Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KEGIATAN ICF

PENEMUAN KASUS KUSTA

DISUSUN OLEH :

PUSKESMAS SUKADANA
PROGRAM KUSTA DAN FRAMBUSIA
TAHUN 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

BAB I.......................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG............................................................................................ 4
B. TUJUAN DAN SASARAN.....................................................................................5
C. PERMASALAHAN.............................................................................................. 5
BAB II........................................................................................................................ 6
GAMBARAN UMUM.................................................................................................. 6
DAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKADANA......................................................6
A. VISI DAN MISI.................................................................................................. 6
B. KEADAAN GEOGRAFI........................................................................................6
C. DEMOGRAFI..................................................................................................... 9
BAB III..................................................................................................................... 11
2.1 PENYAKIT KUSTA....................................................................................11
2.2 CARA PENULARAN KUSTA........................................................................15
2.3 DIAGNOSA KUSTA....................................................................................16
2.4 PEMERIKSAAN PENDERITA......................................................................17
2.5 PENCEGAHAN PENYAKIT.........................................................................21
2.6 PENCEGAHAN KECACATAN......................................................................22
2.7 PENEMUAN DAN PENGOBATAN KUSTA.....................................................24
2.8 PENGOBATAN KUSTA...............................................................................31
2.9 PROGRAM PEMBERANTAS KUSTA............................................................32
2.10 KONSEP PERILAKU..................................................................................34
2.11 PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN....................................................34
2.12 PERILAKU KESEHATAN............................................................................36
BAB IV.....................................................................................................................37

A. RVS (RAPID VILLAGE SURVEY).....................................................................37

B. KONTAK SERUMAH PENDERITA KUSTA.......................................................38

BAB V......................................................................................................................42

1. METODE KEGIATAN ICF TAHUN 2021...........................................................42


(Intensive Cases Finding)

BAB VI.....................................................................................................................44

A. KESIMPULAN................................................................................................44
B. SARAN..........................................................................................................44
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan sebuah

laporan “Kegiatan ICF untuk Penemuan Kasus Kusta tahun 2021 di

Puskesmas Sukadana”

Dengan adanya kegiatan ini dan pembuatan laporan ini diharapkan

dapat membantu dan mengembangkan perencanaan program kegiatan

kusta yang lebih baik lagi untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan

bebas dari penyakit menular. Serta dapat mengikut sertakan masyarakat,

tokoh masyarakat dan aparatur penting didalam masyarakat untuk

berperan aktif dalam menyikapi penyakit menular kusta.

Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan laporan ini

masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya, oleh karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari

para pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan ini di masa yang akan

datang.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan “Kegiatan ICF untuk

Penemuan Kasus Kusta tahun 2021 di Puskesmas Sukadana” ini dapat

berguna dan bermanfaat bagi pembaca dan dapat dimanfaatkan sebagai

bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan

guna peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Mengetahui,
Kepala Puskesmas Sukadana

drg. Rahutami Suci Rahayu


NIP. 19790115 200902 2 005
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular

yang masih merupakan masalah kesehatan yang sangat kompleks di

Indonesia. Masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya, tetapi juga

masalah sosial, ekonomi, budaya, serta keamanan dan ketahanan sosial

(Widiyono, 2005).

Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun

disebabkan oleh kuman Mycobacterium lepraeyang terutama

menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf

pusat. Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A.

Hansen dalam tahun 1873 (Depkes, 2007). Penyakit kusta bila tidak

ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini

menjadi penghalang bagi penderita kusta dalam menjalani kehidupan

bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya.

Penyakit kusta masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian

petugas kesehatan (Depkes, 2007).

Penemuan kasus baru untuk penyakit kusta di indonesia

tergolong tinggi, Indonesia menempati urutan ketiga, setelah india dan

brasil, untuk penemuan kasus baru penyakit kusta pada tahun 2015.

Sebenarnya kusta adalah penyakit yang bisa diobati, namun adanya

stigma negatif dimasyarakat seringkali menyebabkan munculnya


diskriminasi terhadap penderitanya. Stigma negatif dan diskriminasi ini

berakibat kepada penemuan kasus baru dan pengobatan yang tertunda.

Kusta yang juga dikenal dengan nama lepra atau penyakit

hansen, yaitu penyakit yang menyerang kulit, sistem saraf perifer,

selaput lendir pada saluran pernafasan atas, serta mata. Kusta adalah

penyakit infeksi kronis yang dapat disembuhkan, jika diabaikan maka

dapat menyebabkan luka pada kulit, kerusakan saraf, melemahnya otot,

dan mati rasa.

Gejala utama kusta, yaitu bercak perubahan warna menjadi lebih putih
dan lesi di kulit berbentuk benjolan yang tidak hilang setelah beberapa
minggu atau lebih.
(https://www.halodoc.com/kesehatan/kusta).

B. TUJUAN DAN SASARAN

a) Tujuan

1. Menjaring penderita baru

2. Membina masyarakat untuk lebih peduli dalam menjaring penderita

kusta

b) Sasaran

Seluruh masyarakat yang memilki bercak dan koreng

C. PERMASALAHAN

1. Kurangnya informasi dan edukasi masyarakat tentang penyakit

menular sehingga membuat warga masih merasa malu untuk

memeriksakan dirinya ke petugas kesehatan.

