Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TEORI KONEKSIONISME DAN HUKUM-HUKUM TEORI


BELAJAR THORNDIKE

Makalah ini disusun guna melengkapi penugasan mata kuliah Teori Belajar
yang diampu oleh Dr. Kustiono, M.Pd. dan Dra. Istyarini, M. Pd.

Disusun oleh

Adissa Maretha Prayitno 1102421065


Vera Nur Azizah 1102421074
Aulia Yogie Fitriana 1102421081
Muhammad Izzuddin Al-Qossam 1102421085
Yona Azzahra 1102421090
Eric Kristiyawan 1102421091

KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2022
Prakata

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam. Atas izin
karunianya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu
apapun. Tak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak, aamiin.

Penulisan makalah berjudul Teori Koneksionisme Dan Hukum-Hukum Teori


Belajar Thorndike bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Belajar. Pada
makalah ini diuraikan tentang teori belajar fungsionalistik yang mencakup teori
koneksionisme dan hukum-hukum teori belajar Thorndike. Kami ucapkan terima kasih
kepada pihak yang telah mendukung serta membantu penyelesaian makalah.
Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan
kami agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

i
DAFTAR ISI

Halaman

Prakata i

DAFTAR ISI ii

BAB I 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan 2

BAB II 3

2.1 Teori Koneksionisme 3

2.2 Hukum-Hukum Teori Belajar Thorndike Sebelum 1930 3

2.3 Hukum-Hukum Teori Belajar Thorndike Setelah 1930 5

BAB III 6

3.1 Simpulan 6

3.2 Daftar Pustaka 7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan belajar mengajar merupakan satu kesatuan dari dua kegiatan yang
searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer yang mengacu pada kegiatan
siswa, sedangkan kegiatan mengajar adalah kegiatan sekunder yang mengacu
pada kegiatan guru. Dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan aktivitas siswa
dalam setiap kegiatan yang dilakukan sehingga kegiatan belajar. mengajar
menjadi efektif. Dalam hal ini untuk dapat memahami materi pembelajaran, siswa
dituntut lebih aktif dalam setiap kegiatan belajar mengajar yang berlangsung,
Dalam adanya keaktifan dalam proses belajar siswa harus merasa senang dan
nyaman terlebih dahulu agar lebih mudah dan adanya timbul dari diri pribadinya
untuk aktif bertanya, menangkap dan mengerti maksud dari apa yang sedang
diajarkan, hal inilah yang menjadi salah satu pentingnya dalam proses
pembelajaran berlangsung. Sedangkan, dalam hal ini proses pembelajaran adalah
adalah segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada
diri peserta didik. Kegiatan pembelajaran tidak akan berarti jika tidak
menghasilkan kegiatan belajar pada peserta didiknya. Kegiatan pembelajaran ini
akan menjadi bermakna bagi peserta didik jika dilakukan dalam lingkungan yang
nyaman dan memberikan rasa aman bagi peserta didik. Pada dasarnya dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa, peran guru sangat penting dalam kegiatan
pembelajaran. Setiap guru harus terampil dalam proses pembelajaran. Dengan
adanya hal itu perlunya mengetahui macam-macam teori belajar yang
memudahkan dan memberikan gambaran tentang penerapannya dan apa yang
bisa dilakukan untuk peserta didik. Namun ternyata bermacam-macam teori telah
ditemukan dan mencoba menjelaskannya ditinjau dari segi tertentu, dengan dasar
filosofis yang berbeda tentang hakikat manusia. Suatu teori belajar adalah suatu
pandangan terpadu yang sistematis tentang cara manusia berinteraksi dengan
lingkungan sehingga terjadi suatu perubahan.

Sebelum membahas tentang teori belajar dari Thorndike, sangat penting


untuk mengenal siapa tokoh yang memunculkan teori tersebut. Edward Lee "Ted"
Thorndike (31 Agustus 1874 - 9 Agustus 1949) adalah seorang Psikolog Amerika
yang menghabiskan hampir seluruh kariernya di Teachers College, Columbia
University. Karyanya di bidang Psikologi Perbandingan dan proses pembelajaran
membuahkan teori koneksionisme dan membantu meletakkan dasar ilmiah untuk
psikologi pendidikan modern. Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan
dan dikembangkan oleh Edwar L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia
lakukan pada tahun 1890-an. Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah
hubungan antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain
yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran,
perasaan atau gerakan/Tindakan. Dan juga pada teori ini berlangsung sesuai
dengan hukum-hukum belajar yang mengikat sehingga diharapkan akan

1
menghasilkan peserta didik yang memiliki kesiapan, yaitu kecenderungan untuk
berbuat atau bertindak. Artinya kesiapan peserta didik untuk belajar baik
kesiapan mental maupun motivasi akan memberikan proses pembelajaran yang
efektif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud Teori Koneksionisme?


