Anda di halaman 1dari 13

102 Vol. 7 No.

1, Juli 2011

GAJAH DALAM TERAKOTA MAJAPAHIT

Prima Yustana

Dosen Seni Rupa ISI Surakarta


Jl. Ki Hajar Dewantara 19, Kentingan, Jebres, Surakarta 57126
pyprim@gmail.com

INTISARI
Manifestasi bentuk terakota gajah Majapahit lebih menarik diulas dengan pendekatan estetika. Artefak
gajah banyak ditemukan di Kota Trowulan yang diperkirakan sebagai pusat Kota Majapahit pada masa
lampau. Banyak perwujudan bentuk gajah yang sangat menarik untuk diamati secara mendalam. Artefak
gajah yang ditemukan diulas menurut kaca mata seni. Data yang akurat didapatkan pada candi Hindu
maupun Buddha. Data tersebut diharapkan dapat menjawab pertanyaan apa yang melatarbelakangi
munculnya bentuk perwujudan gajah dalam terakota di Trowulan. Manifestasi gajah dalam terakota dianggap
memiliki banyak fungsi dan makna simbolis dalam agama. Terakota telah dikenal sebagai penciptaan
manusia kuno. Pemanfaatan terakota di Indonesia mencapai kejayaan dalam periode klasik pada abad ke-13
sampai dengan 15, bersama dengan zaman keemasan Kerajaan Majapahit. Pembahasan dalam tulisan ini
menggunakan dasar ilmu estetika dan ikonografi, karena artefak memiliki struktur bentuk seni terkait
dengan keindahan dan estetika, untuk mengetahui fungsi dan makna dalam kegiatan hubungan keagamaan.
Pembahasan difokuskan pada artefak terakota yang berupa patung dan berbagai bentuk lain, sehingga ilmu
ikonografi sangat mendukung untuk mengetahui apa arti yang ada dalam manifestasi gajah. Gajah dalam
bentuknya diwujudkan secara realis dan deformatif. Kedua manifestasi memiliki latar belakang
kepercayaan dari masyarakat Trowulan pada masa Majapahit yang memeluk agama Hindu dan Buddha.
Pada saat itu gajah dianggap memiliki simbol kekuatan, kejantanan, dan kebijaksanaan. Selain itu, gajah
juga merupakan kendaraan Dewa Indra, bernama Airavata. Gajah juga merupakan simbol dari kisah
kelahiran Budha (Jataka). Gajah juga dianggap sebagai Tuhan, yang disebut Shri-Gaja. Gajah, lalu juga
dianggap sebagai simbol status sosial dan kesuburan.

Kata kunci: Gajah, terakota Majapahit, fungsi dan makna.

ABSTRACT
Elephant’s manifestation in the shape of Majapahit’s terracotta more interesting with aesthetic approach. The artifact is an
discovery of archeologists’ in Trowulan which is estimated as a city center of Majapahit Kingdom. Many manifestations of
the elephant are interested to be observed. Many findings, so far, will be observed especially from art. To increase the accuracy
in the analysis process, data searching is conducted to the relief on Hindu and Buddha temples, so, hopefully, it can be
understood the background why the animal appears in the Indonesian art and, especially, why there is also the manifestation
of the animal in the shape of terracotta in Trowulan.
Elephant manifestation in terracotta is considered to have many functions and symbolical meanings in religion. Terracotta has
been known as an ancient human creation. The using of terracotta in Indonesia achieved its triumph in the classic period which
was 13–15 century A.D., along with the golden age of Majapahit Kingdom. The materials in the research use the basic of
aesthetics and iconography sciences because the artifact has art shape structure related to beauty and aesthetics. To find out
the functions and the meanings in the relation religious activities, the discussions are focused in terracotta artifact manifested
in statue and other things so iconographic science very supports to find out what meaning exist in the elephant manifestation.
Elephant, in its shape, is manifested realistic and deformatif. Both manifestations have the background of the belief from

102
Prima Yustana 103
Gajah dalam Terakota Majapahit

Trowulan society in Majapahit period, which had Hindu and Buddha in their religion. In the period, elephant was considered
to have symbol of strength, virility and wisdom. Besides that, elephant was also the vehicle of God Indra, named Airavata.
Elephant is also the symbol of Budha’s birth story (Jataka). Elephant was also considered as God, called Shri-gaja. The last,
elephant was also considered as a symbol of social status and fertility because elephant was a king’s pet and was used for war,
so only the rich persons were able to have the animal.

Keywords: Elephant, Majapahit’s terracotta, function and meaning.

