Anda di halaman 1dari 23

FAMILIAL HIPOKALEMIA PERIODIK PARALISIS

Latar Belakang

1. HipokPP tipe 1 merupakan bentuk paling sering dari periodik paralisis, dengan estimasi
prevalensi 1 per 100,000.
2. Merupakan kelainan autosomal dominan, dengan penurunan penetrasi pada wanita (rasio
pria-wanita sebesar 3:1 atau 4:1).
3. Bersifat heterogen secara genetik.

Patofisiologi

1. Sebagian besar kasus hipoKPP familial tipe 1 disebabkan oleh mutasi [ada gen sub-unit
otot skeletal VGCC α-1 (CACNA1S).
2. Mutasi pada SCN4A menyebabkan hipoKPP tipe 2 yang lebih jarang terjadi.

Prognosis

Frekuensi serangan umumnya menurun setelah usia 30 tahun, dan beberapa pasien menjadi
bebas serangan pada usia 40-an atau 50-an.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Onset gejala umumnya pada dua dekade awal ketika pasien menyadari terbentuknya
kelemahan episodik.
2. Sebagian besar pasien mengamati beberapa bentuk kegiatan atau olahraga berat yang
tidak biasa diikuti dengan istirahat atau tidur biasanya mendahului serangan.
3. Faktor pemberat lainnya antara lain makanan yang kaya akan karbohidrat dan natrium,
konsumsi alkohol, paparan suhu dingin, dan stres emosional. Serangan kelemahan dapat
terjadi kapan pun, meskipun jam-jam awal di pagi hari tampak memiliki kecenderungan
yang berkaitan dengan kelemahan.
4. Beratnya serangan dapat berkisar dari kelemahan ringan dari kelompok otot tertentu
hingga paralisis generalisata berat.
5. Frekuensi dari serangan kelemahan ini juga sangat bervariasi, dan dapat terjadi beberapa
kali dalam seminggu atau satu kali dalam setahun.
Gambaran Laboratorium

1. Serangan kelemahan berhubungan dengan penurunan kadar potassium serum di bawah


3.0 mEg/L. Penyebab sekunder dari periodik paralisis hipokalemia perlu disingkirkan.
2. Di antara serangan kelemahan, kadar potassium serum dalam batas normal.
3. Selama serangan kelemahan berat, terdapat oliguria dengan retensi natrium, potassium,
klorida, dan air pada urin.
4. Uji genetik tersedia untuk mengonfirmasi diagnosis.
5. EKG dapat menunjukkan bradikardia, gelombang T mendatar, interval PR dan QT
memanjang, dan, umumnya, gelombang U akibat hipokalemia.
6. Kadar CK serum normal atau hanya sedikit meningkat antara serangan dan meningkat
selama serangan kelemahan.
7. Uji genetik merupakan standar baku emas untuk konfirmasi diagnosis.

Histopatologi

1. Biopsi otot dapat menunjukkan vakuola intraseluler tunggal atau multipel, agregat
tubular, dan dilatasi reticulum sarkoplasma.
2. Pasien dengan mutasi CACNA1S lebih mungkin memiliki vakuola, sedangkan agregat
tubular lebih sering terlihat pada pasien dengan mutasi SCNA4.

Temuan Elektrofisiologi

1. NCS motorik dan sensorik rutin normal di antara serangan kelemahan. Akan tetapi,
penurunan pada amplitudo CMAP dapat ditemukan dengan tes olahraga panjang.
2. Selama serangan paralisis, amplitudo CMAP menurun tajam akibat in-eksitabilitas
membran otot. Amplitudo CMAP dapat pula menurun setelah olahraga singkat.
3. Pemeriksaan EMG jarum antara serangan paralisis otot umumnya tidak menunjukkan
abnormalitas.
4. Di awal serangan kelemahan, peningkatan ringan aktivitas insersi dan potensial spontan
(fibrilasi potensial dan gelombang positif tajam) dapat ditemukan. Seiring berlanjutnya
serangan paralisis, dapat ditemukan penurunan pada amplitudo dan durasi MUAP
volunteer serta penurunan keseluruhan dari jumlah MUAP yang memunculkan pola
interferensi.
Terapi

1. Tindakan pencegahan antara lain menghindari faktor-faktor provokatif (seperti,


konsumsi makanan tinggi karbohidrat, olahraga berlebihan).
2. Acetazolamide (125 sampai 1500 mg/hari) dan garam potassium (0.25 sampai 0.5
mEg/kg) dapat pula diberikan untuk profilaksis pencegahan hipokalemia dan serangan
kelemahan. Namun, acetazolamide dapat memperberat serangan kelemahan pada pasien
dengan hipoKPP tipe 2 yang diakibatkan oleh mutasi SCNA4.
3. Diklorfenamide (50 sampai 150 mg/hari) tampak minimal sama efektifnya untuk
menurunkan frekuensi dan derajat serangan dengan acetazolamide.
4. Triamterene (25 sampai 100 mg/hari) dan spironolakton (25 sampai 100 mg/hari) dapat
digunakan untuk mencegah serangan dan memperbaiki kelemahan antar-serangan ketika
acetazolamide dan diklorfenamide tidak efektif.
5. Serangan kelemahan akut diterapi dengan garam potassium oral (0.25 mEq/kg) tiap 30
menit hingga kekuatan membaik.
6. Jika kondisi pasien tidak memungkinkan pemberian potassium oral, potassium IV (bolus
potassium klorida [KCl] 0.05 sampai 0.1 mEq/kg atau 20 sampai 40 mEq/L KCl dalam
mannitol 5%) dapat diberikan.
7. Pengawasan jantung merupakan hal esensial selama terapi.