2. Bagaimana hukum-hukum teori belajar Thorndike sebelum 1930?
3. Bagaimana hukum-hukum teori belajar Thorndike setelah 1930?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang Teori Koneksionisme.


2. Untuk mengetahui bagaimana Teori Koneksionisme.
3. Untuk mengetahui bagaimana hukum-hukum teori belajar Thorndike setelah
1930.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Koneksionisme

Belajar menurut Thorndike merupakan proses interaksi antara stimulus yang


dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan. Thorndike berpendapat bahwa
tingkah laku dapat berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati) atau yang non
konkret (tidak bisa diamati). Menurut teori yang dikemukakan oleh Thorndike,
belajar didasari oleh asosiasi antara respons panca indera terhadap impuls untuk
bergerak dimana asosiasi tersebut disebut dengan connecting. Adanya keterkaitan
antara stimulus dan respons akan menghasilkan suatu hubungan yang erat jika
dilatih secara terus menerus (Nurjan, 2015).

Teori Koneksionisme atau yang disebut juga dengan “S-R Bond Theory”, “S-R
Psychology of learning”, dan “Trial and Error Learning” merupakan kesimpulan
yang didapat oleh Thorndike melalui eksperimennya yang disebut dengan
Eksperimen Puzzle Box yang kemudian dikenal dengan sebutan instrumental
conditioning. Dalam eksperimen ini, Thorndike menggunakan kucing, anjing, ikan,
kera, dan anak ayam sebagai subjek riset. Hewan-hewan tersebut ditempatkan
pada ruangan kecil yang ia sebut dengan puzzle box (kotak teka-teki) dimana
pintu dari ruangan kotak tersebut akan terbuka dan membuka akses kepada
hadiah makanan yang berada di luar kotak jika hewan-hewan tersebut melakukan
respons yang benar seperti menarik tali, mendorong tuas, atau menaiki tangga.
Waktu yang dibutuhkan hewan untuk memberi respons yang diperlukan agar
pintu terbuka berangsur-angsur semakin cepat seiring dilakukannya pengulangan
eksperimen. Dari eksperimen tersebut dengan menggunakan ‘kurva waktu
belajar’, Thorndike menjelaskan bahwa hewan dapat belajar secara gradual dan
konsisten melalui trial and error yang ditunjukkan dengan kurva waktu yang
menurun secara gradual (Nurlina, Nurfadilah, Bahri, 2021).

Belajar dengan metode Trial and Error Learning memiliki ciri-ciri yang meliputi
adanya motif pendorong kegiatan, adanya beragam respon terhadap situasi,
adanya eliminasi respon-respon yang gagal atau salah, dan adanya peningkatan
reaksi dalam mencapai tujuan (Soemanti dalam Helmiannor, 2020). Namun dalam
pelaksanaan teori koneksionisme terdapat beberapa kelemahan yaitu sifat teori
yang mekanistis yang artinya peserta didik lebih banyak menghafal materi
pembelajaran tanpa disertai pemahaman yang cukup mengenai cara
pemakaiannya dan pembelajaran bersifat teacher centered yang lebih
mengutamakan materi dimana peserta didik berkedudukan sebagai pihak yang
pasif (Nurjan, 2015).

2.2 Hukum-Hukum Teori Belajar Thorndike Sebelum 1930

Pemikiran Thorndike tentang proses belajar dapat dibagi menjadi dua bagian:

3
Pertama adalah pemikiran sebelum tahun 1930 dan kedua adalah pasca 1930,
ketika beberapa pandangan awalnya berubah banyak.