A. Majapahit dan Artefak Terakota Trik” tetapi harus diartikan “hutan (milik) orang-
orang Trik.” Jika demikian halnya, hutan milik or-
Perwujudan gajah dalam terakota Majapahit
ang-orang Trik itu tidak selalu harus dekat dengan
menarik untuk diamati karena adanya penemuan
lokasi desa Trik/Tarik; hutan dapat saja jauh dari
artefak terakota yang melimpah di daerah Tro-
pemukiman Tarik, dan sangat masuk akal jika
wulan oleh para ahli arkeologi. Bersama artefak
hutan tersebut berada di daerah Trowulan
tersebut, ditemukan juga terakota yang berbentuk
sekarang. Wilayah itu tentunya masih merupakan
binatang gajah, dengan beberapa perwujudan.
hutan subur yang lebat di lereng utara rangkaian
Bermacam temuan tersebut menjadikan keter-
Pegunungan Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Di
tarikan untuk mengetahui latar belakang muncul-
Trowulan itulah pada masa lalu terdapat hutan
nya bentuk-bentuk gajah yang sangat menarik,
lebat yang dibuka oleh Raden Wijaya dan kawan-
dan memiliki perbedaan bentuk dalam setiap
kawannya (Sarwono, 1983–1995:4).
perwujudannya.
Keterangan lain yang menjelaskan tentang
Artefak-artefak tersebut banyak ditemukan di
penyebutan Trowulan terdapat di dalam Nagara-
wilayah sekitar Trowulan yang merupakan
krtagama, pupuh 73, bait 3 baris 3 disebutkan
sebuah kota di Jawa Timur dan diperkirakan
tentang nama sebuah bangunan suci yang ter-
sebagai ibu kota kerajaan Majapahit . Kerajaan
masuk sebagai bangunan keluarga raja yaitu
Majapahit muncul pada tahun Saka 1214 (1292 M). Antarashashi. Oleh para ahli, Antarashashi di-
Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya dengan identifikasikan sebagai Antarawulan yang kemu-
melakukan pembukaan hutan Tarik. Letaknya dian menjadi Trowulan (Pigeaud, 1962:222). Di
yang strategis di dekat Kali Brantas menjadi salah samping itu, anggapan bahwa Trowulan adalah
satu gaya tarik penduduk untuk menetap disana. bekas pusat Kerajaan Majapahit juga didasarkan
Desa Tarik inilah yang kemudian menjadi Maja- pada banyaknya temuan yang berupa fondasi,
pahit (Kartodirjo, 1977:255). candi dan gapura, saluran air berikut waduknya,
Ada pertanyaan benarkah situs Trowulan ter- umpak batu, serta barang pakai sehari-hari seperti:
sebut yang dimaksud dengan Hutan Trik seperti tembikar, keramik, koin, bandul jala, dan lain-lain.
yang disebut dalam Pararaton ataupun naskah Panji Temuan seperti itu ternyata memiliki jangkauan
Wijayakrama. Menurut J.G. de Casparis dalam sebaran yang sangat luas, bukan hanya sebatas
ceramahnya di IFSA (Indonesian Field School of Ar- wilayah Trowulan melainkan sampai Bekek di
chaeology) 1991 di Trowulan, pernyataan “… alasing sebelah utara, Pakis di selatan, Brangkal di timur,
wong trik …” dalam Pararaton, bukan berarti “hutan dan Jombang di sebelah barat (Departemen
104 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penelitian Berdasarkan temuan para ahli arkeologi, di
Arkeologi Nasional, 1988:1). situs Kerajaan Majapahit ini banyak didominasi
Banyak kisah yang menyertai keberadaan oleh temuan artefak yang berupa terakota. Benda-
Kerajaan Majapahit, selain dari daerah kekuasaan benda tersebut terbuat dari tanah liat yang di-
Majapahit yang sangat terkenal meliputi seluruh bakar, yang dikenal sebagai benda terakota.
kepulauan Indonesia. Ada pula pola kehidupan Benda-benda jenis ini merupakan hasil budaya
berkesenian yang berkembang pada saat itu yang manusia yang termasuk tua dalam sejarah ke-
dapat dibuktikan dengan banyaknya ditemukan budayaan manusia. Benda ini mulai dirasakan
peninggalan sejarah yang terdapat di situs Keraja- kebutuhannya sejak orang mulai mengenal ke-
an Majapahit. Salah satu jenis jejak peninggalan hidupan bercocok tanam sekitar 10.000 tahun
tersebut adalah banyak ditemukannya benda- yang lalu. Manusia pada saat itu mulai merasakan
benda yang berbahan baku dari tanah liat atau akan kebutuhan wadah yang dapat digunakan
orang lebih akrab dengan sebutan terakota. untuk menyimpan serta memasak makanan.
Benda terakota yang berbentuk wadah di Indone-
B. Definisi dan Fungsi Terakota sia dikenal dengan sebutan gerabah (pottery). Benda
tersebut pada masa itu menjadi perlengkapan
Istilah ‘terracotta’ berasal dari bahasa Italia yang yang cukup penting karena kemampuan dan ke-
artinya cooked earth atau baked clay. Istilah terakota gunaanya (Sugondho, 2000:3). Selain itu menurut
sebenarnya dapat digunakan untuk menyebut Prapto Saptono, staf peneliti BP3 Jawa Timur,
segala benda yang terbuat dari tanah liat bakar, bahwa tanah liat ada hubungannya dengan ajar-
namun dalam praktiknya istilah ini hanya dipakai an Hindu. Ajaran ini melihat bahwa kehidupan
untuk menyebut barang-barang tembikar yang tercermin pada terakota. Terakota memiliki unsur
tidak diberi lapisan glasir (Kusen, 1993:238). pembentuk, meliputi tanah, air, udara, dan api.
Menurut Sumijati Atmosudiro, zaman Keraja- Elemen tersebut dipahami sebagai elemen utama
an Majapahit merupakan puncak pemakaian dalam kehidupan (Prapto Saptono, wawancara 13
gerabah dan terakota pada masa klasik. Peristiwa Mei 2009).
tersebut terjadi pada masa kejayaan Majapahit
C. Estetika sebagai Unsur Sebuah Karya Seni
(abad 13–15 M) antara lain ditandai dengan
munculnya jenis-jenis terakota yang memiliki Objek pengamatan secara khusus adalah
bentuk unik. Sesuai dengan bentuknya, terakota artefak yang berbentuk binatang gajah. Artefak
masa lalu difungsikan pula sebagai benda praktis ini menarik, sebab bentuk dari gajah tersebut
dan dekoratif. Jenis-jenis benda terakota tersebut terkadang diwujudkan secara realis, namun ter-
di antaranya adalah vas bunga, tempayan yang kadang juga muncul dengan wujud deformatif.
berukuran besar, tempat menabung uang Tentunya ada tujuan pada saat itu yang mendasari
(cèlèngan), kendi, dan bubungan (wuwungan) perbedaan perwujudan dalam satu bentuk
rumah. Fungsi terakota tidak hanya memenuhi binatang gajah. Perspektif yang digunakan untuk
kebutuhan keseharian dan religi, tetapi juga dapat mencari sebuah makna dalam hal ini adalah dari
difungsikan untuk dekorasi (Atmosudiro, 2000:4). sisi seni rupa dan ikonografi.
Prima Yustana 105
Gajah dalam Terakota Majapahit