SINDROM KLEIN-LISAK-ANDERSEN ATAU ANDERSEN-TAWIL

Latar Belakang

Sindrom Klein-Lisak-Andersen, diketahui pula sebagai sindrom Andersen-Tawil, merupakan


kelainan autosomal dominan yang ditandai dengan trias periodik paralisis, disritmia
ventrikuler, dan gambaran dismorfik.

Patofisiologi

Mutasi pada gen kanal potassium (KCNJ2) yang terletak pada kromosom 17q23 didapatkan
pada beberapa individu yang terkena.

Prognosis

Beberapa pasien mengalami kelemahan prokdimal ringan menetap. Disritmia kardiak yang
mengancam nyawa dapat pula terjadi.
Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Bentuk periodik paralisis ini dapat berhubungan dengan hipokalemia, normal kalemia,
atau hiperkalemia.
2. Kardiopati berkisar dari interval QT panjang asimptomatis hingga takiaritmia ventrikuler
yang berpotensi fatal.
3. Gambaran dismorfik mayor meliputi perawakan pendek, skafosefali, hipertelorisme,
letak telinga rendah (low-set ears), hidung lebar, mikrognatia, palatum arkus tinggi,
klinodaktili dan jari-jari pendek, sindaktili, dan scoliosis.
4. Episode kelemahan dan aritmia kardiak periodik dapat muncul di awal masa kanak-
kanak.
5. Tidak terdapat tanda-tanda myotonia atau paramyotonia.

Gambaran Laboratorium

1. Kadar CK serum normal atau sedikit meningkat (kurang dari 5 kali normal).
2. Kadar potassium serum dapat normal, meningkat, atau menurun selama serangan
kelemahan.
3. Interval QT memanjang didapatkan pada 80% pasien, sedangkan memiliki takiaritmia
ventrikel yang lebih nyata.
4. Uji genetik dapat dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis.

Histopatologi

Biopsi otot sering menunjukkan agregat tubular yang sama dengan yang ditemukan pada
bentuk lain periodik paralisis.

Temuan Elektrofisiologis

1. NCS motorik dan sensorik normal.


2. Sama halnya, EMG normal inter-iktal. Yang menjadi hal penting, tidak terdapat
bangkitan myotonik.

Terapi

1. Penemuan dini abnormalitas konduksi jantung potensial merupakan hal penting sebab hal
tersebut dapat diterapi dengan obat-obat anti aritmia atau pemasangan pacu
jantung/defibrilator.
2. Acetazolamide (125 sampai 1,500 mg/hari) dapat mencegah serangan paralisis pada
beberapa pasien.
3. Obat-obatan yang memperpanjang QT perlu dihindari atau digunakan dengan sangat
berhati-hati.

HIPERTERMIA MALIGNA

Latar Belakang

1. Angka kejadian hipertermia maligna (MH) pada pasien yang terpapat anestesi umum
berkisar dari 0.5% hingga 0.0005%.
2. Setidaknya 50% pasien dengan MH pernah mendapat anestesi tanpa memunculkan gejala
gangguan secara klinis.

Patofisiologi

Pasien dan anggota keluarga perlu diberitahu mengenai peningkatan risiko episode MH
lanjutan dengan anestesi.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. MH merupakan kelainan autosomal dominan yang ditandai dengan kekakuan otot berat,
myoglobinuria, demam, takikardia, sianosis, dan aritmia jantung yang dipicu oleh
relaksan otot (seperti, suksinilkolin) dan obat anestesi inhalasi (seperti, halothane).
2. MH umumnya terjadi saat operasi, namun dapat muncul pada periode pasca operasi.
Jarang terjadi, serangan MH terjadi setelah olahraga, konsumsi kafein, atau stres.

Gambaran Laboratorium

1. Pasien yang berisiko mengalami MH sebaliknya tidak diberi obat anestesi yang diketahui
sebagai pemicu.
2. MH merupakan kegawatan medis yang membutuhkan beberapa tahap terapi.
a. Obat anestesi perlu dihentikan sambil tetap memberikan oksigen 100%.
b. Dantrolene 2 sampai 3 mg/kg tiap 5 menit hingga total 10 mg/kg perlu diberikan.
c. Lambung, kandung kemih, dan saluran gastrointestinal bawah dibilas dengan larutan
saline dingin, dan pakaikan selimut pendingin.
d. Asidosis dan hiperkalemia diterapi dengan natrium bikarbonat, hiperventilasi,
dekstrosa, insulin, dan terkadang kalsium klorida.
e. Produksi urin perlu dipertahankan dengan hidrasi, furosemide, atau mannitol.
f. Pasien perlu dimonitor dan diterapi untuk aritmia jantung.

MYOPATI KONGENITAL

Latar Belakang

Istilah “myopati kongenital” mengacu pada gangguan myopati yang muncul seringnya,
namun tidak hanya, saat lahir (Tabel 9-4).