2. Terbatasnya tenaga terlatih untuk pemeriksaan kusta sehingga

membuat proses kerja berlangsung lama.


3. Kurangnya rasa peduli lintas sektor desa dalam membantu

kesuksesan kegiatan yang diadakan.

BAB II

GAMBARAN UMUM

DAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKADANA

A. VISI DAN MISI

1. Visi Puskesmas Sukadana

Puskesmas Sukadana dalam melaksanakan fungsinya mempunyai

Visi sebagai berikut :

“Terwujudnya Masyarakat Sukadana Yang Mandiri Untuk Sehat

Demi Tercapainya Kabupaten Kayong Utara Sehat”

2. Misi Puskesmas Sukadana

Untuk mewujudkan visi tersebut, Puskesmas Sukadana memiliki

misi sebagai berikut :

a. Memberikan Pelayanan Kesehatan Dasar Yang Profesional,

Komprehensif dan Berorientasi Pada Kepuasaan Pelanggan.

b. Memberikan Pelayanan Kesehatan di Sekolah di Wilayah

Puskesmas Sukadana Melalui Kegiatan Pemeriksaan, Konsultasi,

Informasi dan Edukasi.

c. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Untuk Berprilaku Hidup

Bersih dan Sehat Melalui Program Promosi Kesehatan dan

Kegiatan Posyandu Yang Rutin dan Efektif.


B. KEADAAN GEOGRAFI

Puskesmas Sukadana terletak di Desa Sutera Kecamatan

Sukadana Kabupaten Kayong Utara yang beralamat di Jl. Bhayangkara

no.31 Sukadana dengan letak geografis 1 o 08’ 00” LS -1o20’ 00” LS

(Lintang Selatan) dan 109o 52’ 24” BT -110o 09’ 48” BT (Bujur Timur).

Puskesmas Sukadana mempunyai wilayah kerja di sebagian besar

Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara, yang wilayahnya terdiri

dari tujuh (7) desa dari 10 desa yang ada di kecamatan Sukadana, Desa

tersebut diantaranya yaitu Desa Sutera, Desa Pangkalan Buton, Desa

Pampang Harapan, Desa Gunung Sembilan, Desa Benawai Agung, Desa

Harapan Mulia dan Desa Sedahan Jaya, dengan luas wilayah

1027,07km2 dan mencakup 25 dusun. Kondisi geografis berupa tanah

datar, pegunungan dan rawa dengan batas-batas wilayah sebagi berikut

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Simpang Hilir.

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Matan Hilir Utara,

Kab. Ketapang.

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Matan Hilir Utara.

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Pulau Maya.

Luas wilayah kerja Puskesmas Su2626+kadana Kecamatan

Sukadana Kabupaten Kayong Utara wilayahnya terdiri dari tujuh (7)

desa dengan luas masing-masing wilayah dapat dilihat pada tabel

sebagai berikut :

Tabel 2.1
Luas Wilayah Kerja Puskesmas Sukadana Tahun 2021
No. Desa/ Kelurahan Luas (Km2) Persentase (%)
1. Sutera 78,09 7,60

2. Pangkalan Buton 84,99 8,27

3. Pampang Harapan 79,09 7,70

4. Benawai Agung 159,19 15,50

5. Harapan Mulia 206,79 20,13

6. Gunung Sembilan 41,79 4,07

7. Sedahan Jaya 56,09 5,46

Jumlah 706,03 68,73

Secara geografis Puskesmas Sukadana mempunyai letak pada

lokasi yang strategis yaitu berada dijalur utama di Desa Sutera,

transportasi diwilayah Puskesmas Sukadana di hubungkan dengan

jalan darat, dan jalan utama desa sebagian besar sudah beraspal dan

mudah dijangkau dengan sarana transportasi tetapi masih ada juga

akses jalan menuju desa yang belum beraspal dan masih sulit

dijangkau sarana transportasi darat hal ini disebabkan jalan yang

menanjak, berliku, dan berbatu.

Gambar 2.1
Peta Wilayah Kerja Puskesmas Sukadana
Sumber : BPS Kab.Kayong Utara Tahun 2013

Keterangan :

 Desa Sutera terdiri dari lima dusun yaitu : Dusun Sukadana,

Dusun Selimau, Dusun Tanah Merah, Dusun Payak Itam, dan

Dusun Sekip.

 Desa Pangkalan Buton terdiri dari empat dusun yaitu : Dusun

Simpang Empat, Dusun Sungai Gali, Dusun Air Pauh, Dusun

Tanjung Belimbing.

 Desa Pampang Harapan terdiri dari tiga dusun yaitu : Dusun

Pampang, Dusun Pasir Mayang, Dusun Segua.

 Desa Gunung Sembilan terdiri dari tiga dusun yaitu : Dusun

Nirmala, Dusun Tambak Rawang, Dusun Sebadal.

 Desa Harapan Mulia terdiri dari tiga dusun yaitu : Dusun

Senebing, Dusun Rantau Panjang, dan Dusun Mentubang.

 Desa Benawai Agung terdiri dari tiga dusun yaitu : Dusun

Pelerang, Dusun Munting, dan Dusun Semanjak.

 Desa Sedahan Jaya terdiri dari empat dusun yaitu : Dusun

Sawah, Dusun Sidorejo, Dusun Tanjung Banjar, dan Dusun

Begasing.