Ilmu estetika diperlukan untuk mengkaji ke- 1. Rupabheda: pembedaan bentuk, dalam arti
indahan yang merupakan bagian dari unsur bentuk harus segera dikenali karakteristiknya,
sebuah karya seni. Artefak terakota yang menjadi yang berbeda antara satu dengan yang lain.
pokok bahasan adalah sebuah karya seni. Benda 2. Sadrsya: bentuk yang digambarkan sesuai
seni menyimpan banyak makna yang dapat di- dengan ide yang dikandung di dalamnya.
jelaskan. Demikian pula dengan bentuk gajah 3. Pramanam: pembuatan sesuai dengan ukuran
dalam terakota Majapahit tersebut, yang me- yang tepat.
merlukan analisis estetik untuk mengungkapkan 4. Varnikabhanggam: penggunaan peralatan, ma-
maknanya. terial, dan warna.
Menurut pendapat Jakob Sumardjo dalam 5. Bhava: getaran perasaan seniman yang
buku Filsafat Seni, bahwa seni memang bukan dituangkan ke dalam karya seni.
benda, melainkan nilai yang dilihat oleh penikmat 6. Lavanya yojanam: pemberian nilai keindahan,
seni. Nilai yang terkandung dalam benda tersebut, daya tarik. Seni bukan hanya soal teknik atau
atau benda seni itu sendiri merupakan per- ketrampilan, tetapi ekspresi yang memberikan
wujudan nilai yang dimaksud oleh senimannya. wibawa transendental (Mulk dalam Haryono,
Seni tidak akan muncul dari benda seni kalau benda 1994:11-12).
tersebut tidak mengandung dan menawarkan P.J. Zoetmulder mengatakan bahwa tidak ada
nilai seni (Sumardjo, 2000:111). satu pun kebudayaan di dunia ini yang lepas dari
Benda seni adalah titik pertemuan komunikasi pengaruh agama (Zoetmulder dalam Haryono,
antara seniman dan publiknya. Benda seni adalah 1994,10). Maka, patung estetik tidak begitu banyak
sesuatu yang mewujud, dan dengan demikian maknanya kalau tidak berhasil memenuhi tugas
dapat dilihat atau didengar, atau dilihat dan religinya. Patung bisa saja ‘jelek’, tetapi daya
didengar sekaligus oleh penikmat seni. Benda seni magisnya, kemampuan mendatangkan daya
harus inderawi, harus dapat diindera oleh publik asketiknya, amat besar. Dikatakan oleh Jakob
seni. Benda seni hanya dapat menampung kerja Soemardjo bahwa seni rakyat mistis, baik tari, seni
indera penglihatan (visual) serta pendengaran (au- patung, seni lukis, teater, musik, barangkali secara
dio), tetapi tidak indera pembau, peraba, dan estetik mengecewakan, atau amat sederhana,
perasa (Sumardjo, 2000:111–112). namun bukan kemampuan estetiknya yang
Menurut Cyril Smith di dalam sejarah tekno- penting, melainkan kemampuan asketiknya.
logi terbukti bahwa jauh sebelum manusia me- Pengalaman asketik inilah yang justru membuat
nemukan unsur-unsur suatu material, mula-mula suatu benda seni mistis menjadi estetik
yang menarik perhatian manusia adalah daya (Sumardjo, 2000:336).
tarik estetisnya. Kemudian setelah itu dimanfaat- Bernet Kempers yang menjelaskan tentang
kan untuk tujuan artistik, magis, dan religius hubungan manusia dengan Tuhannya. Karakter
(Smith, 1994:6–7). Mulk mengemukakan tentang berfikir orang Indonesia selalu berorientasi kepada
beberapa aturan dalam estetika India klasik yang hubungan mikrokosmos (manusia), makrokosmos
terkenal dengan sebutan Sad-angga, enam pokok (alam semesta), metakosmos (alam lain) (Kempers,
atau enam pegangan keindahan, meliputi: 1959:20).
106 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Dalam fungsi Papanek juga memberikan D. Perwujudan Gajah dalam Terakota