Tabel 9-4. Myopati Kongenital

Penyakit Sifat herediter Protein (Gen)

Myopati pusat sentral AD (jarang AR) Reseptor ryanodine (RYR1)


AR Gen myosin rantai berat 7 otot slow/b jantung
(MYH7)
AD α-Actin 1 (ACTA1)
AR Titin (TTN)
AD Coiled-coil domain-containing 78
(CCDC78)
Myopati multiminipusat AR Selenoprotein N1/(SEPN1)
AD/AR Reseptor ryanodine (RYR1)
AR Titin (TTN)
AD Gen myosin rantai berat 7 otot slow/b jantung
(MYH7)
AR Protein domain 10 faktor pertumbuhan
epidermal multipel (MEGF10)
Myopati core-rod AD/AR α-Actin 1 (ACTA1)
AR Nebulin (NEB)
AD Kelch repeat dan BTB/ (KBTBD13)
Myopati nemaline rod AR Nebulin (NEB)
AD/AR α-Actin 1 (ACTA1)
AD/AR α-Tropomyosin (TMP3)
AD/AR β-Tropomyosin (TPM2)
AR Troponin T lambat (TNNT1)
AR Cofilin-2 (CFL2)
AD Kelch repeat dan BTP domain 13 (KBTKT13)
AR Gen anggota famili Kelch-like 40 dan 41
(KLHL40 dan KLHL41)
Myopati sentronuklear/myotubular X-linked Myotubularin (MTM1)
AD Dynamin 2 (DYN2)
AR Reseptor ryanodine (RYR1)
AR Amphiphysin 2 (BIN2)
AR Titin (TTN)
Disproporsi tipe-fiber kongenital AD α-Tropomyosin (TMP3)
AD Reseptor ryanodine (RYR1)
AR Jarang disebabkan oleh mutasi pada ACTA1,
SEPN1, MYL2, TPM2, dan MHC7
Reduksi badan myopati X-linked Four-and-a half LIM (FHL1)
AR Desmin (DES)
Myopati sidik jari tubuh Tidak diketahui Tidak diketahui
Myopati sarkotubular (alel terhadap AR Protein mengandung-motif tripartite
LGMD 2H) 32/(TRIM 32)
Myopati trilaminar Tidak diketahui Tidak diketahui
Myopati badan hyalin/myopati familial AD Gen myosin rantai berat 7 otot slow/b jantung
dengan lisis myofibril/myopati (MYH7)
penyimpanan myosin
Myopati penyimpanan myosin/H-IBM 3 AD Myosin rantai berat tipe IIa (MYH2)
Cap myopathy AD β-Tropomyosin (TPM2)
AD α-Tropomyosin (TMP3)
AD α-Actin 1 (ACTA1)
Myopati zebra body AR α-Actin 1 (ACTA1)
Myopati agregat tubular AD Molekul interaksi struma 1 (STIM1)
AD Orai1 (ORAI1)
AR UDP-N-acetylglucosamine-dolisilfosfat N-
asetylglucosaminephosphotransferase
1 (DPAGT1)
AR Glutamin-fruktosa-6-fosfat transaminase 1
(GFPT1)
AD, autosomal dominan; AR, autosomal resesif

Patofisiologi

Sejumlah mutasi telah diidentifikasi untuk bentuk-bentuk tertentu myopati kongenital.


Prognosis

Myopati kongenital awalnya dianggap non progresif, meskipun saat ini telah jelas bahwa
kelemahan progresif dapat terjadi. Beberapa bentuk khususnya berhubungan dengan
prognosis buruk dan kematian pada bayi atau awal masa anak-anak (seperti, myopati
myotubular X-linked, myopati nemaline rod onset-bayi). Beberapa “myopati kongenital”
muncul pada waktu dewasa, bahkan dewasa akhir (mutasi reseptor ryanodine onset-lama).

Diagnosis

1. Myopati kongenital dapat diturunkan secara autosomal dominan, autosomal resesif, atau
X-linked.
2. Kadar CK serum dapat normal atau hanya sedikit meningkat.
3. NCS normal. EMG menunjukkan peningkatan instabilitas membran otot dan unit motor
myopati pada myotubulas/sentronuklear dan terkadang myopati nemaline dan pusat
sentral.
4. Diagnosis definitif myopati kongenital umumnya membutuhkan biopsi otot.
5. Uji genetik telah tersedia dan merupakan standar baku emas untuk diagnosis sebagian
besar bentuk kelainan.

Terapi

1. Tidak terdapat terapi obat yang tersedia yang dapat memperbaiki kekuatan atau
memperlambat perburukan.
2. Terapi sebagian besar bersifat suportif seperti yang dibahas pada distrofi muscular.
3. Terapi fisik dan okupasi penting untuk mengurangi kontraktur dan memperbaiki
mobilitas dan fungsi.
4. Pasien dapat mendapat manfaat dari bracing atau alat-alat ortotik lainnya.
5. Penting untuk mengedukasi pasien dan keluarga mengenai risiko MH di pusat sentral dan
myopati multipusat.

PENYAKIT POMPE

Latar Belakang
1. Penyakit Pompe (defisiensi asam maltase) merupakan kelainan autosomal resesif yang
disebabkan oleh defek pada jalur lisosom asam maltase (α-glukosidase).
2. Terdapat tiga subtipe klinis penyakit Pompe yang diketahui:
a. Bentuk klasik, atau infantil berat.
b. Bentuk infantil ringan
c. Varian onset lama (anak-anak atau remaja)
3. Angka kejadian kurang dari 1 per 100,000 bayi baru lahir.

Patofisiologi

Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pengkode asam maltase (α-glukosidase) pada kromosom
17q21-23.

Prognosis

Pompe infantil klasik bersifat progresif dan cederung fatal pada usia 2 tahun akibat kegagalan
kardiorespirasi. Pasien onset-infantil yang lebih jarang terjadi memiliki perjalanan prograsif
yang lebih lambat, namun proses ini masih bersifat fatal. Harapan hidup lebih rendah pada
pasien onset-lama akibat gagal napas.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Penyakit Pompe infantil


a. Gambaran cardinal penyakit antara lain kardiomegali berat, macroglossia, dan
hepatomegaly sedang hingga berat.
b. Bayi menunjukkan kelemahan progresif dan hypotonia dalam 3 bulan pertama
kehidupan. Kesulitan makan dan kelemahan otot pernapasan sering ditemukan.
2. Bentuk onset-lama dapat muncul kapan saja selama masa anak-anak hingga akhir masa
dewasa. Usia umum munculnya onset gejala adalah pada dekade ketiga atau keempat
dengan kelemahan generalisata proksimal lebih berat dibanding distal dan kelemahan
otot pernapasan. Beberapa pasien hanya memunculkan kelemahan otot napas (misal,
dyspneu).