C. DEMOGRAFI
Wilayah kerja Puskesmas Sukadana dibagi menjadi 25 dusun.

Jumlah penduduk dari pendataan Dinas Kependudukan Dan

Pencatatan Sipil Tahun 2020 sebanyak 23.867 jiwa (Laki-laki 12.205

Jiwa dan Perempuan 11.662 jiwa dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 2.2
Distribusi Jumlah Penduduk di Wilayah Puskesmas Sukadana
Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara Tahun 2021

Jumlah Penduduk (Jiwa)

No. Desa / Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah

(Jiwa) (Jiwa)

1. Sutera 3922 3895 7817

2. Pangkalan Buton 2626 2494 5120

3. Pampang Harapan 723 636 1359

4. Gunung Sembilan 682 680 1362

5. Benawai Agung 1330 1219 2549

6. Harapan Mulia 1705 1654 3359

7. Sedahan Jaya 1217 1084 2301

Jumlah 12.205 11.662 23.867


Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tahun 2021

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT KUSTA

2.1.1 Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh


kuman Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini
berbentuk batang yang tahan terhadap asam terutama asam alkohol
dan oleh sebab itu disebut juga Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini
bersifat kronis pada manusia, yang bisa menyerang saraf-saraf dan
kulit. Bila dibiarkan begitu saja tanpa diobati, maka akan
menyebabkan cacat-cacat jasmani yang berat.
Namun, penularan penyakit kusta ke orang lain memerlukan
waktu yang cukup lama tidak seperti penyakit menular lainnya. Masa
inkubasinya adalah 2 tahun - 5 tahun. Penyakit ini sering
menyebabkan tekanan batin pada penderita dan keluarganya, bahkan
sampai menggangu kehidupan sosial mereka.

2.1.2 Patofisiologi

Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak


lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun diCebu, 
Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun diIndia Selatan. Dua pintu
keluar dari M. Leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit
dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa
menunjukkan adanya sejumlah organisme didermis kulit.

Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan


asam di epitel deskuamosadi kulit, Weddel et al  melaporkan bahwa
mereka tidak menemukan bakteri tahan asam diepidermis. 
Dalam penelitian terbaru, Job et al  menemukan adanya sejumlah M.
Lepra yang besar dilapisan keratin superfisial kulit dipenderita kusta
lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah  pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melaluikelenjar keringat. Pentingnya
mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah
dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut
Shepard, antara 10.000hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan
bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya
bakteri disekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa
sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi
10.000.000 organisme per hari. Pintu masuk dari M. Leprae ketubuh
manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa
kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari
masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba
penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem
imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan
pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri dilubang
pernapasan.

Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan


adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya
bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat
disingkirkan. Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat
dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa
inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa
inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran  perang yang pernah
terekspos didaerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-
endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata -
rata dari kusta adalah 3 tahun - 5 tahun.

2.1.3 Etiologi Penyakit Kusta

Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae


yang berbentuk batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung
bulat, ukuran 0,3-0,5 mikron x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk
batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok.

Pada pemeriksaan langsung secara mikroskopis, tampak


bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan cerutu,
sehingga disebut packet of cigars (globi).

Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak pada pewarnaan


menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada
perbenihan buatan. Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri
kusta memerlukan waktu 12 hari - 21 hari untuk membelah diri dan
masa tunasnya rata - rata 2 tahun - 5 tahun.

2.1.4 Epidemiologi Penyakit Kusta


a) Distribusi Menurut Orang
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan
distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun, jika diamati
dalam satu Negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya
ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena factor etnik. Di
Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik
Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga
mengindikasikan hal yang sama, yaitu kejadian kusta lebih banyak
pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian
pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Insiden rate penyakit


ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 tahun - 20
tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai
dengan umur dengan puncak antara umur 30-50 tahun dan
kemudian secara perlahan - lahan menurun. Insiden maupun
prevalensi pada laki - laki lebih banyak dari pada wanita kecuali di
Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki - laki. Faktor
fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi
dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.

b) Distribusi Menurut Tempat dan Waktu


Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang
berbeda - beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985
dengan prevalensi >1/10.000 penduduk, hanya tinggal 6 negara yang
masih belum mencapai eliminasi ditahun 2005 yaitu : India, Brazil,
Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun 1985 hingga
2005 lebih dari 15 juta penderita telah sembuh. Dan 222.367 kasus
masih dalam pengobatan pada awal tahun 2006. Dari 10 negara
dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati
posisi ke- 3 setelah India dan Brazil.
Berdasarkan data kusta awal 2005 Indonesia menempati posisi
ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000 penduduk. Di
Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan
prevalensi rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit
terdapat di daerah Bengkulu dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000
jumlah penduduk. Sementara untuk Sumatera Utara prevalensinya
adalah sebesar 0,23 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan kasus
baru selama bulan Januari 2005 - Desember 2005 paling banyak
ditemukan di Jawa Timur.
c) Determinan
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak
perlu di takuti. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent, dan environment
antara lain :
1. Faktor Daya Tahan Tubuh (host)
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang
terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri
tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum
memperhitungkan pengaruh pengobatan.
2. Faktor Kuman (agent)
Kuman dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1hari - 9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan hanya kuman kusta yang
utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor Sumber Penularan (environment)
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB).
Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta apabila
berobat teratur. Penyakit ini dapat ditularkan melalui pernafasan
(droplet) dan kulit.

