkasnya, pemikiran Nancy
bersifat monistik, dibutuhkan teologi untuk memberikan penjelasan tentang analogi di mana
perbedaan diterima, dirayakan dan dibiarkan berdiri dalam kebersamaan, sehingga pluralisasi
perbedaan tidak mengarah pada ketidakpedulian. Dibutuhkan suatu pengertian baru dari analogi
keberadaan, yang didasarkan pada pengertian baru tentang kehadiran baik sebagai persekutuan
maupun komunikasi. Nancy menunjukkan jalan ke depan tetapi simbolik Kristen perlu
dilatarbelakangi dan ditanamkan kembali dengan konten teologis.

Pentingnya teori dari pemikiran Kristeva dan Levinas untuk didiskusikan dalam etika
kontemporer bergantung pada bagaimana kita mencirikan iklim moral saat ini. Sejak akhir tahun
1950-an, ada perasaan yang berkembang di antara para ahli etika yang beranggapan bahwa
zaman kita hidup saat ini dapat menyelesaikan dilema moralnya berdasrkan paradigma
Pencerahan/modern. Etika modernitas tidak lagi menjadi tonggak etika. Kompleksitas yang
terlibat dalam setiap orang yang mencoba menilai kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang besar,
dan bertindak dengan cara yang berkontribusi pada kebaikan maksimal, pendekatan utilitarian,
menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan untuk memahami totalitas sosial dan pertanyaan
tentang homogenitas pengelompokan sosial sehingga kebaikan terbesar terwujud di seluruh
aspek manusia. Jadi, yang terpenting adalah merekonstruksi bentuk komunitas lokal di mana
kesopanan dan kehidupan intelektual dan moral dapat dipertahankan.

Pemikiran secara teologis selalu menemukan etika hanya ada pada kapasitas manusia.
Teologis harus selalu bersikap kritis terhadap upaya modernitas yang bertujuan
merobek/merusak nilai moralitas dari wahyu ilahi, teks agama, otoritas gerejawi, dan praktik
kepercayaan. Ada tiga karakteristik teologis yang perlu diamati dari setiap teori dari pemikiran
Kristeva, Levinas, dan Nancy. Pertama, martabat dikembalikan ke emosi dan pengalaman yang
tidak lagi dipahami sebagai pertentangan dengan alasan monolitik. Kita dapat melihat bahwa
baik Kristeva, Levinas, dan Nancy peduli dengan sentuhan, erotis, pengalaman tran-scendence.
kasih adalah pengalaman religius bagi Kristeva dan Levinas, dan dibungkus dalam bahasa
sakramental untuk Nancy. Kedua, ada rasa hormat baru untuk apa yang tidak bisa dijelaskan,
yang tetap misterius dan ambigu. Karena yang lain tidak pernah bisa dimiliki, baik untuk
Kristeva atau Levinas, yang lain tetap sulit dipahami dan etika menjadi tidak dapat direduksi -
menjadi aturan, tugas, dan resep. Hal ini juga tidak dapat direduksi untuk subjek sebagai agen
yang bersalah atau bertanggung jawab; karena etika dibentuk di antara, aporia asimetris yang
membedakan diri dari yang lain. Terakhir atau yang Ketiga adalah moralitas dipersonalisasi
ulang dan tidak lagi abstrak, dianggap objektif dan universal. Dalam istilah teologis, eklesiologi
dipandang sebagai pusat komunitas di mana kasih harus bersirkulasi secara khusus. Subjek, bagi
Levinas, dipanggil untuk melayani dalam komunitas itu - seseorang dipilih - tidak ada orang lain
yang dapat menggantikan mereka.

Pada saat etika liberal menyelidiki kebebasan pribadi, kemauan dan niat individu,
Kristeva dan Levinas menyelidiki kewajiban sebelum kemauan dan niat. Dengan demikian,
pribadi dibentuk menjadi bermoral. Lebih jauh, teori Kristeva, Levinas dan Nancy adalah
masalah dari analisis bahasa. Bagi Kristeva dan Levinas, bahasa muncul dalam kasih dan proses
diri sendiri. Ini adalah bentuk analogi yang menolak hubungan simetris antara Tuhan dan
makhluk atau sintesis apa pun. Pemahaman ini mengganggu pemahaman klasik tentang analogi.
Namun, analogi yang pernah terputus kembali dilanjutkan sebagai analogi antara heterogenitas
absolut melalui teka-teki, ambiguitas pencerahan yang tidak pasti dan berbahaya. Nancy,
menyarankan cara-cara untuk mengembangkan konstruksi analogi yang baru, dan pemahaman
teologilah jawabanya. Teologi Kristen selalu membaca transformasi ini dalam kaitannya dengan
hubungan yang kompleks antara pemuridan, Kristologi, Tritunggal, penebusan dan eklesiologi.
Di bidang-bidang itulah terkait erat nilai etika dan karya Kristeva, Levinas, dan Nancy memiliki
implikasi yang paling mendalam di dalam teori teologi etika.

Anda mungkin juga menyukai