Gambaran Laboratorium

1. Defisiensi aktivitas α-glukosidase dapat ditunjukkan pada serat otot, fibroblast, monosit,
dan urine. Cara tercepat dan barangkali termudah untuk skrining untuk penyakit Pompe
adalah untuk menilai aktivitas α-glukosidase pada titik darah kering (dried blood spot).
Uji titik darah kering tidak perlu dilakukan di laboratorium Anda. Darah dapat dikirim ke
laboratorium khusus yang dapat melakukan uji titik darah kering.
2. Uji genetik tersedia untuk mencari mutasi pada gen α-glukosidase. Beberapa
laboratorium bahkan dapat melakukan tes ini pada darah residual yang dikirim untuk
analisis titik darah kering.
3. Kadar CK serum meningkat dalam derajat yang berbeda pada penyakit Pompe infantil
namun dapat normal pada Pompe onset-dewasa.
4. EKG dapat menunjukkan deviasi aksis kiri, interval PR pendek, kompleks QRS besar,
gelombang T terbalik, depresi ST, atau sinus takikardia persisten.
5. Ekokardiogram dapat menunjukkan kardiomiopati hipertrofi progresif.
6. Tes fungsi paru dapat menunjukkan defek restriktif dengan penurunan FVC, penurunan
tekanan inspirasi dan ekspirasi maksimal, dan kelelahan diafragma dini.

Temuan Elektrofisiologi

1. Konduksi saraf sensorik dan motorik umumnya normal.


2. EMG jarum menunjukkan potensial fibrilasi yang banyak, gelombang positif tajam, dan
potensial myotonik atau pseudomyotonik. MUAP volunteer menunjukkan perubahan
tipikal yang ditemukan pada gangguan myopati kronis.

Histopatologi

1. Gambaran mikroskop cahaya yang khas adalah pembentukan vakuola dalam serat tipe 1
dan tipe 2.
2. Vakuola bereaksi kuat terhadap periodic acid-Schiff (PAS) dan sensitif terhadap diastase.
Vakuola ini juga diwarnai kuat dengan asam fosfatase, mengonfirmasi bahwa vakuola
yang terisi dengan glikogen adalah lisosom sekunder.
3. Akan tetapi, biopsi otot pada penyakit Pompe onset-lambat dapat tidak menunjukkan
vakuola positif-PAS dan dapat hanya menunjukkan gambaran myopati non spesifik.
Selain itu, terkadang biopsi tampal lebih neurogenic (akibat akumulasi glikogen di sel
tanduk anterior) dan bahkan dapat tampak normal.
4. Aktivitas α-glukosidase dan kandungan glikogen dapat diukur dari potongan beku
jaringan biopsi otot.

Terapi
1. Terapi pengganti enzim (enzyme replacement therapy atau ERT) dengan alfa
alglukosidase (Myozyme) memiliki efek bermanfaat pada Pompe infantil dan saat ini
telah disetujui FDA. Belum jelas apakah ERT efektif pada penyakit Pompe onset-lambat.
Dosisnya adalah 20 mg/kg IV tiap 2 minggu. Efek samping utama adalah reaksi infus.
2. Otot pernapasan dapat lebih sering terkena dan sehingga dokter harus mengamati fungsi
paru dengan ketat. Insufisiensi pernapasan dapat ditangani dengan dukungan ventilasi
mekanik non invasif (seperti, BiPAP).
3. Diagnosis prenatal mungkin didapat dengan amniosentesis atau pengambilan sampel villi
korionik.

DEFISIENSI ENZIM DEBRANCHER

Latar Belakang

Defisiensi enzim debrancher, disebut juga dengan penyakit Cori-Forbes, menyusun sekitar
25% dari penyakit penyimpanan glikogen.

Patofisiologi

Penyakit ini disebabkan oleh mutasi pada gen enzim debrancher yang terletak pada
kromosom 1p21.

Prognosis

Perjalanan penyakit bersifat progresif lambat namun ringan, dan harapan hidup tidak
terpengaruhi.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Onset kelemahan otot umumnya pada dekade ketiga hingga keempat kehidupan dan
progresif lambat.
2. Diperkirakan, sepertiga kasus dimulai pada masa bayi atau awal anak-anak, dan tahap
perkembangan motorik dapat terlambat.
3. Terdapat atrofi dan kelemahan yang menonjol pada otot-otot ekstremitas distal pada
sekitar 50% pasien.
4. Kardiomiopati dapat pula menyulitkan defisiensi debrancher.
Gambaran Laboratorium

1. Defisiensi enzim debrancher dapat ditunjukkan dengan asai biokimia dari otot,
fibroblast, atau limfosit.
2. Kadar CK serum meningkat 2 sampai 20 kali dari normal.
3. EKG dapat menunjukkan defek konduksi dan aritmia.
4. Ekokardiogram dapat menunjukkan temuan yang mengarah pada kardiomiopati
hipertrofi obstruktif.
5. Uji genetik tersedia dan merupakan baku emas.

Temuan Elektrofisiologi

1. Temuan konduksi saraf motorik dan sensorik umumnya normal.


2. EMG jarum menunjukkan potensial fibrilasi yang banyak, gelombang positif tajam, dan
potensial myotonik atau pseudomyotonik. MUAP volunteer menunjukkan perubahan
tipikal yang ditemukan pada gangguan myopati kronis.