2.1.5 Klasifikasi Penyakit Kusta


Tujuan klasifikasi ini untuk menentukan regimen pengobatan dan
perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi
atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan
Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia
diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti klasifikasi menurut WHO
(1998) yaitu:
2.2 Tipe PB (Pausibasiler)
Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta
dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I
(Indeterminate) TT (Tuberculoid) dan BT (Boderline Tuberculoid)
menurut kriteria Ridley dan Joplin dan hanya mempunyai jumlah
lesi 1-5 pada kulit.
2.3 Tipe MB (Multi Basiler)
Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid
Boderline), BL (Boderline lepromatous) dan LL (lepromatosa)
menurut kriteria Ridley dan Joplin dengan jumlah lesi 6 atau
lebih dan skin smer positif. Menurut Madrid klasifikasi kusta
dibagi menjadi 4 yaitu : indeterminate, tuberculoid, borderline,
dan lepromatosa.

2.2 CARA PENULARAN KUSTA

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB


kepada orang lain secara langsung. Cara penularan penyakit ini
masih belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan kulit. Kusta mempunyai masa inkubasi 2 tahun - 5
tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun.
Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum
diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian telah
menunujukkan bahwa yang paling sering adalah melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa
nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila kontak dengan
penderita dalam waktu yang sangat lama.

2.3 DIAGNOSA KUSTA

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan


banyak penyakit lain. Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan
gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan
kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan
membedakannya dengan berbagai penyakit lain agar tidak membuat
kesalahan yang merugikan penderita.
Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda
kardinal (gejala utama), yaitu :

a. Bercak kulit yang mati rasa


Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total terhadap
rasa sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri.
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu gangguan fungsi
sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau
paralysis), dan gangguan fungsi otonom (kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu).
c. Ditemukan basil tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi
kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari
biopsy kulit atau saraf. Untuk menegakkan penyakit kusta, paling
sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum
dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3
bulan - 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan.
2.4 PEMERIKSAAN PENDERITA

1) Anamnesis
a. Keluhan penderita
b. Riwayat kontak dengan penderita
c. Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomis.
2) Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan
juga kerusakan kulit.
3) Palpasi
a. Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus,
khususnya paa tangan dan kaki.
b. Kelainana saraf : Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan
teliti : N.aurikularimagnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas
harus mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf.
Harus diperhatikan raut wajah si penderita, apakah kesakitan
atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus
sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan
sampai menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik.

Cara pemeriksaan saraf :

 Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan.


 Membesar atau tidak
 Bentuk bulat atau oval
 Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots
 Perabaan keras atau kenyal
 Nyeri atau tidak

Untuk mendapat kesan saraf mana yang masih normal, diperlukan


pengalaman yang banyak.

Cara pemeriksaan saraf tepi :

1. N. aurikularis magnus : Pasien disuruh menoleh ke samping


semaksimal mungkin, maka saraf yang terlihat akan terdorong
oleh otot dibawahnya sehingga sudah dapat terlihat bila
membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di atas persilangan
jalannya saraf tersebut dengan arah otot, perabaan secara
seksama akan menentukan jaringan seperti kabel atau kawat,
bila ada penebalan. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan
kanan.

2. N. ulnaris : Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi


dan sebaiknya diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan
pemeriksa yang lain meraba lekukan dibawah siku (sulkus nervi
ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu
dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya
perbedaan atau tidak.
3. N. peroneus lateralis : Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki
menggantung kemudian diraba di sebelah lateral dari capitulum
fibulae biasanya sedikit ada ke posterior. Bila saraf yang dicari
tersentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti
terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.
Pada keadaan neuritis akut, sedikit sentuhan sudah
memberikan rasa nyeri yang hebat.

4) Tes fungsi saraf

a. Tes sensoris
 Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang
dilancipkan dipakai untuk memeriksa perasaan dengan
menyinggung kulit. Yang diperiksa harus duduk pada waktu
pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa
bila mana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan
kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan
jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka.
Tanda-tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang
dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa
sensibilitas kulit yang tersangka diserang kusta. Bercak-
bercak di kulit harus diperiksa ditengahnya dan jangan
dipinggirnya.
 Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas
menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan
pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus
mengatakan tusukan mana yang tumpul.
 Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung
reaksi, yang satu berisi air panas(sebaiknya 40 C) yang
lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20 C). kenudian mata
penderita ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu
bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah
kulit yang dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa
pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan
bahwa sensasi suhu didaerah tersebut terganggu.
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula
anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat
dilengkapi dengan test anhidrosis.

b. Tes motoris : Voluntary muscle test (VMT)

5 Komplikasi : dicari komplikasi

a. Pada mata, hidung, laring dan testis

b. Reaksi : nyeri saraf, eritema nodosum leprosum, iridosiklitis,


tenosinovitis.

c. Kerusakan saraf sensoris

d. Kerusakan saraf motoris

e. Kerusakan saraf otonom

5) Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) berguna
untuk :

a. Membantu menentukan diagnosis penyakit

b. Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta.

c. Membantu menilai hasil pengobatan.