1. Law of readiness (hukum kesiapan) yang dikemukakan dalam bukunya


yang berjudul The Original Nature of Man (Thorndike, 1913b), mengandung
tiga bagian, yang diringkas sebagai berikut:
a. Apabila satu unit konduksi siap menyalurkan (to conduct), maka
penyaluran dengannya akan memuaskan.
b. Apabila satu unit konduksi siap untuk menyalurkan, maka tidak
menyalurkannya akan menjengkelkan.
c. Apabila satu unit konduksi belum siap untuk penyaluran dan dipaksa
untuk menyalurkan, maka penyaluran dengannya akan menjengkelkan
2. Law of exercise (hukum latihan), yang terdiri dari dua bagian:
a. Koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya
dipakai.Dengan kata lain, melatih koneksi (hubungan) antara situasi
yang menstimulasi dengan suatu respons akan memperkuat koneksi di
antara keduanya. Bagian dari hukum latihan ini dinamakan law of use
(hukum penggunaan).
b. Koneksi antara situasi dan respons akan melemah apabila praktik
hubungan dihentikan atau jika ikatan neural tidak dipakai. Bagian dari
hukum latihan ini dinamakan law of disuse (hukum ketidakgunaan).
3. Law of effect (hukum efek), yang digagasnya sebelum tahun 1930, adalah
penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respons
sebagai akibat dari konsekuensi dari respons. Hukum efek berbeda jauh
dari teori asosiasionistik tradisional yang mengklaim bahwa frekuensi
kejadian atau kontiguitas merupakan penentu kekuatan suatu asosiasi.
Meskipun Thorndike menerima hukum frekuensi dan hukum kontiguitas,
dia melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa konsekuensi dari
suatu respons berperan penting dalam menentukan kekuatan asosiasi
antara situasi dan respons terhadap situasi itu.

Sebelum 1930, teori Thorndike mencakup sejumlah ide yang kurang penting
ketimbang hukum kesiapan, efek, dan latihan. Konsep sekunder ini antara lain:

1. Respons Berganda
Multiple response, atau respons yang bervariasi, menurut Thorndike adalah
Langkah pertama dalam semua proses belajar. Respons ini mengacu pada
fakta bahwa jika respons pertama kita tidak memecahkan problem maka
kita akan mencoba respons lain.
2. Set atau Sikap
Apa yang oleh Thorndike (1913a) dinamakan disposisi, pra penyesuaian,
atau sets (attitude) (sikap), merupakan pengakuannya akan pentingnya
apa-apa yang dibawa oleh pembelajar ke dalam situasi belajar Dengan
konsep set atau sikap inilah Thorndike mengakui bahwa keadaan hewan
sampai tingkat tertentu inilah yang akan menentukan apa-apa yang
memuaskan dan menjengkelkannya.
3. Prapotensi Elemen
Prepotency of elements (prapotensi elemen) adalah apa yang oleh
Thorndike (1913b) dinamakan “aktivitas parsial dari suatu situasi.” Ini

4
mengacu pada fakta bahwa hanya beberapa elemen dari situasi yang akan
mengatur perilaku. Dengan gagasan prapotensi elemen ini Thorndike
mengakui kompleksitas lingkungan dan menyimpulkan bahwa kita
merespons secara selektif terhadap aspek-aspek lingkungan. Dengan kata
lain, kita biasanya merespons beberapa elemen dalam satu situasi namun
tidak merespons situasi lainnya
4. Associative shifting (pergeseran asosiatif)
Terkait erat dengan teori Thorndike tentang elemen identik dalam training
transfer. Prosedur untuk menunjukkan pergeseran asosiatif dimulai dengan
koneksi antara satu situasi tertentu dan satu respons tertentu. Menurut
teori elemen identik Thorndike, sepanjang ada cukup elemen dari situasi
awal di dalam situasi baru, respons yang sama akan diberikan. Dalam pada
itu, respons yang sama bisa disampaikan melalui sejumlah perubahan
stimulus dan kemudian dibuat untuk memicu kondisi yang sama sekali
berbeda dengan kondisi yang diasosiasikan dengan respons awal.

2.3 Hukum-Hukum Teori Belajar Thorndike Setelah 1930

Thorndike berpidato di International Congress of Psychology di New Haven


pada september 1929, lalu dia membuka perkataannya dengan mengucapkan
“Saya salah.” Seiring berjalannya waktu, ilmuan atau seorang pemikir terkadang
mengalami perubahan (evolusi) ide. Beriringan dengan hal ini Thorndike
melakukan perubahan atau revisi terhadap beberapa pemikiran yang pernah ia
kemukakan yaitu merevisi hukum belajar yang pernah di gagasnya antara lain:

1. Revisi Hukum Belajar Penggunaan Atau Latihan


Thorndike secara esensial memutuskan untuk menarik kembali hukum
penggunaan atau latihan. hukum penggunaan, yang menyatakan bahwa
repetisi saja telah cukup untuk memperkuat koneksi, ternyata tidak tepat.
2. Revisi Hukum Belajar Efek
Revisi hukum efek menyatakan bahwa penguatan akan menaikkan strength
of connection (kekuatan koneksi), sedangkan hukuman tidak memberi
dampak apa-apa terhadap kekuatan koneksi. Temuan ini masih banyak
memberi akibat hingga saat ini. Kesimpulan Thorndike tentang efektivitas
hukuman ini bertentangan dengan pemahaman umum selama ribuan tahun
dan banyak mempengaruhi bidang pendidikan, pengasuhan anak, serta
modifikasi sikap pada umumnya.