Histopatologi

1. Biopsi otot menunjukkan miopati vakuola dengan akumulasi abnormal glikogen pada
daerah subsarkolema dan intermyofibril dari serat otot.
2. Vakuola ini dicat kuat dengan PAS namun sebagian resisten diastase. Selain itu,
berlawanan dengan defisiensi α-glukosidase, vakuola ini tidak terwarnai dengan asam
fosfatase, menunjukkan bahwa glikogen terakumulasi secara utama di lisosom.

Terapi

1. Tidak terdapat terapi obat spesifik untuk kelemahan otot.


2. Pasien dapat ditangani dengan baik dengan mencegah hipoglikemia puasa melalui
pemberian makan karbohidrat rendah yang sering dan mempertahankan asupan tinggi
protein.
3. Terapi suportif dibutuhkan untuk pasien dengan manifestasi klinis gagal jantung
kongestif.

DEFISIENSI ENZIM BRANCHING

Latar Belakang
Defisiensi enzim branching, disebut juga penyakit Andersen atau penyakit badan
poliglukosan, disebabkan poliglukosan, disebabkan oleh defisiensi enzim yang mampu
menghasilkan molekul glikogen bercabang, yang menyebabkan akumulasi polisakarida di
hepar, CNS, dan otot skeletal dan jantung.

Patofisiologi

Disebabkan oleh mutasi di dalam gen untuk enzim branching glikogen yang terletak pada
kromosom 3.

Prognosis

Perjalanan penyakit bervariasi.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Terdapat bentuk neuromuskuler dari penyakit dimana pasien memunculkan gejala utama
kelemahan tot dan kardiomiopati.
2. Kelemahan dan atrofi dapat dominan di proksimal atau distal.
3. Terdapat pula bentuk defisiensi enzim branching yang bermanifestasi utamanya pada
orang dewasa sebagai hilangnya neuron motorik superior dan inferior progresif,
keterlibatan saraf sensorik, ataksia serebelum, kandung kemih neurogenic, dan demensia.

Gambaran Laboratorium

1. Defisiensi enzim branching dapat ditunjukkan pada otot.


2. Kadar CK serum dapat normal atau sedikit meningkat.
3. EKG dapat menunjukkan defek konduksi progresif yang berlanjut menjadi blok AV
total.
4. Ekokardiogram dapat menunjukkan kardiomiopati dilatasi.
5. Uji genetik tersedia dan merupakan standar baku emas untuk diagnosis.

Temuan Elektrofisiologi

1. Temuan konduksi saraf sensorik dan motorik umumnya normal.


2. EMG jarum menunjukkan potensial fibrilasi yang banyak, gelombang positif tajam, dan
potensial myotonik atau pseudomyotonik. MUAP volunteer menunjukkan perubahan
tipikal yang ditemukan pada gangguan myopati kronis.
Histopatologi

1. EM dan cahaya rutin menunjukkan deposisi dengan berbagai jumlah granula halus dan
filamen polisakarida (badan poliglukosan) di CNS, saraf perifer (sel akson dan
Schwann), kulit, hepar, dan otot jantung dan skeletal.
2. Badan poliglukosan ini bersifat PAS-positif dan resisten-diastase.

Terapi

1. Transplantasi hepar telah dilakukan pada beberapa anak.


2. Follow-up jangka panjang (rerata, 42 bulan) telah menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien menjadi bebas disfungsi hepar, neuromuskuler, dan jantung.
3. Tidak ada terapi obat lain yang ditunjukkan efektif.
4. Terapi bersifat suportif.

GANGGUAN PENYIMPANAN GLIKOGEN DINAMIS

Latar Belakang

1. Gangguan penyimpanan glikogen dinamis meliputi defisiensi dari myofosforilase


(penyakit McArdle), fosfofruktokinase, fosforilase b kinase, fosfogliserat kinase,
fosfogliserat mutase, laktat dehydrogenase, dan β-enolase. Mereka sangat serupa dengan
dan berhubungan dengan kram aktivitas dan terkadang myoglobinuria dengan olahraga
ringan.
2. Maka, gangguan ini dianggap gangguan penyimpanan glikogen dinamis dibandingkan
dengan penyakit Pompe yang disebutkan sebelumnya dan defisiensi debrancher dan
branching, yang berhubungan dengan kelemahan menetap non-dinamis.

Patofisiologi

Gangguan ini disebabkan oleh mutasi pada gen tertentu.

Prognosis

1. Diperkirakan 50% pasien mengalami myoglobinuria yang berhubungan dengan olahraga,


sedangkan sepertiga individu ini memiliki beragam derajat gagal ginjal.
2. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kelemahan proksimal ringan menetap sebagai
akibat dari serangan rhabdomyolisis berulang.
Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Gejala utamanya adalah intoleransi olahraga yang umumnya dimulai pada masa anak-
anak. Nyeri otot setelah aktivitas, kram, dan myoglobinuria muncul setelahnya, dan
diagnosis umumnya dibuat pada dekade kedua atau ketiga kehidupan.
2. Beberapa pasien mengamati fenomena gelombang-kedua yang mana, setelah onset
myalgia atau kram aktivitas ringan, individu tersebut dapat melanjutkan olahraga dengan
kadar yang sama dengan atau sedikit di bawah sebelumnya setelah periode singkat
istirahat.
3. Myoglobinuria nyata jarang ditemukan pada anak-anak dan utamanya bermanifestasi
pada dekade kedua atau ketiga.
4. Kebanyakan pasien umumnya memiliki pemeriksaan fisik normal di antara serangan
kram otot.