Ketentuan untuk lokasi sediaan :

a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut.

b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali


tidak ditemukan kelainan kulit ditempat lain.

c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit


yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru
timbul.

d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan


hapus dilakukan oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk
menjaga pengaruh gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan
bakterioskopik.

e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi


pemeriksaan M.leprae adalah : cuping telinga, lengan,
punggung, bokong, dan paha.

f. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus


minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu : cuping telinga
kiri, cuping telinga kanan, dan bercak yang paling aktif.

h. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan


karena : tidak menyenangkan bagi penderita, positif palsu
karena mikrobakterium lain, tidak pernah ditemukan M.leprae
pada selaput lender hidung apabila sediaan hapus kulit negatif,
pada pengobatan pemeriksaan bakterioskopis selaput lender
hidung negatif lebih dahulu daripada di kulit.

i. Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit :


semua orang yang dicurigai menderita kusta, semua penderita
baru yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita kusta,
semua penderita kusta yang diduga kambuh (relaps) atau
karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan
semua penderita MB setahun sekali.

2.5 PENCEGAHAN PENYAKIT

Mengingat dimasyarakat masih banyak yang belum memahami


tentang penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi
pelaksanaan program pemberantasan kusta termasuk dalam
mengikut sertakan peran serta masyarakat, maka diperlukan upaya-
upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi, insidens dan
kecacatan penderita kusta.
Upaya - upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa
tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan
primer, sekunder, dan pencegahan tersier.
2.5.1 Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah
orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya
pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan
khusus.
Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan
pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal hygiene,
pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan
kebersihan lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-
orang yang mempunyai resiko untuk terkena suatu penyakit,
misalnya pemberian immunisasi.
2.5.2 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia
untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan
pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik.
Pencegahan sekunder mencakup kegiatan - kegiatan seperti dengan
tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta
penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama
kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan
orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko
tinggi untuk mengembangkan penyakit.

2.5.3 Pencegahan Tersier


Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak
mampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat
tiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh,
membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-
pusat rehabilitasi medik.

2.6 PENCEGAHAN KECACATAN


M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia.
Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi, maka akan terjadi
gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik, dan otonom. Menurut
WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah :

a) Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi


yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik.

b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat


impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan
yang normal bagi manusia.

c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment


dan disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas
normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.

Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan


langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat
respons jaringan terhadap M.leprae. yang termasuk cacat primer
adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan
cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi.
 Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
 Pengobatan secara teratur dan adekuat
 Deteksi dini adanya reaksi kusta
 Penatalaksanaan reaksi kusta
2. Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat
primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf.
 Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
 Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
 Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
 Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau
mengalami kelumpuhan otot. Anastesi akan memudahkan
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat
mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.

Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu :

a) Cacat pada tangan dan kaki :


Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
b) Cacat pada mata :
Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu
 Rehabilitasi
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik,
rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis
yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan
jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna
kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat
diperbaiki. Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan
pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi
dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan
terapi psikologik (kejiwaan).

2.7 PENEMUAN DAN PENGOBATAN KUSTA

2.7.1 Penemuan Penderita

Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan


penderita secara dini sangat penting untuk mencegah penularan dan
timbulnya cacat pada penderita. Cara penemuan penderita kusta
ada 2 (dua) yaitu :
a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)
Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang
belum pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang
lain ke sarana kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan
kesadaran penderita itu sendiri untuk mendapatkan pengobatan.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang
berobat ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :
o Tidak mengerti tanda dini kusta
o Malu datang ke Puskesmas
o Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di
Puskesmas
o Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya
terlalu jauh.
o Penemuan secara aktif

Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif


adalah :

b. Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)


Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga
yang tinggal serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan
minimal 1 tahun sekali, terutama ditujukan pada kontak tipe MB.
c. Pemeriksaan anak sekolah
Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar
dan Taman Kanak - kanak cukup banyak. Ini untuk
mengantisipasi kemungkinan adanya penderita kusta pada anak
dan mencegah terjadinya penularan di lingkungan sekolah.

d. Chase Survey
Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat
untuk mengetahui tanda - tanda kusta dini secara benar.
e. Survei Khusus
Survei ini dilakukan apabila suatu daerah dimana proporsi
penderita MB minimal 60% dan dijumpai penderita pada usia
muda cukup tinggi sesuai dengan perencanaan dan petunjuk dari
Depkes yang sudah diadakan “Set Up” secara statistik oleh ahli
statistik dari WHO.tahun 2000.
2.7.2 Alat dan Bahan
 Alat

1. Ose/Sengkelit

2. Kaca Objek.

3. Lampu Spritus.

4. Pinset.
5. Rak Pewarna.

6. Mikroskop.

7. Pewarna Ziehl neelsen.

 BAHAN BTA untuk Kusta.

a. Reitz Serum Penderita.


2.7.3 Langkah Kerja

a. Cara Pembuatan Sediaan Apusan ReitZ Serum.

1. Kaca objek di beri kode/ nomor pada sisi kanan objek.

2. Mengambil sedikit sampel denga menggunakan jatum ose.

3. Meratakan diatas kaca objek dengan ukuran 2x3 cm apusan Reitz

serum jangan terlalu tipis. Mengeringkan apusan tersebut sampai

benar-benar kering.

4. Meratakan/fiksasi dengan cara melakukannya di atas nyala api

dengan cepat sebanayak 3x, sediaan siap diwarnai.

b. Cara Pewarnaan.
1. Meletakan sedia pewarnaan, kemudian menuangkan larutan

Ziehl Neelsen sampai menutupi seluruh bagian.