Majapahit
sebuah teori form follows function, atau sering disebut
dengan bentuk mengikuti fungsi. Teori ini sering Kajian ini berusaha fokus untuk mengamati
sekali diterapkan kepada benda pakai atau benda segala bentuk perwujudan binatang gajah
fungsi, tetapi apakah yang menjadi tujuan utama didalam produk kesenian yang berupa terakota
dibuatnya sebuah benda tersebut. Apakah untuk pada jaman kerajaan Majapahit. Data-data lain
fungsi atau untuk keindahan, maka dijelaskan diperlukan untuk menjelaskan perwujudan gajah,
bahwa aspek estetis sebuah benda tidak bisa di- seperti relief-relief yang terdapat pada candi
lepaskan dari fungsinya (Papanek, 1973:25-26). Hindu dan Budha. Gajah mempunyai pengertian
Pemikir hermeneutik, Paul Ricoeur yang di- binatang menyusui berbelalai, bergading, berkaki
kenal sebagai seorang filsuf yang memiliki pers- besar, berkulit tebal, berbulu abu-abu (ada juga
pektif kefilsafatan, menonjol berkat pemikirannya yang putih), berdaun telinga lebar, dan hidupnya
tentang pemaknaan (semantik). Ricoeur men- menggerombol di hutan (terdapat di Asia dan
jelaskan bahwa pada hakikatnya semua filsafat Afrika) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:327),
itu adalah interpretasi, dan hidup itu sendiri Gajah juga merupakan a symbol of strength, virility,
adalah interpretasi. Di sisi lain Ricoeur ber- and wisdom (Liebert, 1976:87).
pendapat bahwa setiap objek maupun teks pada Bentuk penggambaran gajah sudah ada pada
hakikatnya merupakan simbol, dan simbol-simbol abad ke-8 sampai abad ke-10 M, yaitu pada masa
itu penuh dengan makna-makna yang ‘ter- candi Prambanan yang terdapat di wilayah Jawa
sembunyi’. Manusia dalam membuat sesuatu, Tengah. Kemudian pada masa candi Jawa Timur
melakukan usaha untuk membentuk makna. yang mempunyai kurun waktu antara abad ke-
Sebuah “rumah”, misalnya memiliki makna yang 13 sampai abad ke-15 M, tepatnya pada relief yang
berbeda-beda, tergantung konteks dan sudut terdapat pada candi Panataran, juga muncul
pandang pengamatnya. Salah satu tugas utama bentuk gajah seperti gambar di bawah ini
pemaknaan adalah berjuang melawan “jarak (Soekmono, 13).
budaya”, ini berarti bahwa penafsir harus meng-
ambil jarak supaya dapat membuat interpretasi
yang objektif. Ricouer mengutip pendapat
Gadamer, dengan menyatakan bahwa walaupun
penafsir memiliki jarak terhadap fenomena
budaya tertentu, penafsir tersebut sebenarnya
tidak bekerja dengan “tangan kosong”, penafsir
tersebut sebenarnya “telah membawa sesuatu”
yang oleh Heidegger disebut Vorhabe (apa yang ia
miliki), Vorsicht (apa yang ia lihat), dan Vorgriff (apa
yang digagas kemudian) (Heidegger dalam Agus
Gambar 1. Relief yang menampilkan bentuk gajah di
Sachari, 2007:39–40). Candi Panataran. (Foto: Prima Yustana, 2008)
Prima Yustana 107
Gajah dalam Terakota Majapahit

Relief tersebut tentunya tidak hanya sebagai terakota tidak mengacu pada proses pembentukan
penghias bangunan candi saja, tetapi pasti me- tanah liat atau badan tanah liat, tetapi lebih
miliki cerita atau arti tertentu sesuai dengan kepada pengelompokan benda berdasarkan
tujuan dalam kepercayaan dan tujuan candi jenisnya. Istilah terakota mempunyai pengertian
tersebut didirikan. Bentuk gajah banyak terpahat tanah yang dibakar, serta digunakan untuk
indah pada relief candi-candi. Gajah banyak di- menyebut tanah liat yang dibakar dengan warna
gambarkan dalam relief pada saat adegan pe- merah kecoklatan pada badannya. Perbedaan ini
perangan, sehingga penggambaran bentuk gajah rupanya berasal dari keinginan untuk mem-
ini sangat mendominasi dalam satu tampilan bedakan antara bentuk bulatan atau pot dan
sebuah relief. Gajah digunakan sebagai kendaraan bentuk seperti wajan yang biasa diartikan “pot-
perang bagi para prajurit atau tentara untuk me- tery” dengan patung tanah liat yang biasa disebut
nunjang keberhasilan dalam melakukan sebuah “terracotta.” Sebagai produk dari tanah liat, terakota
peperangan. biasanya mempunyai langkah-langkah pem-
Bentuk gajah dapat muncul dalam relief di- buatan yang berbeda dari produk tanah liat yang
asumsikan karena binatang ini banyak mem- lain. Terakota secara umum dibuat di pedesaan,
bantu kehidupan manusia. Terutama dalam hal mempergunakan teknik pembuatan yang paling
sarana transportasi perang atau untuk membantu dasar, dengan tidak memperhitungkan pem-
manusia dalam meringankan beban, seperti meng- bakarannya kecuali untuk pembakaran yang unik
angkat sesuatu atau barang yang berat. Pada (Hilda Soemantri, 1997:32–33).
zaman dahulu di Indonesia gajah sudah dipakai
untuk berperang dan kendaraan (Van der Hoop,
1949:138).
Gajah dalam tema ini lebih cenderung dan
fokus kepada artefak yang berbentuk gajah.
Temuan artefak terakota yang diteliti berupa
benda peninggalan zaman dahulu sehingga
kadang penampilannya tidak utuh seperti aslinya.
Jadi, apabila ditemukan beberapa gambar atau
bentuk gajah yang tidak lengkap, misalnya hanya
ditemukan kepalanya saja, maka hal tersebut Gambar 2. Artefak terakota berbentuk gajah yang
ditemukan tidak utuh. Koleksi Pusat Informasi Maja-
semoga dapat dimengerti. Keadaan itu disebabkan pahit. (Foto: Prima Yustana, 2009)
temuan yang tidak lengkap dari bentuk utuh suatu
benda, dan hal ini sangat wajar terjadi. Artefak kuno yang mengandung nilai seni dan
Terakota dijelaskan lebih lanjut memiliki keagamaan sering digunakan sebagai acuan
pengertian badan keramik dari tanah liat earthen- dalam rangka penyusunan sejarah kesenian
ware, berwarna merah dan mengandung grog secara umum. Termasuk dalam hal ini adalah arca-
(http://www.geocities. com/bengkelkeramik/ arca kuno. Arca-arca kuno dianggap sebagai benda
glosarii.htm). Hilda Soemantri menjelaskan bahwa seni yang mengandung asumsi bahwa arca-arca
108 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