Gambaran Laboratorium

1. Kadar CK serum meningkat secara bervariasi saat awal.


2. Tes olahraga lengan bawah dapat digunakan untuk mendiagnosis beragam gangguan
glikolisis.
a. Otot lengan bawah dilatih dengan meminta pasien secara cepat dan kuat membuka-
tutup tangan selama 1 menit. Segera setelah olahraga dan kemudian 1, 2, 4, 6, dan 10
menit setelah olahraga, sampel darah kembali diambil dan dianalisis untuk laktat dan
ammonia.
b. Respons normal adalah kadar laktat dan ammonia meningkat tiga hingga empat kali
dari kadar awal.
c. Jika kadar laktat maupun ammonia tidak meningkat, tes bersifat inkonklusif dan
mengimplikasikan bahwa otot tidak terangsang dengan cukup.
d. Peningkatan pada kadar laktat namun tidak pada ammonia ditemukan pada defisiensi
myoadenilat deaminase (kemungkinan defisiensi non patogenik).
e. Pada defisiensi myofosforilasi, fosfofruktokinase, fosfogliserat mutase, fosfogliserat
kinase, fosforilase b kinase, β-enolase, dan laktat dehydrogenase, kadar ammonia
naik, namun kadar asam laktat tidak.
f. Uji genetik tersedia untuk sebagian besar di antara kelainan-kelainan ini.

Temuan Elektrodiagnostik
EMG dan NCS umumnya normal.

Histopatologi

1. Akumulasi berlebih dari glikogen di area subsarkolema dan intermyofibril dapat


ditemukan pada mikroskop cahaya dan EM.
2. Pengecatan untuk myofosforilase dan fosfofruktokinase dapat dilakukan secara rutin dan
menunjukkan absans pada kasus-kasus defisiensi terkait.
3. Aktivitas enzim dapat diperiksa pada jaringan otot untuk diagnosis definitif penyakit
penyimpanan glikogen subtipe tertentu.

Terapi

1. Latihan isometric berat seperti angkat beban dan olahraga aerobic-maksimum seperti lari
cepat sebaiknya dihindari.
2. Pasien dapat mendapat manfaat dari penyesuaian aerobic ringan hingga sedang. Program
olahraga ringan hingga sedang memperbaiki kapasitas olahraga dengan meningkatkan
kebugaran kardiovaskuler dan suplai substrat metabolik yang dibutuhkan ke otot.
3. Pasien dengan penyakit McArdle perlu diinstruksikan untuk mengurangi aktivitas fisik
dan memperoleh respons “gelombang-kedua”. Adanya olahraga sedang sebaiknya
didahului dengan 5 sampai 15 menit aktivitas pemanasan tingkat-rendah untuk memicu
transisi ke gelombang kedua.
4. Loading glukosa atau fruktosa oral sebelum aktivitas dapat efektif pada penyakit
McArdle namun dapat merugikan pada defisiensi fosfofruktokinase.
5. Pasien dengan myoglobinuria perlu dirawat di rumah sakit dan dijaga tetap cukup hidrasi
untuk mencegah nekrosis tubular akut.

DEFISIENSI KARNITIN

Latar Belakang

1. Defisiensi karnitin merupakan gangguan otot paling sering dari metabolisme lemak.
2. Bersifat sistemik atau hanya didapatkan di otot. Defisiensi karnitin otot dapat bersifat
primer atau sekunder akibat gangguan myopati lainnya.

Patofisiologi
Defisiensi karnitin primer telah dihubungkan dengan mutasi pada gen protein transporter
karnitin dependen-sodium (OCTN2) yang terletak di kromosom 5q33.1.

Prognosis

Perjalanan penyakit dan respons terhadap terapi pengganti dengan karnitin bervariasi.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Defisiensi karnitin otot primer umumnya bermanifestasi di masa anak-anak atau dewasa
muda, namun onset infantil juga pernah disebutkan.
2. Terjadi atrofi dan kelemahan otot proksimal progresif.
3. Keterlibatan jantung dengan hipertrofi ventrikel, gagal jantung kongestif, dan aritmia
terjadi pada beberapa pasien.
4. Defisiensi karnitin sekunder dapat disebabkan oleh berbagai gangguan, termasuk defek
rantai pernapasan, asiduria organik, endokrinopati, distrofi, gagal ginjal dan hepar, dan
malnutrisi, atau sebagai efek toksik dari obat-obatan tertentu. Belum jelas apakah pasien
dengan defisiensi karnitin sekunder benar-benar mengalami gejala-gejala myopati.

Gambaran Laboratorium

1. Kadar karnitin plasma dan jaringan menurun drastis pada defisiensi karnitin sistemik
primer, sedangkan defisiensi yang terjadi jauh lebih ringan (25% hingga 50% dari
normal) pada bentuk sekunder dari defisiensi karnitin.
2. Hanya kadar karnitin otot yang menurun pada defisiensi karnitin otot primer.
3. Kadar CK serum normal pada setidaknya 50% pasien dengan bentuk myopati dari
penyakit namun dapat meningkat hingga setinggi 15 kali dari normal.
4. Tersedia uji genetik untuk kelainan ini.

Temuan Elektrofisiologi

1. NCS motorik dan sensorik normal.


2. EMG jarum sering normal, namun beberapa pasien dengan kelemahan berat memiliki
peningkatan aktivitas insersional. MUAP polifasik, durasi-pendek, amplitudo-kecil yang
terjadi secara dini dapat ditemukan.

Histopatologi
1. Serat otot mengandung sejumlah vakuola dan akumulasi abnormal lemak.
2. Kadar karnitin otot menurun drastis (<2% sampai 4% dari normal).

Terapi

1. L-karnitin oral (2 hingga 6 g/hari) memberi manfaat pada beberapa, namun tidak semua,
pasien dengan defisiensi karnitin.
2. Terapi ini bersifat suportif.