Setelah tahun 1930, Thorndike menambahkan konsep teoretis lainnya, yang


disebutnya menjadi spread of effect (penyebaran pengaruh). Selama
eksperimennya, Thorndike secara tidak sengaja menemukan bahwa keadaan yang
memuaskan tidak hanya menambah probabilitas terulangnya respons yang
menghasilkan keadaan yang memuaskan tadi tapi juga mampu menaikkan
probabilitas terulangnya respons yang mengitari respons yang memperkuat itu.

5
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Proses interaksi antara stimulus yang dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan. Serta didasari oleh asosiasi antara respons panca indera terhadap impuls
untuk bergerak dimana asosiasi tersebut disebut dengan connecting. Adanya
keterkaitan antara stimulus dan respons akan menghasilkan suatu hubungan yang
erat jika dilatih secara terus menerus. Belajar dengan metode Trial and Error
Learning memiliki ciri-ciri dengan adanya motif pendorong kegiatan, adanya
beragam respon terhadap situasi, adanya eliminasi respon-respon yang gagal atau
salah, dan adanya peningkatan reaksi dalam mencapai tujuan. Melalui Hukum
thorndike sebelum tahun 1930 Proses belajar memiliki Law of readiness (hukum
kesiapan), Law of exercise (hukum latihan), Law of effect (hukum efek),
Associative shifting (pergeseran asosiatif). Sedangkan hukum teori belajar setelah
1930 sudah sangat mengalami perubahan yaitu Revisi Hukum Belajar Penggunaan
Atau Latihan dan Revisi Hukum Belajar Efek.

6
DAFTAR PUSTAKA

Hermansyah, H. (2020, March 25). Analisis Teori Behavioristik (Edward Thordinke)


dan Implementasinya dalam Pembelajaran SD/MI. MODELING: Jurnal Program
Studi PGMI, 7(1), 15-25.
https://doi.org/https://doi.org/10.36835/modeling.v7i1.547
Makki, Ali. (2019, May 11). MENGENAL SOSOK EDWARD LEE THORNDIKE ALIRAN
FUNGSIONALISME DALAM TEORI BELAJAR. Jurnal Studi Islam: Pancawahana,
14(1), 78-91. Retrieved from
http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/pwahana/article/view/33
53
Peri, P. G., & Karimah, R. S. . (2022). UNDERSTANDING BEHAVIORISTIC LEARNING
THEORY AND IMPLEMENTATION IN LEARNING. Asaatidzah, 2(1), 90–99.
Retrieved from https://www.jurnal.kreatif-
pai.org/index.php/asaatidzah/article/view/39
Saifudin.. (2020, March 25). PERSPEKTIF ISLAM TENTANG TEORI KONEKSIONISME
DALAM PEMBELAJARAN. PROFETIKA: Jurnal Studi Islam, 22(2), 314-330.
https://doi.org/10.23917/profetika.v22i2.16696
Nurjan, S. (2016). 2016 (W. Setiawan, Ed.; Revisi, pp. 58–59). WADE GROUP.
(Original work published 2016)
Helmiannoor (2020). Konsep “Fungsionalistik Dominan” Edward Lee Thorndike
dalam Proses Pembelajaran. MODERNITY: Jurnal Pendidikan Dan Islam
Kontemporer, 1(2), 28–38. Retrieved https://jurnal.stairakha-
amuntai.ac.id/index.php/modernity/article/view/85/pdf
Nurlina, Nurfadilah, & Bahri, A. (2021). TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN (H.
Bancong, Ed.; pp. 42–44). LPP UNISMUH MAKASSAR.
https://www.researchgate.net/publication/350835481_TEORI_BELAJAR_DAN_
PEMBELAJARAN?enrichId=rgreq-bf645e766863139b28a02c2279edb5de-
XXX&enrichSource=Y292ZXJQYWdlOzM1MDgzNTQ4MTtBUzoxMDEyMDExODY
1NDc3MTIwQDE2MTgyOTM4Mzk0MjU%3D&el=1_x_2&_esc=publicationCover
Pdf

Anda mungkin juga menyukai