tersebut oleh pembuatnya ditujukan sebagai sebagian Kalimantan (Soedarsono, 2002:20). Hal
benda seni. tersebut lebih menegaskan bahwa pada masa
Ada asumsi lain bahwa keberadaan artefak kejayaannya (abad ke-13 sampai abad ke-15
mungkin saja dibuat sebagai ‘jimat’, tanda hormat, Masehi), Majapahit masih berada dalam pengaruh
tanda perlawanan atau yang lain. Dengan demi- Hindu yang sangat kuat, sehingga juga mem-
kian benda itu tidak dibuat dengan pencurahan pengaruhi setiap hasil kesenian pada masa
keindahan semata-mata, melainkan lebih ber- tersebut termasuk seni terakotanya.
orientasi pada nilai-nilai lain. Namun demikian Pernyataan di atas dapat difahami bahwa
terdapat alasan yang amat kuat, dalam hal ini artefak keagamaan merupakan sebuah per-
arca-arca Hindu dan Budha, bahwa arca pada wujudan bentuk dengan nilai seni sekaligus
awalnya adalah lambang atau seperangkat lambang atau simbol yang digunakan sebagai
lambang yang merupakan alat ibadah (Rahardjo, sarana ritual sebagai pendukung dalam ke-
1986:20). agamaan tersebut. Artefak hasil budaya masya-
Dalam penelitian arca-arca kuno, baik dari In- rakat yang hidup dalam pengaruh Kerajaan Maja-
dia, Asia Tenggara maupun Indonesia, umum pahit dengan kepercayaan Hindu maupun Budha
dianggap ada dua nilai yang terkait pada artefak memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Jika mem-
arca, yaitu: bahas tentang nilai seni dalam lingkup seni rupa,
1. Nilai seni, menyangkut unsur-unsur gaya maka lebih banyak bersinggungan dengan ilmu
yang penggarapannya menyangkut indah- yang sangat dekat dengan seni rupa yaitu estetika.
buruknya arca sebagai ekspresi dorongan Estetika juga melibatkan medium seni. Medium
keindahan manusia. seni dalam bahasan ini adalah sebuah artefak
2. Nilai ikonografi, menyangkut sistem tanda- terakota. Terakota memiliki beragam bentuk dan
tanda yang mempunyai fungsi sebagai pe- ornamentasi yang ditambahkan pada benda
nentu identitas arca. tersebut, sehingga permasalahan gaya pada mo-
Perlu ditambahkan di sini bahwa dalam hal arca- tif atau pola (pattern) dapat digunakan untuk
arca Hindu dan Budha, perlambang adalah pokok, melokalisasi dan mendata suatu karya serta dapat
sedangkan keindahan adalah faktor tambahan pula untuk menentukan bentuk atau ciri penting
(Rahardjo, 1986:21). suatu artefak termasuk juga untuk menentukan
R.M. Soedarsono menjelaskan, bahwa kontak keindahan artefak (Soekiman, 2000:81).
antara kebudayaan Hindu yang berasal dari In- Ciri khas artefak terakota terletak pada medium
dia telah menghasilkan kekayaan seni Indonesia yang dipakai sebagai bahan utama pembentukan.
yang luar biasa, oleh karena agama Hindu dan Benda terakota merupakan sebuah hasil dari
Budha selalu melibatkan seni dalam upacara- perjalanan pengolahan tanah liat yang berurutan
upacara keagamaannya. Pengaruh itu ber- dan tidak bisa menghindari salah satu tahapan
langsung cukup lama, yaitu dari abad pertama dalam proses pembuatan. Tahapan dalam pem-
tarikh Masehi sampai akhir abad ke-15. Pengaruh buatan benda terakota meliputi: pengolahan
seni yang sangat mendalam semula terjadi di tanah, pembentukan, pengeringan, dan pem-
Jawa, Sumatra, Bali, bahkan juga sampai ke bakaran. Setiap proses akan berpeluang untuk
Prima Yustana 109
Gajah dalam Terakota Majapahit