DEFISIENSI PALMITOYLTRANSFERASE KARNITIN

Latar Belakang

Defisiensi palmitoyltransferase karnitin (CPT) merupakan penyebab paling sering dari


myoglobinuria.

Patofisiologi

1. Defisiensi CPT disebabkan oleh mutasi pada gen CPT2 yang terletak pada kromosom
1p32.
2. Defisiensi CPT mengganggu transport asilkarnitin melewati membran dalam
mitokondria.
3. Sehingga, pembentukan ATP dati metabolisme asam lemak terganggu.

Prognosis

Kelemahan persisten setelah serangan myoglobinuria tidak umum namun dapat terjadi.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Presentasi klinis khas adalah nyeri dan kram otot setelah aktivitas intens atau lama.
Gejala dapat pula dipicu oleh puasa atau infeksi baru.
2. Myoglobinuria merupakan gambaran umum penyakit ini, dan gagal ginjal dapat terjadi.
3. Sebagian besar pasien menjadi simptomatis pada dekade kedua.
4. Di antara serangan, pemeriksaan fisik umumnya normal.

Gambaran Laboratorium
1. Kadar CK serum umumnya norma, kecuali ketika pasien melakukan aktivitas fisik berat
atau berpuasa dengan periode yang lama.
2. Uji latihan lengan bawah menunjukkan hasil normal.
3. Uji genetik telah tersedia.

Temuan Elektrofisiologi

Temuan EMG dan NCS umumnya normal di antara serangan myoglobinuria.

Histopatologi

1. Biasanya tidak terdapat abnormalitas nyata yang ditemukan pada pemeriksaan


mikroskopik cahaya dari jaringan otot.
2. Analisis enzim pada jaringan otot dapat mengonfirmasi defisiensi ini.

Terapi

1. Pasien dengan defisiensi CPT perlu diingatkan untuk menghindari situasi yang memicu
nyeri otot dan berisiko menimbulkan myoglobinuria.
2. Efek fisiologis dari puasa perlu dijelaskan, dan pasien perlu diingatkan untuk tidak
mencoba berolahraga di bawah kondisi semacam ini.
3. Penggunaan tablet glukosa atau permen selama olahraga dapat sedikit menaikkan
toleransi olahraga.
4. Jika didapatkan myoglobinuria, pasien sebaiknya diperiksakan ke rumah sakit dan
dilakukan pengawasan fungsi ginjal.

DEFISIENSI ASIL DEHIDROGENASE MULTIPEL

Latar Belakang

Defisiensi asil dehydrogenase multipel (MADD) merupakan gangguan penyimpanan lemak


lainnya yang dapat muncul pada anak-anak maupun dewasa dengan kelemahan progresif.

Patofisiologi

Gangguan dapat disebabkan oleh defisiensi dari salah satu dari tiga subunit kompleks enzim:
sub-unit α atau β dari flavoprotein transfer-elektron (ETF) (ETFA atau ETFB) dan
dehydrogenase ETF (ETF-QO). Peta gen ini adalah sebagai berikut: ETFA pada 15q23–q25,
ETFB pada 19q13.3, dan ETF-QO pada 4q32-qter. ETF mentransfer elektron dari bentuk
reduksi asil-CoA dehydrogenase ke rantai pernapasan via ETF-Q). ETF-QO mentransfer
elektron dari ETF ke ubikuinon. Defek pada enzim ini menyebabkan ketidak mampuan
oksidasi bentuk resuksi dari berbagai dehydrogenase seperti VLCAD, LCAD, MCAD, and
SCAD (defisiensi rantai sangat panjang, panjang, medium, dan pendek asil-dehidrogenase).

Prognosis

Perjalanan penyakit bervariasi. Menghentikan penyebab sekunder (seperti, asam valproate)


ketika diketahui dapat membantu seperti riboflavin pada beberapa pasien.

Diagnosis

Gambaran Klinis

1. Biasanya bermanifestasi dengan kelemahan dan atrofi proksimal progresif dengan


episode konfusio, ataksia, tremor, mual, muntah, hipoketotik hipoglikemia, letargi, dan
hematomegali pada masa bayi atau awal anak-anak.
2. Beberapa pasien datang dengan episode myoglobinuria terinduksi-olahraga berulang
pada masa anak-anak atau dewasa yang sama dengan defisiensi CPT2 atau dengan
kelemahan proksimal atau distal.

Gambaran Laboratorium

1. Analisis asilkarnitin serum umumnya menunjukkan peningkatan konsentrasi asil-karnitin


seluruh-ukuran-rantai namun utamanya rantai-medium dan -panjang. Kadar karnitin
bebas plasma umumnya menurun namun terkadang dapat normal. Asam organik urin
menunjukkan asiduria dikarboksilik C5 hingga C10 dan derivate asilglisin.
2. Penurunan aktivitas ETF-QO dapat ditunjukkan pada fibroblast yang dikultur.
3. Uji genetik tersedia untuk mengonfirmasi mutasi.

Temuan Elektrofisiologi

NCS menunjukkan neuropati sensorik aksonal, sedangkan EMG dapat menunjukkan MUAP
myopati.

Histopatologi

Serat otot mengandung sejumlahvakuola dan akumulasi abnormal lemak yang sama dengan
defisiensi karnitin primer.

Terapi
1. Puasa sebaiknya dihindari.
2. Suplementasi karnitin tidak tampak membantu, meskipun diet rendah-lemak dan
riboflavin telah dilaporkan dapat memberi manfaat.