2. Memanasi sediaan secara hati-hati diatas nyala api sampai

keluar uap, tetapi jangan sampai mendidih. Membiarkan

menjadi dingin selama 5 menit.

3. Mencuci dengan air yang mengalir.

4. Menuangkan dengan asam alkohol 3% sampai warna merah

dari fuchsin hilang. Menunggu sampai 2 menit.


5. Mencuci dengan air mengalir.

6. Menuangkan dnegan methylin blue 0,1% dengan tunggu 10-20

detik.

7. Mencuci dengan air yang mengalir.

8. Mengeringkannya sampai benar-benar kering.


c. Cara pembacaan.

1. Sediaan yang sudah diwarnai dan sudah kering di periksa

dibawah mikroskop.

2. Meneteskan satu tetes minyak emersi di atas sediaan dan

memeriksa dengan perbesaran objektif 100x dengan okuler 10x.

3. Memeriksa sediaan dengan memperlihatkan jumlah kuman

paling sedikit 100/LP di hitung dari kiri sampai kanan.

d. Pembacaan hasil pemeriksaan di lakukan secara sistematik,

dengan hasil pembacaan :

1. Tidak ditemukan BTA/100 LP : negatif

2. 1-10 BTA/100 LP, di tulis : 1+

3. 1-10 BTA/10 LP, di tulis : 2+

4. 1-10 BTA/1 LP, ditulis : 3+

5. 10-100 BTA/1 LP, di tulis : 4+

6. 100-1000 BTA/1 LP, di tulis : 5+

A. Hasil Pengamatan.
B. Pembahasan.
Pemeriksaan BTA untuk Kusta dengan menggunakan cara
pembuatan sediaan apusan Reitz Serum langsung, metode
pewarnaan, cara pembacaan dengan menggunakan alat mikroskop
dengan perbesaran objektif 100x dengan okuler 10x, sehingga di
peroleh hasil.

2.8 PENGOBATAN KUSTA

2.8.1 Program MDT


Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok
Studim Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi
pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya
dikenal dengan rejimen MDTWHO.( 2001) Rejimen ini terdiri atas
kombinasi obat-obat dapson, rifamfisin, dan klofasimin. Selain
untuk mengatasi resistensi adapson yang semakin meningkat,
penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi
ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop-
out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Di
samping itu juga diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi
persistensi kuman dalam jaringan.
2.8.2 obat Kusta Baru
Dalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa
masalah yang timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin,
dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk
penderita kusta PB, rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan
beberapa masalah, antara lain : masih menetapnya lesi kulit setelah
6 bulan pengobatan. Jika seorang penderita mempunyai resistensi
ganda terhadap dapson dan rifampisin bersama-sama, tentunya hal
ini akan membahayakan.
Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme
bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-
WHO saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi
syarat antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae,
tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan
akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan
sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang
sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin, dan
klaritromisin.

2.9 PROGRAM PEMBERANTAS KUSTA

Untuk mencapai tujuan nasional eliminasi kusta pada tahun


2005, Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan program
pemberantasan kusta adalah dengan memutuskan rantai penularan
untuk menurunkan insidens penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita dan mencegah timbulnya cacat.
2.9.1 Tujuan Program Jangka Panjang

a) Penemuan penderita sedini mungkin sehingga proporsi cacat


tingkat 2 (dua) di antara penderita baru dapat ditekan serendah
mungkin.

b) Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar bagi


penderita terdaftar dan penderita baru.

c) Tercapainya 100% selesai pengobatan untuk PB dalam jangka


waktu 9 bulan dan untuk MB 18 bulan dengan melakukan case
holding yang ketat dan cermat.

d) Pembinaan pengobatan, agar penderita yang di MDT akan selesai


pengobatannya dalam batas waktu 9 bulan. Dan semua
penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam
batas waktu 18 bulan sesuai Surat Edaran Direktorat
Pemberantasan Penyakit Menular langsung Departemen
Kesehatan RI Nomor : KS.00.02.4.171

e) Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga


tidak akan terjadi cacat baru.

f) Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit


kusta, agar masyarakat memahami kusta yang sebenarnya dan
mengurangi leprophobia.

g) Pengawasan sesudah RFT (Release From Treatment) dengan


memberikan motivasi kepada semua penderita agar datang
memeriksakan dirinya setiap tahun setelah selesai masa
pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk
tipe MB.

h) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan


ketentuan yang telah ditetapkan dalam memenuhi kebutuhan
program.

2.9.2 Tujuan Program Jangka Pendek

Tujuan program kusta adalah menurunkan angka kesakitan


penyakit kusta menjadi kurang dari 1/10.000 penduduk secara
nasional pada tahun 2005, sehingga tidak lagi jadi masalah
kesehatan masyarakat.

2.9.3 Kebijaksanaan
a. Pelaksanaan program kusta diintegrasikan dalam kegiatan
puskesmas.
b. Penderita kusta tidak boleh diisolasi
c. Pengobatan kusta dengan MDT sesuai dengan rekomendasi WHO
diberikan secara gratis.

2.10 KONSEP PERILAKU


Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organism (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari
sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh -
tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena
mereka mempunyai aktivitas masing-masing.