mewujudkan kemunculan ekspresi seni seniman tetapi mereka juga mengembangkan keseluruhan
pembuatnya. alam pikir Islam atau filsafat Islam. Di sini kita
Setiap tahap terbentuknya keindahan merupa- dapat melihat bahwa alam fikir atau filsafat Jawa
kan sebuah proses yang tidak singkat dalam benda merupakan peleburan dari kepercayaan Hindu,
terakota. Seni dan keindahan apabila dibahas, tasawuf serta mistisisme Islam dan agama Islam
maka tidak bisa lepas dengan ilmu estetika. Sebuah (Herusatoto, 1987:72)
pengertian tentang estetika diungkapkan oleh The Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Jawa,
Liang Gie, bahwa dalam ruang lingkup bidang pada masanya merupakan pusat atau dapat di-
filsafat kini dikenal salah satu cabangnya yang di- katakan sebagai sumber segala sumber undang-
sebut Aesthetics. Istilah Inggris itu merupakan nama undang. Segala macam aturan dari kerajaan selalu
dari pengetahuan filsafat keindahan (philosophy of menjadi acuan bagi masyarakat pendukungnya.
beauty). Kata “aesthetics” berasal dari kata Yunani Termasuk dalam pola berkesenian atau produk
aisthesis yang artinya pencerapan indera (sense per- hasil seni. Kondisi tersebut berpengaruh juga
ception). Kata Yunani ini mempunyai suatu bentuk terhadap hasil kesenian yang berkembang di
perubahan aisthetika yang berarti hal-hal yang masyarakat, sehingga memunculkan perbedaan
dapat dicerap dengan panca indera. (Gie, 2005:119). jenis kualitas hasil seni.
Sebagaimana paparan Gustami bahwa secara
umum negara atau negari sebagai pusat sumber
E. Estetika Timur dalam Terakota Majapahit
tentang konsepsi budaya keraton, melahirkan
Artefak yang terdapat di wilayah Jawa menjadi ciri-ciri kebudayaan keraton (budaya agng) ialah
lebih mendukung ketika dianalisis dengan me- bersifat halus dengan selera dan gaya yang rumit,
minjam ilmu estetika timur. Estetika timur sangat ngrmit, ngrawit, kaya keindahan. Berlainan dengan
dekat dengan ajaran kehidupan dan selalu men- budaya desa (budaya alit) yang dipandang kasar
cari keterangan tentang arti kehidupan manusia, dan sederhana. Dikotomi tersebut tidak sepenuh-
asal-usulnya, tujuan terakhirnya, hubungan nya benar, sebab ada hubungan yang harmonis
dengan Tuhan dan dunia. Hal tersebut dilakukan antara masyarakat desa sebagai sumber potensi
dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup, yang berbakat di bidang seni budaya dan kerajaan
karena di wilayah timur kesenian selalu ber- atau raja yang memberikan contoh hasil seni yang
orientasi kepada pendekatan terhadap Tuhan dan berkualitas untuk ditiru dan dihormati oleh
hubungan antara manusia dengan Tuhannya masyarakatnya (Gustami, 2000:31–32).
(Herusatoto, 1987:72–73). Pengaruh antara selera penguasa/kerajaan dan
Filsafat hidup orang Jawa terbentuk karena masyarakat tersebut dapat digunakan untuk
perkembangan kebudayaan Jawa akibat pengaruh landasan berfikir tentang perbedaan kualitas
filsafat Hindu dan filsafat Islam. Orang Hindu yang artefak terakota yang ditemukan. Fenomena
datang ke Jawa menyebarkan agama Hindu mem- tersebut menunjukan kemungkinan adanya
bawa serta filsafat Hindu. Demikian juga saat ke- tujuan khusus dalam pembuatan terakota ber-
datangan orang-orang Gujarat ke Jawa, mereka bentuk gajah. Tujuan tersebut bisa saja untuk raja
tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran Islam, atau untuk rakyat biasa. Keterangan tersebut lebih
110 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

ditegaskan dengan keterangan bahwa patung- dengan bentuk kuda untuk Dewa Surya dan yang
patung terakota kecil tersebut selain bervariasi berbentuk gajah untuk Dewa Indra (Muller,
dalam bentuk dan ukurannya perbedaan peng- 1978:31)
garapan tersebut disebabkan karena perbedaan Bentuk lain bisa jadi dibuat untuk kepentingan
konsumennya. Patung yang kasar untuk anak- orang-orang terpandang. Hal ini diasumsikan
anak atau masyarakat kelas bawah, sedang yang bahwa benda atau barang-barang kerajaan me-
halus untuk kalangan atas (bangsawan, pejabat, miliki kualitas yang lebih baik dari sisi bentuk
dan orang kaya) (Kusen, 1993:240). maupun ornamentasinya. Artefak gajah memiliki
Artefak celengan gajah memiliki fungsi sebagai penonjolan dalam bentuk dan keindahan berupa
tempat untuk menyimpan uang. Kepercayaan tambahan hiasan pada permukaan badan artefak
Hindu juga memahami gajah bermakna sebagai gajah baik dalam bentuk tiga dimensi atau dua
lambang kesuburan. Kepercayaan inilah yang dimensi. Hiasan atau ornamen dibuat indah
melandasi adanya perwujudan celengan dengan dengan goresan ukir-ukiran yang ditambahkan
bentuk binatang gajah. Dilihat dari fungsinya pada permukaan badan artefak gajah baik dalam
celengan yang berbentuk gajah akan lebih banyak bentuk tiga dimensi atau dua dimensi. Artefak
menyimpan uang, sebab bentuk badan gajah yang yang berornamen dan memiliki deformasi bentuk
besar membuat rongga tempat uang menjadi lebih atau merupakan penggabungan bentuk dua
luas. binatang, dapat diasumsikan bermakna sebagai
bentuk persembahan untuk kerajaan, juga ber-
makna sebagai pemuliaan terhadap Dewa dalam
kepentingan ibadahnya.

F. Pengaruh Agama Siwa Budha dalam


Terakota Majapahit

Bentuk binatang gajah sering mengalami per-


ubahan bentuk dalam perwujudannya, hal ter-
sebut juga menggambarkan kemahiran dari seni-
man pembuatnya. Keindahan dari hasil per-
Gambar 3. Artefak celengan berbentuk gajah. Koleksi
Pusat Informasi Majapahit. (Foto: Prima Yustana, 2009) ubahan bentuk dapat diasumsikan bahwa selera
estetis pada masa Majapahit telah berkembang
Muller menambahkan apabila celengan ini sangat pesat, sebagai upaya memenuhi kebutuhan
digunakan untuk kepentingan ritual, menjadi jelas manusia terhadap keindahan. Berdasar pada
bahwa bentuk-bentuk binatang yang digunakan pemikiran estetika timur yang selalu bermuara
sebagai celengan berkaitan dengan vahanas atau kepada ketuhanan, maka dapat diasumsikan
kendaraan Dewa. Hewan yang berkaitan dengan bahwa binatang gajah yang wujudnya berupa
hal tersebut seperti: domba jantan untuk Dewa deformasi bentuk maupun yang realis, me-
Agni, babi untuk Dewa Kesuburan, celengan rupakan sebuah simbol untuk pemujaan terhadap
Prima Yustana 111
Gajah dalam Terakota Majapahit