MYOPATI MITOKONDRIA

Latar Belakang

1. Myopati mitokondria dapat disebabkan oleh mutasi padaDNA mitokondria (mtDNA)


atau pada gen nukleus yang mengkode protein mitokondria.
2. mtDNA mengkode 22 RNA transfer (tRNA), 2 RNA ribodom (rRNA), dan 13 mRNA.
3. Ketiga belas mRNA ditranslasi menjadi 13 subunit polipeptida dari kompleks rantai
pernapasan.
4. Sebagian besar protein mitokondria dikode oleh DNA nukleus, dan protein-protein ini
ditranslasi di sitoplasma dan kemudian ditransport ke dalam mitokondria.
5. Tampak terdapat beberapa kontrol replikasi nukleus dari genome mitokondria.

Patofisiologi

1. Mutasi telah teridentifikasi pada beberapa gen mtDNA yang mengkode tRNA. Kelainan
akibat mutasi ini (seperti, epilepsi myoklonik dan ragged red fiber [MERRF] dan
ensefalomyopati mitokondria asidosis laktat dan stroke [MELAS]) memiliki pola
herediter mitokondria tipikal (yaitu, hanya dari ibu dari anak perempuan atau laki-laki).
2. Beberapa kelainan disebabkan oleh mutasi pada gen nukleus yang bertanggung jawab
untuk replikasi mtDNA (seperti, sindrom deplesi-mtDNA, ensefalomyopati
neurogastrointestinal mitokondria [MNGIE], dan ophtalmoplegia eksternal progresif
[PEO]). Kelainan ini dapat diturunkan secara autosomal resesif atau dominan.
3. Kelainan lainnya berhubungan dengan delesi besar, tunggal dari mtDNA namun terjadi
secara sporadic (seperti, sindrom Kearns-Sayre [KSS]).

Prognosis

Prognosis bergantung pada subtipe spesifik. Penurunan harapan hidup berhubungan dengan
sebagian besar kelainan.

Diagnosis

Gambaran Klinis
1. Presentasi klinis dari myopati mitokondria dengan berbagai bentuk cukup heterogen.
2. Temuan dapat berupa antara lain perawakan pendek, scoliosis, ptosis, ophtalmoparesis,
kelemahan proksimal, kardiomyopati, neuropati, hilang pendengaran, neuropati optic,
retinopati pigmenter, endokrinopati, kejang myoklonik, ataksia, nyeri kepala, gejala
mirip-stroke (termasuk kebutaan kortikal), gastroparesis, dan pseudo-obstruksi intestinal.

Gambaran Laboratorium

1. CK serum dapat normal atau meningkat.


2. EKG dapat menunjukkan abnormalitas konduksi pada beberapa kelainan (seperti, KSS).
3. Kadar laktat serum dan CSF dapat normal atau meningkat.
4. Scan MRI otak dapat abnormal (seperti, MELAS).
5. Uji genetik telah tersedia dan merupakan standar baku emas untuk diagnosis.

Histopatologi

1. Abnormalitas histopatologi pada biopsi otot dari berbagai myopati mitokondria bersifat
non spesifik.
2. Abnormalitas mitokondria tergambarkan dengan pengecatan Gomori trikromik
modifikasi, dimana akumulasi mitokondria abnormal subsarkolema tercat merah dan
memberi gambaran khas pada serat otot yang abnormal (ragged red fibers).
3. Pengecatan enzim oksidativ (NADH, SH, dan COX) juga digunakan secara rutin untuk
mendiagnosis myopati mitokondria.
4. Perubahan ultra-struktur dari mitokondria tampak pada EMG. Abnormalitas ini meliputi
peningkatan jumlah mitokondria yang tampak normal, pembesaran mitokondria dengan
krista abnormal, dan mitokondria dengan inklusi parakristalin.
5. Enzim mitokondria spesifik (komponen rantai pernapasan) dapat menunjukkan
penurunan aktivitas.
6. Uji genetik: Mutasi di mtDNA dapat ditunjukkan pada leukosit, namun spesifisitas
meningkat dengan mencari mutasi pada jaringan otot.

Terapi

1. Tidak terdapat terapi obat yang terbukti untuk sebagian besar myopati mitokondria.
2. Kami merekomendasikan bahwa pasien mengonsumsi ko-enzim Q (dosis anak 30 mg per
hari; dewasa 150 sampai 1,200 mg per hari).
3. Sama halnya, kami memberitahu pasien untuk mengonsumsi kreatin monohidrat (5
sampai 10 g/hari).
4. Pasien dengan MERRF dan gangguan kejang myoklonik terkait perlu diterapi dengan
obat-obatan anti-epilepsi.
5. Pasien dan dokter perlu menyadari bahwa pasien dengan myopati mitokondria dapat
menjadi sangat sensitif terhadap obat-obat sedasi dan agen anestesi yang dapat
menyebabkan hipoventilasi alveolus dan gagal napas.
6. Pasien dengan FVC di bawah 50% atau dengan disfungsi napas simptomatis disarankan
untuk diberi bantuan ventilator non invasif, umumnya BiPAP.
7. Penggantian hormon diberikan untuk endokrinopati spesifik terkait.
8. Insersi pacu jantung dapat dibutuhkan akibat defek konduksi jantung terkait.
9. Operasi kelopak mata untuk memperbaiki ptosis dapat dilakukan jika terdapat kekuatan
wajah yang cukup untuk memungkinkan penutupan mata secara penuh.
10. Pasien dengan dismotilitas gastrointestinal berat dapat membutuhkan pemasangan selang
PEG atau pemberian makan parenteral untuk bantuan nutrisi.
11. Orthoses pergelangan-kaki dapat bermanfaat pada pasien dengan kelemahan anggota
gerak bawah distal.

Anda mungkin juga menyukai