Dan yang dimaksud dengan perilaku pada hakikatnya adalah


tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan,
menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari
uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

2.11 PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN

2.11.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan manusia banyak digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari, terutama pengetahuan umum yang sangat bermanfaat
untuk keperluan manusia sehari-hari. Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
2.11.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan seharihari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku.
Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan
reaksi terbuka atau tingkahlaku yang terbuka. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
2.11.3 Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan.
Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor
fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak-pihak
lain.
Selanjutnya tingkat-tingkat tindakan secara teoritis adalah :

1. Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek


sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah
merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (guided respons), dalam melakukan sesuatu


sesuai dengan urutan yang benar, sesuai dengan contoh adalah
merupakan praktik indicator tingkat dua.

3. Mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan


sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat
ketiga.

4. Adaptasi (adaptation), merupakan suatu tindakan yang sudah


berkembang baik, artinya tindakan ini sudah dimodifikasinya
tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Pengukuran
perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari, atau beberapa bulan yang lalu (recall).
Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan
mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
2.12 PERILAKU KESEHATAN

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang


(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.
Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan,
persepsi dan sikap) maupun bersifat aktif/tindakan yang nyata
(practice). Dengan demikian secara lebih terperinci perilaku kesehatan
itu meliputi :

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana


manusia merespon, baik secara pasif maupun aktif yang dilakukan
sehubungan dengan penyakit, dengan sendirinya sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit.

 Perilaku sehubungan de peningkatan dan pemeliharaan kesehatan


(health promotion behavior)

 Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)

 Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeling


behavior)

 Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior)

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

3. Perilaku terhadap makanan

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health


behavior).

Seorang petugas kesehatan berperilaku tertentu dalam


mewujudkan keaktifannya disebabkan karena adanya dorongan yang
menggerakkan hatinya agar berbuat sesuatu. Pada setiap petugas
kesehatan motif dapat berbeda tergantung dengan latar belakang
pendidikan, pengalaman, kebutuhan dan sengan bagainya.

BAB IV
PENJARINGAN PENDERITA BARU
Dalam melakukan penjaringan penderita baru, metode yang dapat

dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :

A. RVS (RAPID VILLAGE SURVEY)

RVS (Rapid Village Survey) adalah pelaksanaan kegiatan, untuk

menemukan penderita baru kusta secara aktif dan cepat dalam lingkup

yang lebih kecil (desa) yang melibatkan partisipasi masyarakat dan

lintas sektor (kader,kadus,ketua RT, dll). Kegiatan ini dilakukan dengan

cara mengumpulkan warga desa yang memiliki penyakit kulit

berdasarkan dari bantuan kader, kepala dusun, ketua RT yang

membantu untuk menemukan dan mengumpulkan warga yang memiliki

gejala untuk berkumpul disatu tempat agar dapat diperiksa oleh

petugas terlatih dari Klinik Asri dan Puskesmas Sukadana. Warga yang

memiliki gejala kusta (suspect) dengan tanda bercak yang mati rasa,

nyeri syaraf akan diambil sampel serum telinga oleh petugas

laboratorium Puskesmas Sukadana. Warga yang dinyatakan positif

kusta diberikan pengobatan kusta dan diberikan KIE tentang kusta.

Kelemahan dari kegiatan ini adalah tidak dapatnya terjaring seluruh

warga yang memiliki gejala, kelebihan dari kegiatan ini adalah dapat

menghemat waktu kerja dan biaya.

1. ICF ( Intensive Case Finding)

Kegiatan ICF (Intensive cases Finding)kusta sama halnya dengan

kegiatan pencarian bercak dengan metode RVS, pembedaannya

adalah kegiatan ICF adalah kegiatan menjaring penderita kusta

dengan menggunakan kartu bercak yang disebarkan disetiap rumah


atau kepala keluarga dengan bantuan kader yang sudah diberikan

edukasi.

Gambar Kartu Bercak


Diisi :Nama anggota Jumlah anggota keluarga
keluarga yang yang tidak memiliki bercak
memiliki bercak,
serta letak bercak
yang ada ditubuh
Jumlah anggota keluarga
yang memiliki bercak

Adapun kelebihan dari kegiatan ini lebih mencapai sasaran


karena setiap rumah dapat terdata dengan baik dan jelas yang
memiliki gejala kusta untuk dapat dlaporkan ke petugas kesehatan
dan dilakukan pemeriksaan. Kekurangan dari kegiatan ini adalah
memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan kegiatan ini dan
memerlukan biaya yang besar.

Dokumentasi kegiatan :

B. KONTAK SERUMAH PENDERITA KUSTA


Kontak serumah penderita kusta adalah kegiatan memutuskan

rantai penularan kusta dengan cara pencarian penderita kusta baru

dengan melakukan pemeriksaan terhadap anggota keluarga yang

memiliki kontak erat terhadap penderita, sehingga dapat ditemukan

penderita kusta baru sejak dini sebelum terjadi kecacatan.

Dokumentasi Kegiatan :

2. KONTAK SEKOLAH ANAK PENDERITA KUSTA


Kontak sekolah penderita kusta di khususkan untuk penderita
kusta yang masih bersekolah, sehingga dengan adanya kegiatan ini
dapat memutuskan rantai penularan kusta dikalangan teman
sepermainan atau teman disekolah yang memiliki kontak erat
terhadap penderita, sehingga dapat ditemukan penderita kusta baru
sejak dini sebelum terjadi kecacatan.
Dokumentasi Kegiatan :

3. PEMBERIAN, PENGAWASAN PENGOBATAN PENDERITA KUSTA


Penyakit kusta memiliki 2 tipeyaitu; tipe MB (Multi Basiler) dengan

pengobatan program kusta MDT selama 12 bulan, dan tipe PB (Pausi

Basiler) dengan pengobatan program kusta MDT selama 6 bulan.