dewa-dewa yang berhubungan dengan ke- Gajah digunakan juga sebagai kendaraan para
percayaan Hindu dan Buddha. raja, baik digunakan sehari-hari maupun diguna-
Gajah dalam mitologi Hindu dianggap sebagai kan sebagai kendaraan saat perang seperti yang
Dewa dengan sebutan Shri-Gaja, yang merupakan tergambar dalam relief yang terdapat pada candi
Dewa Kesuburan dan kekayaan (Zimmer, 1946: Panataran.
109). Gajah juga merupakan kendaraan Dewa Berdasarkan pada pembahasan yang telah
Indra. Gajah dalam ikonografi India juga dimaknai dilakukan, dapat disimpulkan bahwa agama Siwa
sebagai simbol dari kekuatan, kejantanan dan Budha yang menjadi agama mayoritas pada masa
kebijaksanaan. Dalam kehidupan sehari-hari gajah Majapahit telah menjadi dasar dalam setiap
merupakan simbol kekayaan, atau status sosial aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama men-
yang tinggi. Di sekitar Trowulan banyak ditemu- jadi sarana manusia untuk senantiasa dapat ber-
kan tonggak batu digunakan sebagai cncangan hubungan dengan Tuhannya, demikian juga
gajah. dengan umat Hindu dan Budha yang dalam me-
Orang yang memiliki gajah pada masa kerajaan lakukan hubungan dengan Tuhannya mengguna-
Majapahit pastilah orang yang kaya, sebab untuk kan sarana sesembahan, yaitu dengan membuat
memiliki bahkan merawatnya diperlukan biaya patung-patung yang berhubungan dengan Dewa
yang tidak sedikit. Gajah adalah binatang ken- yang dipuja.
daraan raja-raja dan biasanya dimiliki oleh raja. Dewa yang menggunakan kendaraan gajah
Biasanya gajah milik raja memperoleh gelar kiai seperti Dewa Indra juga menjadi sesembahan bagi
dan dirawat oleh abdi dalm (srati). Gajah menjadi umat Hindu untuk mengharapkan kesuburan dan
lambang kekuasaan raja dan gajah milik raja di- limpahan hujan. Pemujaan terhadap Dewi Laksmi
simpan di kandangnya atau di Taman Sriwedari yang dalam pengarcaannya diapit dua ekor gajah
(Kuntowijoyo, 2004:79). juga sebagai Dewi Kesuburan dengan harapan
akan senantiasa mendapatkan panen yang me-
limpah. Aktivitas keagamaan dengan mengguna-
kan simbol gajah tersebut menjadi faktor utama
munculnya bentuk-bentuk gajah dalam terakota
di Trowulan.

Gambar 4. Dewa Indra dengan kendaraan Gajah yang


bernama Airavata. (Repro: Prima Yustana, dari buku Gambar 5. Gaja-Laksmi. Koleksi: BP3 DIY F(oto: Prima
The Encyclopedia of Eastern Mythology, t.t., 165) Yustana, 2009)
112 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Letak geografis Trowulan berada di atas datar- dalam cerita kelahiran Budha (Jtaka). Selain itu
an alluvial. Dataran ini juga melatarbelakangi gajah juga dimaknai sebagai simbol kesuburan dan
masyarakat Majapahit untuk membuat benda dapat mendatangkan hujan serta kesetiaan kepada
terakota seperti bangunan dan segala macam raja. Maka pada masa kerajaan dahulu gajah
benda yang mendukung kehidupan sehari-hari. sudah menjadi hewan yang sangat dekat dengan
Dataran jenis ini banyak mengandung endapan kekuasaan seorang raja. Visualisasi gajah dalam
tanah yang disebut tanah liat atau lmpung. keagamaan Hindu juga dimaknai sebagai Dewa
kesuburan, yang dikenal dengan sebutan Shri-Gaja.
G. Klasifikasi Bentuk Visual Gajah dalam
Terakota Majapahit
H. Simpulan
Bentuk visual gajah dalam terakota Majapahit
dapat digolongkan ke dalam dua klasifikasi bentuk Berdasarkan pembahasan yang telah dilaku-
perwujudan yaitu deformatif dan realis. Visuali- kan, dapat disimpulkan bahwa agama Siwa Budha
sasi bentuk wujudnya meliputi vas bunga yang yang menjadi agama mayoritas pada masa
berbentuk Gaja Mina, celengan berbentuk gajah, re- Majapahit telah menjadi dasar dalam setiap
lief berbentuk gajah dan patung-patung gajah aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama
sebagai sarana ritual atau sebagai mainan. Dengan menjadi sarana manusia untuk senantiasa dapat
kata lain Aspek fungsional bentuk binatang gajah berhubungan dengan Tuhannya, demikian juga
dalam terakota dapat difungsikan sebagai (1) dengan umat Hindu dan Budha yang dalam
mainan anak-anak dan boneka pertunjukan, (2) melakukan hubungan dengan Tuhannya meng-
kelengkapan upacara keagamaan, (3) hiasan gunakan sarana sesembahan, yaitu dengan mem-
bangunan, (4) kotak uang atau celengan. buat patung-patung yang berhubungan dengan
Artefak batu tegak yang berfungsi sebagai Dewa yang dipuja.
tambatan gajah membuktikan bahwa gajah juga Dewa yang menggunakan kendaraan gajah
merupakan kendaraan bagi orang-orang kaya, seperti Dewa Indra juga menjadi sesembahan bagi
sehingga gajah juga dipandang dan dimaknai umat Hindu untuk mengharapkan kesuburan dan
sebagai simbol status sosial. Gajah juga dimaknai limpahan hujan. Pemujaan terhadap Dewi Laksmi
sebagai simbol dari kekuatan, kejantanan, dan yang dalam pengarcaannya diapit dua ekor gajah
kebijaksanaan. Gajah juga merupakan simbol juga sebagai Dewi Kesuburan dengan harapan

Gambar 6. Relief Lalitavistara. (Foto: http://www.borobudur.tv/lalitavistara_2.htm )


Prima Yustana 113
Gajah dalam Terakota Majapahit

akan senantiasa mendapatkan panen yang me- KEPUSTAKAAN


limpah. Aktivitas keagamaan dengan meng-
Atmosudiro, Sumijati. “Ragam Hias Dan Teknologi
gunakan simbol gajah tersebut menjadi faktor Gerabah Masa Lalu.” Yogyakarta: Makalah
utama munculnya bentuk-bentuk gajah dalam Seminar PPPG Kesenian, 2000.
terakota di Trowulan. Bernet Kempers, A. J. Ancient Indonesia Art. Belanda:
Letak geografis Trowulan berada di atas C. P. J. van der Peet Amsterdam, 1959.
dataran alluvial. Dataran ini juga melatar belakangi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat
masyarakat Majapahit untuk membuat benda Penelitian Arkeologi Nasional. Trowulan
dalam Lintasan Sejarah. 1988.
terakota seperti bangunan dan segala macam
benda yang mendukung kehidupan sehari-hari. Fontein, Jan. Kesenian Indonesia Purba. The Asia Soci-
Dataran jenis ini banyak mengandung endapan ety INC.,New York Graphic Society LTD.

tanah yang disebut tanah liat atau lmpung. Gie, The Liang. Filsafat Seni. Yogyakarta: Pusat
Bentuk visual gajah dalam terakota Majapahit Belajar Ilmu Berguna, 2005.

dapat digolongkan ke dalam dua klasifikasi bentuk Gustami, SP. Studi Komparatif Gaya Seni Yogya-Solo.
perwujudan yaitu deformatif dan realis. Visuali- Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,
2000.
sasi bentuk wujudnya meliputi vas bunga yang
berbentuk Gaja Mina, celengan berbentuk gajah, re- Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Hanindita, 1987.
lief berbentuk gajah dan patung-patung gajah se-
bagai sarana ritual atau sebagai mainan. Haryono, Timbul.”Aspek Teknis dan Simbolis
Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII–X.”
Aspek fungsional bentuk binatang gajah dalam
Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor
terakota dapat difungsikan sebagai (1) mainan dalam Ilmu Sastra pada Universitas Gadjah
anak-anak dan boneka pertunjukan, (2) kelengkap- Mada, 1994.

an upacara keagamaan, (3) hiasan bangunan, (4) Hoop, A.N.J. Th. a Th. Van der. Indonesische
kotak uang atau celengan. Siermotieven, Ragam-ragam Perhiasan Indonesia,
Indonesian Ornamental Design. Koninklijk
Artefak batu tegak yang berfungsi sebagai Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En
tambatan gajah membuktikan bahwa gajah juga Wetenschappen, 1949.
merupakan kendaraan bagi orang-orang kaya, Kuntowijoyo. Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta:
sehingga gajah juga dipandang dan dimaknai Ombak, 2004.
sebagai simbol status sosial. Gajah juga dimaknai
Kartodirdjo, Sartono. 700 Tahun Majapahit Suatu
sebagai simbol dari kekuatan, kejantanan, dan Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata
kebijaksanaan. Gajah juga merupakan simbol Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur, 1993.
dalam cerita kelahiran Budha (Jtaka). Selain itu
gajah juga dimaknai sebagai simbol kesuburan dan __________. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Balai Pustaka, 1977.
dapat mendatangkan hujan serta kesetiaan kepada
raja. Maka pada masa kerajaan dahulu gajah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, Edisi Ketiga, 2005.
sudah menjadi hewan yang sangat dekat dengan
kekuasaan seorang raja. Visualisasi gajah dalam Liebert, Gosta. Iconographic Dictionary of The Indian
Religions. Leiden: J.E Van Lohuizen De Leeuw,
keagamaan Hindu juga dimaknai sebagai Dewa
Studies In South Asian Culture, E.J. Brill,
kesuburan, yang dikenal dengan sebutan Shri-Gaja. 1976.
114 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Muller, H.R.A. Javanese Terracottas. Netherlands: Sachari, Agus. Budaya Visual Indonesia. Jakarta:
Uitgeversmaatschappij De Tijdstroom B.V., Penerbit Erlangga, 2007.
Locham. 1978.
Soemantri, Hilda. Majapahit Terracotta Art. Jakarta:
Papanek, Victor. Design for The Real World. United P.T. Dian Rakyat, 1997.
States of America: Bantam Book, 1973.
Sumardjo, Jakob. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit
Pigeaud, Theodore. Java in the 14th Century A Study in ITB, 2000.
Cultural History. Vol IV, The Nagarakertagama by
Rakawi Propanca of Majapahit. The Hague: Srihardiyati, Endang. 3000 Tahun Terakota Indonesia
Martinus Nijhoff, 1962. Jejak Tanah dan Api. Jakarta: Museum Nasi-
Soedarsono, dkk. Makna Peninggalan Arkeologi Dalam onal, Indonesia, 2000.
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek Pene-
litian dan Pengkajian Kebudayaan Nusan- Sarwono, Eddi. dkk. Upaya Pelestarian Situs Kota
tara ( Javanologi ) Direktorat Jenderal Ke- Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa
budayaan Departemen Pendididkan dan Timur 1983–1995, Departemen Pendidikan
Kebudayaan, 1986. Dan Kebudayaan Bagian Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Bekas Kota Kerajaan Majapahit.
Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni-
versity Press, 2002. Zimmer, Heinrich. Myths And Symbols In Indian Art
And Civilization. Washington D.C.: Bollingen
__________. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Foundation,1946.
Dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia, 1999. http://www.geocities.com/bengkelkeramik/
glosarii.htm.
Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000.

Anda mungkin juga menyukai