Dengan pengobatan program yang lama, sehingga memungkinkan

untuk penderita jenuh, maka perlu dilakukan pemantauan dan

pengawasan pengobatan untuk mencegah putusnya berobat (default)

Dokumentasi Kegiatan :

4. PENGAWASAN REAKSI KUSTA

Pasien kusta biasanya mengalami suatu episode inflamasi yang

disebut reaksi kusta. Reaksi kusta merupakan reaksi imunologi yang

merupakan aspek penting pada penderita kusta di mana secara

bermakna berdampak pada perjalanan penyakit dan berhubungan

dengan disabilitas.

(http://www.cdkjournal.com)

Reaksi kusta dapat menyerang kulit, saraf, membran mukosa, dan

organ lainnya. Penanganan reaksi kusta yang tidak tepat dan tidak

adekuat dapat menyebabkan kecacatan, baik deformitas maupun

disabilitas. Reaksi ini dapat terjadi pada semua tipe kusta kecuali kusta

tipe indeterminate.(http://dokterpost.com)
Dokumentasi Kegiatan :
BAB V
HASIL KEGIATAN ICF
(Intensive Cases Finding)

2. METODE KEGIATAN ICF TAHUN 2021


(Intensive Cases Finding)

Kegiatan ICF (Intensive Cases Finding) adalah kegiatan pemeriksaan

bercak terhadap masyarakat berdasarkan dari hasil pengolahan data

dengan menggunakan kartu bercak. Kegiatan ini dilaksanakan di 7 desa

wilayah kerja Puskesmas Sukadana dengan sasaran masyarakat yang

memiliki penyakit kulit

Kegiatan ini melibatkan kerjasama dengan Klinik Asri, kader dan

kepala dusun yang bertugas untuk melakukan pendataan setiap kepala

keluarga diwilayah tersebut dengan menggunakan kartu bercak. Di

setiap anggota kepala keluarga yang memiliki bercak akan diisi jumlah

anggota dan nama anggota yang memiliki bercak dikartu bercak.

Hasil dari pendataan kader tersebut, dilakukan pengolahan data oleh

pemegang program kusta dengan cara memisahkan nama kepala

keluarga yang memiliki bercak, kemudian mendatangi rumahnya untuk

dilakukan pemeriksaan kulit terhadap anggota keluarga yang memiliki

bercak. Jika ada didapatkan anggota keluarga yang didiagnosa kusta

maka akan diberikan pengobatan program kusta.


1. HASIL DARI KEGIATAN ICF (Intensive cases Finding) TAHUN 2021

Berdasarkan hasil dari kegiatan ICF (Intensive cases Finding) di wilayah kerja Puskesmas Sukadana adalah sebagai

berikut :

JUMLAH JUMLAH
YANG HASIL
NO. NAMA DESA NAMA RT YANG MENDAPAT
DIPERIKSA PEMERIKSAAN
KARTU BERCAK
BERCAK
KK JIWA KK JIWA NEGATIF POSITIF
1 Sutera 142 553 142 553 553 0

2 Pangkalan Buton 83 297 83 297 296 1

3 Gunung Sembilan 45 150 45 150 150 0

4 Benawai Agung 85 315 85 315 315 0

5 Harapan Mulia 41 250 41 250 249 1

6 Sedahan Jaya 105 400 105 400 400 0

7 Pampang Harapan 95 366 95 366 366 0

JUMLAH 596 2.331 596 2.331 2.329 2


BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kegiatan pemeriksaan yang telah dilakukan di
7 Desa wilayah kerja Puskesmas Sukadana dengan total sampel
pemeriksaan dari 596 KK dilakukan pemeriksaan terhadap 2.331 jiwa
yang memiliki bercak. Dari hasil pemeriksaan tersebut ada
ditemukannya bercak kusta 2 jiwa di desa pangkalan buton dan desa
harapan mulia dan 2.329 jiwa hanya bercak biasa tinea versicolor,
urtikaria dan pioderma ( panu, biduran & koreng), hal ini dikarenakan
masih adanya rasa gatal dan tidak adanya penebalan kulit.

B. SARAN

1. Masih banyak masyarakat yang malu dan malas untuk datang, untuk
itu semoga diperencanaan kegiatan berikutnya dapat melakukan
pemeriksaan wajib untuk seluruh masyarakat didaerah endemis
kusta.
2. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat bahkan penderita tentang
penyakit kusta, sehingga mereka memiliki rasa tidak peduli terhadap
bercak mati rasanya dan kemampuan ototnya yang semakin
berkurang, sehingga untuk kegiatan berikutnya perlu terus untuk
memberikan sosialisasi terhadap masyarakat dan para aparat desa
tentang pengetahuan penyakit kusta.
3. Perlunya dibentuk dan dilatih kader untuk penemuan penyakit
menular agar dapat membantu petugas kesehatan dalam
menjalankan tugas dilapangan dan sebagai sumber informasi dan
pengarah masyarakat untuk memeriksakan dirinya kepetugas
kesehatan.
Lampiran :

Dokumentasi kegiatan

Anda mungkin juga menyukai